Chereads / Cinta Untuk Renjana / Chapter 8 - Bab 8

Chapter 8 - Bab 8

Renjana tengah berbaring dengan tatapan kosong mengarah ke jendela. Sejak kejadian tadi, dirinya hanya diam. Semua orang sudah berusaha mengajak bicara, namun perempuan itu tetap bungkam.

Kemala yang saat ini sedang berusaha membujuk putrinya untuk makan siang bingung harus melakukan cara bagaimana lagi. "Renjana, makan dulu ya, nak. Nanti perut kamu sakit." Entah sudah berapa kali perempuan berjilbab hitam itu mengatakan kalimat yang sama.

"Sedikit aja ya, nak. Nanti kalau nggak makan, gimana minum obatnya."

Nihil. Renjana tetap tak merespon. Kemala kemudian meletakkan mangkuk di tangannya ke atas nakas. Dia lantas memandang suaminya yang duduk di seberangnya. Gara yang mendapat tatapan itu langsung mengerti.

Laki-laki yang sudah berkepala 5 itu mendekatkan kursinya ke tempat tidur Renjana. Sembari mengusap lembut kepala putrinya, dia membujuk. "Sayang, makan dikit aja ya. Tubuh kamu butuh tenaga, nak. Biar kamu bisa cepet pulih juga."

Renjana menoleh pelan ke kiri. Menatap nanar sang ayah. Mendengar kata pulih membuat hatinya teriris. "Pulih? Oh ya? Kaki Renjana bisa kembali normal? Enggak kan? Renjana nggak akan pernah bisa pulih. Renjana sekarang cacat pa. Renjana cacat." Dia mengatakan dengan penuh emosional, apalagi di kalimat terakhir.

Menimbulkan rasa nyeri di hati siapapun yang mendengarnya.

Termasuk Gara yang sudah menghela nafas untuk ke sekian kalinya. Dirinya berusaha tetap kuat meski hatinya terasa seperti dicabik-cabik. "Nggak boleh ngomong gitu sayang." Ucapnya dengan lembut.

"Dengerin papa, mau bagaimanapun kamu, nggak akan ada yang berubah sayang. Kamu tetap Renjana. Seorang Renjana yang selalu membuat papa bersyukur di setiap detiknya." Gara mengatakan itu dengan penuh sayang yang amat dalam. Tangannya masih setia mengusap sayang kepala putrinya. "Meskipun sekarang situasinya berubah, kamu harus tetap percaya bahwa keajaiban itu pasti ada. Mungkin hari ini terasa sangat berat, tapi bukan berarti esok akan tetap sama. Selalu yakin kalau kita bisa lewatin semua ini. Kita punya Allah, sayang. Dan kita semua selalu bersama kamu."

Ucapan Gara berhasil menembus ke paling dasar hati Renjana. Perempuan itu kembali mengeluarkan air mata yang entah sudah ke berapa.

Melihatnya membuat Gara langsung bangkit dan mencium kening Renjana dengan sangat lembut. Perempuan itu memejamkan mata merasakan betapa besar rasa sayang Gara untuknya.

Pemandangan itu membuat Kemala tersenyum haru. Dia merasa sedih sekaligus terenyuh melihat kedua orang yang sangat dicintainya.

***

Hari sudah sore, waktu menunjukkan pukul 15.30. Semua orang sudah pulang setelah dhuhur kecuali Nara. Tadi awalnya orang tua Renjana enggan, namun Nara mencoba untuk meyakinkan agar keduanya dapat beristirahat di rumah.

Dan sekarang suasana menjadi hening karena hanya ada mereka berdua. Nara sudah mencoba memulai pembicaraan, namun Renjana masih tetap dalam mode diamnya. Perempuan itu sama sekali tidak bicara sepatah katapun setelah makan siang tadi.

"Kak Nara." Panggil Renjana tiba-tiba membuat Nara langsung menoleh.

"Yah?" Perempuan berambut sebahu itu berhenti memotong buah.

"A—" Belum sempat melanjutkan, suara salam terdengar dari arah pintu. Renjana langsung menegang. Dia menggenggam erat selimut yang menutupi setengah tubuhnya saat mengenali siapa pemiiik suara itu.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Jawab Nara.

Renjana yang posisinya berbaring dengan tempat tidur yang bagian atas sedikit terangkat, langsung memalingkan wajah ketika suara langkah kaki mendekat.

