Dunia memang penuh kejutan. Nara tidak menyangka hubungan Renjana dan Agam akan berakhir seperti ini. Padahal mereka terlihat begitu serasi, tapi nyatanya tak seindah itu.
Reva yang sudah mendengar ceritanya juga merasa prihatin. Bagaimana bisa sebuah hubungan yang terlihat sangat romantis dan harmonis ternyata hanya cinta sepihak.
"Kasihan ya, Mbak Renjana. Padahal kelihatan loh Mbak Renjana itu cinta banget sama Mas Agam." Ucap Reva yang sedari tadi mengaduk-aduk es tehnya dengan sedotan.
Mereka sekarang sedang duduk berhadapan di kantin rumah sakit.
Nara menghela pasrah. "Ya mau gimana lagi. Yang aku denger dari Renjana gitu. Masa iya Renjana bohong. Kan, nggak mungkin."
"Iya sih."
Wajah kedua perempuan itu murung. Mereka masih tidak percaya semua akan berakhir seperti ini. Apalagi persiapan pernikahan sudah hampir 100%. Memikirkannya saja sudah membuat Nara pening.
Beberapa endors harus batal dalam sekejap. Membuat Nara harus bekerja keras membereskan semuanya.
"Eh, ngomong-ngomong mbak. Mas Yusuf itu ganteng ya, ternyata." Celetuk Reva sambil membayangkan wajah Yusuf saat berpapasan di pintu lift tadi.
"Hm." Nara hanya bergumam sebagai respon. Kemudian menyesap segelas es jeruk di tangannya.
"Pas banget deh kalau di jadiin suami." Lanjut Reva sambil senyum-senyum sendiri. "Wajahnya tuh adem kayak ubin masjid gitu. Terus..." Dia terus menceloteh tentang Yusuf.
Sedangkan Nara memikirkan kerugian yang harus dibayar. Ditambah lagi dia harus meminta penjelasan secepatnya pada Agam. Agar dirinya tau tindakan apa yang harus dia lakukan selanjutnya.
***
Sementara di kamar inap, Renjana tengah bersama mamanya yang sedang menyuapinya bolu coklat buatan sendiri.
Sedangkan Gara duduk bersama Yusuf di sofa sedang berbincang-bincang.
"Nggak perlu dipaksa sayang. Nanti juga inget sendiri." Ucap Kemala yang duduk di kursi samping mengetahui putrinya sedang melirik beberapa kali ke arah Yusuf.
Renjana yang ketahuan refleks mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Itu udah lama banget, kalian ketemu juga cuma sekali dua kali. Jadi wajar kalau lupa."
Mendengar pernyataan Kemala, menciptakan rasa penasaran semakin menambah ketika mengetahui jika pertemuan mereka di waktu lampau.
Berarti Yusuf cukup dekat dengan orang tuanya. Pikir Renjana.
Bertepatan dengan itu, seseorang datang dengan salam. Dia berpakaian santai. Mengenakan jaket bomber berwarna coklat dengan kaos putih polos. Serta jeans sebagai bawahan. Dia membawa sebuah paper bag berukuran sedang.
Laki-laki itu, Pras. Prasetya Nugraha. Sekretaris Gara sekaligus sahabat dekat almarmum Gema.
"Om." Dia mencium tangan Gara. Setelah itu melihat ke arah Yusuf sekilas. "Ini siapa om?"
Gara tersenyum. "Yusuf, Pras. Anaknya Pak Rahman."
Pras membulatkan mata. "Yusuf?" Dia langsung mendekat ke arah Yusuf yang sudah bangkit menyambut. "Masya Allah. Aku nggak nyangka itu kamu." Mereka berpelukan sebentar. Lalu Pras memandang Yusuf takjub.
"Wah, sekarang makin tinggi aja. Kalah nih aku tingginya." Tangan kiri Pras menepuk pundak Yusuf. "Ada brewok sama kumis tipis-tipisnya sih. Jadi bikin pangling."
Yusuf terkekeh pelan. "Ya ini tandanya makin tua, Pras." Candanya.
Pras membalasnya dengan tawa renyah. "Ya enggaklah, Suf. Umur segini tuh masih muda."
Interaksi keduanya kembali menarik perhatian Renjana. Perempuan itu dibuat kaget karena Pras juga mengenalnya.
Sahabat Alm. Gema itu lantas berbalik dan Yusuf kembali duduk. Pras menghampiri Kemala untuk mencium tangannya. Lalu mendekat ke Renjana.
