Dendam Gadis Yang Diperkosa
Part Ke 9
____
Begitu pun dengan Siska dan Riyan, rasa khawatir kian mendera, sejak kepergian Salsa rumah terasa sepi, meski ada Dinda namun Dinda jauh berbeda, dia yang tak banyak bicara apalagi bercanda, tidak seperti Salsa yang akan slalu membuat rumah seakan ramai karena kecerewatan dan keramahan pada orang-orang yang berada di sekitarnya.
"Ibu harap Salsa baik-baik saja yah, Ibu takut juga khawatir dengan keadaannya?" ujar Siska seraya terisak dalam dekapan Riyan.
"Berdo'a yang terbaik untuk anak kita ya Bu, semoga dia slalu berada dalam lindungannya."
"Aamin yah, mudah-mudahan." Siska dan Riyan pun akhirnya beranjak masuk kedalam rumah, untuk sekedar mengistirahatkan hati dan fikiran yang telah penuh dengan beban.
***
"Kemana kamu Salsa, siapa yang menjemput mu, aku sama sekali tak menyuruh orang untuk menjemputmu." ucap Hendra dengan gelisah.
"Harus ku cari kemana lagi kamu Sa, arghh,,"
Sejak kepulangannya dari Rumah Sisma, Hendra terus mencari Salsa, mengunjungi setiap teman yang Hendra ketahui. Bahkan tempat kerja dan kerabat sudah didatangi, namun Salsa sama sekali tak ada kabar disana.
Hingga Foto Salsa bersama dirinya dia perlihatkan pada orang yang dia temui, barangkali mereka pernah melihat sosok.wanita didalamnya.
Waktu sudah menunjukan menjelang sore, namun sedikit pun belum mendapatkan sinar terang. Keadaan semakin kacau, membuat Hendra merasakan rasa bersalah lebih dalam.
"Maafkan aku Sa, maafkan aku sayang!" lirihnya tanpa di duga kelopak matanya menghangat, bulir bening luruh melintas di pipinya.
"Harusnya aku menemui mu malam itu, harusnya aku bersama mu. Maafkan aku." tangis dan penyesalan pun kian mendera, namun menyesal pun kini tiada guna.
Hendra pun menepis fikiran buruknya, lalu menghapus bulir bening yang membasahi kedua pipinya. Dia akan mencari keberadaan Salsa hingga ketemu, akhirnya Hendra pun memutuskan untuk pulang.
Tepat pukul 8 Hendra sampai di halaman rumahnya, namun dia tak langsung masuk, fikirannya akan kenangan Salsa masih jelas dalam ingatan.
"Mas, kamu serius mau hidup denganku, kamu serius ingin mendampingi hidup ku." ucap Salsa kala itu.
"Iya, memangnya kenapa? Aku serius lebih dari serius ingin membahagiakan kamu." jawab Hendea menatapnya tajam.
"Jika suatu saat nanti aku pergi, apa yang akan kamu lakukan?"
"Ssstt, jangan pernah berkata seperti itu, aku tidak akan sanggup kehilangan kamu. Aku tidak bisa jika itu terjadi."
"Jangan pernah pergi dan meninggalkan aku ya, Mas,"
"Arrghhhh, ini semua salahku, ini salahku Salsa." ucap Gendra yang memukul pintu mobil, dan menggusar rambutnya dengan kasar.
Kenangan demi kenangan terlintas di benak Hendra, dimana mereka begitu bahagia dan saling memadu kasih, namun kini entah semua akan kembali atau akan berkahir.
"Hen!" suara seseorang membuat Hendra tersentak, hingga dengan cepat Hendra menghapus air matanya dengan kasar.
"Ngapain kamu disana, bukannya masuk, ini sudah malam. Nanti kamu masuk angin." ujar Ajeng.
"I-iya Mba, sebentar lagi."
"Kamu kenapa, apa ada masalah." tanya Ajeng.
"Tidak ada Mbak, aku hanya cari angin saja." dusta Hendra.
"Kamu itu tidak terbiasa berbohong, Mbak tahu kalau kamu ada masalah." tanpa di duga Hendra pun memeluk Ajeng, dia tumpahkan kesedihan pada kakaknya.
"Hey, kenapa? Cerita sama Mbak!" ucap Ajemg sambil mengusap punggung Hendra.
"Salsa Mbak, Salsa?" ucapnya lirih ditengah isak tangis.
"Salsa... kenapa? Apa dia tahu semuanya!"
"Salsa hilang Mbak, tepat dimalam pertunangan aku dengan Vita ada tiga orang yang menjemputnya mengatas namakan aku yang menyuruh mereka Mbak."
"Sungguh Mbak, aku tidak menyuruh siapa pun untuk menjemputnya, namun sampai saat ini Salsa belum kembali?"
"Apa, belum kembali? Siapa maksud kamu yang menjemput dan mengatas nama 'kan kamu," ujar Ajeng yang terlihat panik.
"Iya Mbak, Salsa hilang. Sampai sekarang belum kembali, aku khawatir sama dia Mba."
"Ini semua salahku, ini salahku Mba."
"Tenang Hendra, ini bukan salahmu,"
"Ini salahku Mba, harusnya malam itu aku menemuinya, menjelaskan tentang acara lamaran ku padanya, tapi aku. Arghhh," ucapnya sambil memukul dan menendang mobil yang baru saja dia parkirkan.
"Ini bukan salah kamu, kamu tenang. Kita akan cari dia, Mba akan bantu kamu," ucap Ajeng seraya mencoba membuat Hendra tenang.
Ajeng pun membawa Hendra masuk kedalam, memberiknnya minum, lalu membawanya ke kamar upaya beristirahat.
