Chereads / AL HIKAM / Chapter 38 - Allah Maha Esa dan Tidak Ada Sesuatu Sertanya

Chapter 38 - Allah Maha Esa dan Tidak Ada Sesuatu Sertanya

Dalam Kalam Hikmah yang lalu telah kita ketahui tiga martabat atau tingkatan hamba-hamba Allah s.w.t. yang mcnggambarkan bagaimana hubungan perasaan antara mereka dengan Allah s.w.t. Ada pun perasaan dekat dengan Allah s.w.t., yakni Allah adalah Maha Hampir kepadanya. Adalah perasaan yang benar bahwa segala makhluk ini tidak ada pada hakikat, cuma yang ada ialah Allah s.w.t. Dan ada perasaan, bahwa yang terlihat dan dilihat oleh perasaan dan matahati ialah wujud Allah s.w.t. sedangkan kita tidak sadarkan diri lagi pada wujud kita dan pada badan kita.

Untuk memberikan gambaran dalam rumusan yang pendek, maka yang mulia Al-Imam lbnu Athaillah Askandary telah berkata dalam Kalam Hikmahnya yang ke-37 sebagai berikut:

"Telah tetaplah adanya Allah s.w.t. dan tidak ada sesuatu sertanya Allah. Dia pada sekarang ini (adalah) pada apa-apa yang telah tetap adanya atasNya (Allah s.w.t.)."

Kalam Hikmah ini meskipun pendek sekali, tetapi mempunyai pengertian yang mendalam sehingga pengertian itu baru dapat diketahui apalagi untuk dirasakan, apabila pengetahuan kita telah ada tentang pengertian sifat kemaha-esaan (wahdaniyah) Allah s.w.t.

Karena itu maka terpaksa diketahui lebih dahulu banyak sedikitnya bagaimana sifat kemaha-esaan (wahdaniyah) Allah s.w.t. Dan marilah kita mulai membicarakan tentang ini dan kemudian uraian-uraian selanjutnya tentang Kalam Hikmah tersebut di atas.

I. Sebagaimana telah kita ketahui, kita i'tikadkan dan kita yakini bersama, bahwasanya salah satu sifat Tuhan yang tidak dapat tidak, wajib ada sifat itu pada Allah s.w.t., ialah wahdaniyah, kemaha-esaan Allah s.w.t. 

Kemaha-esaan Allah s.w.t., ialah pada DzatNya, pada sifatNya dan pada perbuatanNya. Kemaha-esaan Allah s.w.t. dalam tiga lapangan ini berarti menurut akal kita yang waras, kita tidak menerima lima macam yang sering dikenal dalam istilah ilmu tauhid dengan "lima kam".

Yang dimaksud dengan "kam," ialah bilangan. Bilangan itu pada dua atau tiga atau seterusnya. 

Karena itu "kam" berarti sesuatu yang dapat dibagi. Jika sesuatu itu berserikat atau bertalian dalam satu, maka disebut dengan kam muttasil; dan jika bercerai maka disebut dengan kam munfasil.

Dua kam pada wahdaniyah Dzat Allah s.w.t., dua kam pada wahdaniyah Sifat Allah s.w.t. dan satu kam pada wahdaniyah Af'al Allah s.w.t.

Wahdaniyah pada Dzat Allah, pengertiannya adalah pada dua kam dan kedua kam ini tidak diterima oleh akal yang waras. Kedua kam itu ialah: "Kam munfasil pada Dzat Allah s.w.t." Artinya, ada sesuatu dzat yang lain dari Dzat Allah s.w.t. dalam alam mayapada ini, yang serupa dzat itu dengan Dzat Allah s.w.t. Akal yang waras tidak dapat menerima yang demikian, jadi akal tidak dapat menerima ada Tuhan yang kedua dan seterusnya. Sebab jikalau Tuhan berbilang, misalkan ada dua Tuhan. adakalanya kedua Tuhan itu sejalan dan adakalanya tidak sejalan.

