Dendam Arwah Gadis Yang Diperkosa
Part 13
Ditengah kegelisahan ku, terdengar suara Dion teriak sehingga membuatku dan Izma terperangah, dan menghampirinya.
Setelah kami memasuki ruangan yang dipakai untuk merawat Dion, seketika kami terperanjat melihat Dion sudah dalam keadaan menghawatirkan. Dengan tubuh yang sudah dipenuhi darah segar yang merah dan kental.
"Dion!" pekik Izma, namun tenggorokan ku terasa tercekat melihat keadaannya yang membuat ku bergidik ngeri.
"M-ba, ke-kenapa dengan Dion?" tanyaku dengan gugup karena sangat ngeri melihat Dion yang keadaannya seperti orang yang di mutilasi.
"Mba, kenapa dengan keadaan Dion. Kenapa dia seperti ini?" tanyaku lagi, terlihat Izma pun keheranan dengan kondisi Dion dan tanpa menjawab pertanyaanku Izma lari sambil memanggil Dokter.
"Dokter, dokter!"
Terlihat kekhawatiran yang begitu dalam, meski Dion anak yang bandel dan brandalan tapi sebenarnya dia baik, hanya saja cinta butanya yang membuatnya menjadi jahat, mungkin aku pun seperti Dion saat ini.
"Permisi Bu!" ucap salah seorang perawat yang membuatku tersentak dari lamunan.
"Iya Sus,"
"Dok, tolong berikan penangan yang terbaik, jangan sampai ada apa-apa dengannya, orang tuanya sedang tidak ada. Mereka semua diluar Kota dan belum bisa kami hubungi." Izma memelas pada Dokter, khawatir melihar kondisi Dion yang sangat memprihatinkan.
Sungguh sangat membuatku iba, tangan dan kakibya yang patah sudah tak terbungkus dengan perban. Terlihat tulang dan dagingnya yang memerah serta bercampur darah kental. Bau amis menguar diseluruh ruangan, namun Dion sedikit pun tak bereaksi, wajahnya yang pucat masih sanggup untuk berontak.
"Maafkan aku, Salsa!" tanpa ku duga mendengar kalimat yang keluar dari mulut Dion, kata maaf dan menyebut nama Salsa.
"Salsa?" ulangku.
"Iya, setelah kecelakaan dan setiap dia sadar hanya kalimat itu yang keluar dari mulutnya, Mba sendiri tidak mengerti, apakah nama yang dimaksud Dion adalah orang yang kita kenal atau hanya sekedar kebetulan," ujar Izma dengan kegelisan yang masih terpancar di wajahnya.
"Maksud Mba, apa terjadi sesuatu?" tanyaku.
"Aah tidak, lebih baik kamu coba hubungi Om Sadew dan Bibi Lita, beri tahu mereka keadaan anaknya." lirih Izma.
"Hemm baik Mba."
Aku pun berlalu meninggalkan Izma dari ruangan Dion, aku masih berfikir dengan apa yang terjadi padanya. Apakah ini ada hubungannya dengan Kematian Salsa, atau Dion hanya defresi atas kecelakaan yang menimpanya.
Saat aku sedang berusaha menghubungi orangtua Dion, tiba-tiba mata ku melirik ke arah lorong yang menuju tangga darurat. Namun seketika mataku melihat bayangan seorang yang tak asing bagiku.
Aku mencoba mendekat, dengan sesekali melirik keadaan yang sepi. Aku terus berjalan mengikuti sosok yang ku lihat berjalan menuju arah tangga. Namun setelah mendekat aku mencoba memanggilnya.
"Hey tunggu!" panggilku namun tak dihiraukan.
"Hey, tung?" seketika mataku membulat dan mulut ku menganga, melihat sosok yang berada dihadapan ku.
"Sa-salsa!" ucapku dengan gugup dan terbata, kulihat wajahnya yang pucat tanpa ekpresi, namun sangat menyilaukan tanda kebencian dimatanya.
"Salsa, kamu disini?" ucapku lagi.
"Penghianat!" lirihnya dengan suara yang sangat lirih dan parau, namun masih bisa ku dengar.
"Penghianat, maksudnya?" ucapku yang masih merasa heran dan juga sedikit takut.
"Penghianat!"
"Arghhhhh!" seketika wajahnya berubah menjadi sosok yang menyeramkan, matanya yang hampir keluar dan perut yang terburai. Aku yang hendak lari pun seketika tak mampu untuk bergerak.
"Aaaargh?" ku tutup wajah ini dengan kedua tanganku, namun terasa tangan dengan kuku yang panjang menyentuh leher ku.
"Penghianat!" hanya kalimat itu yang terus keluar dari ucapan sosok yang menyeramkan itu, membuatku semakin ketakutan.
