Terjebak di dalam Tubuh Anak Duke yang Posesif [IND]

YuuSa
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 4.3k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - 1. Demam

...

Setelah menjadi ibu dan memiliki anak, hal yang kurasakan adalah "tak ada yang peduli padaku sedikitpun," benar. Mereka semua hanya memperhatikan anakku saja. Mereka melupakanku. Melupakan perjuanganku. Melupakan segalanya tentangku seolah-olah aku tak pernah ada dan andil dalam kehidupan anakku. Mereka memperlakukan anakku layaknya emas yang turun dari langit--begitu di senangi, sementara aku?. Aku seperti kayu yang sudah lapuk dan dibuang begitu saja.

Aku tidak membenci anakku. Aku juga tidak membenci mereka yang memperhatikan anakku. Aku justru berterimakasih karena mereka peduli pada anakku. Tapi sedikit saja, adakah seseorang yang menganggapku?. Adakah Seseorang yang peduli padaku?. Adakah Seseorang yang mau memberikan kasih sayang, perhatian, dan cintanya untukku?. Sedikit saja. Tapi aku tak pernah mendapatkannya lagi dari siapapun. Bahkan suamiku pun tidak lagi memandangku seperti dulu--sebelum kami memiliki anak.

Jika harus di definisikan dengan satu kata. Aku hanya bisa berkata jika aku 'Iri' pada anakku.

Seandainya, aku bisa kembali ke masa-masa kanak-kanakku.

Breaking News!

Seorang wanita berusia 30 tahun ditemukan tewas di dalam rumah apartemennya. Diduga wanita berinisial CL ini meninggal karena depresi berat dan akhirnya bunuh diri dengan ... Baca Selengkapnya.

Krik!

Krik!

Krik!

"Panas ..."

Aku merasa tubuhku sangat panas. Kepalaku juga terasa sakit. Hidungku terasa aneh, tapi aku dapat mencium aroma sesuatu meski samar seperti aroma malam musim panas. Pendengaranku hanya dapat menangkap suara jangkrik dalam kesunyian. Tenggorokanku pun sangat kering ... aku haus.

Aku berusaha menggerakan tanganku, tapi entah kenapa semuanya terasa sangat berat.

"Apakah ini efek samping dari obat penenang yang ku minum ya?" Fikirku.

Aku masih terus berusaha. Tak hanya tangan, tapi kini aku juga mulai menggerakan seluruh tubuhku. Aku ingin bangun sebentar--duduk lalu mengambil air. Kurasa terlalu banyak tidur setelah minum obat hasilnya cukup buruk juga.

Ugh!.

Ya ampun. Sekarang aku benar-benar seperti orang lumpuh!. Aku kesulitan menggerakan anggota tubuhku selain jari-jari tanganku. Itupun aku butuh usaha keras untuk membuatnya bergerak.

"Sekarang jam berapa?"

Aku berusaha membuka kedua mataku meski kelopak mataku terasa sangat berat untuk-ku-angkat seolah-olah ia terbuat dari besi.

Samar-samar. Dalam cahaya remang dalam kegelapan kamar. Aku mulai melihat jam yang ada di depan sana. Dengan susah payah, aku mencoba memfokuskan penglihatanku yang masih buram untuk melihat jarum jam dan angka.

"Jam berapa ini?, aku harus menjemput anakku ..." Aku tidak boleh menitipkan anakku terlalu lama pada bibinya atau aku akan merepotkannya.

Setiap hari, karena aku dan suamiku sibuk dengan karir kami masing-masing. Aku jadi harus menitipkan anakku ke kakak suamiku. Setiap pagi aku pergi dan meninggalkan anakku padanya, lalu setelah pulang kerja aku akan memanfaatkan sedikit waktu untuk istirahat di rumah dulu sebentar untuk sekedar ganti baju, duduk beberapa menit dan minum obat sebelum akhirnya pergi menjemput anakku.

Orang-orang di luar sana mungkin akan berkata "dia enak-enakan santai, tapi anaknya di abaikan," atau "bukankah dia menitipkan anaknya di rumah bibinya?. Pasti dia sengaja melakukan itu untuk melepas tanggung jawabnya sebagai seorang ibu. Aku jadi kasihan pada bibi yang merawat anak perempuan itu. Dia hanya dimanfaatkan oleh perempuan itu!"

