Esok harinya, di pagi yang cerah ini, Renjana dan Agam akan pergi ke tempat wisata yang sudah di rekomendasikan Nara.
Perempuan itu memaksa keduanya untuk bersantai sebentar sebelum hari pernikahan nanti.
Lagi pula pasangan itu sudah cuti sementara untuk pernikahan. Kata Nara, itu tempat yang cocok untuk merilekskan pikiran dari kerumitan persiapan pernikahan.
Dan tempat yang akan didatangi mereka adalah Hutan Bambu Keputih Surabaya.
Sekarang Agam sudah berada di kediaman Bapak Segara Banyu Bening. Duduk di ruang tamu bersama sang pemilik rumah yang juga duduk di sofa seberangnya.
"Kerjaan gimana Gam? Lancar?" Tanya Gara tanpa mengalihkan tatapannya dari tablet di pangkuan.
"Alhamdulillah lancar om."
"Alhamdulillah. Papamu kemarin habis ketemu om. Katanya kamu kerja keras banget sampai lupa buat istirahat."
Meski sudah lama mengenal Renjana dan keluarganya, tetap saja rasa gugup selalu ada saat berhadapan dengan seorang Bapak Segara. "Saya berusaha untuk bertanggung jawab dalam pekerjaan. Jadi, selagi mampu, saya lakukan semaksimal mungkin."
"Iya sih, tapi jangan terlalu maksa juga. Kasihan tubuhmu." Tambah Kemala—mamanya Renjana. Dia duduk bersebelahan dengan suaminya.
Seulas senyum tipis terbit di bibir Agam."Iya tante. Makanya sekarang ambil cuti."
"Kerja emang penting, tapi kesehatan juga lebih penting toh." Gara menaruh tabletnya serta melepas kacamatanya ke atas meja.
Agam mengangguk membenarkan. "Iya om."
"Gimana rasanya sebentar lagi berganti status?"
Agam sedikit terkesiap mendengar pertanyaan Gara. "Rasanya pasti deg-deg n om. Tapi bahagia juga bisa ada di tahap ini."
Gara tersenyum. "Deg-deg an pastilah. Tapi yang harus kamu ingat, setelah nanti ijab kabul, tanggung jawabmu akan bertambah."
Bertepatan dengan obrolan mereka, dari arah tangga yang berada di balik sekat—balok kayu berjejer menjulang tinggi di sisi kanan mereka, Renjana sedang menuruni tangga. Dengan memakai wrap dress biru polos berlengan pendek. Serta rambut yang dibiarkan terurai. Kemudian tas selempang putih dan sneakers berwarna putih-biru.
"Masya Allah. Manisnya anak mama." Puji Kemala menatap dari atas rambut sampai ujung kaki.
Yang tentu saja membuat Renjana tersipu. "Mama jangan gitu ih, malu." Dia berdiri di dekat mamanya dengan menunduk malu.
"Pantes aja Agam suka sama kamu."
"Mama udah ah." Protesnya.
Kemala terkekeh geli. Begitupun Agam yang ternyata diam-diam tersenyum. Mencuri pandang ke arah Renjana yang sedang salah tingkah.
"Nanti pulang jam berapa?" Tanya Gara yang menunjukkan aura tegasnya.
Pertanyaan yang selalu ada setiap mereka pergi.
"Habis makan siang om." Jawab Agam dengan mantap.
"Ya sudah, kalian berangkat sana."
Agam segera bangkit dan mencium tangan Gara juga Kemala. Begitupun dengan Renjana.
"Renjana berangkat ya." Ucap Renjana setelahnya. "Assalamualaikum." Salam mereka sebelum akhirnya pergi.
"Waalaikumsalam."
Kemala memandang mereka dengan senyum. Hatinya terasa senang sekaligus sedih karena akhirnya Renjana akan menikah. Rasanya baru saja Renjana menginjak dewasa, sekarang sudah akan menjadi seorang istri.
"Nggak kerasa ya, bentar lagi Renjana nikah. Rasanya nggak rela ngelepas putri kita." Gumamnya sambil menyandarkan kepala ke bahu sang suami.
"Kita nggak ngelepas Renjana. Dia tetap putri kita. Sampai kapanpun dia akan tetap jadi putri kecil kita." Gara menggenggam tangan Kemala. Dia jadi teringat masa kecil putri tercintanya.
***
Menghabiskan waktu berdua bersama pasangan adalah hal menyenangkan untuk Renjana. Apalagi jika pembahasannya tentang pernikahan, itu membuat Renjana salah tingkah sendiri.
"Nanti kalau misalkan aku berniat berhenti jadi model, kamu setuju nggak?"