"Mas Pras bawain novel dari penulis favorit kamu. Sama boneka boba kesukaanmu." Dia meletakkan paper bagnya ke atas nakas samping tempat tidur.
Renjana tersenyum tipis. "Makasih." Ucapnya pelan.
"Sama-sama." Tangan Pras terangkat menepuk pelan kepala Renjana. "Cepet pulih. Nanti aku traktir matcha sepuasnya."
"Udah pulang kerja Pras?" Tanya Kemala, karena laki-laki itu mengenakan pakaian santai.
"Udah tante. Alhamdulillah kerjaannya lancar."
"Maaf ya, ngerepotin kamu. Pasti capek ya." Kemala merasa tak enak. Lantaran Gara mengambil cuti untuk mengurus Renjana.
"Ya nggak papa tante. Justru Pras merasa terhormat diberi kepercayaan yang begitu besar. Dari awal diterima kerja, Pras udah merasa sangat berterima kasih bisa kerja sama Om Gara."
Kemala tersenyum hangat. "Sama-sama. Kamu kan juga sudah seperti keluarga."
Ditengah perbincangan mereka, Renjana terdiam. Dirinya tertarik tentang lelaki bernama Yusuf itu. Dia ingin tau apa alasannya sehingga tak ada ingatan apapun tentang Yusuf.
Apakah itu sesuatu peristiwa yang penting?
***
Matahari sudah terbenam, lalu berganti dengan bulan yang terlihat indah malam ini. Sangat berbeda dengan hati Renjana yang sedang tidak baik-baik saja.
Entah apa sebutannya, yang jelas sekarang dia tengah berbaring melamun.
Dia tidak ingat sejak kapan melamun menjadi kebiasaan barunya. Karena kondisinya sekarang tidak memungkinkan untuk banyak gerak seperti aktivitas biasanya.
Bicara soal aktivitas, dia jadi ingin menangis. Setelah ini pasti dia tak akan bisa seperti sebelumnya. Kegiatannya sebagai model juga pasti akan berhenti. Padahal masih banyak yang ingin dia wujudkan.
Tapi ternyata perkiraan nya salah. Disaat semua sudah hampir sempurna, tiba-tiba saja musibah datang dan menghancurkan semua impiannya.
Bahkan kepercayaannya pada seseorang yang sangat dia cintai.
Renjana belum siap untuk menjalani kehidupan sehari-harinya setelah ini. Dia belum siap bertemu orang-orang yang akan memandangnya iba. Renjana tidak mau diposisi itu. Dia tidak sanggup.
Tadi saja sewaktu pemeriksaan setelah siuman, Renjana memakai masker karena tidak percaya diri.
Kehidupan yang sebelumnya terasa tenang, kini terasa begitu rumit.
Renjana terus memikirkan itu, sementara dari kejauhan, Gara dan Kemala sedang makan malam. Keduanya makan dengan tenang. Gara duduk di sisi kiri Kemala menghadap tempat tidur Renjana.
Lalu soal keberadaan Nara dan Reva, keduanya pulang selepas dari kantin dan berpamitan kepada orang tua Renjana.
Kemudian Yusuf, laki-laki itu juga pulang bersama Pras. Dan sepertinya mereka akan mampir ke tempat makan untuk mengobrol panjang karena sudah lama tidak bertemu.
"Oh ya, ma. Agam kok nggak keliahatan ya? Dia hubungin mama nggak?" Tanya Gara pelan, agar Renjana tidak mendengarnya.
Kemala menggeleng. "Enggak pa. Aku juga mau nanya itu ke papa."
"Hmm. Agam sama sekali nggak hubungin papa. Mungkin ada urusan kerjaan, jadi belum ada waktu buat ke sini."
"Tapi bukannya Agam udah ambil cuti nikah? Masa iya masih kerja?"
"Ya kan kita nggak tau, ma. Mungkin aja keadaannya genting." Gara mencoba berpikir positif.
"Iya sih." Kemala mendesah pasrah. "Semoga kerjaannya cepet selesai, ya pa. Biar bisa ke sini ketemu Renjana. Terus Renjana bisa semangat lagi kayak sebelumnya." Kemala mengatakan itu dengan penuh harap. Tanpa dia tahu yang sebenarnya terjadi.
Yah, Nara tidak memberitahukan kedatangan Agam berserta orang tuanya. Itu atas permintaan Renjana karena belum siap dengan reaksi orang tuanya nanti.
Dan Gara serta Kemala juga jarang menggunakan ponsel karena fokus pada Renjana. Berkomunikasipun hanya dengan keluarga saja. Hal tersebut menguntungkan Renjana untuk menyiapkan diri jikalau tiba-tiba sesuatu terjadi diluar dugaannya.