Jika Tuhan yang dua itu sejalan dan sesuai, maka akal tidak dapat menerima, bahwa dua Tuhan itu menjadikan alam ini serentak, sebab tidak mungkin berkumpul dua yang berbekas atas satu bekas.

Sebagaimana tidak mungkin berkumpul dua mata pena berjalan sekaligus atas satu jalan sedangkan bekasnya hanya dari satu mata pena.

Tidak mungkin pula pada akal, dua Tuhan menjadikan alam ini satu, kemudian satu, yakni Tuhan pertama duluan, dan kemudian Tuhan kedua. 

Sebab apabila demikian, maka tentulah alam itu sudah dijadikan oleh Tuhan pertama, dan tidak ada lagi yang akan dijadikan oleh Tuhan kedua. Dan kalau Tuhan kedua berkehendak menjadikan, juga berarti ia menjadikan sesuatu yang sudah jadi, yang disebut dengan istilah llmu Tauhid dengan: 

"Tahshiilul haashili" ( ). Dan ini tentu mustahil pada akal. Tidak mungkin diterima oleh akal, bahwa Tuhan itu berserikat pada menjadikan, yakni sebahagian alam makhluk ini dijadikan oleh Tuhan pertama, dan sebagian alam makhluk yang lain dijadikan oleh Tuhan kedua.

Apabila masalahnya begini, maka tentu tiap-tiap Tuhan itu mempunyai kelemahan, karena apabila ia menjadikan bagiannya, berarti tertutup baginya menjadikan bahagian alam yang lain, oleh karena alam yang lain itu dijadikan oleh Tuhan kedua. Jadi tiap-tiap Tuhan itu tidak sanggup menentang partnernya pada kekuasaannya, dan ini merupakan suatu kelemahan, sedangkan Allah s.w.t., Maha Suci daripada kelemahan-kelemahan serupa ini.

Dalil-dalil tersebut di atas ini disebut dengan istilah "Burhaanut Tawaarudi" ( ), yakni dalil yang menunjukkan tidak mungkin datang dua macam atas sesuatu yang satu. Jika dua Tuhan itu tidak sejalan dan tidak bersesuaian sesamanya, satu Tuhan berkehendak menjadikan satu-satu makhluk, sedangkan Tuhan yang lain tidak menghendakinya. Hal keadaan ini pun juga tidak boleh diterima oleh akal. Jadi tentulah maksud dua Tuhan itu tidak tercapai, sebab berkumpul dua hal yang bertentangan, yaitu antara kehendak Tuhan pertama dengan kehendak Tuhan kedua. Tidak sampai maksud tuhan-tuhan itu adalah tidak diterima oleh akal, karena berarti kedua tuhan itu lemah. Ini apabila kedua maksud Tuhan itu tidak sampainya dengan serentak atau sekaligus.

Apabila maksud salah satu Tuhan tercapai dan maksud Tuhan yang lain tidak tercapai, ini tidak dapat diterima oleh akal juga. Sebab Tuhan yang tidak tercapai maksudnya berarti lemah dan Tuhan yang tercapai maksudnya juga lemah, oleh karena Tuhan ini sama dalam segala hal dengan Tuhan yang tidak tercapai maksudnya. Dalil ini disebut dengan istilah "Burhaanut Tamaanu'i" ( ), yakni dalil yang menggambarkan kontradiksi antara yang satu dengan yang lain. Oleh sebab itu maka kam munfasil pada dzat, yakni jadi tidak satu Dzat Tuhan, adalah mustahil pada akal, yakni akal manusia tidak dapat menerimanya!

"Kam Muttasil pada Dzat Allah s.w.t.", yakni akal kita tidak menerima bahwa Dzat Allah s.w.t. tersusun dari macam-macam sesuatu, sebagaimana dzat kita manusia terdiri dari daging, tulang, darah, dan lain-lainnya. Jadi Dzat Allah s.w.t. terdiri dari susunan yang bermacam-macam unsur, adalah tidak dapat diterima oleh akal yang waras. Sebab yang begini ini merupakan sifat-sifat benda baharu, sedangkan Allah s.w.t. bukan benda, jadi tidak ada padaNya sifat-sifat yang harus ada pada benda. Allah s.w.t. adaNya tanpa permulaan dan selalu ada tanpa penghabisan. Jadi jikalau Dzat Tuhan terdiri dari unsur-unsur pula, maka tentulah Allah Ta'ala baharu seperti alam dan tidak ada sifat-sifat yang tersebut tadi.

