Chereads / AL HIKAM / Chapter 43 - Beramallah Karena Allah dan Bukan Karena Lainnya

Chapter 43 - Beramallah Karena Allah dan Bukan Karena Lainnya

Dalam Kalam Hikmah sebelumnya sudah diketahui, bahwa menjauhkan diri dari hal-hal yang tak mungkin pada akal terlepas daripadanya, merupakan suatu keanehan, bahkan lebih aneh lagi apabila di samping itu ia mencari dan berusaha dengan sepenuh daya sesuatu yang tidak kekal bersamanya. Hal keadaan ini bukan karena buta penglihatan, tetapi menunjukkan atas butanya matahati. Apabila keadaan tersebut merupakan hal-hal yang disebut dengan ajaib dan aneh sedemikian rupa, maka yang mulia Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary merumuskan jalan keluar yang lebih pendek dan mantap dari hal-hal tersebut di atas dalam Kalam Hikmah beliau yang ke-42 sebagai berikut:

"Jangan anda berjalan dari suatu keadaan (alam) kepada suatu keadaan (alam)" maka adalah anda laksana keledai kilangan yang sedang berjalan, padahal sesuatu yang ia menuju kepadanya (tujuan perjalanannya) itulah sesuatu yang ia berjalan daripadanya (pangkal perjalanannya)."

Dan tetapi berjalanlah anda dari semua keadaan (sekalian jenis alam) kepada Penciptanya. Dan sesungguhnya kepada Tuhanmu (adalah) penghabisan (segala sesuatu). Dan tinjaulah kepada sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: 

"Maka barangsiapa yang adalah hijrahnya (niatnya) kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul. Dan barangsiapa yang adalah hijrahnya pada dunia untuk mendapatkannya, atau wanita untuk mengawininya, maka hijrahnya adalah kepada sesuatu yang ia telah bertujuan kepadanya."

Maka fahamilah olehmu sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: 

"Maka hijrahnya seseorang itu adalah pada sesuatu di mana ia telahberniat kepadanya. Dan fikirilah olehmu hal keadaan ini jika adalah kamu mempunyai pengertian (faham). Dan selamatlah atasmu."

Demikianlah terjemahan rumusan Kalam Hikmah di atas. Kalam Hikmah ini mengandung pengertian-pengertian sebagai berikut:

I. Sebagaimana dimaklumi, bahwa amal ibadat yang beserta dengan riya' adalah tercela dan pada hakikatnya tidak ada artinya apabila ditinjau dari sudut pahala. Apabila seseorang bermujahadah dengan arti diatasinya hawa nafsunya sehingga ia beramal itu bukanlah maksudnya supaya dilihat orang dan lain-lain sebagainya. Tetapi niat hatinya dalam beramal ialah untuk mendapatkan pahala atau untuk mendapatkan limpahan-limphan kurnia, martabat dan derajat dari Allah s.w.t. Maka niat yang demikian pada hakikatnya menurut hamba-hamba Allah yang 'arifin yang telah dekat kepada Allah, yang telah kenal kepadaNya masih tercela dan masih kurang baik juga. 

Sebab tujuannya adalah pahala, derajat dan martabat dari Allah s.w.t. Jadi masih belum ada niat di hatinya menghadap semata-mata kepada Allah, tetapi yang diharapkannya adalah pahala-pahala atau imbalanimbalan dari amal kebajikan. 

Semuanya itu adalah alam. Apakah tujuan beramalnya itu agar Allah memudahkan rezekinya, misalnya ini, adalah alam. Atau tujuannya sesuatu yang ada hubungannya dengan akhirat seperti agar Allah memberikan pahala kepadanya nanti di akhirat, ini pun alam juga. Janganlah niat kita dalam beramal itu tujuannya pada alam, karena alam itu tidak ada habis-habisnya. 

Dan kalaupun habis tetapi kita telah berjalan panjang, sehingga kalaulah kita sampai juga kepada Allah s.w.t., tetapi perjalanan kita telah demikian panjangnya dan telah berbelit-belit dan berliku-liku pula.

Manusia yang dalam beramal karena dipengaruhi oleh niat dan tujuan yang bersifat alam, seperti tersebut di atas, maka tidak lebih kualitasnya dari kualitas keledai kilangan yang selalu berputar di tempat kilangan. Perjalanannya berbulan-bulan dan bertahun-tahun adalah di situ-situ juga. Berputar dari pangkal ke ujung dan dari ujung ke pangkal. Pangkal jalan menjadi tujuan dan tujuan jalan menjadi kebalikannya. Oleh karena itu langusng sejalan dalam niat dan tujuan kepada Allah s.w.t., karena Dialah yang menciptakan sekalian alam mayapada ini. Jangan ada tujuan dan niat kepada selain Allah s.w.t., sebab yang demikian ini adalah bertentangan dengan 'ubudiyah (kehambaan) si hamba kepada Tuhannya.

