Dalam Kalam Hikmah yang lalu telah kita ketahui, bahwa melihat kepada aib-aib, kekurangan-kekurangan dan kelmahan-kelemahan diri adalah lebih utama dari melihat pada segala sesuatu yang indah, tetapi masih jauh tempatnya, sedangkan untuk menghasilkannya tidaklah segampang penglihatan pemikiran sepintas lalu. Namun demikian kita akan sukses mendapatkannya, apabila kita menjalani syarat-syarat seperti yang telah dapat difahami dari penjelasan yang lalu.
Kemudian Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam Kalam Hikmahnya yang ke-33 ini mengemukakan pada kita, bahwa sekalian keindahan itu terdinding dengan adanya keaiban-keaiban diri di mana masih mencekam pada diri hamba Allah yang bersangkutan. Untuk itu maka beliau telah merumuskan dalam Kalam Hikmahnya sebagai berikut:
"Allah s.w.t. yang Maha Benar, tidak terdinding, dan bahwasanyayang terdinding pada melihat kepadaNya adalah anda, karena jikalau Allah didinding oleh sesuatu, sungguh Dia ditutup oleh sesuatu yang meliputi bagi adaNya. Jikalau ada bagiNya ada yang menutup sungguh diperdapat sesuatu yang meliputi bagi adaNya. Sedangkan tiap-tiap yang meliputi sesuatu berarti ia berkuasa pada sesuatu itu, padahal Dia (Allah s.w.t.) berkuasa atas semua hamba-hambaNya."
Demikianlah terjemahan Kalam Hikmah Ibnu Athaillah di atas. Sekarang marilah kita pelajari pengertian Kalam Hikmah tersebut.
I. Sudah banyak dalil-dalil yang kita uraikan sebelumnya, bahwa Allah s.w.t. tidak terhijab dan tidak terdinding oleh sesuatu apa pun, cuma kita saja yang tidak melihat, oleh karena pada kitalah hijab-hijab (dinding-dinding) yang menjadi batas antara kita dengan Allah sehingga kita tidak dapat melihatNya. Hal keadaan ini sudah terang persoalannya dan tidak perlu lagi kepada dalil-dalil dan argumentasi-argumentasi.
Hijab-hijab itu terbagi kepada dua bahagian:
1. Hijaabul Bashari, yakni hijab penglihatan mata, yaitu kita tidak melihat, oleh karena memang mata kita tidak mungkin melihat Allah di dunia, sebab dunia ini adalah tempat segala kekurangan, sedangkan Allah adalah Dzat yang Maha Sempurna. Jadi tidak mungkin mata kita melihat Allah s.w.t. di dunia yang fana ini, selain di akhirat. Di sanalah kita melihatNya setelah kita berada di syurga Jannatun-naim. Demikian menurut Hadis Rasulullah s.a.w.
2. Hijaabul Bashiirati, yakni dinding yang menghambat penglihatan matahati. Apabila matahati kita sudah terdinding dengan hijab-hijab di mana dengannya akan menimbulkan kegelapan hati untuk tidak melihat Dzat Allah s.w.t. dan sifat-sifatNya yang mulia dan utama. Apabila hijab-hijab ini sudah hilang, maka terbukalah sinar hakikat. Maka kita lihatlah kejombangan dan keagungan yang Maha Sempurna Allah s.w.t.
Apakah hijab-hijab itu? Hijab-hijab itu ialah keaiban-keaiban hati, jiwa dan diri. Apabila hati, jiwa dan diri kita telah bersih dari keaiban-keaiban ini, maka terbukalah pintu ghaib dan kita pun mendapatkan rahasia-rahasia yang baik dari Allah s.w.t.
Seorang ulama tasawuf bernama Dzun Nun AI-Misry berkata tatkala ditanyakan pada beliau sebagai berikut:
"Apakah hijab yang paling halus dan yang paling bersangatan?"
Dzun Nun Al-Misry menjawab:
"Melihat diri dan mengaturnya."
Maksudnya, bahwa hijab yang mcndinding manusia terhadap Allah s.w.t. adalah hijab yang paling halus dan bersangatan, yaitu: melihat diri dan mengurusnya. Yakni mengarahkan fikiran, daya dan usaha pada memikirkan alam jasmaniah saja dapat menghambat matahati kita terhadap Allah s.w.t.
Kita bukan tidak boleh mengatur dan mengurus diri, tetapi mengatur jangan sampai kelewatan batas sehingga merupakan hubungan kita dengan Allah s.w.t. dapat terhalang. Apalagi melupakan tugas-tugas kita selaku hamba terhadap Tuhannya. Hal keadaan ini dilarang oleh akhlak Tauhid dan Tasawuf.
Kita diperbolehkan mempunyai rumah yang besar indah dan kendaraan yang bagus mengilap. Harta kekayaan yang berlimpah-ruah, dan menjaga kesihatan dengan sebaik-baiknya. Tetapi semuanya janganlah dapat melalaikan kita, atau bahkan melupakan kita kepada Allah s.w.t. Apabila hal keadaan ini rncnimbulkan kelalaian dan kelupaan, maka semuanya ini menjadi hijab-hijab bagi kita terhadap Allah s.w.t. Yang dilarang ialah hal keadaan itu menjadi dinding antara kita dengan Allah s.w.t.
Pada hakikatnya bagi seorang mukmin yang betul-betul beriman kepada Allah, biarlah tidak mempunyai apa-apa asal ia mempunyai hubungan yang selalu baik dengan Allah. Kadang-kadang mereka melarat, miskin dan papa tidak menjadi soal baginya, asal di situ ada keridhaan Allah s.w.t. Sebab ia mengetahui, bahwa dunia ini bukanlah tempat bersenang-senang dan bukanlah tempat memungut hasil jerih payah, tetapi adalah tempat beramal dan berjuang yang hasilnya nanti akan diterima di akhirat, di syurga, tempat nikmat yang diridhai oleh Allah s.w.t.
