Chereads / AL HIKAM / Chapter 33 - Pelajarilah Kekurangan Diri Sebelum Melihat Kelebihannya

Chapter 33 - Pelajarilah Kekurangan Diri Sebelum Melihat Kelebihannya

Secara adat tidak mungkin kita sampai pada lapangan makrifat terhadap Allah s.w.t. apabila kita tidak mau mujahadah, tidak mau melihat kelemahan-kelemahan yang terkandung dalam diri kita, lebih-lebih kelemahan itu berupa penyakit-penyakit hati. Karena itu maka Allah s.w.t. telah berfirman dalam Al-Quran:

"Orang-orang yan,q be,juang di jalan Kami, sesungguhnya Kami akan tunjuki mereka itu pada jalan-jalan kami, dan sesungguhnya Allah adalah beserta orang-orang yang memperbuat kebaikan." (Al-Ankabut: 69)

"Mujahadah" yang dimaksud dalam ayat ini ialah memerangi hawa nafsu dan mengatasi segala kelemahan-kelemahan diri untuk mencapai dengan sempurna keridhaan Allah s.w.t. Tidak mungkin mujahadah apabila kita tidak mengetahui kelemahan-kelemahan kita. Atau dengan kata kasarnya, musuh-musuh kita. Oleh sebab itu mengenai masalah ini yang mulia Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary telah merumuskan dalam Kalam Hikmah beliau yang ke-32 sebagai berikut:

"Perhatian anda kepada sesuatu yang tersembunyi pada andaberupa keaiban-keaiban adalah lebih bagus daripada perhatian anda kepada sesuatu yang terdinding dari anda berupa yang ghaib-ghaib."

Kalam Hikmah ini uraiannya sebagai berikut:

I. Dalam Kalam Hikmah di atas kita menjumpai perkataan "Al-'Uyub" sebagai jama' dari perkataan "aib". 

Sedangkan arti aib menurut ilmu tasawuf ialah:

"Sesuatu yang harus membawa kepada kekurangan pada orang yang disandarkan kekurangan itu padanya, maksiatkah kekurangan itu atau bukan, apakah kekurangan itu pada perbuatan atau pada akhlak atau pada sopan santun, baik terhadap Allah s.w.t. atau terhadap hamba-hambaNya."

Maksudnya bagi seseorang yang mengerjakan sesuatu dosa atau bukan, yakni sesuatu yang kurang pantas, berarti ia telah mendatangkan kekurangan pada dirinya sendiri. Ia telah mendatangkan sesuatu kecelakaan pada perbuatannya atau pada akhlaknya dan pada sopan santunnya, baik terhadap Allah s.w.t. maupun terhadap hamba-hambaNya.

Tegasnya orang yang mengerjakan sesuatu yang tidak baik atau kurang baik, berarti ia mendatangkan kekurangan pada peribadinya sendiri. Atau dengan kata lain, peribadinya itu masih belum dapat dijauhkan dari hal-hal yang mendatangkan kekurangan atasnya.

Adapun aib ini terbagi kepada dua bahagian:

1. Aib yang lahir lagi yang nyata. Aib yang demikian sifatnya dapat dilihat, dan menghilangkannya tidak begitu lama, asal mau. Misalnya aib pada pakaian, aib pada mengambil harta orang, aib pada menghina orang, dan lain sebagainya. Aib yang begini tidak sulit menghilangkannya, bahkan asalkan kita mau, dengan secepat mungkin ia akan hilang.

2. Aib yang tersembunyi dan tertutup. Aib bahagian ini melihatnya pun sulit, sebab tidak dapat dilihat dengan mata lahiriah, tetapi aib ini akan mungkin dilihat oleh yang mempunyai aib sendiri atau orang lain yang telah mengetahui betul aib-aib yang ada pada seseorang itu. Misalnya saja sebagai aib berpegang atas amal, menginginkan sesuatu yang tidak diizinkan Allah pada kita, tidak sabar pada berhasilnya doa yang kita mohonkan kepada Allah, ragu-ragu tentang janji Allah, menanggapi Allah apabila ada sesuatu maksud yang tidak berhasil atau tidak ada ikhlas dalam hati, cinta kemasyhuran supaya ia terkenal dan dikenal orang, dan lain-lain sebagainya, berupa keaiban-keaiban yang tersembunyi dan sulit dilihat secara lahiriah.

