Chereads / Jinjang / Chapter 5 - Sang Pengintai

Chapter 5 - Sang Pengintai

Malam merayap dalam senyap. Suara binatang kecil saling bersahutan menjadi melodi penghantar pelepas lelah setelah seharian beraktivitas. Namun sebagian lain masih melakukan tugas rumah, layaknya Ata. Gadis itu masih berkutat dengan buku pelajaran meski sudah sejam lamanya duduk menatap setiap huruf yang tercetak jelas di buku pelajaran.

Membuka kacamata baca yang bertengger manis di hidung mungilnya, mengerjapkan mata beberapa kali, helaan napas keluar dari bibir yang sedikit terbuka. Kedua matanya tertutup, mengingat kembali kenangan yang telah lalu. Biasanya di waktu seperti ini, ia akan bersenda gurau dengan kedua orangtuanya sebelum menjelang tidur. Beranjak dari depan meja belajar, melangkah menuju ke jendela kamar, membuka kedua jendela yang bersisian di depannya lebar-lebar. Kedua matanya langsung tertuju pada langit berhiaskan bulan sabit yang sesekali bersembunyi di balik awan.

Memandang langit malam seperti ini membuatnya lebih tenang. Tersenyum sekilas, tubuhnya berbalik, bersandar sedikit mendudukan diri di pinggir jendela. Kedua tangannya bertumpu di samping tubuhnya. Pandangannya meneliti setiap sudut ruangan. Sebuah ranjang cukup besar merapat ke dinding di samping pintu kamar. Sebuah lemari kayu yang tak terlalu besar berada di samping ranjang. Di samping kanannya, sebuah meja belajar kecil berisi buku buku pelajarannya juga merapat di dinding.

Kamar ini terlalu besar baginya. Entah hanya perasaannya saja atau memang demikian. Hatinya terasa hampa tanpa kedua orangtuanya. Pihak sekolah beberapa hari yang lalu menyuruhnya pulang cepat karena ada sesuatu hal penting yang ingin disampaikan oleh keluarganya. Sesampainya di rumah, ia mendapati rumahnya ramai dipenuhi para tetangga. Sebuah bendera kuning tertancap di pohon jambu air depan rumahnya. Hatinya waswas kala melihat kakaknya berdiri menyalami para tetangga yang datang ke rumahnya diselingi sedikit basa-basi.

Hatinya hancur kala kakaknya memberitahu perihal yang terjadi kepada kedua orangtua mereka. Belum juga melihat wajah kedua orangtuanya untuk terakhir kalinya, ia keburu pingsan dalam dekapan sang kakak. Hatinya terlalu sakit saat mengingat dalam mimpinya keadaan kedua orangtuanya terlihat sangat mengenaskan. Ia ingin bertanya perihal kematian orang tuanya, namun urung. Ia ingin menata hatinya terlebih dahulu. Ia tak tega menambah beban sang kakak yang baru saja mendapat momongan dengan pertanyaan yang akan membuat kakaknya itu tambah terpuruk. Perlahan air mata mengalir meninggalkan jejak basah di pipi. Sungguh dirinya sangat kesepian. Biasanya sebelum tidur kedua orangtuanya mengajak berbincang-bincang tentang kegiatan sekolahnya.

Lama berkutat dalam pikirannya, Ata tak menyadari kehadiran sosok makhluk yang sedang mengintainya. Gadis itu menegang saat merasakan sesuatu melewati punggungnya dengan jarak yang sangat dekat, bahkan terasa hampir menempel.

Sesaat kemudian tubuhnya berbalik. Sepasang mata bulatnya beradu pandang dengan manik kemerahan. Sosok itu bersandar di bawah pohon asam berjarak kurang dari sepuluh meter darinya. Di bawah cahaya temaram lampu di teras samping kamarnya, ia dapat melihat senyum mengerikan dari makhluk tersebut.

Tanpa tedeng aling-aling, tangannya menarik kedua daun pintu jendela, menutup, kemudian menguncinya. Dengan kasar ia menarik tirai di ujung jendela. Setelah merasa tak ada celah bagi makhluk di luar sana untuk mengintainya, Ata berlari ke arah ranjang dan bersembunyi di balik selimut. Jantungnya berpacu dengan cepat, berbagai bacaan ia rapalkan berharap makhluk di luar sana pergi menjauh atau yang lebih baik, menghilang.

Beberapa saat kemudian airmata kembali meluncur membasahi pipinya. Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Kenapa makhluk yang menghiasi mimpinya saat pertama Apta dan Wira menginap dirumahnya ada di depan matanya? Mungkinkah itu hanya halusinasinya semata? Namun jika hanya halusinasinya saja, mengapa terasa begitu nyata. Apakah semua ini berhubungan dengan kematian kedua orangtuanya? Entahlah, memikirkannya saja membuat hatinya sakit. Karena terlalu lama menangis, akhirnya ia tertidur.

Tak berapa lama setelahnya, seorang pemuda memasuki kamar Ata. Meneliti setiap sudut ruangan. Perlahan tungkainya melangkah menghampiri gadis yang sedang terlelap dalam keadaan meringkuk di bawah selimut. Saat pandanganya jatuh pada jendela ruangan tersebut, amarahnya meluap. Ia dapat merasakan kehadiran makhluk yang pernah ditemuinya di hutan. Sungguh makhluk tak tahu terimakasih. Ia tak menyangka jika dugaannya benar. Makhluk itu mengintai adik sepupunya.

