Chereads / AL HIKAM / Chapter 37 - Kontak Hati Dalam Makrifat Kepada Allah

Chapter 37 - Kontak Hati Dalam Makrifat Kepada Allah

Untuk menghilangkan segala keaiban diri dan hati, bahkan juga untuk mengenyahkan segala keragu-raguan yang bermarkas di hati, tidak ada jalan lain selain dari kita harus mengenal Allah s.w.t. dengan ilmu dan makrifat yang hak dan betu}-betul, karena dengannya membawa diri kita takut kepada Allah, di samping cinta dan dekat denganNya.

Manusia dalam hal ini tidak sama, tetapi mempunyai martabat-martabat sesuai dengan ilmu dan makrifatnya kepada Allah s.w.t. Untuk itu maka yang mulia Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary, telah menyingkapkan rumusan masalah tersebut dalam Kalam Hikmahnya yang ke-36, sebagai berikut:

"Cahaya matahati (syu'aa'ul bashiirati) memperlihatkan pada anda hampirNya (Allah s.w.t.). Penglihatan yang jelas dari matahati ('ainul bashiirati) memperlihatkan pada anda ketiadaan anda (apabila dilihat) bagi wujudNya Allah s.w.t. Kebenaran penglihatan matahati (Haqqul bashiirati) memperlihatkan pada anda adaNya Allah s.w.t.; bukan ketiadaan anda dan wujud anda." 

Kalam Hikmah ini meskipun ringkas, tidak begitu panjang, tetapi mengandung pengertian yang mendalam sekali. Ulama-ulama Tauhid dan Tasawuf telah membagi-bagi martabat manusia selaku hamba-hamba Allah tentang dalam atau dangkal makrifatnya terhadap Allah, kepada tiga bahagian:

I. Disebut dengan istilah Syu'aa'ul Bashiirati atau terjemahannya dapat dikatakan dengan "cahaya matahati". Maksudnya bahwa Allah s.w.t. telah mengurniakan kepada hamba-hambaNya yang dikehendaki olehNya pemberian cahaya akal, yakni akalnya dan matahatinya tertuju kepada iman yang mantap, terhunjam dalam dirinya. Barang siapa yang telah bersinar cahaya akalnya yang kontak dari matahatinya, maka ia merasakan dengan penuh perasaan, b.ahwa Allah s.w.t. dekat kepadanya. Dekat dalam ilmu Allah dan dekat dalam ta'alluq sifat-sifatNya yang berhubungan dengan sekalian makhluk-makhlukNya.

Dengan demikian matahatinya dan seluruh perasaannya melihat, bahwa Allah s.w.t. melihatnya dalam segala gerak-geriknya dan apa saja yang terjadi padanya. Karena itu maka ia sangat bermalu kepada Allah s.w.t., apabila ia mengerjakan hal-hal yang dilarang oleh Allah, dan apabila ia meninggalkan hal-hal yang diperintah Allah s.w.t. lnilah martabat sebagai pertanda di mana faedahnya sebagai telah disebutkan tadi, yaitu hatinya selalu diliputi malu kepada Allah, sebab hatinya dan seluruh perasaannya mengetahui dan merasakan, bahwa Allah s.w.t. melihatnya atas segala sesuatu yang dikerjakannya.Martabat ini disebut juga dengan istilah "Nurul Aql"(cahaya akal) atau dengan istilah "ilmul yaqin".

II. Martabat yang disebut dengan 'Ainul Bashiirati atau dapat diterjemahkan dengan "penglihatan yang jdas dari matahati". Maksudnya ialah, apabila keimanan kita sudah meningkat, sehingga hati kita meyakini sudah, bahwa pada hakikatnya segala sesuatu dari semua makhluk yang telah dijadikan oleh Allah s.w.t. adalah "tiada". Sebab semuanya itu dijadikan Allah dan semuanya itu tidak kekal, yang kekal cuma wujud Allah s.w.t. Tuhanlah yang bersifat dengan "Ada" yang hakiki. Dialah yang Maha Kaya dan Maha segala-galanya. Sedangkan segala sesuatu selainNya, berhajat kepadaNya dalam apa saja, kapan saja, dan di mana saja.