Wahdaniyah pada sifat Allah, pengertiannya, bahwa tidak ada pada sekalian makhluk yang maujud (alam yang telah ada) ini dan tidak ada pula pada makhluk yang mungkin ada sewaktu-waktu, ada yang bersifat dengan sifat-sifat yang menyerupai sifat-sifat Allah s.w.t.

Pengertian wahdaniyah dalam sifat ini membawa kepada mustahil pada akal dua kam, sebagai berikut:

[a] Kam Munfasil pada sifat, di mana tidak dapat diterima oleh akal yang sihat. Kam munfasil pada sifat didapatkan ada yang bersifat dengan sifat-sifat seperti dengan sifat-sifat Allah s.w.t. Misalkan ada pada yang selain Allah s.w.t. mempunyai sifatkudrat yang dapat menjadikan sesuatu dari tidak ada kepada ada. Mempunyai sifat mendengar, yakni dapat mendengar sekalian makhluk, baik yang bersuara atau yang tidak. Dan mempunyai sifat-sifat lainnya seperti sifat-sifat Allah s.w.t. Ini Kammunfasil pada sifat dan Kam munfasil pada sifat ini, mustahil pada Allah s.w.t. Karena itu maka Allah s.w.t. tetap Maha Esa pada sifat-sifatNya dan tidak ada Dzat-dzat lain yang mempunyai sifat-sifat Tuhan kita yang Maha Esa itu.

Bersesuaian pada nama-nama sifat tidak menjadi apa-apa, seperti Allah Ta'ala bersifat kudrat, iradat, ilmu dan lain-lainnya. Sedangkan kita juga mempunyai sifat-sifat itu, yakni sekedar sesuai dengan namanya saja dan bukan tentang sifat yang sebenarnya.

[b] Kam Muttasil pada sifat, mustahil juga dapat diterima oleh akal manusia. Pengertiannya ialah, bahwa Allah s.w.t. mempunyai dua sifat atau tiga sifat dan seterusnya. Dan sifat-sifat itu bersatu pada nama dan pengertian, misalnya pada Allah Ta'ala mempunyai dua kudrat atau lebih, dua iradat atau lebih, dua ilmu atau lebih dan seterusnya. Yang demikian ini mustahil pada akal.

Kudrat Allah tetap satu, juga sifat-sifat yang lain tiap-tiapnya itu satu. Allah s.w.t. yang telah menjadikan bumi dengan kudratNya, maka dengan kudratNya itu pula Dia menjadikan langit. Dia menjadikan manusia dan makhluk-makhluk lainnya. Demikian pulalah pada iradatNya, ilmuNya dan pada sifat-sifatNya yang lain dari sifat-sifat kemaha-agungan Allah dan kemaha-sempurnaanNya.

Mengenai dalil wahdaniyah pada sifat, baik pada menolak Kam Munfasil pada sifat dan Kam Muttasil pada sifat dapat difahami dari Burhaanut Tawaarudi dan Burhaanut Tamaanu'i, seperti telah disebutkan di atas.

Wahdaniyah pada Af'al, pengertiannya bahwa Allah s.w.t. adalah Maha Esa pada seluruh perbuatanNya, yakni seluruh perbuatan yang terjadi pada seluruh makhluk, apa saja dan dalam sifat perbuatan bagaimanapun saja, baik secara ikhtiar atau bukan, seperti terjadi sesuatu tanpa dikehendaki, seluruh kejadian itu adalah dari Allah s.w.t. yang menggerakkannya dan menjadikanNya, sedangkan pada makhlukNya semata-mata kasab atau usaha semata.