"Eh, Agam." Ucap Nara sembari bangkit lalu menghampiri mereka setelah meletakkan piring berisikan buah ke atas nakas.

Yah, Renjana kedatangan tamu yang sama sekali tak diinginkan. Mereka adalah Agam bersama orang tuanya. Laki-laki yang menurutnya menjadi alasan dibalik keberadaannya di rumah sakit ini. Laki-laki yang baginya sebagai penyebab semua kesakitan yang dialaminya.

"Dia down banget, Gam. Cepet samperin gih." Bisik Nara sebelum menghampiri orang tua Agam.

"Duduk om, tante." Ucap Nara setelah menyalami keduanya.

"Gimana kondisi Renjana?" Tanya Awan-ayah Agam dengan khawatir.

"Yah, perlahan tubuhnya mulai membaik. Tapi—" Nara menjedanya lantaran tidak sanggup untuk mengutarakan kondisi kaki Renjana.

"Tapi apa?" Kali ini Sukma selaku mamanya Agam yang bertanya.

Perempuan yang berstatus manager Renjana itu menghela nafas pelan. "Kaki Renjana mengalami masalah. Renjana tidak bisa menggerakkan kakinya. Itu yang membuat mentalnya down." Jelasnya pelan agar tidak sampai terdengar oleh Renjana.

"Innalillahi." Awan tertegun mendengar penuturan Nara. Begitu pula dengan Sukma yang sama terkejutnya.

Ketiganya lantas melanjutkan pembicaraan dengan duduk di sofa yang berada di depan televisi yang ditempel didinding.

Sedangkan Agam masih bergeming di tempat. Dia tampak ragu untuk mendekati pujaan hatinya. Apalagi melihat penolakan Renjana saat memalingkan wajah tadi. Menciptakan rasa perih di hatinya.

Namun semua itu ditahannya karena rasa khawatir yang sudah menumpuk. Kakinya melangkah secara perlahan, sampai di samping perempuan itu, Agam tersenyum getir.

Rasanya butuh keberanian yang sangat tinggi untuk datang kemari. Bukan karena takut akan makian kekasihnya, melainkan takut jika Renjana tidak mau melihatnya lagi.

"Alhamdulillah kamu udah sadar. Aku khawatir banget sama kamu." Agam memberanikan diri untuk mengusap lembut kepala Renjana.

Sementara Renjana sekarang sedang bertarung dengan hatinya sendiri. Rasanya sangat menyakitkan dan menyiksa. Otaknya begitu ingin menampik tangan itu dan membuangnya kasar. Namun hatinya berkata sebaliknya. Hatinya berkata untuk jangan menghentikan rasa nyaman serta hangat itu.

Air matanya perlahan luruh membasahi bantal. Tubuhnya mendadak membeku tatkala tangan itu menyentuh kepalanya.

Agam sedikit lega ketika Renjana tak menolak usapannya. Dia semakin yakin jika perempuan itu masih ingin menemuinya. "Maaf aku baru sempet dateng. Tadi pagi ada urusan penting yang nggak bisa ditunda." Renjana memejamkan mata menahan diri agar tidak meluapkan emosinya.

"Tapi sekarang aku di sini. Aku bakal temenin kamu terus. Aku nggak akan pergi kemanapun." Kalimat itu terdengar punya makna lain bagi Renjana.

Perempuan itu masih diam saja, membuat Agam memberanikan diri untuk duduk di tepi tempat tidur. Lalu menggenggam lembut tangan Renjana. Mengusapnya sayang sembari tersenyum tipis.

Kemudian saat ingin bicara lagi, Renjana lebih dulu menyela sambil menarik tangannya yang digenggam. "Pergi.." Ucapnya dengan suara bergetar.

Mendengar itu, Agam tersenyum getir. "Hm. Sebentar lagi aku pergi kalau kamu masih butuh istirahat."

"Pergi dan jangan pernah kembali lagi."

Kalimat itu keluar dari bibir Renjana, membuat Agam teramat sesak di dadanya. Hatinya terasa di tusuk begitu dalam. Suara yang selalu membuatnya rindu, kata-kata yang selalu membuatnya tertawa lepas, kini berubah menjadi sebuah pisau tajam yang mengoyakkan hatinya.

Meski dia sudah memprediksi situasi seperti ini akan terjadi, namun rasanya tetap menyakitkan. Dia tak pernah menyangka, sikap ceria dan hangat yang selalu di dapat berubah dingin dan ketus.