"Eum, itu terserah kamu sih. Kan yang ngejalanin kamu. Kalau aku sih, selagi kamu nyaman, baik-baik aja dan nggak merasa terbebani nggak masalah." Agam menoleh ke samping menatap hangat kekasihnya.
Sedangkan yang ditatap tersenyum manis. Merasa senang Agam selalu mendukung keputusannya.
"Aku boleh tanya lagi nggak?" Renjana menggoyang-goyangkan genggaman tangan mereka. Seperti tengah gugup.
"Tanya apa?" Tanya Agam dengan suara lembutnya.
Dengan kepala menunduk, perempuan itu bertanya ragu-ragu. "Kalau misalkan, aku—mau nunda anak gimana?"
Hening
Suasana seolah jadi sunyi ketika langkah Agam mendadak berhenti tepat setelah Renjana menanyakan itu.
Ketegangan langsung menyergap dalam hati Renjana. Kedua tangannya sudah mulai berkeringat dingin. Dia takut jika mendapat jawaban yang tidak diinginkan, meski selama ini Agam selalu mendukung keputusannya.
Namun setelah beberapa detik keheningan menguasai, dengan ekspresi terkejut sekaligus lega, Renjana merasakan usapan lembut dikepalanya.
Dia otomatis mendongak menatap laki-laki itu. Dengan senyuman hangat Agam mengatakan sesuatu yang melelehkan hati Renjana.
"Renjana.. aku menikahi kamu bukan hanya karena parasmu dan segala tentang fisikmu. Tapi juga pemikiran, sifat dan hatimu. Jadi apapun itu, kamu nggak perlu takut buat ngomong." Agam merasakan tangan Renjana yang dingin. Karena itu dia berusaha membuat Renjana tenang dan nyaman. "Kita bisa diskusi in itu dan cari solusi sama dokter. Jadi jangan pernah ragu buat ngomong ke aku. Hm." Lanjutnya dengan senyum lembut.
Sementara Renjana hanya bisa mengangguk pelan dan perlahan melengkungkan kedua sudut bibirnya. Dia sedikit merasa bersalah karena sempat berpikir buruk tetang laki-laki itu tadi.
Kemudian mereka melanjutkan jalan menyusuri tempat wisata yang cukup sering dikunjungi ini. Suasana yang tenang serta udara yang cukup menyegarkan membuat keduanya merasa nyaman. Apalagi cahaya matahari yang tidak terlalu terik di jam 11.10 sekarang.
Mereka memutuskan pergi ke restoran Gemintang yang jaraknya lumayan dekat untuk makan siang.
Renjana yang tengah duduk dengan memainkan permainan di ponselnya sambil menunggu pesanannya datang, tidak sadar jika Agam sedang memandanginya dengan sesekali tersenyum.
Laki-laki itu duduk di seberangnya dengan kedua tangan di atas meja. Yang sebelah kanan memangku pelipisnya.
"Ish, kok kalah sih." Renjana menggerutu kesal.
Sementara Agam tersenyum geli melihat tingkah lucu kekasihnya itu. Rasanya begitu senang setiap kali melihat Renjana menggemaskan seperti sekarang.
"Kamu—" Ucapan Renjana terhenti saat melihat ekspresi Agam. "Kenapa senyum-senyum gitu?" Dan sepertinya Renjana langsung tersipu. Terbukti dari pipinya yang memerah.
Agam menggeleng pelan sebagai jawaban tanpa menghilangkan senyumnya.
"Agam ih. Apa sih?" Renjana berusaha untuk tidak tersenyum. Tapi ternyata bibirnya tak sanggup untuk menahan. "Wajah aku ada yang aneh? Atau make up aku yang luntur?" Perempuan itu mulai panik. Dia juga mengambil ponselnya untuk berkaca.
Tapi wajahnya normal-normal saja. Tidak ada noda ataupun yang lain.
"Kamu mau ngerjain aku ya?" Renjana memicingkan mata sambil meletakkan kembali ponselnya.
Agam masih tidak menjawab. Dia justru terkekeh. Kemudian berucap satu kata yang membuat Renjana mematung seketika. "Cantik."
Kedua sudut bibir yang berkedut, Renjana berusaha menahan senyumnya. Dia bahkan sampai menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Agam ih, kebiasaan deh. Aku kan malu."
Tawa pelan keluar dari bibir Agam. "Ih, kenapa ditutup? Tambah cantik tau kalau lagi malu-malu gitu."
"Enggak ah. Sebelum kamu berhenti natap aku gitu, aku nggak mau buka tangan aku."
"Ya emang, aku natapnya gimana?"
"Pokoknya kamu natapnya berubah biasa aja, jangan gitu." Kukuh Renjana yang masih setia menutup wajahnya.