Sebagian Ulama Tauhid mengartikan kasab dengan:

"Takluk (bertalian) kudrat yang baharu dengan sesuatu yang dikuasai (dikerjakan, diperbuat)."

Sebahagian Ulama Tauhid yang lain mengatakan definisi kasab ialah:

"Kehendak yang baharu."

Di samping itu pula hendaklah kita ketahui bahwa segala sesuatu dalam alam ini tidak sunyi dari empat macam yang harus berkumpul keempat-empatnya ini:

1. Iraadah Saabiqah, yakni keinginan atau kehendak sebelumnya.

2. Kudrat, yakni kudrat manusia di mana ia harus tahu akan kesanggupannya pada mengerjakan sesuatu.

3. Perbuatan, yakni perbuatan manusia pada sesuatu. Dan ini tentunya harus beserta dengan kudratnya.

4. Pertalian antara kudrat dan perbuatan.

Pertalian tersebut itulah disebut dengan Al-Kasbu, yang menurut definisi pertama ialah pertalian kudrat yang baharu dengan sesuatu yang disanggupi. 

Pertalian itu bukan makhluk, sebab itu tidak ada pada kenyataan, ia ada pada pandangan hati saja.

Ada pun kudrat haaditsah dijadikan Allah s.w.t. Jika ini tidak dijadikan Allah, maka ini tidak ada. Tetapi menurut definisi Al-Kasbu yang kedua, yaitu iradah yang bersifat baharu ini adalah makhluk yang dijadikan Tuhan.

Definisi yang terkuat tentang Al-Kasbu, ialah definisi yang telah dikemukakan oleh Imam Al-Asy'ary, yaitu:

"(Sekedar) serta kudrat yang baru bagi segala perbuatan yang bersifat ikhtiar yang diusahakan, hal keadaannya (perbuatan tersebut), sunyi dari berbekas pada sesuatu yang disanggupi (diperbuat dan dikerjakan) akan sebagai berbekas pada menciptakan dan menjadikan sesuatu yang disanggupi itu."

Menurut definisi ini adalah "Al-Kasbu" tidak lebih dari sekedar kudrat yang baharu dengan perbuatan ikhtiar yang tidak ada bekas apa-apa pada hakikatnya. Oleh sebab itu, maka kam munfasil pada Af'al, yakni tidak diperdapat ada pada selain Allah s.w.t. perbuatan yang berbekas seperti perbuatan Allah Ta'ala. Oleh sebab itu apa saja dalam alam ini adalah tidak berbekas apa-apa. Api tidak membakarkan, pisau tidak memutuskan, makanan tidak mengenyangkan. Barangsiapa mengi'tikadkan bahwa ada bekas padasegala alam-alam ini, orang tersebut adalah kafir menurut ijma' seluruh Ulama. Karena berarti ia mengi'tikadkan adanya kekuasaan pada benda.

Menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah, tidak ada apa-apa bagi kita dalam segala perbuatan kita, terkecuali "Al-Kasbu". Berlainan dengan Muktazilah dan Qadariyah, bahwa kitalah yang menjadikan perbuatan yang ikhtiari dengan kudrat yang dijadikan Tuhan kepada kita. Mereka berdalil: Jikalau Allah s.w.t. yang menjadikan segala perbuatan si hamba, tentu yang duduk adalah Tuhan, bukan kita, yang berdiri, yang makan, yang minum, adalah Allah Ta'ala, bukan makhlukNya. Dalil mereka ini tidak betul, sebab yang bersifat dengan memperbuat adalah orang yang memperbuat, dan bukan yang mengadakan perbuatan itu. Lihatlah bahwa Allah Ta'ala, Tuhan kita telah menjadikan hitam dan putih, dan lain-lain warna, misalnya pada benda-benda bertubuh, tetapi bukan berarti bahwa Tuhan itu hitam, putih dan lain-lain.

Berlainan dengan pendapat mazhab Al-Jabariah, yaitu suatu jamaah dari golongan Muktazilah. Mereka berpendapat, bahwa manusia atas segala perbuatannya adalah dipaksa lahir dan batin.