Sejujurnya aku tidak peduli dengan ucapan mereka yang tidak mengetahui kondisiku yang sebenarnya, tapi tetap saja hal seperti itu selalu dapat membuatku sakit hati. Tapi apa boleh buat. Apa yang terlihat di luar oleh mereka seperti itu, padahal aku memanfaatkan waktu singkat sebelum menjemputnya itu pun demi anakku--Di waktu singkat sebelum menjemput anakku, aku akan menyiapkan segala hal untuk anakku dulu, termasuk persiapan untuk diriku sendiri agar aku tidak perlu membuat bibi lebih repot lagi.

Sebagian besar perempuan yang baru saja memiliki anak pasti tau bagaimana sulitnya memperhatikan dirinya sendiri lagi karena waktunya sepenuhnya hanya diberikan untuk anaknya, suaminya, dan mungkin pekerjaannya jika mereka wanita karir sepertiku. Tak ada waktu dan tempat untuk diri mereka sendiri.

Benar. Bahkan orang-orang seperti itu--termasuk diriku sudah tak lagi mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari dirinya sendiri. Apalagi mengharapkan hal itu datang dari orang lain?. Kau pasti bermimpi. Menjadi dewasa itu berarti kau harus siap menjadi budak kehidupan.

Ceklek!.

Dalam pendengaranku yang sudah kembali menjadi sedikit lebih jelas. Aku mendengar suara sebuah kenop diputar dan pintu terbuka. Lalu samar-samar, aku mendengar derap langkah kaki mendekatiku perlahan. Entah kenapa, aku merasa langkah kaki itu terdengar sangat hati-hati seolah ia takut suaranya menggangguku.

"Siapa?"

Dari melihat jam yang masih buram, kini aku harus mengalihkan perhatianku menuju arah langkah kaki seseorang yang datang padaku.

"Apakah itu suamiku yang sudah pulang?. Tapi, bukankah dia lembur hari ini?"

Fikiranku mulai menjadi kusut. Aku bahkan mulai menebak jika sepertinya aku tertidur sangat lama sampai-sampai aku bangun ketika suamiku sudah pulang.

"Ah gawat!. Aku belum mengambil anakku!"

Aku berusaha keras lagi untuk menggerakan tubuh-tubuhku. Aku juga berusaha untuk berbicara. Aku hendak mengatakan pada suamiku jika aku belum menjemput pulang anak kami. Aku hendak memberikan penjelasan padanya agar dia tidak marah karena aku ketiduran setelah menelan obatku. Tapi sayang sekali. Aku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun selain rintihan sakit.

Suaraku sedikit aneh ...

Ah. Benar. Tenggorokanku sangat kering dan sekarang terasa sakit karena aku berusaha untuk bicara.

"Kuharap suamiku menyadari kondisiku ..."

Aku berharap dengan perasaan penuh tekanan. Padahal aku sudah meminum obat penenangku, tapi sepertinya kecemasanku sudah merindukanku lagi sehingga ia kembali padaku. Aku benar-benar takut suamiku akan marah. Ah. Aku bahkan lupa mematikan televisi. Aku masih ingat jika aku tadi sedang duduk di bangku sofa sambil menyalakan televisi karena ruanganku terasa sangat sepi. Lebih tepatnya, aku merasa kesepian. Jadi aku memutuskan menghidupkan televisi sebentar sebelum akhirnya aku ketiduran.

Tapi, aku sejak tadi hanya mendengar suara jangkrik. Aku tidak mendengar suara televisi lagi. Apakah suamiku yang sudah mematikannya karena takut tagihan listrik melonjak?.

Aku tidak tau.

Yang pasti, aku kini dalam keadaan siap jika suamiku akan mengoceh karena aku tidak hemat listrik ataupun karena aku belum menjemput anak kami. Sejujurnya aku sudah mulai terbiasa dengan amarah suamiku akhir-akhir ini. Bahkan ketika dia mulai membicarakan tentang perceraian ketika marah aku sudah bisa menerimanya dan mungkin aku akan menyetujuinya jika ia mengatakan itu hari ini. Aku lelah.

Puk!.

Eh?. Aku benar-benar terkejut.