Justeru keimanannya yang telah meningkat itu, memantulkansuatu kenyataan yang terang dan jelas dalam matahatinya, sehingga membawa pada seluruh perasaannya yang mendalam, bahwa ia dalam segala hal selalu tawakkal dan menyerahkan dirinya kepada Allah s.w.t. Bagaimana menurut Allah, itulah yang baik pada dirinya. Meskipun orang melihat dia mengerjakan rencana-rencananya, tetapi itu adalah sekedar rencana makhluk belaka, sedangkan hatinya dan seluruh perasaannya tidak melupakan Allah, bahkan menyerahkan saja segala sesuatu kepada Allah dan Allahlah yang mengetahui atas segala-galanya. Hamba-hamba Allah yang diberikan kurnia oleh Allah s.w.t. dengan martabat ini dapat kita misalkan, penglihatan dan perasaan mereka melihat semua makhluk ini seperti melihat cerita dalam filem, yakni yang kita lihat itu adalah gambar-gambar orang dan bukanlah orang yang sebenarnya. Wujud gambar bukanlah wujud yang hakiki, sebab gambar itu adalah bayang-bayang yang diambil dan diputar, tetapi wujud yang sebenarnya pada sesuatu yang digambar. Jadi mereka meskipun melihat gambar, tetapi hakikatnya mereka melihat orangnya. Mata melihat gambar, tetapi hati melihat orang. Demikianlah, hamba-hamba Allah yang dalam martabat ini meskipun mereka hidup dalam alam dunia, melihat dan berbuat sebagai makhluk Tuhan, hal keadaan itu adalah menurut pandangan lahiriah semata-mata. Sedangkan iman yang telah tertanam dalam hati, jiwa dan perasaan mereka melihat, bahwa hakikat wujud yang sebenarnya dalam arti yang luas adalah pada Allah s.w.t.

Martabat ini disebut pula dengan istilah Nurul Ilmi (Cahaya Ilmu) dan dengan istilah 'Ainul Yaqin, yakni keyakinan itu bukan hanya merupakan ilmu saja, seperti pada martabat pertama, tetapi telah disaksikan adanya oleh keyakinan itu sendiri Nabi Allah Daud a.s. telah menerima wahyu dari Allah s.w.t. yang berbunyi:

"Hai Daud! Kenallah padaKu dan kenal (pulalah) dirimu." 

Nabi Daud berfikir, apa yang dikehendaki oleh Allah dengan wahyuNya itu. Kemudian setelah beliau lama berfikir, maka Nabi Daud munajat kepada Allah dengan kata-katanya yang di antaranya sebagai berikut:

"Wahai Tuhanku! Aku kenal Engkau dengan kemaha-esaan, Kekuasaan yang Maha Agung dan hidup kekal yang terus-menerus yang tidak ada batasnya, dan aku kenal diriku dengan kedhaifannya, kelemahannya dan tidak kekal (dalam segala hal) ... ."

Kemudian Allah s.w.t. menjawab perkataan Daud dengan:

"Wahai Daud! Sekaranglah engkau telah mengetahui aku dengan betul-betul kenal (yang sebenarnya)." : Kitab Bainasy Syariiati wal Hakiikati, oleh: Muhammad Abdullah As-San'ani hal. 21, Percetakan Nurul Amali, Cairo.

Dari ini dapatlah kita ketahui, bahwa apa yang telah kita sebutkan di atas bukanlah suatu perasaan sekedar perasaan saja, tetapi membawa kepada faedah-faedah dalam mencapai segala kebaikan-kebaikan, baik di dunia dalam bidang akhlak yang murni, maupun di akhirat sebagai hasil yang tidak mungkin dinilai kebahagiaannya atas kesyahduan keyakinan aqidah.