Inilah yang dimaksud oleh sabda Rasulullah s.a.w. dari Hadis Ibnu Umar r.a.:
"Dunia adalah sel (penjara) orang mukmin dan syurga bagi orang kafir."
Penjara orang mukmin maksudnya, bahwa dunia ini bukan tempatnya bersenang-senang, sama dengan penjara bagi orang-orang yang ditahan di dalamnya. Karena itu adanya percubaan-percubaan Allah pada hamba-hambaNya di dunia, dan adanya tugas-tugas yang diberikan Allah pada hamba-hambaNya di dunia adalah wajar. Sebab hasil yang kita tuju dengan semuanya ini ialah kebahagiaan di akhirat.
Karena akhirat adalah zaman yang kekal buat hamba-hambaNya, yang ahli syurga di dalam syurga dan ahli neraka di dalam neraka apabila Allah tidak memberikan keampunan kepada mereka.
Syurga bagi orang kafir maksudnya, orang kafir tidak ada harapan mendapat kebahagiaan ukhrawi di syurga nanti. Karena itu biarlah sebab mereka hanya mendapat kesenangannya di dunia saja, yaitu sebelum mereka mati dan sebelum nyawanya ditarik Malaikat Maut.
Hadis ini tidak menghambat kemajuan dan pembangunan, sebab Islam tidak melarang kemajuan dan pembangunan, tetapi bahkan menganjurkan-nya. Islam menghendaki supaya kemajuan pembangunan itu bukan hanya untuk di dunia saja, tetapi juga untuk di akhirat. Orang kafir adalah untuk di dunia saja, karecna itu perjuangan mereka tidak banyak, selain hanya untuk kepentingan duniawi.
Tetapi orang Islam berjuang untuk dunia dan akhirat. Karena itu tidak ada tempat istirahat bagi Muslim yang mukmin, selain hanya di alam kubur, di mana pada waktu itulah ia dapat merasakan istirahat dari semua keletihan di dunia untuk bersiap-siap menerima hasil usaha amaliah dan perjuangan yang telah dikerjakan selama ini, sewaktu masih di alam dunia. Maka bagi orang Muslim yang mukmin dalam beramal dan berjuang harus memelihara hubungan yang baik antara dia dengan Allah s.w.t. dan antara dia dengan manusia dan alam sekitarnya.
II. Ketahuilah andainya Allah s.w.t. terdinding oleh sesuatu, tentu Dzat Tuhan dan sifat-sifatNya tidak mempunyai keluasan yang Maha Luas dengan arti yang seluas-luasnya. Tentu sudah ada yang membatasinya dan tentu yang membatasinya itu berkuasa atasNya.Padahal keadaan ini adalah mustahil pada akal. Allah s.w.t. telah berfirmandalam Al-Quran:
"Jika Allah menimpakan kemelaratan atau bala kepada anda tiadalah yang akan menghilangkannya melainkan Dia; dan jika Dia menurunkan kebajikan atas anda, maka Dia berkuasa atas sesuatu. Dia yang berkuasa atas segala hambaNya. Dia bijaksana lagi mengetahui." (Al-An'am: 17-18)
Jadi Allah s.w.t. mempunyai sifat-sifat yang Maha Mutlak, di samping DzatNya juga Dzat yang Maha Mutlak. Dia yang mendatangkan penyakit dan Dia yang menyembuhkannya, dan Dia yang mendatangkan segala sesuatu.
Dia Maha Kuasa dan Perkasa. Dia di atas semua ketinggian dan kemuliaan.
Dia Maha Bijaksana, Maha Mengetahui dan Maha pada segala sifat-sifat keutamaan.
Mustahil yang Maha Agung sedemikian rupa dapat terdinding oleh sesuatu.
Bahkan tidak sanggup hati kita menggambarkan sampai di mana keagungan dan kehebatan Allah s.w.t. Adapun yang bersifat dengan hijab adalah makhluk-makhlukNya. Sebab makhluk tersebut bersifat dengan sifat-sifat kekurangan.
Manusia misalnya, semakin tinggi kedudukannya, semakin tinggi pangkatnya, maka semakin banyaklah hijabnya, antarnya dengan manusia lainnya. Hijab yang berupa polisi, tentara dan lain-lainnya. Rumahnya dijaga, ke mana-mana dia dikawal sehingga ia selalu beserta dengan hijab-hijab itu. Ini menunjukkan bahwa manusia ini, demikian juga alam lainnya, tidak sunyi dari hijaib-hijab, tetapi tidak demikian dengan Allah s.w.t.
Kesimpulan:
Apabila keinginan kita berhubungan dengan Allah s.wt. secara langsung di mana tidak ada hijab-hijab antara kita dengan Allah s.w.t., maka sebelum segala sesuatu, lihatlah lebih dahulu segala kekurangan-kekurangan kita, sifat-sifat yang tidak baik dan penyakit apakah yang masih ada tersimpan di dalam hati kita.
Obatilah semua penyakit-penyakit itu dan bersihkanlah diri dari semua itu. Kemudian berpakaianlah dengan pakaian ibadat dan 'Ubudiyah, dan barulah kita berjalan kepada Allah sambil bertawakkal kepadaNya dengan tujuan untuk menghampirkan diri dengan sebaik-baiknya dan sehampir-hampirnya, sehingga kita betul-betul dekat dengan Allah s.w.t. Amalkanlah ini. Dan mudah-mudahan kita diberi petunjuk oleh Allah s.w.t.
Amin, ya Rabbal-'alamin.