Chereads / Cinta Untuk Renjana / Chapter 7 - Bab 7

Chapter 7 - Bab 7

Di esok harinya, sahabat-sahabat Renjana datang untuk menjenguk. Mereka datang bersamaan setelah di beritahu Agam. Seperti Nara yang tidak percaya, mereka pun sama.

Tapi ketidakpercayaan itu terpatahkan oleh foto Renjana yang terbaring lemah dari Reva.

Awalnya mereka ingin datang pada sore itu, tapi diurungkan karena kondisi  yang masih tidak memungkinkan.

"Assalamualaikum." Salam ketiganya begitu masuk ke kamar inap.

"Waalaikumsalam." Jawab Gara juga Reva yang duduk berseberangan di sofa.

Mika masuk terlebih dahulu kemudian disusul Tari dan Wardah yang menutup pintu kembali.

Langkah Mika tertuju pada Reva yang berdiri menyambut. Keduanya berpelukan untuk saling menguatkan.

Kemudian Tari menghampiri Gara untuk mencium tangannya diikuti Wardah yang sebelumnya meletakkan bingkisan buah ke atas meja makan.

Selepas memeluk Reva, Mika beralih pada Gara lalu mencium tangannya. Begitupun sebaliknya Tari dan Wardah beralih pada Reva.

Barulah setelah itu, ketiganya mendekat ke tempat tidur Renjana. Yang di sampingnya sudah ada Kemala duduk sembari menggenggam tangan putrinya.

Tanpa henti berdoa agar Renjana segera bangun. Karena sejak kemarin putrinya tak kunjung membuka mata.

Hal tersebutlah yang akhirnya membuat rasa khawatirnya kian menambah. Apalagi bayangan masa lalu yang kembali menggerogoti hatinya.

Meski sudah berusaha untuk mengenyahkan kenangan itu. Tetap saja berkeliaran di pikirannya.

"Tante.." Panggil Tari diikuti Mika dan Wardah di belakangnya.

Kemala menoleh lalu menegakkan tubuhnya. Tanpa berkata apapun, dia memeluk Tari sambil meneteskan air mata. "Renjana belum bangun Tari. Tante takut.."

"Renjana pasti bangun tante." Tari menenangkan Kemala dengan mengusap pelan punggungnya.

"Tante nggak mau kehilangan Renjana." Lirihnya sambil menahan tangis.

"Insya Allah enggak tante. Kita berdoa sama-sama buat Renjana."

Wardah serta Mika ikut meneteskan air mata melihat betapa sedihnya Kemala sebagai seorang ibu. Wardah yang berdiri di ujung tempat tidur hanya menunduk tanpa sepatah katapun sambil sesekali mengusap air mata yang mengalir ke pipi.

Begitupun Mika yang berdiri di belakang kursi Kemala memalingkan wajah dan sesekali mendongak serta berkedip-kedip guna menahan air matanya keluar lagi.

Suasana menjadi sedih karena suara isakkan pilu dari Kemala. Serta sesenggukan pelan dari Wardah. Kemudian hembusan nafas berat dari Mika. Sedangkan Tari, dia menangis tanpa suara. Berusaha untuk kuat agar bisa menguatkan yang lain.

***

Setelah situasi yang cukup pilu itu, Mika dan kawan-kawan coba untuk menghibur orang tua Renjana. Segala macam topik mereka bicarakan agar keduanya sedikit terhibur walaupun hasilnya tidak ada. Tapi setidaknya mereka sudah berusaha.

Hingga pukul 10.00, masih tak ada tanda-tanda pergerakan dari Renjana. Semua orang sangat menunggu perempuan itu membuka mata.

"Assalamualaikum." Pintu terbuka menampakkan Nara dengan setelan casualnya.

"Waalaikumsalam." Semua orang menoleh kecuali Gara dan Kemala. Sepasang suami itu larut dalam lamunannya tanpa menyadari keberadaan Nara.

"Kalian udah dateng." Gumamnya. Dia menghampiri mereka dengan wajah lelahnya. Sangat terlihat jelas pada kedua matanya. "Tadi kalian ketemu wartawan?"

Tari mengangguk. "Ketemu. Tapi masih sedikit."

"Nara." Gara mengangkat kepala menatap perempuan itu.

"Iya, om?"

"Keadaan sopirnya gimana? Om sampai lupa soal itu." Tanya Gara dengan khawatir.

"Alhamdulillah udah sadar. Kemarin malem Nara udah jenguk, kondisinya juga mulai membaik."

"Terus, proses hukumnya?"

"Alhamdulillah juga udah ditangani Om Imran. Kemarin malem aku langsung telepon."

Gara bernafas lega. Syukurlah masalah yang lain sudah teratasi. Jadi sekarang dia bisa fokus dengan kondisi putrinya.

Lalu di sisi lain, Bi Asri yang sedang di rumah juga sama khawatirnya menunggu kabar dari anak majikannya.

Di tengah kegiatannya menyirami tanaman, ada suara motor berhenti di depan gerbang. Bi Asri meletakkan selangnya kemudian berjalan ke kiri menuju gerbang.