Semata-mata niat dan tujuan karena Allah s.w.t. artinya karena perintahNya, karena mengharapkan keridhaanNya, dan karena kewajiban kita selaku hambaNya dan karena hak ia selaku Tuhan Yang Maha Pencipta. Apabila hawa itu dalam hati sudah demikian, ibarat berjalan telah dekat kepada tujuan, hampir sampai kepada yang dimaksud, apalagi jalannya mudah, langsung dan lurus tidak berbelit-belit dan berliku-liku. Inilah maksud firman Tuhan menurut penghayatan tasawuf dalam surat An-Najm:

"Dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (sesegala sesuatu)."(An-Najm: 42)

Inilah ikhlas yang hakiki, oleh karena mengandung tauhid yang bersih dari segala macam debu yang terguris dan terbayang dalam hati yang semuanya bertentangan dengan 'ubudiyah si hamba kepada Tuhannya dan yang bertentangan dengan rububiyah Tuhan terhadap makhlukNya.

II. Sekalian yang telah disebutkan di atas adalah arti dari sabda Rasulullah s.a.w., tentang perbedaan antara niat karena Allah dan Rasul dan niat karena lainnya. Segala sesuatu yang diniatkan dalam hati akan disampaikan oleh Tuhan, baik niat itu bertujuan karena Allah dan menjalankan sunnah Rasul, atau semata-mata karena dunia.

Nabi telah mengatakan, bahwa barangsiapa dari sahabatnya yaang bertujuan mengungsi ke Madinah karena maksud dunia, maka ia akan mendapatkannya. Atau karena ingin mengawini wanita juga akan mendapatkan niatnya itu. Maka demikian pulalah jika hijrahnya itu bukan untuk maksud tersebut, tetapi adalah karena semata-mata peperrintah Allah dan RasulNya.

Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary telah menekankan perbedaan antara dua jalan di atas, sehingga beliau berkata: 

"Fikirlah olehmu perbedaan-perbedaan ini, jika kamu ada faham dan ada pengertian padanya tentang falsafah dan hikmah sabda Rasulullah s.a.w. itu. Seorang laki-laki meminta tuntunan kepada Abu Yazid, seorang alim besar Tasawuf. Laki-laki itu berkata kepadanya: "Tuan berikanlah wasiat kepadaku." 

Abu Yazid menjawab: 

"Jika Tuhan memberikan padamu segala-galanya mulai dari Arsy hingga ke dasar bumi, maka mohonkanlah kepada Tuhan, bukan itu yang anda maksudkan, tetapi Engkaulah yang aku kehendaki."

Seorang alim besar tasawuf yang lainnya bernama Abu Sulaiman Ad-Darani r.a., berkata: 

"Jikalau dipilihkan padaku antara sembahyang dua rakaat dan antara masuk syurga Firdaus, maka sungguh aku pilih shalat dua rakaat, sebab aku di syurga adalah menurut untung bahagiaku, tetapi aku dalam shalat adalah beserta Tuhanku." 

Kesimpulan:

1. Apabila kita mengerjakan sesuatu amal, amal ibadat apa saJa, maka tidak boleh riya', karena riya' itu adalah tercela. 

2. Niat dan tujuan dimudahkan rezeki dan dilapangkan Allah dan lain-lain sebagainya, ini tujuan kita beramal kepadaNya, juga tercela. Karena ini adalah alam dan kita tidak dibolehkan bernawaitu untuk itu, karena pada hakikatnya bukan karena Allah s.w.t.

3. Termasuk juga beramal dan beribadat karena mengharapkan pahala dan diampunkan dosa dan lain sebagainya; ini pun pada hakikatnya bukan karena Tuhan di mana kita beribadat untukNya.

4. Hilangkanlah segala alam dari niat dan tujuan pada beramal dan beribadat. 

Tetapi berniatlah betul-betul karena DIA, mencari keridhaanNya, dan mematuhi perintah dan anjuranNya. Inilah yang paling baik dan inilah jalan yang paling pendek, buat sampai kepada tujuan yang murni dan hakiki untuk Allah s.w.t. Mudah-mudahan kita hendaknya selalu dalam niat yang begini sifatnya sehingga semua amal ibadat kita bersih sebersih-bersihnya dari segala hal yang boleh saja membawa kekeruhan niat yang murni antara hamba dengan Tuhannya.

Amin, ya Rabbal-'alamin.