"Yaudah iya, udah biasa nih."
Renjana perlahan membuka kedua tangannya dan melihat tatapan Agam yang sudah kembali normal. Namun dirinya kembali dibuat kesal dengan kekehan Agam yang terdengar mengejeknya. Keduanya terlihat begitu bahagia, bercanda bersama seolah dunia hanya milik berdua.
***
Sesuai kata Agam tadi pagi, mereka pulang setelah makan siang. Setelah mengantar Renjana pulang, laki-laki itu langsung kembali ke rumah.
Sekarang Renjana merasa hidupnya hampir sempurna. Memiliki banyak hal yang membuatnya bahagia. Andaikan kakaknya masih ada, Renjana akan menjadi perempuan paling bahagia di dunia ini.
"Assalamualaikum." Salam Renjana sambil menutup pintu kembali.
"Waalaikumsalam." Jawab dari ruang tengah.
Renjana berjalan melewati ruang tamu sambil tersenyum manis. Menghampiri Kemala yang sedang duduk seorang diri di sofa ruang tengah.
"Seneng banget anak mama." Tatapan Kemala mengikuti arah gerak Renjana yang seperti ABG sedang jatuh cinta.
"Iya dong." Renjana menjawab tanpa henti tersenyum. Perempuan itu duduk di samping mamanya.
"Syukurlah." Kemala menyerongkan tubuh ke kiri agar leluasa menatap putrinya. Sambil membelai rambut Renjana, dia mengobrol santai dengan putri tercintanya.
"Nanti kalau udah nikah, jangan lupa buat main ke rumah. Mama pasti bakal kangen kamu."
"Hm. Iya ma." Gumam Renjana.
"Rasanya kayak baru kemarin kamu beranjak dewasa, sekarang udah mau nikah aja."
Renjana tersenyum tipis sambil menyandarkan punggung ke sofa. "Renjana juga masih nggak nyangka bisa di titik ini. Rasanya kayak mimpi." Tatapannya mengarah ke TV, tapi pikirannya berkelana ke masa lalu. Lebih tepatnya ke 9 tahun yang lalu. Tepat saat Gema meninggalkan mereka. "Apalagi semenjak Kak Gema nggak ada."
Kemala tersenyum lembut. "Kak Gema pasti bahagia banget sekarang lihat kamu. Dia pasti juga bangga sama kamu."
Renjana menoleh seraya mengangguk mantap. "Kak Gema pasti seneng lihat Renjana sekarang." Dari sorot matanya terlihat jelas kerinduan yang amat sangat dalam. Kedua mata yang sudah berkaca-kaca, membuat Kemala memeluk putrinya.
"Renjana mau ke rumah Kak Gema?" Renjana mengangguk di bahu Kemala. "Yaudah, nanti sore kita ke rumah Kak Gema sama papa sama Bi Asri."
Perempuan itu mengangguk lagi. Dia sama sekali tak mampu bicara sepatah katapun.
Dan tanpa mereka sadari, seseorang telah memperhatikan keduanya dari lantai 2. Yang awalnya hanya ingin memandang syukur kedua perempuan berharganya.
Tapi justru ikut terbawa suasana ketika mereka mulai membahas Gema. Kini hatinya terasa nyeri teringat mendiang putranya.
Kehilangan adalah sesuatu yang tak bisa diprediksi. Kapanpun dan di manapun pasti terjadi.
Gara merasa sangat terpukul pada saat itu. Dia merasa belum menjadi ayah yang baik. Tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Gema, membuatnya seperti ayah yang tidak berguna. Terlebih lagi justru orang luar yang mengetahui nya lebih dulu.
Membuatny sadar jika perhatiannya terlalu berpusat pada Renjana. Dia lupa meskipun Gema anak laki-laki, tapi Gema tetaplah anaknya. Gema juga harus mendapat perhatian yang sama seperti Renjana.
Setiap kali mengingat Gema, beribu kata maaf selalu terucap dari bibirnya. Tidak pernah menyangka waktunya bersama Gema sesingkat itu.
Dulu sebelum Gema pergi, mereka membicarakan tentang masa tua. Dia selalu berkata jika tua nanti ingin bersama cucunya kelak. Bahkan ketika dia sudah tidak ada, posisi yang dia perankan saat ini akan dia serahkan pada Gema. Tapi kenyataannya sekarang tak sama seperti yang diharapkan.
Mengingat semua itu menimbulkan rasa sesak di dada. "Papa kangen kamu Gema. Maaf untuk segala kekurangan yang papa punya. Maafin papa sayang." Ucapnya dalam hati.
Penyesalan memang selalu ada di akhir. Itu pasti. Dan tak pernah bisa dirubah.