Dendam Arwah Gadis Yang Diperkosa
Part Ke 12
Semakin teriakan Dion menggema semakin jelas nama yang di sebutnya, sehingga Izma pun memandang Dion dengan lekat.
"Sa-salsa, sudah mati?" ucap Izma terbata.
"A-apa maksud kamu Di, apa sebenarnya yang telah terjadi." sambungnya lagi, namun Dion sama sekali tak hirau, Ajeng mencoba menenangkannya, sehingga Dion pun akhirnya bisa tenang, meski tak ada satu pun pertanyaan Izma dan Hendra yang di jawab olehnya.
Suasana hening, mereka larut dalam fikirannya masing-masing, begitu pun Hendra suasana hatinya mendadak gundah setelah nama orang yang dicintainya telah di sebut oleh Dion, bahkan meski itu belum tentu nama kekasihnya.
****
Pov Vita Saskya
Hari ini harusnya aku menuju pre weeding untuk melihat-lihat gaun pengantin, meski pun pernikahan kami belum ditentukan tanggalnya tapi kata mama persiapan itu harus segera dari jauh-jauh hari sebelumnya. Namun karena Mas Hendra ada urusan dengan Dion dan Izma maka tidak jadi untuk pergi.
Namun esoknya, aku berusaha terus menghubunginya, pesan sudah ku kirim sama sekali tidak ada balasan dan respon dari Mas Hendra. Bahkan aku hubungi pun tidak di angkatnya sama sekali. Tidak ada balasan pesan atau sekedar mengabariku.
Akhirnya aku mencoba bertanya pada kakaknya Izma, apakah Mas Hendra sesibuk itu sehingga tak bisa mengabariku, dan pesan pun tak ada yang terbalas.
Tut tut tut
"Hallo Mba, apa Mas Hendra ada di rumah?" Sapa ku saat sambungan telpon terhubung.
"Tidak ada Vit, sepertinya dari pagi Hendra dan Ajeng sudah keluar." jawabnya di seberang sana.
"Loh, kemana Mba? Aku telpon tidak di angkat, pesan pun tak ada balasan." ucapku mengadu.
"Mungkin sedang sibuk, biar nanti kalau Hendra pulang Mba suruh hubungi kamu, yah."
"Baik Mba, tolong kabari ya mlMba kalau Mas Hendra dah pulang."
"Iya, ya sudah Mba lanjut mau berangkat kerja dulu."
"Iya Mba, makasih." sambungan telpon pun terputus, membuat ku bertanya-tanya kemana perginya Mas Hendra dan Ajeng.
Siang sudah berlalu berganti dengan sore, Mas Hendra sama sekali belum memberi kabar. membuat perasaan ku semakin kacau, namun untuk berfikiran tak baik pun aku tak bisa, apalagi memikirkannya bertemu Salsa, itu sungguh tak mungkin karna menurut Dion Salsa sudah nggak ada.
Namun seperti sedang ada sesuatu yang Mas Hendra sembunyikan, aku ingat saat malam pertunangan kami pun dia seakan menutupi sesuatu,
"Sayang, aku pamit sebentar ada keperluan." pamitnya saat itu.
"Baiklah, jangan lama-lama sayang." jawab ku.
Hampir satu jam Mas Hendra tak kunjung kembali, membuat ku bangkit dan hendak mencarinya. Ku lihat dia sedang di samping kolam, dan seperti sedang menghubungi seseorang.
"Mas!" panggilku.
"Eeh, i-iya sayang kenapa?" jawabnya gugup.
"Kamu kenapa?"
"anu, aku lagi hubungin temen ya temen, tadinya mau memberi tahu soal pertunangan kita, tapi malah nggak bisa dihubungi." ucapnya serasa gugup seperti maling yang ketahuan.
"Ohh, ya sudah ayo para tamu sudah pada mau pulang, masa kamu nggak ada."
"I-iya ayo." kami pun kembali masuk dengan ku gandeng tangan pria bertubuh tegap itu.
"Vita!" suara mama membuyarkan lamunan ku, membuat ku harus segera beranjak menemuinya.
"Iya Ma, kenapa."
"Mama keluar sebentar, apa kamu mau ikut, apa kamu ada acara sama Hendra?" ujar mama yang menggoda ku.
"Gak deh ma, Vita di rumah saja! Acara apaan, Hendra aja nggak ada ngabarin aku, seharian ini aku hubungi juga tidak ada respon." ucap ku sembari mengerucutkan bibir.
"Mungkin dia sibuk, 'kan dia sedang ada bisnis baru, kamu harus belajar mengerti dia ya, jangan terlalu fosesiv."
"Iya Ma?"