Wira berjalan keluar dari kamar Ata, bukan hanya keluar dari ruangan tersebut, tapi juga keluar dari rumahnya menuju halaman samping tak jauh dari kamar Ata. Ia akan membuat perhitungan dengan makhluk yang berani mengusik orang yang ia sayangi. Wira menyeringai bagai pembunuh yang ingin menghakimi korbannya. Berjalan perlahan sambil bersiul sesekali, terkikik geli dengan apa yang akan diperbuatnya nanti. Katakan selamat tinggal pada kebebasan yang pernah ia berikan dulu pada makhluk tidak tahu diri sepertinya.

Langkah Wira membawa pemuda itu ke pelataran samping rumahnya dimana tak ada pagar perdu, melainkan langsung mengarah pada tanah kosong. "Apakah ini bentuk balas budimu, Badhil?" Sepasang mata kecoklatan menatap tajam penampakkan makhluk yang berdiam di bawah pohon asam. Makhluk berbentuk kepala babi, bertanduk layaknya tanduk kerbau, dua gigi taring menyembul dari celah bibir makhluk berjenis jin tersebut.

"Maaf Tuan Wira, saya tidak bermaksud seperti itu. Rumah saya dalam genggaman orang pintar dari desa sebelah Utara desa ini. Orang itu mengendalikan saya melalui rumah saya, Tuan. Jika rumah saya masih berada di tangan orang tersebut, saya tidak bisa berbuat banyak jika pemiliknya berkehendak."

"Apakah perlu kuhilangkan jejakmu dari muka bumi?"

"Ampun, Tuan Wira. Setidaknya berilah kebebasan sekali lagi padaku, maka Tuan Wira akan mengetahui siapa sebenarnya dalang dibalik kematian dua kerabat Tuan Wira."

Wira mengeluarkan belati kesayangan miliknya dari sarungnya yang terbuat dari bambu kuning, kemudian membawanya ke depan wajahnya. Kedua matanya terpejam, bibirnya terbuka membaca ajian yang dikhususkan untuk memusnahkan kaum jin yang mengusik ketenangan manusia. "Apakah kau yang membunuhnya?" kedua matanya perlahan terbuka, menatap tajam BadhilーMakhluk yang pernah ia bebaskan saat dirinya ingin bersemedi di hutan.

Badhil yang awalnya ingin meminta kebebasan kembali terlihat panik. Masalahnya ia dihadapkan dalam dua situasi yang sama-sama kurang menguntungkan. Jika dirinya pulang ke tempat orang pintar yang memegang rumahnya tanpa hasil, maka rumahnya akan dihancurkan. Jika dihancurkan ia akan lenyap. Dengan terpaksa ia harus bersujud di hadapan manusia di depannya. Ia hanya ingin tetap hidup. "Ampun Tuan Wira … Tuan sendiri tahu jika kami tidak bisa mengusik manusia tanpa perantara, bukan?"

Wira berjalan menghampiri Badil, menyisakan jarak satu meter. "Lalu?" kemudian bertanya dengan nada dinginnya. Ia memang sangat tahu jika bangsa jin tidak akan bisa menyentuh manusia tanpa perantara, namun rasa dendamnya akan kedua orang kerabat yang sudah dianggap layaknya orangtua kandungnya, mencoba menolak fakta tersebut. "Aku sudah membebaskanmu sekali, tapi balasanmu tidaklah sesuai dengan apa yang kulakukan untukmu." Menggores ujung jari telunjuk dengan belati yang sudah dimantrai olehnya, Wira membiarkan setetes darah mengenai ujung kepala makhluk di hadapannya.

"ARGH!"

Mundur selangkah, Wira menatap sejenak Badhil yang mengerang kesakitan memegangi kepala, pertanda kontrak mulai bekerja. Mulai sekarang, makhluk itu akan benar-benar dalam posisi yang serba salah. Wira memberi batasan mutlak agar makhluk itu tidak bisa menyentuh manusia meski melalui perantara orang pintar yang mengendalikannya.

Wira berbalik meninggalkan Badhil yang mulai merasa lebih baik. Sebelum memasuki rumah, langkahnya terhenti. "Maesa!"

Satu makhluk dari dunia lain seketika muncul di samping Wira dalam bentuk seorang pria berusia kisaran 30 tahunan. Berbadan kekar, dengan mata sedikit menjorok ke dalam. Rambut hitam pekat berbentuk ikal. Alisnya tebal membentuk garis lurus. Wajah bulat terkesan sangar dengan hidung besarnya. Tingginya 5 cm lebih pendek dari Wira. "Saya, Tuan Wira." Sebenarnya makhluk itu sedari tadi melihat kelakuan tuannya bersama sahabatnya yang menjadi bawahan pemuda di depannya dari atas genteng kamar adik sepupu tuannya, Ata.

"Jangan alihkan pandanganmu dari Badhil. Beritahu aku jika makhluk tak tahu diri itu kembali pada orang yang memberi perantara untuknya berbuat diluar batasannya." Wira memberi perintah dengan nada dingin tanpa memandang bawahannya itu. "Maaf, hariku sedang buruk." Wira membuka pintu kayu jati di depannya dengan hati-hati.

Sedangkan makhluk bernama Maesa bergegas memenuhi perintah tuannya. Tanpa ragu, ia mulai membuntuti kemana Badhil pergi. Menembus kegelapan malam, Maesa terus mengikuti demit yang dari awal memang ia tidak menyukainya. Gara-gara Badhil tuannya kehilangan kesadarannya akibat memaksakan diri membebaskan makhluk tersebut, padahal tenaga tuannya waktu itu tidaklah memungkinkan dipergunakan untuk berurusan dengan dunia lain. Gara-gara Badhil pula ia terkena omelan tuannya.

TBC.