II. Semua kelemahan dan penyakit hati seperti takabbur, dengki, ujub, riya' dan lain sebagainya, inilah yang harus dihadapi oleh kita selaku hamba Allah. Apabila kita ingin supaya hubungan kita dengan Allah dan makrifat kepadaNya betul-betul dekat, sehingga antara kita dengan Allah s.w.t. mempunyai hubungan langsung dan tidak ada sesuatu apa pun yang mendinding kita denganNya. Hendaklah seluruh perhatian kita dicurahkan untuk membasmi segala kelemahan dan keaiban itu. lni adalah lebih penting dan lebih utama daripada mengharap dan memohon supaya Allah s.w.t. memberikan keramat keutamaan-keutamaan, baik yang bersifat dunia dan akhirat. Karena hal keadaan ini sifatnya masih pahit dan masih tertutup pada penglihatan dan perasaan kita. Kita harus mendahulukan segala sesuatu yang ada di hadapan kita dari sesuatu yang masih belum kita lihat, baik oleh lahiriah kita maupun oleh perasaan kita. Segala sesuatu yang masih belum kita lihat atau yang disebut dengan segala yang ghaib terbagi kepada dua bahagian, adakalanya yang masih ghaib itu dapat ditangkap oleh pancaindera kita dan adakalanya tidak, tetapi dapat ditangkap oleh matahati kita.

Umumnya tabiat manusia tidak menghiraukan keaiban-keaiban, tetapi lebih mengutamakan pada hal-hal yang dianggapnya baik, meskipun sifatnya masih fatamorgana atau bahkan masih belum ada apa-apanya. Sama seperti orang sakit yang tidak mau melihat penyakitnya untuk diubati, tetapi perhatiannya lebih dahulu mengarah kepada hal-hal yang harus dikerjakannya apabila ia sihat. Tegasnya, sehingga lebih melihat pada kesihatan saja, tetapi melalaikan penyakit yang ada di tubuhnya, sehingga ia tidak mementingkan mengubati penyakitnya itu lebih dahulu.

Manusia yang sempurna dalam berfikir serta sempurna pula dalam perasaan akan melihat keaibannya lebih dahulu demi untuk maksud mencapai keutamaan yang dicita-citakan. Kenapa demikian? Sebabnya adalah terdiri dari tiga macam pandangan:

1. Bahwasanya berusaha untuk menghilangkan segala macam dengki, khianat, dan lain sebagainya berarti menjalani jalan sopan dan adab sebagai makhluk yang sedang menjalani hidup duniawi dengan serba macam kehidupan yang dialami. Tetapi apabila kita melihat hanya pada yang manis-manis saja dan itulah yang selalu kita kehendaki dari Allah, sedangkan kita lupa kepada keaiban-keaiban kita, maka hal keadaan ini dapat membawa kepada tidak dicintainya kita oleh Allah s.w.t. Yang begini pun dapat juga kita buktikan analoginya pada kita manusia seperti dimaklumi dalam kontak hubungan antara karyawan dengan majikan. 

2. Mengarahkan perhatian pada berjuang membasmi musuh dan serba aneka keaiban dengan mencari yang enak-enaknya saja tanpa mau mengoreksi keaiban-keaiban dan kelemahan-kelemahan diri, terkadang-kadang membawa diri jatuh tersungkur dalam lumpur sesat dan kesesatan.

3. Berjuang untuk menghilangkan segala kekurangan diri seperti contoh tersebut di atas, artinya menunaikan hak-hak ketuhanan yang wajib kita kerjakan dengan ikhlas. Sedangkan menuntut atau menghendaki hal-hal yang bagus saja adalah merupakan tidak menjalankanhak-hak kehambaan kita kepada Allah s.w.t. Sebab kita selaku makhluk Allah yang dijadikan olehNya, kita harus tahu tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban kita dalam menghambakan diri pada Dzat yang Maha Kuasa, yaitu Allah s.w.t. 

ltulah sebabnya para Ulama Tasawuf Islam bcrkata sebagai berikut:

"Hendaklah anda mencari istiqamah dan jangan anda mencari karamah, karena sesungguhnya nafsumu menggugahmu mencari kemuliaan, sedangkan Tuhan anda menuntut anda dengan istiqamah. Dan sesungguhnya berada di sisi hak Tuhanmu adalah lebih patut dari beradanya anda dengan keuntungan diri anda."

Dari kata Ulama Tasawuf ini dapat difahami, bahwa kewajibankita adalah istiqamah. Kita harus beramal dengan sesungguhnya, dengan tekun, sehingga seluruh diri kita, kita curahkan untuk itu. Mengerjakan amal ibadat yang demikian sifatnya itulah yang dikehendaki Allah s.w.t. Meskipun nafsu kita selalu menggugah kita, mengerjakan yang manis-manis dan yang bagus-bagus saja supaya kita diberi keistimewaan oleh Allah. Allah menghendaki kita agaristiqamah pada jalanNya dan apabila kita selalu mematuhi kehendakNya itu maka dengan sendirinya Allah akan memberikan kurniaNya pula buat kita, yaitu keutamaan-keutamaan yang datang apabila amal yang ikhlas telah kita kerjakan sedemikian rupa. Karena itu kita harus mengutamakan menjalani hak Allah daripada mendahulukan keuntungan diri dan nafsu kita.