III Martabat terakhir disebut dengan Haqqul Bashiirati, atau dengan terjemahan: "Kebenaran penglihatan matahati".

Ini adalah tingkat tertinggi dalam kemantapan iman dan aqidah pada makrifat terhadap Allah s.w.t. Kita apabila telah sampai pada martabat ini,yakni iman kita telah berada pada tingkatan perasaan dan penglihatan hati dan akal, bahwa semua ilmu yang telah kita punyai sebelumnya mengenai Allah s.w.t. tentang DzatNya dan SifatNya telah dapat kita rasakan kebenaran yang sesungguhnya, yakni laksana benda sudah dapat dipegang dan dilihat pula oleh mata kita sendiri.

Saling tertuju seluruh hati, jiwa dan perasaan kita pada sesuatu boleh menimbulkan kita sendiri tidak sadar pada diri kita adanya dan tidaknya. 

Tenggelamlah kita dalam kelalaian terhadap diri kita, sehingga kita tidak melihatnya, baik adanya dan tidaknya. Misal yang lain seperti orang gunung yang tidak pernah sekali juga melihat kota dan segala yang belum pernah dilihatnya. Saking menjurus penglihatan dan perasaannya pada yang ia lihat boleh membawa lupa dan tidak ada perhatian, apakah uangnya dicopet orang atau tidak dicopet orang dan lain-lainnya.

Maka demikian pulalah bagi sebahagian hamba Allah yang imannya telah begitu tinggi dan mendalam, sehingga hatinya dan jiwanya serta seluruh perasaannya menjurus kepada suatu arah, bahwa yang "ada" adalah Allah s.w.t. Tetapi selain daripada Alla h,gelap sama sekali pada seluruh perasaan dirinya. 

Pada waktu itulah ia tidak sadar lagi pada dirinya, dan mulailah ketika itu ia mabuk cinta kepada Allah s.w.t. Tidak sadar ia pada dirinya bukan oleh karena hilang ingatannya, tetapi karena menjurus perasaannya kepada Allah s.w.t. maka tidak sadar ia sama sekali. Itu disebut dengan istilah: Al-Fanaa'u. Dan kebulatan ingatan dan perasaan kepada Allah s.w.t. disebut dengan Al-Baqaa'u.

Pada suatu peristiwa Saiyidina Abu Bakar As-Siddiq r.a. ditanya orang mengenai bagaimana mengenal Allah. Si penanya bertanya:

"Dengan apakah anda mengenal Tuhan anda?"

Beliau menjawab:

"Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku, dan jikalau bukan karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan mengenal Tuhanku."

Yang bertanya menanya lagi kepada Saiyidina Abu Bakar:

"Dan adakah mungkin bagi manusia dapat mengenal Tuhan?"

Beliau menjawab:

"Lemah pada menangkap tangkapan adalah mengetahui sesuatu."

Dialog antara Abu Bakar As-Siddiq dengan penanya merupakan dalil bagi kita, bahwa mengenal Allah s.w.t. itu baru betul apabila pancaindera kita dan semua alat tangkapan diri kita sudah tidak sanggup lagi meningkat pada memperdapat hakikat Dzat Allah dan segala sifat-sifatNya. Sampainya kita pada titik kelemahan mengenal Allah dalam perasaan yang bertingkat-tingkat tentu tidak mungkin jika Allah s.w.t. tidak memberikan kurniaNya kepada kita dengan ilmu-ilmu hakikat yang merupakan rahasia-rahasia halus yang hanya dibukakan oleh Tuhan sebagian rahasia-rahasia itu kepada hamba-hambaNya yang dikehendaki olehNya saja.

Inilah arti kata Saiyidina Abu Bakar di atas: "Aku kenal Tuhanku dengan Tuhanku, dan jikalau tidak karena Tuhanku, maka aku tidak kenal kepadaNya." 

Tingkatan ini disebut juga dengan istilah: Nuurul Haqqi (Cahaya Tuhan yang Maha Besar) atau Haqqul Yaqin (keyakinan yang sebenarnya).