"Aku pergi sekarang, tapi aku akan tetap kembali." Kata Agam dengan tenang seolah apa yang dikatakan Renjana barusan tak berpengaruh untuknya.

"Pergi." Renjana menoleh menatapnya tajam. "Kubilang pergi, Agam." Dia mengatakan itu dengan tatapan luka sekaligus kebencian yang teramat dalam.

Sementara Agam, entah sudah sehancur apa hatinya sekarang. Ini jauh lebih menyakitkan untuknya ketimbang sikap egois mamanya.

Lantas dia segera bangkit dan memutuskan untuk pergi. Namun sebelum itu, dia ingin mengatakan sesuatu pada Renjana. "Maaf sudah menyakitimu." Dia menjedanya sebentar lalu kembali berkata, "Dan aku akan tetap menunggu kamu siap untuk mendengarkanku."

Dari poisisi Nara, dia melihat Agam berbalik berjalan ke arahnya. Lalu dia terkejut melihat wajah Agam yang suram. "Kita pulang." Katanya membuat Nara cukup kaget. Dan bukan hanya dia tapi juga Awan.

Nara lantas bangkit bersamaan dengan Awan serta istrinya. "Loh? Kok udah pulang aja?" Tanyanya bingung.

"Biarin Renjana istirahat dulu pa. Kita sekarang lebih baik pulang." Ucap Agam dengan lesu seolah tak bernyawa. Menimbulkan tanda tanya untuk Nara. Pasti ada yang tidak beres. Pikirnya.

Akhirnya ketiga orang itu pergi dan Nara yang mengantarkan mereka. Setibanya diluar, dia mencekal tangan Agam untuk meminta penjelasan setelah orang tuanya pergi terlebih dahulu.

"Kamu sebenarnya ada apa sih, sama Renjana?" Tanyanya penasaran.

Agam tak langsung menjawab, laki-laki itu tampak berpikir sampai Nara kembali bertanya dan mendesaknya untuk berbicara.

"Aku belum bisa cerita kak." Dia masih belum bisa mengatakannya sebelum menjelaskan pada Renjana terlebih dahulu.

"Kenapa?"

"Ya aku belum bisa. Tapi nanti aku pasti cerita. Aku harus jelasin dulu ke Renjana. Baru aku cerita ke Kak Nara."

Nara menyipitkan mata. "Awas ya kamu, aku bikin perhitungan kalau sampai kesalahan itu fatal." Telunjuk Nara mengarah ke Agam.

Laki-laki itu tak lagi berani menyahut. Nara kemudian berbalik masuk ke dalam lagi. Dan Agam berjalan dengan gontai ke kursi tunggu samping pintu. Meyandarkan kepalanya pada tembok. Kemudian memejamkan mata sembari menghembuskan nafas beberapa kali.

Dia berpikir keras untuk mencari cara agar bisa berbicara dengan Renjana. Dia harus menjelaskan semuanya sebelum orang tua Renjana tau. Dia tidak bisa kehilangan Renjana. Dia sangat mencintainya.

***

Selepas Agam dan orang tuanya pulang, Nara mencoba bertanya kepada Renjana tentang apa yang terjadi dengan perempuan itu dan Agam.

Tapi bukannya mendapat jawaban, justru sebuah penyataan yang membuatnya tercengang.

"Aku mau Kak Nara mengurus pembatalan pernikahanku." Renjana mengatakan itu dengan suara serak. Dia terlihat seperti menahan sesuatu yang menyakitkan.

Nara menghela nafas panjang. "Sebenarnya apa yang terjadi sama hubungan kalian? Kamu bisa cerita dulu. Kita cari solusinya." Tangannya meraih tangan Renjana untuk digenggam.

"Nggak ada yang harus di cari, kak." Renjana menatap Nara dengan tatapan luka.

"Kenapa nggak ada?" Nara membalas tatapannya dengan lembut.

"Untuk apa? Semua akan sia-sia, karena nyatanya dia nggak pernah cinta sama aku."

Spontan Nara terkejut mendengarnya. Dia diam sejenak, mencerna ucapan Renjana benar atau tidak. Tapi saat dia melihat sorot matanya tidak ada kebohongan di sana. Justru air mata yang menggenang dan siap untuk tumpah.

"Maksudnya apa Renjana? Cerita dari awal sama aku." Dirinya menatap lekat Renjana. Sembari mengeratkan genggamannya.

