Dalam masa tiga hari itu aku hanya membiarkan formulir lamaran sebagai asisten dokter kosong tanpa menulis apa pun. Setiap kali aku memegang pulpen untuk mengisi formulir, pasti ada yang terlintas di benak ku untuk tidak menuliskannya. Aku tidak tahu apakah itu semacam perasaan atau bukan.
"Isi dong, Lyssabelle.untung sihkalau kamu diterima." Erma, salah satu rekan ku mendorong ku untuk mengisi formulir. Dia adalah rekan terdekat ku di sini. "Lagipula Dokter Widad sangat suka jika staf perawatnya adalah wanita seperti Anda"
"Apaansih kamu.Aku ini biasa aja."
"Tidak peduli berapa banyak pasien pria yang melirik kamu?!"bu Erma bercanda aku hanya tersenyum.
"Bu Erma, bisakah kamu diam?aku mencoba menghentikannya untuk berbicara omong kosong. Wanita ini tidak bisa dilayan nanti makin banyak omongan nya." Aku tahun pertama.Gak mungkin dapat kalau minta"
"Ada apa dengan mu Lyssebelle. Toh dialah yang menawarimu kan? Jadi, pasti ada potensi bagimu untuk mendapatkannya."
Aku hanya memutar mata dan duduk untuk menulis laporan harian. Erma juga sepertinya menyerah begitu saja karena aku terlalu malas untuk mengurusi kerumitan itu. Dia juga melanjutkan pekerjaannya seperti ku.
"Apakah dokter itu sudah menikah?"
"Tertarik untuk mengetahui nya?" Erma masih ingin menggodaku.
"Tanya aja.random thoughts."
"Random thoughts. Hmm, biar kuingat-ingat. Kalau tidak salah, dia belum menikah. Tapi sudah menjadi standar kalau laki-laki yang berkecimpung di bidang profesional seperti dia tidak menikah di usia segitu, kan? Tapi, aku dengar! dia punya adik laki-laki lho. Tampan banget! Tapi Itu saja, duda."
"Duda? Tampan juga bisa bercerai?"
"Eh, tidak. Istrinya meninggal."
"Kamu tahu banyak tentang adik nya . Apakah kamu mendaftar untuk bergabung dengan fan clubnya?"
"Enggak , cerita tentang adik nya itu memang seluruh rumah sakit yang tahu. Katanya adiknya..."
Erma menghentikan percakapannya ketika seorang perawat laki-laki mendatangi kami berdua. Wajahnya tampak lega begitu dia melihatku di sini. Aku tidak tahu apa niatnya tapi aku bisa merasakan kalau itu pasti ada hubungannya denganku.
"Lyssabelle, apakah kamu punya waktu sekarang?" Oke, dia tahu namaku jadi dia pasti membutuhkanku sekarang. Seperti biasa, nama ku diucapkan Lisabell, bukan Li-ze-bel.
"Apakah punya waktu? Kenapa?"
"Oh, ada pasien laki-laki di bangsal anak-anak. Keluarganya terlibat kecelakaan dan hanya dia yang selamat. Mba Zaliah dari bangsal anak-anak bilang kamu mungkin bisa membantu menanganinya."
Mba Zaliah ini bisa bisanya menjual namaku sesuka hatinya. Seperti aku sudah ahli dalam semua urusan rumah sakit ini. Tapi gakpapa setidaknya mereka sadar kalau aku masih di sini.
"Berapa umur pasien ini?"
"12 tahun. Sayang sekali. Usia 12 tahun sudah jadi berantakan."
"Dugaan Allah datang dalam berbagai bentuk. Kita harus belajar menghadapi semuanya."
"Benar. Sangat setuju."kataku
Aku tiba di bilik anak-anak tempat anak laki-laki berusia 12 tahun ditampung. Ini adalah bilik kelas satu yang berarti anak laki-laki itu sendirian di bilik tersebut. Ada sedikit perasaan gugup yang menghampiriku. Keadaan yang dialami oleh anak laki-laki tersebut jika diingat sama dengan apa yang aku alami dulu.
Aku mengetuk pintu kamarnya dan masuk setelah dia menjawab. Perawat laki-laki yang membawaku tadi memperkenalkan beberapa data tentang hal itu kepadaku sebelum meninggalkan kami berdua di sana.
"Hai,Raka.Apakah kamu sudah makan?"
Anak laki-laki itu hanya menggelengkan kepalanya.
"Kenapa kamu tidak makan lebih banyak? Nanti kalau perutmu masuk Angin badan jadi gak enak.Nanti sakit."
Dia mendiamkan diri. Aku tahu betapa traumanya perasaan yang dia rasakan sekarang. Sangat pedih untuk diterima.
"Raka, apa kamu mau tahu? Aku bahkan tidak punya ibu dan ayah lagi. Atau lebih tepatnya, semua anggota keluargaku sudah tiada. Sama seperti adikku."
"Apakah keluarga kamu juga meninggal karena kecelakaan?"tanya nya polos.
Aku menggelengkan kepalaku. "Rumah kami terbakar. Aku beruntung karena aku tidur di rumah nenek ku di depan rumah keluarga kami. Saat itu keluarga ku sedang terjebak di dalam rumah. Bayangkan saja, dalam sekejap mata, aku kehilangan ibu, ayah.kakak dan adik.aku ditinggal sendirian saat itu. Saat itu Aku berumur delapan tahun."
Matanya mulai terlihat berkaca-kaca dengan apa yang aku katakan padanya. Tapi itu bukanlah niatku yang sebenarnya untuk membuatnya semakin sedih. Aku hanya ingin berbagi cerita kami berdua yang aku rasa mempunyai kesamaan.