III. Jalan apakah bagi kita untuk dapat mengenal segala keaibankeaiban diri kita dan dapat pula mengatasi semuanya itu? Imam Ghazali r.a. telah menunjukkan jalannya sebagai berikut: 

1. Hendaklah seseorang itu berada di bawah pimpinan seorang guru yang dapat melihat kekurangan-kekurangan dan keaiban-keaibanserta penyakit-penyakit murid yang dipimpinnya. Dengan demikianmaka si guru dapat mengeluarkan hukum-hukum apakah atau jalan-jalan apakah yang harus dijalani oleh murid agar penyakit-penyakitnya itu sembuh.

2. Bergaul dengan teman yang mencintai kita dan selalu berhati benar terhadap kita. Bergaul dengan teman itu artinya kita dapat diawasi olehnya mengenai hal keadaan kita dan pekerjaan-pekerjaan kita yang andainya apabila kita menyimpang dari jalan yang bcnar, maka si teman itu tidak segan-segan menegur dan menasihati kita.

3. Penyakit-penyakit atau keaiban-keaiban orang lain hendaklah menjadi pelajaran bagi kita , agar supaya kita tidak mengerjakan penyakit-penyakit yang serupa.

4. Hendaklah banyak mengambil faedah dari pergaulan sesama manusia. Mana yang baik pada orang itu untuk diikuti, maka kerjakanlah. Dan mana yang tidak baik maka hindarilah, sebab tabiat kemanusiaan antara satu dengan yang lain kadang-kadang saling berdekatan.

Demikian Imam Ghazali dalam memberikan tuntunan dan nasihat kepada orang-orang sakit di mana segala penyakitnya itu ialah penyakit-penyakit yang dapat menjauhkan antara ia dari Allah s.w.t. Bahkan dapat menjatuhkannya dalam kemarahan Allah apabila si sakit tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya selaku hamba Allah terhadap Tuhannya yang telah menjadikannya dan yang telah memberikan kurnia dan nikmat yang tidak terhingga.

Kesimpulan:

1. Jagalah hubungan kita sebagai makhluk terhadap Allah s.w.t. Kita harus lebih dahulu melihat kekurangan-kekurangan kita dan lebih dahulu pula melihat keaiban-keaiban kita. Laksana budak atau pembantu harus mengetahui apakah yang harus dikerjakannya dan bagaimana ia harus mengerjakan pekerjaan itu dengan sebaik-baiknya supaya hati majikannya lemah terhadapnya. Dan apabila majikannya telah senang kepadanya, maka akan mudahlah segala sesuatunya untuk diberikan oleh sang majikan kepadanya. Maka demikian pulalah antara kita dengan Allah s.w.t. Lihatlah lebih dahulu keaiban-keaiban kita untuk segera kita ubati. Semoga kita sembuh dari keaiban-keaiban itu. Dan apabila kita telah sembuh darinya, maka semua tugas yang kita kerjakan betul-betul baik dan sempurna menurut penilaian Allah s.w.t. Dan apabila Tuhan telah menilai kita demikian, maka akan terbukalah pintu rahmatNya. Dan KemurahanNya pun dicurahkan kepada kita sebagai hambaNya yang dikasihi dan disayangi olehNya.

2. Apabila kita bermaksud seperti di atas, maka jalankanlah nasihat Imam Ghazali tersebut, karena dengan mematuhi nasihat beliau Insya Allahsegala penyakit dan keaiban kita akan sembuh adanya. Ingatlah bahwa pada hakikatnya ilmu yang banyak itu kurang ada manfaatnya apabila diri kita masih pen uh dengan keaiban-keaiban.

Hati-hatilah pada akhir zaman sekarang, bahwa di sana-sini kita ternui tukang-tukang pidato yang kad:mg-'kadang tidak lebih dari tukang ubat yang menjual ubatnya di pinggir jalan. 

Hendaklah kita pandai-pandai mengambil mutiara dari dasar laut, dan jika kita tidak pandai mencarinya, maka mutiara takkan kunjung didapat. Kulit-kulit lokanlah dan sampah-sampah lautlah yang sdalu kita rangkul. 

Mudah-rnudahan kita memperolch ikhlas Lillaahi Ta 'ala meskipunkecil, dan mudah-mudahan kita terhindar dari sampah-sampah laut di mana tidak ada manfaatnya pada diri kita selain hanya masuk pada telinga kanan dan keluar pada telinga kiri.

Insya Allah kita akan diberikan istiqamah olehNya dan selalu mendapatkan taufiq dan hidayahNya dalam setiap tindakan atau tindak-tanduk kita di dalam hidup dan kehidupan ini.

Amin, ya Rabbal-'alamin!