"Tenang, beristirahatlah besok kita cari sama-sama,"
Pagi pun tiba, tanpa Ajeng dan Hendra memberi tahu Izma, mereka pergi bersama untuk mencari Salsa.
Berjam-jam mereka mengelilingi kota, berharap usahanya tak sia-sia, namun hingga matahari di atas kepala pun belum terlihat tanda adanya Salsa.
Namun saat bertemu dipersimpangan, mereka tak sengaja melihat Siska dan Riyan, mereka pun menghampirinya.
"Om,Tante!" panggil Hendra.
"Ehk nak Hendra, kamu disini?" tanya Riyan, terlihat wajah Siska yang sembab, namun enggan untuk Ajeng dan Hendra bertanya. Karena mereka pun sudah paham dan mengerti apa yang dirasakan Riyan dan Siska.
Begitu pun Hendra, sama halnya karena semalaman ia pun tak bisa berhenti memikirkan Salsa, dan merasa bersalah atas kejadian yang menimpa wanita yang dia cintai.
"Iya, Om, saya sama Mba Ajeng sedang berusaha mencari, Salsa." dengan suara parau menahan embun yang ingin berjatuhan.
"Sudah, Nak Hendra. Saya mengerti, lebih baik kita cari sama-sama, karena saya dan Dinda pun sudah melaporkan ini ke jalur hukum."
"Baiklah Om, saya pun akan sekuat dan semampu saya untuk terus berusaha membantu mencari, Salsa."
Akhirnya mereka pergi bersama mencari Salsa, sedang semuanya sibuk dengan fikiran masing-masing, terdengar suara telpon yang berbunyi.
Kriing kkrring
"Hallo Di, ada apa?" ucap Ajeng kala sambungan telpon terhubung.
"Mbak dimana, hari ini kan ada acara pertemuan di kantor," ucap Dion.
"Mba lagi nemenin Hendra mencari Salsa, sekarang kami lagi diluar." jelas Ajeng.
"Mencari Salsa," ucap Dion yang gugup.
"Kenapa? Kamu kenal dengan Salsa?" tanya Ajeng.
"Ohh nggak Mba nggak. Ya sudah aku mau lanjut ketemu Izma Mba," telpon pun terputus .
"Aneh,"
"Ada apa Mba," tanya Hendra.
"Dion, memberi kabar kalau hari ini ada pertemuan lagi. Rapi biarlah mereka saja yang urus,"
"Oohh... ohh ya Mba, apa ini kerjaan orang asing atau orang yang kita kenal, kalau firasatku sepertinya?"
"Sudah jangan berfikiran buruk dulu, berdoa yang terbaik aja."
Waktu pun sudah menjelang Maghrib, Hendra dan Ajeng pun memutuskan untuk pulang. Sebelum pulang Riyan dan Siska meminta Hendra untuk mampir ke Caffe yang biasa mereka datangi.
"Nak Hendra, sebelum pulang lebih baik mampir dulu, kita ke caffe biasa." ucap Riyan.
"Baik Om, Mba kita ke cafe dulu aja, lagian Mba juga pasti lapar, kita makan dan ngopi dulu disana, gimana?"
"Ya udah, tapi traktir ya!" ucap Ajeng.
"Tenang saja, Saya yang bayar." celetuk Riyan, membuat semua tertawa.
Mereka pun akhirnya ke caffe, masing-masing memesan makanan dan minum. Serta di barengi dengan obrolan ringan.
Setelah cukup lama, akhirnya mereka pun memutuskan untuk pulang, karena merasa pencarian hari ini tidak membuahkan hasil, membuat mereka membutuhkan tenaga untuk esok hari.
"Kami pamit Om, besok saya akan mencoba mencari lagi." ucap Hendra, dan melangkah meninggalkan Riyan dan Siska.
"Iya, Hati-hati."
Hendra pun mulai menghidupkan mobilnya, meski masih dipenuhi dengan rasa gelisah,l. Namun dia tak mau semua berakhir seperti ini, Hendra harus bisa menemukan Salsa secepatnya.
Didalam selama perjalanan, suasana sangat hening, tanpa ada obrolan atau pertanyaan yang di keluarkan dari mulut kakak beradik itu, mereka sama-sama larut dalam pemikirannya masing-masing.
Mobil pun sampai dihalaman rumah megah, Ajeng dan Hendra pun keluar, tanpa memberi tahu Izma mereka habis dari mana, mereka hanya memberi alasan ada urusan yang harus diselesaikan.
"Dari mana saja kalian, sampai seharian tidak sempat ke kantor?" ucap Izma yang telah menunggunya di kursi teras.
"Kami ada urusan, Mba," ucap Hendra.
"Urusan apa yang lebih penting dari kantor dan Vita,"
"Bukan seperti itu Mba? Tadi-"
"Tadi mobil kami mogok." potong Ajeng.
"Lalu kenapa kamu tidak menjawab panggilan Vita, apa tidak sempat memberi kabar atau membalas chat saja," ujar Izma seraya menatap heran pada kedua Adiknya.
Ya Hendra tidak sama sekali berniat mengangkat telpon Izma dan Vita, bahkan Vita sempat menghubunginya berkali-kali namun Hendra tidak sama sekali merespon. Sehingga membuat Vita harus mengadu pada Izma.
"Maaf Mba, tadi ada urusan yang nggak bisa ditinggal, biar nanti aku hubungi Vita" ucap Hendra seraya berlalu meninggalkan Izma dan Ajeng.
Memang diantara Izma dan Ajeng, Izma 'lah yang paling keras kepala, bahkan kerap kali Ajeng dan Izma berbeda pendapat. Namun karena Izma lebih berkuasa semua hanya bisa mengalah akan keputusan Izma.