"Kenapa kamu memberitahuku semua ini?
"Cerita kita kurang lebih sama. Sebelumnya, mohon maaf jika aku bertanya, apakah kamu punya saudara?"
"Aku punya kakak perempuan. Dia satu-satunya yang hidup sekarang. Karena dia ada di asrama saat itu."
"Jaga dia baik-baik nanti. Kamu adalah harapannya sekarang."
Tumbuh sebagai anak yatim piatu yang kehilangan salah satu anggota keluarganya, sejujurnya aku akui itu bukanlah hal yang menyenangkan. Padahal, mengingat peristiwa itu saja sudah cukup untuk mengubah suasana hati saat ini. Namun aku tahu bahwa itu adalah kebenaran yang sangat pahit yang menimpa aku.
"Aku harus kuat, kan?" Dia menyemangati dirinya sendiri.
"Ya, benar. Dan aku lebih yakin jika ibu dan ayahmu masih hidup, mereka pasti tersenyum melihat keberanianmu untuk hidup sendiri."
"Kak, bolehkah aku bertanya...?"
"Ya, apa dia?"
"Jika Tuhan memang sayang pada ku, kenapa Dia mengambil orang yang aku cintai? Bukankah itu tindakan yang kejam?"
Aku tersenyum padanya meski dalam hatiku saat ini aku hendak menangis dan mengerang memikirkan masa depannya. Aku berusaha dengan berani untuk tetap tersenyum karena aku punya image yang harus dipertahankan di hadapannya.
"Tuha gak bakal beri kita ujian yang tidak mampu kita atasi,Raka. Betapapun beratnya tantangan dan ujian yang kita rasakan, Tuhan telah menetapkan bahwa itu adalah yang terbaik untuk kita hadapi. Bagaimanapun, kesuksesan tidak akan datang tanpa kesulitan. Kesuksesan tanpa kesulitan bakal kurang manis. Percayalah dengan apa yang aku katakan."
Dia terdiam lagi. Namun kali ini aku tahu bahwa diamnya dia adalah pertanda positif. Sebagai seorang perawat yang tugasnya membantu pasien, aku bangga pada diriku sendiri.
"Sekarang, mau makan?"
Dia tersenyum sedikit. Aku membuka plastik menyimpan makanan tersebut sebelum mengucapkan selamat tinggal kepadanya.
"Lyssabelle..." Suara seorang pria mengagetkanku dari belakang.
"Oh, Dokter Widad."
"Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Oh, saya lagi ngobrol sama dia. Patient doktor ya?"
"Ya, benar. Bagaimana denganmu? Ini bukan lingkunganmu, kan?"
Aku tersenyum.Karena malu,aku meminta izin untuk pergi. Saat aku hendak membuka tombol pintu,Dokter Widad kembali memanggil namaku.
"Tunggu sebentar. Aku ingin pergi ke ruang lelaki sebentar lagi.aku pergi bersama mu ya".
Aku hanya bilang iya, padahal aku tidak tahu kenapa aku bilang iya. Aku duduk di luar bilik menunggu dokter memeriksa pasien bernama Raka. Ada beberapa perawat lain yang menatapku dengan tatapan kesal namun aku memilih untuk mengabaikannya. Tidak semua orang senang melihat kita hidup.
Dokter Widad keluar setelah 15 menit. Dia berurusan sebentar di konter perawat sebelum meminta ku berjalan bersamanya.
"Apa kamu sudah makan?"
Mengingat fakta bahwa dokter ini adalah orang yang bermulut manis, aku menjawab ya. Menunda-nunda pekerjaan bukanlah hal yang wajar. Tunggu sebentar, bukankah aku sedang bermalas-malasan?
"Apakah kamu sudah mengisi formulirnya?"
"Belum, Dokter."
Suka hati gue! Tidak,aku tidak mengatakan itu. aku mengatakan ini. "Aku tidak tahu, Aku tidak berani memohon nya. Masih banyak lagi yang pantas mendapatkannya selain ku."
"Mohon aja.kalau kalau itu emang rezeki mu. Nanti aku juga harus memilih semua perawatnya. Bukankah menurutmu peluangmu untuk mendapatkannya akan cerah jika aku yang ingin dan menyuruhmu untuk mengisi formulirnya."
"Baik dokter. Nanti aku isi."
Kami berdua kembali terdiam. Tiba-tiba aku merasa lingkungan laki-laki sangat jauh dari lingkungan anak-anak. Meski selama ini aku merasa dekat.
"Apakah kamu punya pacar, Lyssabelle?"
Aku pun kaget mendengar pertanyaan spontan yang keluar dari mulut dokter. Aku menatapnya dengan wajah aneh.
"Itu pertanyaan pribadi, dokter."
"Pribadi? Aku pikir semua orang memiliki pertanyaan yang sama."
Aku tergagap sejenak. Jika aku tahu lebih awal, aku tidak ingin berjalan bersama dokter ini.
"Jomblo.Kenapa ya?"
"Tidak apa-apa. Hanya bertanya."
Aku sengaja mempercepat langkahku.Aku tidak ingin berlama-lama dengan dokter. Begitu aku memasuki lingkungan laki-laki, Erma mulai menatapku sambil tersenyum. Mulailah mencari bahan.
Aku mengambil pulpen dan mengeluarkan formulir lamaran sebagai asisten Dokter Widad . Erma tersenyum lebih galak. Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya sedikit demi sedikit.
Dan masih ada beberapa informasi lagi yang ku isi. Setelah selesai aku taruh di rak kecil yang sudah disiapkan di atas meja.Aku tidak mempunyai harapan yang tinggi tetapi pada saat yang sama, Aku juga berdoa agar bisa mendapatkan posisi tersebut.
Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku.....