Chereads / Di Balik Kematian / Chapter 1 - Chapter 00 : Prolog

Di Balik Kematian

Kaitani_Ryuuki
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 5.9k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Chapter 00 : Prolog

Mataku menatap nanar nan kosong luar jendela, melihat suasana malam yang temaram dalam kesendirian. Tak ada suara lain yang terdengar, selain embusan napas pendek yang aku keluarkan dari hidungku.

Pikiranku kosong tak tahu harus berbuat apa. Berdiam diri di ranjang rumah sakit, memikirkan apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Tiga hari juga telah berlalu dengan aktivitas yang sama.

Ingatan terakhir yang dapatku ingat adalah, sebuah nyala api yang menjilat habis sebuah rumah serta jeritan kesakitan, merintih meminta tolong yang menyayat hati. Begitu seterusnya, berulang kali terlintas dalam pikiranku, layaknya kaset film yang rusak.

Anehnya, tidak ada kelanjutan dari ingatan itu, tapi terus berputar hingga membuat kepalaku sakit dan dadaku sesak. Emosiku turun naik, tapi ekspresiku datar dan kosong.

"Lihat, gadis itu melamun lagi," ujar seorang wanita paruh baya yang berdiri di sampingku. "Aku capek meneriakinya."

Aku diam tidak berani menoleh. Berpura-pura tidak mendengar. Tapi jantungku berdebar tidak menentu.

"Apa dia masih harus berpura-pura? Sudah tiga hari sejak dia bangun dari koma, aku perhatikan, dia hanya menatap kosong ke luar dan juga...." sahut lawan bicara wanita itu tersenyum lebar.

"Haruskah kita panggil yang lain?"

"Aku setuju!" tegas si wanita lain mengangguk antusias.

Aku tersentak, meneguk ludah tanpa sadar, tanganku mengepal seprei dengan erat. Aku takut untuk menoleh, tapi lebih takut lagi, mendengar obrolan ketiga wanita disampingku.

"Hei, kami tahu kau mendengar kami," gerutu si wanita berwajah pucat pasi itu.

"Ck, kita lihat, siapa yang duluan menyerah," seringai lainnya dingin.

Sebuah tawa aneh menanggapi dua wanita yang meneriakiku.

Aku mengembuskan napas pelan, mengerenyit sekilas. Tanpa sadar melirik ke samping. Sekali lagi, aku terkejut ngeri, langsung menarik kembali pandanganku.

" Hah! Sudahku duga, kau memang bisa melihat kami," teriak wanita berambut panjang kusut dengan wajah marah.

Ketiga wanita itu langsung muncul di depanku dengan tiba-tiba, menampakkan wajah marah dengan senyum lebar memperlihatkan gigi-gigi hitam yang bertaring.

Aku tersentak mundur dengan mata membola. Ekspresiku tak bisa aku kontrol, kengerian dan ketakutan terlihat jelas. Tapi aku diam, tak bersuara, hanya memandang mereka dengan datar, tapi kilat mataku begitu takut.

Bau busuk tercium menyengat ketika ketiga wanita itu mendekat padaku. Aku ingin lari, tapi tubuhku masih lemah dan ketakutan melumpuhkan syaraf-syarafku.

"Pergi," kataku dingin.

"Kau akhirnya menanggapi kami!"

Aku kembali diam, meneguk ludah untuk membasahi tenggorokkanku yang kering.

"Kau harus membantu kami," kata wanita yang berambut pendek.

"Ya, kami ingin pulang!"

Aku diam memandang ketiga wanita paruh baya itu. Berbagai macam emosi menggelitik diriku saat memperhatikan ketiganya.

Aku tidak mengerti apa yang telah terjadi padaku, tapi yang jelas, aku, seorang gadis berusia 10 tahun dapat mengetahui kalau ketiganya bukanlah manusia.

Bagaimana tidak, mereka melayang saat aku pertama kali membuka mataku di ruang tempatku dirawat. Wajah mereka pucat pasi. Meski tidak seram, tapi melihat mereka yang terkadang tertawa ngeri atau menangis sedih, atau berteriak marah, tentu saja aku takut. Aku pun tak mau mereka menyadari aku melihat mereka.

Namun, mereka pada akhirnya menyadari aku yang bisa melihat mereka. Mereka pun mulai menggangguku, aku hanya diam berpura-pura tak mendengar . Tetapi, tetap saja, itu tidak bisa bertahan lama. Aku menyerah untuk tak peduli karena mereka mengancam akan memanggil sejenis mereka lebih banyak lagi.

"Bantu..."

"Bantu..."

"Bantu..."

Mereka berteriak saling sahut menyahut yang membuat telingaku berdenging tidak nyaman. Aku mengerut tajam tak suka.

Haruskah aku berteriak meminta tolong? Tapi, aku tahu, mereka akan menganggapku gila. Meski aku masih kecil, tapi pikiranku cukup dewasa karena aku termasuk anak yang pintar.

Jika tidak minta tolong, haruskah aku mengiyakan mereka? Namun, aku masih belum tahu, resiko apa yang akan aku hadapi kalau aku berinteraksi dengan mereka. Lagipula, aku masih bingung, bagaimana bisa, aku dapat melihat mereka? Selama ini mataku normal-normal saja, tetapi kenapa setelah bangun dari koma, aku bisa melihat mereka? Apa yang terjadi di hari aku kecelakaan saat itu, ingatanku benar-benar kabur.

"Ban..."

"Diam!!!" bisikku tajam mengerut tajam.

Ketiga wanita itu cemberut marah.

Aku menghela napas, menunduk berpikir keras. Terkadang aku benci dengan aku yang terlalu berpikiran dewasa. Andai saja, sifatku layaknya bocah, mungkin aku tak perlu memikirkannya. Menangis saja, semua beres. Tapi aku, memiliki gangguan emosi membuatku sulit mengekspresikan emosiku.

"Tidak ada pilihan," sergah wanita berbaju hijau.

"Kau harus bantu kami..."

"Kami ingin pulang."

"Terjebak di sini sangat menyakitkan."

Aku mengangkat kepalaku menatap mereka dengan dingin. Meski takut, aku terpaksa harus setuju, karena mereka akan terus menggangguku.

"Ceritakan..." Aku mengerut, menggigit bibir bawahku, "aku tidak janji bisa membantu!"

Ketiganya menyeringai senang lalu melayang-layang di udara. Mereka lalu menceritakan kisah sedih mereka padaku hingga selesai.

Malam itu, adalah pertama kalinya aku menerima kelebihan tak masuk akal yang aku miliki dan pertama kalinya aku menggunakannya untuk membantu hantu-hantu penasaran itu dan pertama kalinya juga aku merasakan hal yang membebani hidupku. Mulai malam itu, kehidupanku berubah seratus delapanpuluh derajat.

"Bisakah kau membantu kami?" tanya mereka memohon putus asa.

Aku diam, menatap ketiganya dengan pikiran bingung. Apa yang bisa dilakukan oleh anak usia 10 tahun sepertiku ini.

"Jawablah!!!"

"Aku," helaku memejamkan mata tak yakin, "aku tidak janji!!!"

Ketiag wanita itu cemberut saling pandang sebentar. Mereka mengangguk seolah satu pemikiran.

"Itu cukup!!!"