Aku dapat merasakan tangan besar itu memegang keningku. Suamiku tidak marah?. Dia justru memegang keningku untuk mengecek suhu tubuhku?. Apakah kondisiku terlihat sangat buruk sehingga ia tak jadi marah?. Apakah dia benar-benar bisa memahami kondisiku yang kacau ini?.

"Kamu masih demam, sayang. Tidurlah. Jangan khawatirkan apapun, oke?"

Nada suara itu terdengar sangat menenangkan. Sangat lembut meskipun suaranya berat. Jika harus di definisikan, suara ini seperti suara ombak di lautan.

Apakah suara suamiku memang seperti ini?. Tiba-tiba aku merasa asing dengan suara itu. Apakah karena efek obat yang membuat pendengaranku melemah?. Ataukah karena aku sudah lama tidak pernah lagi mendengar suara suamiku yang berbicara lembut padaku seperti awal kami menikah sehingga aku jadi merasa aneh dengan hal yang tiba-tiba ini?. Aku tidak tau mana yang pasti, namun aku dapat memastikan jika aku benar-benar merasa suamiku sangat berbeda hari ini.

Rasanya sangat nyaman. Aku dapat merasakan perasaan sayangnya padaku. Begitu hangat seolah-olah mentari pagi menyelimuti diriku yang selama ini menggigil karena kedinginan. Ah. Seandainya perasaan ini bisa terus berlangsung lama. Seandainya, aku harus terus sakit demi kehangatan ini. Aku rela terus berada dalam kondisi buruk ini ....

Karena terlalu nyaman. Mataku kembali tertutup. Aku ingin menikmati hal ini meskipun ini mungkin hanya imajinasiku ataupun mimpi sesaatku karena aku tau, hal indah seperti diberikan perhatian, kasih sayang, dan begitu dicintai seperti ini tidak akan ada di dunia nyata ataupun menjadi kenyataan. Setidaknya untuk orang dewasa, hal ini sangat-sangat jarang terjadi. Hanya anak-anak yang masih mendapatkannya.

Baiklah. Semuanya gelap dan sebentar lagi aku pasti akan terbangun dari mimpi indahku. Ah. Seandainya saja aku bisa tidur lebih lama lagi.

Aku tidak ingin bangun.

"Oh. Bagus. Demamnya sudah turun"

"Cepat panggilkan dokter!"

"Cepat!"

Suara berisik apa itu?. Kenapa rasanya seperti ada banyak orang di sekelilingku?.

Aku mencoba membuka mataku dan ajaibnya aku bisa melihat dengan lebih jernih sekarang. Tidak seperti semalam. Kepalaku juga sudah tidak terlalu sakit, tapi aku ingin mengatakan sesuatu dengan jujur. Aku tidak mengidap skizofrenia kan?.

Siapa ... siapa pria tampan di hadapanku ini?!. Jelas. Dia bukan suamiku!.

Aku pasti masih bermimpi!

Ah tidak. Mungkin ini efek obat penenang yang ku minum tadi malam?!.

Apakah aku terkena halusinasi?.

Ya Tuhan. Aku tidak ingin menjadi gila dulu ....

"Cellia sayang, kamu sudah bangun ... syukurlah!. Syukurlah!" Pria tampan itu menunjukan ekspresi bahagia.

"Dimana dokternya?!" Ucap pria tampan itu lagi. Kali ini ekspresinya berubah menjadi cukup menyeramkan. Sepertinya dia marah karena dokternya belum juga tiba di hadapannya.

Ah. Baiklah. Lupakan semua kegilaan ini. Maksudku. Mari nikmati kewarasanku yang sudah hampir hilang karena aku dapat melihat sosok pria tampan sempurna bak pangeran tepat di hadapanku. Dan sosok pangeran tampan itu kini tengah mengkhawatirkanku ....

Kapan lagi aku bisa dikhawatirkan oleh seorang pangeran?.

"Ayah. Cellia sayang ayah dan ibu"

Sebuah suara anak kecil tiba-tiba melintas di dalam pendengaranku. Tak hanya itu, aku bahkan dapat melihat beberapa hal seperti tengah menonton sebuah film dokumenter keluarga yang diputar cepat, dan tanpa sadar air mata keluar dari mataku.

Ya ampun. Ternyata seperti ini rasanya kasih sayang orang tua ya?.