Chereads / Let me be carefree, please / Chapter 42 - Student once again

Chapter 42 - Student once again

Eideth mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari seorang profesor di Tarnum. Tesis teori yang Ia kerjakan dengan susah payah dirobek tanpa dibaca sedikitpun. Jujur Ia kesal, tapi Ia juga merasa hal itu lucu. Eideth menatap Pria itu dengan kebencian mencoba menarik agresi darinya. Reaksi Pria itu membuatnya menurunkan niat tak baik itu, Ia mundur seketika saat Eideth baru mencoba maju. 

 

Eideth menunduk ke bawah mengumpulkan kertasnya yang dirobek. Yuna mau membantunya tapi Pria itu menghalanginya. Suasana kantor jadi tidak nyaman karena keributan itu. Pria itu menahan senyumnya merasa bangga menginjak-injak rakyat jelata di hadapannya. Ia menghentikan rapalan yang Ia persiapkan sebelumnya.

 

"Anda menurunkan kewaspadaan Anda semudah itu" ujar Eideth memungut kertasnya. Pria itu kaget Eideth menyadari itu. "Itu sihir penjerat yang cukup kuat, rapalannya juga unik, bentuk tanaman merambat dengan… duri, ide yang bagus" tambahnya, Eideth mendeskripsikan sihir Pria itu dari observasinya. Pria itu kaget Eideth membaca sihirnya, kemampuan pengamatannya luar biasa. Eideth berhasil memungut semua kertas itu dan menaruhnya diatas sebuah meja.

"Kalau Profesor membaca tesisku, profesor pasti tahu sihir apa yang kukembangkan" lanjutnya, Eideth mulai merapal membuat kantor itu fokus padanya. Tidak seperti Pria itu yang menyimpan Mana dalam tubuhnya untuk merapal, Eideth merapal sebuah mantra tanpa memiliki Mana sedikitpun. Bukannya Kantor itu tak memiliki Mana sedikitpun, hanya saja jumlahnya sangat kecil, hampir tak ada gunanya merapal mantra menggunakan Mantra disekitar. Mengharapkan sihir Eideth gagal, ekspektasi mereka segera patah seperti ranting kering. 

 

Robekan kertas itu perlahan menyatu kembali, kotoran pada halamannya menghilang, kertas itu kembali seperti sebelumnya tanpa renyuk sedikitpun. Mata mereka melotot dengan ketidakpercayaan. "Tidak mungkin, itu sihir level 0 yang baru dikembangkan, bukannya tesis itu baru dibuat kemarin" ujar mereka tak percaya. "Profesor, asal Anda tahu, Dialah penemu teori dasar tentang sihir level 0 itu" ungkap Yuna. Merasa pekerjaannya sia-sia, profesor itu pergi dengan malu tanpa berkata apa-apa. Setidaknya Ia tidak memberi ancaman menyebalkan. 

 

Yuna meminta maaf atas ketidaknyamanan itu dan Eideth membalas tak masalah. Lanjut dengan tesisnya, Yuna mulai membaca dengan teliti. Ia mengambil waktu untuk memperhatikan halaman itu satu per satu. "Eideth… banyak sekali kesalahan disini" tunjuk Yuna. Eideth sudah melihat Yuna mencoret beberapa halaman pertama, namun Ia terus memberi tanda di halaman lanjutan. Eideth mengira Ia sudah memahami sepenuhnya cara menulis tesis, tapi Ia masih membuat kesalahan. Ia menerima kritik itu dan berterima kasih karena Yuna menunjukkannya dengan blak-blakan. Ia berjanji untuk memperbaiki penulisannya.

 

Eideth keluar dari kantor dan membaca semua petunjuk yang ditinggalkan Yuna. Tak hanya itu, Yuna memberi sebuah catatan rekomendasi untuknya. Eideth hendak kembali ke perpustakaan, Ia bertemu dengan para Siswa baru yang Ia kenal. "Senior" Uno berteriak memanggilnya seperti biasa. Ia tidak bisa menghindar dari bertemu dengan mereka. Bukannya Ia tak ingin bertemu mereka, hanya saja Eideth merasa canggung dengan mereka. 

 

"Hai teman-teman, apa kabar Kalian" sapa Eideth. Itu hanya pembicaraan biasa, sampai Mereka bertanya apa membeberkan identitasnya itu bagian dari rencananya. Eideth menjawab bagian itu bukan dalam rencana namun Ia sudah memikirkan kemungkinannya. Mereka tak menyangka Eideth seyakin itu tidak akan ketahuan. "Apa Senior memberi Kami nama panggilan itu", "ehh?" Eideth tak mengerti. 