"Ya sudah mama pergi ya, hati-hati di rumah." akhirnya aku pun kembali ke dalam, dan menjatuhkan bobot tubuh ku di sofa.
Hingga menjelang maghrib belum sama sekali ada kabar, bahkan sampai malam pun masih belum memberi atau membalas pesan yang di kirim oleh ku.
Namun, tepat pukul sepuluh malam telpon ku berdering, ku fikir Mas Hendra namun malah nomor yang tak ku kenal. Sama sekali tak ada niatan untuk mengangkat telpon itu hingga beberapa kali akhirnya nomor itu tak menghubungiku lagi.
Hingga pagi tiba, ku lirik benda pipihku namun masih saja tak ada balasan atau telpon dari Mas Hendra, ada pun panggilan terlewat itu dari nomor yang tak dikenal.
Namun pagi sekitar pukul 9 pagi, rupanya Izma memberikan sebuah pesan, memberikan kabar bahwa mereka berada di rumah sakit, karena Dion kecelakaan. Aku pun akhirnya bangkit dan segera bersiap untuk segera pergi ke rumah sakit dimana Izma memberi tahu alamatnya.
Jalanan sedikit macet, karena masih jam berangkat kerja, meski sudah pukul sembilan pagi tapi kota jakarta sangatlah ramai. Sehingga membuatku sedikit lama diperjalanan.
Sesampainya aku di rumah sakit segera ku tanya ruangan dimana Dion dirawat, setelah sampai ku lihat mereka sedang duduk di bangku tunggu, namun terlihat mereka seperti sedang gelisah.
"Mas, Mba!" sapaku.
"Gimana keadaan Dion, apa dia baik-baik saja." sambungku.
"Keadaan Dion sangat memprihatinkan, kecelakaan semalam membuatnya terguncang, karena kaki dan tangannya patah." ujar Izma dengan tatapan sendu.
"Pa-patah, lalu sekarang dia gimana, apa bisa aku melihatnya,"
"Tidak, kamu tidak boleh masuk, biarkan Dion istirahat dulu." timpal Ajeng.
"Ohh baiklah,"
Setelahnya aku baru ingat, bahwa Mas Hendra sama sekali tak menanyakan kabar atau sekedar berbasa basi, bahkan Mas Hendra seperti acuh saat melihat ku.
"Mas," ucap ku, Mas Hendra hanya menoleh tanpa berkata apa pun.
"Kamu kemana aja, aku menghubungi kamu dari kemarin, tapi kamu sama sekali tak memberiku kabar," ucap ku dengan pertanyaan yang memang sudah membuatku sangat kesal.
Namun Mas Hendra bergeming, sama sekali tak merespon, atau menjawab pertanyaan ku.
"Mas, jawab?"
"Sudah lah Vita, ini di rumah sakit tidak baik membahas masalah pribadi disini. Hendra dan aku sibuk, jadi tidak sempat sama sekali memegang benda pipih kami." sela Ajeng dengan sedikit nada menekan ku.
"Tapi Mba, aku hanya bertanya saja." ucapku menahan kesal, karena Hendra sama sekali tak mengeluarkan sepatah kata pun.
"Ya sudah, kamu sudah dapat jawabannya kan, dia sibuk dan urusannya bukan hanya kamu saja. Dunia dia tidak hanya tentang diri kamu." timpalnya yang semakin membuat emosiku meledak, namun aku berusaha tenang.
"Sudah- sudah, kalian ini malah bikin ribut." ujar Izma yang membuat diam Ajeng begitu pun aku.
Suasana kembali hening, namun ku lirik Mas Hendra seperti sedang memikirkan sesuatu, entah mengapa aku semakin penasaran dengan sikap dinginnya.
"Mba, aku pamit, aku harus pergi duluan." ucap Mas Hendra yang tiba-tiba, dan membuat ku semakin bertanya.
"Mau kemana kamu Hen, Vita ada disini." cegat Izma namun tak di hiraukan oleh Mas Hendra.
"Aku ingin sendiri, Vita bisa menemani Mba disini bukan."
"Hendra...."
"Udah Mba, biar Hendra sama aku aja, Vita kamu temani Mba Izma disini ya. Hendra butuh istirahat." ucapnya tanpa mendengar panggilan ku dan Izma.
"Tapi Mba,"
"Sudah, aku pamit ya. Kalau ada apa-apa hubungi aku saja,"
Hendra dan Ajeng pun berlalu, meninggalkan ku dan Izma, perlakuan Ajeng sungguh berbeda dengan Izma, dia seperti sengaja membuat ku jengah dan sangat memberi jarak antara aku dan Mas Hendra.
______