***
Malam semakin larut, waktu sudah menunjukkan pukul 20.30. Suasana kamar yang sebelumnya terasa sendu berubah menyenangkan karena sahabat-sahabat Renjana datang menjenguk.
Mereka membawa sesuatu untuk perempuan itu. Sebuah proyektor kecil dengan beberapa popcorn.
Sepertinya mereka akan memutar film untuk ditonton bersama. Yang tentu saja mendapat persetujuan dari orang tua Renjana. Kemala dan Gara juga pergi agar Renjana bisa quality time bersama sahabat-sahabatnya.
"Guys enaknya kita nonton apa ya?" Tanya Mika sembari mengatur posisi proyektor.
"Eum, apa ya?" Tari nampak berpikir. Kemudian menoleh ke Renjana. "Kamu maunya nonton apa, Na?" Niat Tari bertanya untuk menghibur suasana hati Renjana. Tapi ternyata tak semudah itu.
"Terserah kalian aja." Ujarnya lirih dengan raut wajah yang tak menunjukkan ketertarikan sama sekali.
Namun Tari dan yang lain tetap berusaha untuk menciptakan suasana yang menyenangkan. Mereka terus mencari topik menarik untuk megembalikan senyuman indah di wajah itu.
"Gimana kalau film romantis?" Usul Wardah yang duduk di sisi kiri ujung tempat tidur.
"Boleh sih, tapi gimana kalau drama korea aja?" Sahut Mika dengan antusias.
"Tapi paling enak komedi sih." Tari juga ikut mengusulkan.
"Film romantis aja." Kekeh Wardah.
"Film romantis itu terlalu tegang, Wardah. Kita butuh sesuatu yang lucu." Tolak Tari.
"Tapi film romantis itu juga ada lucunya." Balas Wardah tak mau kalah.
"Yaudah, gimana kalau cari yang komedi romantis aja." Sahut Mika.
"Oke." Ucap keduanya.
Perdebatan mereka sama sekali tak mempengaruhi Renjana. Posisinya yang setengah berbaring, dia hanya menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong.
Sampai film diputar pun, dia tetap tak bersuara. Sementara ketiga temannya menikmati film sambil memakan popcorn. Mereka sesekali tertawa ketika adegan lucu.
"Na, lucu deh tuh. Masa iya tembok segede gitu nggak kelihatan." Ucap Wardah terkekeh. Dia menoleh ke belakang, kekehannya memudar saat melihat tatapan kosong Renjana. Popcorn yang dipangkuan juga tak tersentuh.
Wardah mendesah pelan. Hatinya terasa sakit melihat Renjana seperti ini. Tapi dirinya juga bingung harus melakukan apalagi. Sebab, di posisi Renjana juga tidak mudah. Lantas dia kembali menatap layar dengan perasaan sedih.
Renjana mengerti jika mereka bermaksud untuk menghiburnya. Tapi perasaan sakitnya terlalu dalam untuk dilupakan. Akan butuh waktu yang cukup lama untuk mengobati lukanya secara bertahap.
Sudah setengah jam film diputar, tapi Renjana masih dalam diamnya. Dia sama sekali tak menunjukkan senyum atau apapun. Sampai di satu adegan yang cukup membuatnya tertegun, bahkan mampu membuat matanya sampai berkaca-kaca.
Adegan tersebut mengingatkannya pada momen terakhir bersama laki-laki yang saat ini memenuhi pikirannya.
Makan malam terakhir bersama Agam 2 hari yang lalu. Saat itu dia merasa benar-benar bahagia. Merasa sangat dicintai oleh seseorang yang juga dia cintai. Rasanya saat itu dia seperti perempuan yang paling beruntung.
Memiliki seorang laki-laki yang memperlakukannya dengan sangat istimewa. Perlakuan manis yang selalu Agam berikan berputar dikepalanya. Kalimat-kalimat ajaib yang selalu membuat Renjana terhipnotis. Hingga membuat dia jatuh cinta berulang kali.
Flashback on
Malam yang indah dengan bulan yang terlihat menawan serta bintang yang bersinar menghiasi. Ditemani lilin dan menu favorit, makan malam hari ini penuh dengan senyuman. Tapi sepertinya faktor utama yang membuatnya senyum tanpa henti adalah sosok di depannya yang sedang menatapnya dengan lembut.