Tidak ada padanya perbuatan, bahkan tidak ada padanya kehendak pada memperbuat perbuatan. Karena itu perbuatan manusia adalah laksana bulu ayam atau kapas tipis yang diterbangkan angin ke mana saja menurut angin.

Pendapat mazhab ini lebih jelek daripada pendapat yang pertama. 

Sebab pendapat ini membawa akibat yang tidak baik, yaitu bahwa Allah aniaya, apabila ia memasukkan hambaNya ke dalam Neraka, oleh karena ia membunuh orang misalnya, padahal manusia itu, menurut pendapat mazhab Al-Jabariah tidak ada perbuatan apa-apa.

Dan ini adalah batal, karena kita harus membedakan manakah gerak yang digerakkan, dan manakah yang bergerak tanpa digerakkan. Gerak yang pertama mempunyai sangsi hukum, dan gerak yang kedua tidak ada sangsi apa-apa.

Berlainan pula dengan mazhab para ahli filsafat yang berpendapat: bahwa Allah s.w.t. telah menjadikan pada manusia itu kudrat, yang dengan kudrat itulah ia boleh berbuat. Pendapat ini banyak dianut oleh orang-orang Islam yang awam, yang kurang ilmu ketauhidannya, sehingga mereka berpendapat bahwa makan itu mengenyangkan, minum itu memuaskan dan lain sebagainya, oleh sebab Tuhan telah menjadikan kekuatan pada nasi, sehingga nasi itu mengenyangkan, memberikan kekuatan pada air sehingga memuaskan dan lain-lain.

I'tikad ini tidak benar, sebab akibatnya membawa kepercayaan bahwa Allah s.w.t. tidak mungkin menjadikan sebahagian perbuatan-perbuatan melainkan Tuhan berhajat lebih dahulu kepada suatu perantaraan, yaitu meletakkan kudratNya kepada benda-benda yang bersangkutan. Allah Ta'ala tidak berhajat kepada segala sesuatu apa saja, tetapi alamlah yang berhajat kepada Tuhan. Barangsiapa yang beri'tikad seperti ini, maka hukumnya berdosa dan mungkin dosa besar. Orang-orang Muktazilah, Jabariah dan filosof-filosof yang berpendapat seperti tersebut di atas hukumnya berdosa dan tidak kafir.

Jadi pendapat Ahlus Sunnah wal Jamaahlah yang melepaskan kita dari kesesatan, kekafiran dan kefasikan, sebab yang berbekas dan yang menjadikan segala sesuatu ialah Allah s.w.t. dengan kehendakNya. Pada waktu bersentuh api dengan benda yang dibakar, maka Tuhan berkuasa dengan kehendakNya, sehingga terbakarlah benda itu. Jadi antara sebab dan musabab ada hubungan pertalian yang menurut adat kebiasaan di mana sewaktu-waktu boleh terjadi, ada sebabnya tetapi tidak ada musababnya. Ada api tetapi tidak membakarkan. Ada air tetapi tidak memuaskan, dan lain-lain. 

Maka menurut Ahlus Sunnah waljamaah bahwa Al-Kasbu, ialah sekedar beserta hati dengan kudrat yang baharu pada segala perbuatan yang ikhtiari. 

Dengan Al-Kasbu itulah kita diberi pahala oleh Allah s.w.t. Dan seolah-olah yang baik itu adalah perbuatan kita, meskipun yang menciptakannya dan mengadakannya adalah Allah s.w.t. dan kita diberi pahala adalah semata-mata karena kurniaNya, bukan suatu keharusan atasNya. Demikian juga apabila kita mengerjakan sesuatu yang tidak baik, kita dianggap berdosa karena Al-Kasbu di atas dan kita disiksa pada hari kiamat, adalah menurut keadilan Allah s.w.t.