 

"Biar Kami memperkenalkan diri Kami, Aku Panta Ceruno, salam kenal" ujar Uno, "Nathan Ardos" lanjut Nathan. Eideth menyadari kebetulan aneh itu, Ia langsung melihat Tres. Tidak mungkin bukan, kesempatan itu sangatlah kecil. Tres bisa melihat Eideth menatapnya, seperti berkata, tolong katakan Aku salah. "Aku… Tris Rhei" jawabnya, Eideth merasa mereka bercanda dengannya tapi semua itu benar. Mereka menjelaskan alasan kenapa Mereka mencari tahu identitas asli Eideth karena alasan itu, nama samaran mereka terlalu mirip. Tidak aneh jika mereka berpikir Eideth merupakan penguji rahasia atau semacamnya. 

 

Eideth mengakui semua itu hanya kebetulan, Ia sama sekali tak tahu nama asli mereka saat itu. "Jujurnya, walau itu hanya kebetulan, itulah yang menggangguku saat itu" ujar Nathan, "benar bukan, tidak hanya Aku yang merasa seperti itu" ujar Yuno. "Tapi itu masih tak menjawab semuanya" ujar Tris, tampaknya mereka masih punya pertanyaan. Karena itu Eideth harus menceritakan kembali pertemuannya dengan Kanan dan alasan asli Ia menyelidiki Tarnum. 

 

Mereka tak percaya ada orang seperti Eideth, begitu berani melakukan rencana setengah matang seperti itu. Eideth mengaku Ia seharusnya bersikap lebih baik lagi. "Tapi Senior tidak menjawab pertanyaan Kami, kenapa Senior membantu Kami saat itu, Senior bisa pura-pura tidak peduli" ujar Tris. Eideth mencoba memikirkan alasan lain dibalik kespontanan aksi waktu itu tapi tak mendapat apapun. "Apa Aku perlu alasan" tanya Eideth balik pada mereka.

 

"Aku tidak pernah butuh alasan untuk membantu orang lain," Mereka tampak heran dengan repson itu jadi Eideth segera melanjutkan, "benar terkadang Aku punya niat tersendiri tapi dari awal Aku tidak perlu hal seperti itu, jadilah baik hati, sesederhana itu". Mereka hanya bisa terdiam mendengarkan Eideth, tak sangka Senior didepannya sangat bijaksana dan ramah. Pemuda didepan mereka diliputi berbagai misteri namun Ia menunjukkan dirinya yang asli tanpa ragu. "Senior berbicara seperti orang tua saja" ungkap Panta.

 

"Benarkah, Aku tanpa sadar terdengar seperti itu, aneh juga ya" balas Eideth. Mereka bahkan berkata Eideth memiliki tatapan mata orang tua dengan membandingkannya dengan keluarga mereka. Eideth hanya beralasan mungkin Ia memiliki mata seperti itu karena kebanyakan membaca buku (Dia jarang). "Eideth…" sebuah panggilan dari orang yang Ia kenal, Lin Yan dan Lin Mei ikut nimbrung dalam pembicaraan mereka. 

 

Mereka menceritakan betapa kagetnya mereka ketika Eideth mengaku sebagai dalang dari semua kejadian itu. "Bagaimana bisa Kamu melakukan semua itu dalam sehari" ujarnya kesal. Sentimen itu sangat normal mengingat Tarnum adalah Akademi ternama, pastinya keamanan terhadap muridnya sangat terjamin. Namun Eideth menghancurkan semua itu dalam sehari dan membuat Tarnum harus memperbaiki sistem mereka. Eideth tak bisa berkomentar banyak. Lin Yan menjadi semakin kesal lagi saat mengetahui alasannya melakukan itu karena kesal kepada atasan Alban yaitu Revnis.

 

"Aku hanya tidak suka saat ada orang yang mengganggu temanku, kau tahu" dalihnya. Mendengar alasannya itu, mereka tersenyum melirik satu sama lain. Walau mereka belum kenal lama dengan Eideth, mereka semua bisa tahu orang seperti apa dirinya. "Kalau begitu, apa Kami temanmu juga" tanya Panta. Eideth menjawab tentu saja sambil memberinya gosokan kepala, bergurau dengannya. 

 

Lin Mei bertanya kenapa mereka memanggil Eideth dengan panggilan Senior, Eideth juga menanyakan hal yang sama. Identitasnya sudah dipublikasi oleh Revnis, mereka bertiga pastinya sudah tahu. Mereka berkata mereka hanya suka memanggil Eideth sebagai Senior, "Kami sudah terbiasa memanggil Senior, Senior gitu" ujar Tris. Lin Yan dan Lin Mei juga ikut-ikutan, mereka tampaknya bercanda tapi semenjak hari itu Senior menjadi nama depannya di Tarnum.