Tampak seorang laki-laki mengenakan shacket jacket coklat dengan kaos hitam polos serta celana berwarna hijam juga. Melihat Bi Asri datang, laki laki itu turun dari motor seraya melepas helm.

"Assalamualaikum." Laki-laki itu mendekati sang ART.

"Waalaikumsalam." Bi Asri membuka gerbang sedikit.

"Maaf, ini benar rumahnya—" Laki-laki itu mengeluarkan ponsel dari saku lalu mengecek sesuatu. "Bapak Segara?"

"Benar." Bi Asri mengerutkan kening, merasa familiar dengan wajah si laki-laki.

"Ah, benar ternyata." Gumamnya. Dia kembali memasukkan ponsel ke saku jaket. "Bapak Segaranya ada di rumah?"

"Kebetulan lagi ndak ada mas. Memangnya ada perlu apa ya? Biar nanti saya sampaikan."

Laki-laki itu tersenyum manis. "Aku putranya Bapak Rahman Adianto."

Mendengar nama itu membuat Bi Asri menutup mulutnya karena terkejut. "Mas Yusuf?"

***

Segala Puji Syukur Kepada Allah SWT. Akhirnya Renjana membuka mata. Semua orang langsung bangkit dan menghampiri.

"Renjana, sayang.." Senyum merekah mengembang di bibir Kemala. Tangannya terangkat mengusap lembut kepala putrinya.

Sementara sang empu masih menyesuaikan netranya dengan cahaya matahari yang masuk lewat jendela. Dia memandangi sekitar dengan mengernyit. Masih belum sadar 100 %. Renjana mencoba mengingat apa yang terjadi dengannya. Seperti orang linglung yang tidak ingat apapun. Kepalanya menoleh ke segala arah bergantian, tampak orang-orang tengah memandanginya haru.

"Ma—ma?" Ucapnya lirih. Memandang mamanya yang tersenyum lembut.

"Ya sayang?"

"Renjana ... dimana?" Suaranya masih terdengar lemah.

"Kamu lagi di rumah sakit sayang."

Renjana masih merasa bingung. "Kenapa?"

"Nanti aja kita cerita ya?" Ucap Kemala dengan penuh kelembutan. "Sekarang yang kamu rasain apa?"

"Pusing, sedikit."

"Terus? Ada lagi?" Kali ini Gara yang bertanya. Sangat kentara rasa khawatir tergambar di wajahnya.

"Mual, dikit." Ucapnya sembari menoleh ke kiri.

Kemala ingin menanyakan hal lain, tapi lidahnya terasa keluh untuk mengatakannya. "Badan—kamu. Ada—yang sakit?" Perasaannya campur aduk setelah mengatakan itu. Apalagi menunggu jawaban dari Renjana. Membuat rasa takut itu menambah.

Renjana diam sejenak. "Renjana—" Kalimatnya terhenti dengan kening yang berkerut. Dari raut wajahnya seperti berpikir keras. Menimbulkan rasa ketar ketir untuk Kemala dan Gara.

"Ma." Raut wajah Renjana berubah menjadi ketakutan sekaligus gelisah.

"Ya sayang?"

"Ke—kenapa—Renjana nggak bisa ngerasain, kaki Renjana ma?"

Deg!

Rasanya seperti bom yang meledak saat itu juga. Kemala dengan sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak keluar. Berusaha tenang meski rasanya seperti terlempar ke jurang.

Begitu juga dengan Gara yang nafasnya tercekat mendengar ucapan putrinya. Dadanya terasa sesak secara mendadak.

"Sayang, nggak pa pa nak. Kita panggil dokter untuk diperiksa lagi yah?"

"Tapi ma—" Bibir Renjana kembali berhenti berucap saat sebuah ingatan muncul di otaknya. Terlintas sebuah kejadian yang muncul secara acak. Sampai akhirnya dia menyadari apa yang sedang terjadi padanya.

Sontak Renjana menutup mulut dengan sebelah tangan yang tak terinfus. Tangisnya pecah saat itu juga. Dia menangis dengan histeris begitu tahu mengapa dia berada di rumah sakit.

Semua orang syok melihat reaksi perempuan itu. Hati mereka ikut merasa sakit mendengar tangis Renjana.

Bahkan Mika sampai berbalik karena tak mampu menyaksikan pemandangan tersebut.

"Kaki Renjana kenapa ma? Kenapa?" Tanya Renjana dengan suara bergetar.

Kemala bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin dia berkata jika kemungkinan kakinya bermasalah akibat kecelakaan. Dia tidak sekuat itu.

"Kenapa mama diem? Ada apa ma?" Renjana terus mendesak. Terlihat raut wajah harap bahwa tidak terjadi hal yang tak diinginkannya. Lalu pandangannya beralih pada Gara.  "Jawab Renjana. Papa jawab pa, kenapa papa juga diem?" Dia bahkan sampai menggoyangkan lengan papanya.

Namun tak ada jawaban dari mereka, justru sebuah air mata yang mengalir membuat Renjana semakin down. Ditambah lagi pelukan Kemala yang seolah membenarkan apa yang sedang dipikirkannya.