"Lepaskan, arghhh?" terasa sesuatu yang menusuk leher ku, sehingga membuat pandangan ku berubah menjadi gelap dan aku pun luruh ke lantai.
"Vita!"
"Vita!" suara seseorang terdengar menyebut namaku, namun aku masih enggan membuka mata, aku takut sosok itu masih ada di hadapan ku.
"Vita bangun?" terdengar suara seseorang yang sangat aku kenal, sehingga membuat mataku terbuka dengan lebar.
"Mas?" ucapku seraya memeluknya dengan erat, rasa takut dan syok masih begitu melekat di fikiran ku sehingga tubuh ini bergetar.
"Hey, kenapa?" ucapnya seraya mengelus rambutku.
"Tadi, ta-tadi hu hu hu?"
"Ada apa, kenapa tidur di sini!"
"Aku ta-tadi liat itu,"
"Liat apa?"
"Ha-hantu Mas, hu hu hu." aku pun mengeratkan pelukan ku pada Mas Hendra, namun tak ku jelaskan bahwa aku bertemu sosok Salsa.
"Sudah, sudah mungkin kamu kelelahan, Sekarang kita kembali kesana, ya." hanya ku balas dengan anggukan saja.
***
Pov Panji
Aku dan Mba Ajeng keluar, untuk sekedar mencari ketenangan. Kondisi Dion yang seperti itu membuat fikiran ku kacau. Ditambah dalam keadaannya seperti itu dia menyebut nama seseorang yang begitu kentara di hidup ku.
Apa ini kebetulan saja atau ini ada hubungannya, namun seingatku Salsa tak pernah bercerita tentang sahabatnya yang lain, selain Alpin dan Roki, juga Dian. Sungguh keadaan yang membuat otakku berjalan berkali lipat.
"Hey, jangan bengong aja?" ucap Mba Ajeng yang membuatku tersadar dari lamunan.
"Mba, apa Salsa yang Dion maksud Salsa yang kita kenal? Atau hanya kebetulan?" tanya ku.
"Entahlah, kita harus cari tahu dulu semuanya, dan hilangnya Salsa, apa Om Riyan sudah mengabari?"
"Belum Mba, mereka belum memberi kabar sama sekali, tapi sekarang kita harus cari tahu dari mana dulu! Tidak ada petunjuk dan tidak ada jalan yang bisa menuntun kita?"
"Biarlah, kita cari tahu sama-sama, semoga semua ini cepat selesai. Dan kedepannya kamu harus bisa mengambil keputusan mu sendiri, tidak perlu takut atau bergantung pada orang lain lagi."
"Hmm!"
Perbincangan kami yang terasa pendek saat mendengar suara vita berteriak, sontak aku dan Mba Ajeng pun menoleh, dan menghampiri asal suara.
"Pan, itu Vita kenapa?" lirih Mba Ajeng dengan melihat lorong menuju tangga.
"Kita kesana Mba, kita lihat apa yang terjadi?" aku dan Mba Ajeng pun segera menghampiri, terlihat Vita yang sedang tertidur di lantai tepat dalam lorong menuju tangga darurat.
"Vita!"
"Vita!" ku tepuk pipinya dan ku goyangkan bahunya,
"Vita bangun?"
"Mas?" ucapnya seraya memeluk ku dan menangis, wajahnya pucat dan berkeringat dingin.
"Hey, kenapa"? Tanyaku.
"Tadi, ta-tadi liat itu,"
"Ada apa, kenapa tidur disini?"
"Aku ta-tadi liat itu hu hu hu."
"Liat apa?"
"Ha-hantu Mas, hu hu hu."
"Sudah, sudah mungkin kamu kelelahan, sekarang kita kembali kesana, ya." aku pun membopongnya, terlihat wajahnya yang ketakutan dan pucat, namun ku tepis rasa yang berkecamuk di fikiran.
"Vita, kamu istirahat disini dulu ya, aku mau liat Dion sebentar."
"Nggak, aku nggak mau sendiran. Aku takut!"
"Vita, tidak ada apa-apa, disini banyak orang lululalang, kamu nggak sendirian."
"Aku nggak mau,"
"Ya sudah, biar Mba saja yang kesana kamu temani dulu dia, kasih minum biar sedikit tenang."
"Ya sudah, kita ke kantin bentar ya Mba, nanti aku nyusul,"
"Ayok, kita ke kantin dulu, wajah kamu pucat." aku pun membawanya ke kantin, entah apa sebenarnya yang terjad. Seperti banyak hal yang terjadi diluar nalar setelah Salsa hilang.
Aku pun sampai di kantin, ku pesankan makan dan minum untuk Vita, karena tadi aku sudah makan bersama Mba Ajeng. Namun saat aku duduk tak sengaja ekor mataku melirik seorang gadis seperti seseorang yang ku kenal, dari rambut dan tubuhnya seperti.
"Salsa!"