Renjana memejamkan mata lalu air matanya mengalir begitu saja. Sepertinya dia harus mengakhiri keterdiamannya dan menyiapkan hati untuk menceritakan semua yang dia dengar. "Selama ini Agam berbohong." Nara syok mendengarnya. Dia masih berusaha berpikir jika ini hanya kesalahpahaman.

"Sebelum kecelakaan aku pergi ke rumahnya." Renjana menjedanya guna mengambil nafas lalu membuangnya perlahan.

"Pikirku aku bisa membuat kejutan buat dia. Karena waktu itu aku sengaja nggak ngabarin. Tapi saat udah sampai sana, aku—". Bibirnya kembali mengatup karena tenggorokannya terasa tercekat, menahan air mata yang ingin terus mengalir. "Aku dengar sendiri kalau dia—deketin aku karena sesuatu." Meski sudah di tahan, tetap saja dia menangis juga.

"Dia terpaksa kak—semua yang dilakukan hanya untuk menuruti keinginan mamanya. Agam melakukan itu untuk—kelangsungan perusahan papanya. Agam bohongin aku. Dan dengan bodohnya—aku percaya sama semua kata-kata dia." Renjana menjelaskan dengan terbata-bata dan sesenggukan.

Nara masih tidak percaya Agam melakukan itu. Tapi melihat bagaimana Renjana menjelaskan, membuat keraguannya sirna. "Oke. Aku bakal urus pembatalan pernikahan. Tapi sekarang, kamu harus fokus sama kesehatan kamu. Jangan mikirin yang lain." Sebelah tangan Nara mengusap air mata Renjana.

Perempuan berumur 28 tahun itu mendadak emosianal setelah mendengar cerita Renjana. Dia ingin segera menemui Agam untuk meminta penjelasan. Dia bersumpah akan membuat perhitungan dengan laki-laki itu jika yang dikatakan Renjana sepenuhnya benar.

Tak berselang lama, pintu terbuka dengan suara salam dari Reva. Dia datang dengan membawa pakaian ganti sesuai yang diminta Nara.

Dia berjalan ke arah lemari untuk memasukkan pakaiannya. Lalu Nara bangkit menghampiri. "Rev, ikut aku keluar bentar ya?"

Reva mengeryit. "Ke mana mbak?"

"Keluar bentar aja. Ayo." Nara langsung mengait lengan Reva begitu selesai menata pakaian ke lemari.

"Aku keluar dulu ya, Na. Bentar doang kok." Pamit Nara pada Renjana.

"Iya, jangan lama-lama."

"Oke." Nara kemudian pergi dengan tangan yang masih mengait lengan Reva.

Setelah keduanya pergi, 10 menit kemudian suara salam terdengar lagi.

"Assalamualaikum." Tampak Kemala dengan senyum hangat diikuti Gara di belakangnya.

Renjana menoleh dengan perasaan sedikit lega setelah bercerita pada Nara. "Waalaikumsalam." dia tersenyum tipis melihat kedatangan orang tuanya.

Tapi senyuman itu memudar ketika melihat sosok asing masuk setelah Gara. Seorang lelaki yang kira-kira seumuran dengan Gema. Dia mengenakan kemeja polos hitam tanpa kerah dengan bagian ujung lengannya dilipat. Lalu celana berwarna abu-abu. Serta sandal jepit hitam yang sepertinya tidak murah.

Keduanya saling memandang selama beberapa detik. Sampai pada akhirnya Kemala bertanya dan mengalihkan tatapan Renjana.

"Kamu inget nggak, siapa itu?" Kemala menatap laki-laki itu sekilas sembari berjalan mendekati putrinya.

Renjana menggeleng pelan.

"Masa sih? Udah lupa dong." Kata Kemala membuat Renjana penasaran.

"Emang siapa ma?"

"Kamu dulu pernah ketemu loh." Gara ikut menanggapi menambah rasa penasarannya.

Renjana terdiam mencoba untuk mengingat. Tapi dia tidak ingat apapun. "Renjana benar-benar nggak inget."

"Dia Mas Yusuf Renjana. Anaknya Pak Rahman." Ujar Kemala dengan tersenyum lebar.

Mendengar namanya terasa familiar di telinga Renjana. Tapi dia tidak bisa mengingat apapun.

Meski tak ingat, dia merasa aneh ketika menatapnya. Seolah, sudah terbiasa menatap mata teduh itu.