Mengenai kam muttasil pada af'al, telah terjadi perbedaan ulama tauhid, apakah ada kam muttasil pada af 'al atau tidak. Perbedaan pendapat ini terbagi menjadi dua bahagian:

1. Sebahagian mereka berpendapat, bahwa tidak mungkin pada akal meniadakan adanya kam muttasil pada afal. Sebab arti kam muttasil pada afal ialah berbilang perbuatan Allah s.w.t. sedangkan berbilang perbuatan Tuhan dapat diterima oleh akal seperti menjadikan makhluk, memberi rezeki, menghidupkan, mematikan dan lain-lain.

2. Pendapat sebahagian ulama tauhid yang mengatakan, bahwa akal dapat menerima pada tidak adanya kam muttasil fil-af'aal, sebab arti kam muttasil fil-af'aal menurut mereka, ada dzat yang membantu perbuatan-perbuatan Tuhan, apakah dzat lain itu qadim atau baharu.

Allamah Syarqawy, sesuai dengan pendapat gurunya, mengartikan kam muttasil fil-af'aal, yaitu ada serikat bagi Allah s.w.t yang tidak boleh berdiri sendiri pada menjadikan dan lain-lainnya. Sedangkan arti kam munfasil fil-af 'aal menurut beliau ada serikat bagi Allah Ta'ala yang sanggup berdiri sendiri pada mengadakan satu-satu perbuatan.

Maka menurut pendapat kedua ini berarti segala kam yang tak dapat diterima oleh akal sebanyak enam kam dan bukan lima kam dan semuanya itu adalah mustahil, sebab tidak menggambarkan wahdaniyahNya atau kemaha-esaan Allah s.w.t. baik pada dzat atau pada sifat dan pada af 'al.

Apabila telah kita fahami tentang wahdaniyah Allah s.w.t. maka dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa tidak ada menyertai Allah sesuatu yang bersifat abadi atau sesuatu yang wujudnya tidak ada permulaan. Cuma Allah s.w.t. sajalah yang Maha Esa pada DzatNya, pada sifatNya dan pada segala perbuatan-perbuatanNya.

Ada pertanyaan kepada sebahagian ahli tasawuf, yang menanyakan: 

Di manakah Allah s.w.t.? 

Mereka menjawab: 

Bahwa Allah adalah di tempat di mana Dia sudah Ada pada sebelum menjadikan tempat itu (yakni Tuhan itu di tempat di mana Dia sudah Ada juga sebelum menjadikan tempat itu). 

Ditanyakan lagi: 

Di manakah Allah Ta'ala sebelum menjadikan tempat itu? 

Mereka menjawab: 

Di tempat di mana sekarang Dia berada.

Dari tanya-jawab ini dapat kita ketahui, bahwa tiada istilah "pada" ketuhanan Allah s.w.t. Perkataan "di mana" dan juga perkataan "tempat" yang menunjukkan pada sifat kebendaan.

Memang Allah s.w.t. di dunia ini tidak mungkin dilihat oleh mata kepala makhlukNya, tetapi Allah dapat dilihat oleh matahati, sehingga hati sebahagian hambaNya yang telah begitu dekat kepadaNya penuh dengan Musyahadah (penglihatan hati) kepadaNya, sehingga tidak ada lagi tempat dalam hatinya pada melihat selain hanya kepadaNya, yakni Allah s.w.t. Apabila hati kita sudah demikian maka terjadilah Fana yang mutlak pada Allah s.w.t. Fana ialah:

"Sesuatu yang menguasai atas hamba Allah (manusia) berupa urusanNya (Allah s.w.t.). Maka menguasailah (menanglah) keadaan Allah atas keadaan hambaNya itu."