Siapa lagi kalau bukan Agam Aji Pamungkas. Lelaki yang selama 8 tahun namanya tertulis dalam hati Renjana. Dari yang penggemar rahasia sampai jadi pemilik hati.
"Gimana makanannya? Enak nggak?"
Renjana mengangguk dengan senyum. "Enak. Aku suka banget."
Keduanya menikmati menu yang dipesan masing-masing. Renjana menikmati Spaghetti Carbonara Cream Cheese nya. Sedangkan Agam, Tenderloin Steak dengan saus barbeque nya.
"Oh ya, ngomong-ngomong soal makanan ini, aku jadi keinget Kak Gema." Renjana tersenyum lebar.
"Dulu, Kak Gema sama aku sering masak-masak bareng. Setiap minggu, kita selalu buat menu-menu baru. Kak Gema itu jago banget masaknya. Persis kayak mama. Dia selalu bikinin aku pancake. Kadang juga spaghetti carbonara ini." Renjana bercerita dengan antusias. Dia selalu senang ketika menceritakan tentang kakaknya.
"Nggak jarang juga dia yang buat menu makan malam. Kak Gema itu walaupun suka jahil, tapi sweet banget. Dia selalu buatin makanan tiap kali aku marah."
Agam tersenyum. Dia selalu senang setiap kali melihat wajah binar bahagia Renjana saat bercerita tentang Gema. Tapi sayangnya nama itu jarang sekali terdengar. Bukan karena orang-orang melupakannya, tapi karena tidak ada yang berani menyebut namanya kecuali Renjana sendiri.
"Aku percaya pasti Kak Gema lagi lihatin kamu sambil senyum sekarang."
Renjana tersenyum lebar sambil mengangguk tanpa menyahut. Tatapannya mengarah ke langit. Dalam hati dia berkata, "Kak, Renjana udah nemuin rumah untuk pulang. Dia begitu baik dan menyayangi Renjana. Kakak nggak perlu khawatir lagi. Renjana sangat bahagia sama dia."
Sedetik kemudian, tangannya terasa hangat oleh genggaman lembut Agam. Kepala Renjana menoleh. Keduanya saling memandang dengan penuh cinta. Usapan Agam ditangan membuat hati Renjana menghangat.
Menimbulkan kenyamanan yang belum tentu dia rasakan dari orang lain.
Flashback off
Tapi sayangnya, momen itu sekarang hanya sebuah kenangan untuknya. Lebih tepatnya kenangan manis yang berubah menjadi luka.
Yang menjadi alasan dirinya sekarang menangis. Dari isakkan dan getaran pada tubuhnya sangat jelas jika itu sangat menyakitkan.
Hal tersebut tentu membuat sahabat-sahabatnya langsung menoleh dan terkejut. Mereka bertanya, namun justru tangisan yang semakin deras sebagai jawabannya.
Refleks Mika memeluk nya erat dengan memberikan usapan di kepala. Sedangkan yang lain menggenggam erat tangannya. Mereka tak lagi bertanya dan mencoba untuk menenangkan.
"Kita nggak tau masalahnya apa. Dan kalau emang berat buat kamu, luapin aja, Na. Keluarin semuanya. Daripada nanti kamu pendem terus juga nggak baik." Tutur Tari.
"Iya, Na. Nanti kalau udah lega, cerita sama kita. Apa yang kamu rasain. Kita disini buat kamu. Kita selesaiin bareng-bareng." Imbuh Wardah.
Mendengarnya tentu membuat Renjana semakin tak berdaya. Tangisnya bertambah 2 kali lipat. Membuat tubuhnya terasa lemas. Energinya terkuras habis karena menangis. Dia sungguh tak sanggup dengan semua ini.
Kemudian kepalanya mulai pening dan berat. Pandangannya juga mengabur lalu perlahan menggelap. Dan setelahnya dia mendengar suara keras memanggil namanya sebelum tak sadarkan diri.
***
Sedangkan di tempat lain, di sebuah cafe dekat rumah sakit, 2 orang sedang duduk berhadapan dengan suasana tegang. Salah satunya menatap dengan tajam. Dengan raut wajah yang dingin dia menuntut sebuah penjelasan.
"Ngomong, Gam. Udah 15 menit kamu diem aja." Ucap Nara. Dia membuat janji dengan Agam untuk bertemu dan meminta penjelasan setelah pulang dari rumah sakit.
"Oke." Agam mengangkat kepalanya menatap Nara. "Aku bakal cerita, tapi dengerin sampai selesai baru Kak Nara caci maki atau terserah apapun itu." Jelasnya dengan pasrah.
"Oke. Aku dengerin sampai selesai."