Kemudian timbul suatu pertanyaan, kenapa Al-Fanaa'n, yakni tidak sadarkan diri pada diri tidak ada kejadian pada Nabi dan sahabat-sahabat beliau, tetapi kejadian pada sebagian ulama-ulama sufi sesudahnya? 

Jawabnya ialah, bahwa Nabi adalah tingkatan tinggi. Dan sahabat-sahabat 

Nabi mcmandang pada ummat sesudahnya termasuk pada tingkatan tinggi. 

Keimanan Nabi dan juga keimanan para sahabat Nabi jauh lebih tinggi dari keimanan manusia-manusia sesudah beliau dan para sahabatnya. Nabi dan para sahabatnya adalah laksana kapal-kapal besar dan tentu saja kapal Nabi lebih besar dari sampan-sampan, dan lain-lain.

Kapal-kapal besar belayar di samudera lautan adalah biasa saja melewati gelombang-gelombang besar di samping taufan dan badai. Tetapi bagi kapal-kapal kecil, jangan cuba-cuba menghadapi gelombang-gelombang besar, di samping badai dan taufan. Hendaklah difikirkan sebelumnya, apakah mungkin selamat atau tidak. Kita katakan selamat, tetapi ketahuilah, bahwa seluruh penumpang di atas kapal kecil itu tidak sunyi dari ketakutan, mabuk, bahkan pusing yang menyebabkan boleh tak sadarkan diri.

Maka demikian pulalah keimanan ummat Islam yang bukan Nabi dan sahabatnya, tidak mustahil akan terjadi hal-hal yang demikian, sehingga menimbulkan tidak sadarkan diri pada semua yang ada, karena beratnya nilai tauhid yang demikian mendalam dan tinggi pada Allah s.w.t. Janganlah makanan burung dang dimakan oleh burung pipit. Karena, makanan burung dang tidak akan dapat ditelan oleh burung pipit yang kecil-kecil itu.

Kesimpulan:

Tingkatan-tingkatan di atas merupakan derajat-derajat keyakinan pada Allah s.w.t. yang membawa cabang-cabang kebaikan yang banyak sekali, baik secara duniawi, atau secara agamawi. Itulah sebabnya maka Luqman Al‑Hakim berwasiat kepada puteranya sebagai berikut: 

"Wahai anakku! Tidak ada kesanggupan mengerjakan amal apa saja jika tidak disertai dengan yakin. Seseorang tidak beramal terkecuali menurut ukuran keyakinannya. Amal seseorang dapat dikatakan tidak bernilai, karena tidak bernilai keyakinannya."

Demikianlah wasiat Luqman Al-Hakim pada puteranya itu.Kadang-kadang seseorang mengerjakan amal yang sedikit dan tidak banyak, tetapi apabila ia mempunyai keyakinan yang baik, maka amalnya tadi lebih mulia daripada yang amalnya kuat, banyak, tetapi lemah dalam keyakinan. Dan orang yang lemah keyakinannya akan dapat dikuasai oleh kehinaan dosa-dosa.

Untuk menebalkan keyakinan kita dalam ilmu makrifat kepada Allah s.w.t. ialah dengan selalu belajar Ilmu Tauhid dan Tasawuf kepada guru-guru yang dapat meningkatkan ilmu pengetahuan kita dalam merasakan nilai-nilai tinggi dari Tauhid dan Tasawuf itu buat diri kita. Dengan demikian maka kita akan jauh dari ilmu-ilmu yang sesat dan menyesatkan, atau ilmu agama yang hanya sekedar kulit belaka, tetapi kita tidak dapat menjangkau isinya dan saripatinya. Amalkanlah ilmu-ilmu agama yang sudah dipdajari demi untuk memberikan kesuburan kepada aqidah iman menurut hakikat tauhid dan tasawuf. lnsya Allah Dia akan mengokohkan iman dan keyakinan kita terhadapNya, Amin, ya Rabbal-'alamin!