Apabila ketauhidan kita kepada Allah s.w.t. sudah mendalam, maka tauhidlah yang lebih berkuasa di hati kita, sehingga selain dari tauhid terkalahkan oleh ketauhidan yang demikian itu. Karena itu maka fana terhadap Allah s.w.t. terbagi kepada dua macam:

1. Fana Zahir, yaitu tajalli, atau dengan kata lain memantul keagungan Allah s.w.t. pada tindak-tanduk seseorang, sehingga ikhtiarnya, kehendaknya dan keinginannya, sudah terlepas dari dirinya, sehingga ia tidak melihat dirinya dan orang lainnya ada perbuatan dan kekuasaan selain kekuasaan Allah dan perbuatanNya. Manusia yang sudah begini keadaannya kadang-kadang mempengaruhi kepada dirinya, aqidah dan perasaan demikian, sehingga ia sampai berhari-hari tidak makan dan tidak minum, terserah kepada Allah s.w.t. sesuai dengan kehendakNya yang Maha Tahu atas segala-galanya. Jadi, apabila aqidah dan seluruh perasaan sudah begitu mendalam kepada Allah, sehingga menjuruslah segala-galanya itu kepadaNya. Perbuatan Allahlah yang meliputi segala-galanya, sehingga ia tidak sadarkan diri lagi baik kepada dirinya maupun kepada orang lain dan lain-lain.

2. Fana Batin, hatinya saja yang fana dan tidak lahiriahnya. Hatinya terbuka pada melihat sifat-sifat Tuhan dan kejadian-kejadian dari keagungan Dzat dan sifat-sifat Tuhan itu. Maka hilanglah segala was-was dalam hatinya dan penuhlah hatinya dengan keyakinan-keyakinan pada Allah s.w.t. sehingga terhindarlah dari hatinya takut dan gentar, kasih dan sayang, selain hanya kepada Allah s.w.t. Fana yang kedua inilah yang selalu ada pada Rasul-rasul Tuhan, Nabi-nabiNya dan para sahabat-sahabat NabiNya dan RasulNya.

Apabila aqidah dan perasaan mengenai ketuhanan sudah sampai kepada taraf fana ini, baik fana zahir atau fana batin, baharulah dapat dirasakan hakikat Kalam Hikmah di atas dengan perasaan yang betul-betul dapat dikatakan manisnya. Ini apabila perasaan tersebut telah menyelinap dalam hati dan batin kita. lnilah maksud syair tasawuf:

•  Alam itu tidak kekal dan tidak kekallah selain Allah yang Maha Benar, karena itu maka tidak ada di sana (pada Allah s.w.t.) sesuatu yang berkumpul dan sesuatu yang bercerai.

•  Telah datang dalil kenyataan tentang ini, karena itu maka aku tidak melihat, dengan dua mataku kepada sesuatu selain Dia pada ketika penglihatanku tertuju menjurus kepadaNya.

Syair ini adalah merupakan ungkapan perasaan penyair terhadap rahasia dirinya, kenapakah ia sampai lupa kepada alam mayapada ini apabila aqidah, ingatan dan perasaannya menjurus pada keagungan Dzat Allah s.w.t. dengan segala sifat-sifatNya.

Kesimpulan:

Kemaha-esaan Allah s.w.t. menu rut penjelasan yang telah kita sebutkan di atas mudah dapat ditangkap oleh akal dan menjadi ilmu pula buat kita. 

Tetapi ilmu itu meresap menjadi perasaan yang menyeluruh bagi diri kita, bukanlah suatu yang mudah.

Ia memerlukan kepada perjuangan yang betul-betul untuk membasmi musuh-musuh diri seperti hawa nafsu, Iblis dan Syaitan, di samping membasmi pula segala penyakit-penyakit hati yang bermacam-macam sebagai takabbur, khianat, hasad dan lain-lainnya. Maka dari itu perpaduan ilmu pengetahuan dengan perjuanganperjuangan di atas; Insya Allah barulah kita mendapat hakikat perasaan keesaan Allah s.w.t. seperti apa yang telah dijalani hamba-hamba Allah yang saleh dari Rasul-rasu!Nya, Nabi-nabiNya dan wali-waliNya.

Mudah-mudahan kita diberikan bantuan oleh Allah s. w. t dengan taufiq dan hidayahNya, semoga kita pun dapat pula dilimpahkan olehNya perasaan hakikat tauhid yang sebenarnya sebagai yang telah dikurniakanNya kepada hamba-hambaNya yang saleh. lnsya Allah wa biidznillah.

Amin, Allahumma Amin.