 

Selesai berbincang dengan mereka, Eideth pamit pergi. Mereka bertanya Ia ingin kemana dan Ia menjawab Ia punya janji. Mereka langsung sadar apa yang Ia maksud. Eideth keluar dari Tarnum menuju Kafe di seberang. Disana banyak orang sudah menunggunya, mereka adalah pendaftar yang gagal. Eideth memberi mereka sebuah kertas kosong dan pena. Bingung dengan hadiah aneh itu, Eideth melanjutkan sebelum ada yang bertanya. 

 

"Dengar, Aku akan mengajari Kalian sebuah mantra, katakan mantra seperti apa yang Kalian mau" ungkapnya. Mereka bertanya apa ini serius, Eideth mengaku Ia tidak sepintar itu, namun Ia bisa memberi saran lainnya. Ia tidak punya uang yang banyak atau semacamnya, tapi Ia ingin sekali agar mereka semua tak patah semangat. Meski begitu semuanya diam saja tak mengatakan apa-apa. Pengetahuan akan sihir sangatlah berharga, jadi mereka agak ragu untuk bertanya.

 

Melihat mereka tak ada yang mau bertanya, Eideth memamerkan mantra yang Ia miliki. Mereka langsung takjub melihatnya, hampir tidak ada cukup Mana disekitar untuk menggunakan sihir. "Bagaimana keren bukan" kata Eideth. Karena terlalu sulit untuk mengajari mereka Mantra yang kompleks, Eideth hanya mengajari mereka dasar dari Sihir level 0 miliknya. Ia memberi nama untuk jenis mantra tersebut, "ini adalah Cantrip, semua orang bisa mempelajarinya jika Mereka sering latihan, mantra ini bisa semakin kuat ketika pemahaman Kalian semakin tinggi" ujarnya.

 

Eideth menjelaskan kelemahan mantranya tersebut, Cantrip miliknya punya potensi untuk menjadi senjata menyerang, tapi mereka tidak terlalu efektif dibanding mantra serangan lebih kuat lain. Jika dibandingkan, Cantrip adalah segelas air dan Sihir umum adalah tong yang besar. "Jangan khawatir, kelebihan dari Cantrip adalah nilai guna mereka, Cantrip tidak menggunakan Mana membuatnya lebih efektif dalam penggunaan mereka" jelasnya. Sederhananya, kualitas mereka cukup kecil namun kuantitas kegunaan mereka hampir tak terbatas.

 

Eideth memberi mereka skema lingkaran sihir dasar yang mereka bisa kembangkan sendiri. Eideth juga memberi contoh bagaimana Ia mengembangkan mereka. Ia menunjukkan [Mage Hand], [Prestidigitation], [Mending], [Fire Bolt]. Dengan menggunakan [Stasis], Ia bisa menunjukkan mantra lain yang tidak Ia miliki sebelumnya seperti [Guidance], [Light], [Resistance]. Ia menunjukkan bahwa sihir bukan hanya untuk para penyihir, bahkan petarung jarak dekat dapat menggunakan mereka.

 

Eideth juga memberi mereka motivasi untuk terus melanjutkan perjuangan mereka, mencari peluang lain yang mereka mau, bahkan belajar ke Akademi lain kalau perlu. Ia tidak ingin mereka selesai hanya sampai disini, mereka semua berterima kasih padanya atas pelajaran berharga itu. "Senior" mereka membalas Eideth dengan memberinya pelukan, dan Eideth merangkul mereka balik. Tak satupun dari mereka keberatan berpelukan bersama ras lain, pelukan besar itu adalah pemandangan yang sedikit mengharukan. 

 

Hari mulai malam dan orang-orang mulai pergi, mungkin kembali ke penginapan mereka. Eideth berterima kasih sekaligus meminta maaf kepada Pemilik Kafe sudah menerima mereka semua. Ia menjawab itu bukan masalah, malah berterima kasih kembali karena sudah menolong Kanan dan yang lain. Eideth adalah orang yang keluar paling terakhir diantara mereka semua, Ia meregangkan tubuhnya yang kelelahan. "Fiuh, hari ini cukup produktif" ujarnya kemudian kembali ke penginapan. 

 

Eideth tanpa sadar mendapati dirinya terjaga di tempat aneh lagi, padahal Ia baru saja tertidur sebelumnya. "Ayolah, Aku dibawa kemana lagi" keluhnya. Ia tahu Ia tak punya kekuatan spesial apa-apa, tapi perlakuan yang diterimanya ini sudah terjadi terlalu sering. Eideth melihat ke sekitar mencoba mencari sosok identitas asing ini dan berprasangka siapa yang melakukan ini padanya. Eideth mencoba mengobservasi lingkungan sekitar yang bisa dijadikan petunjuk.

 

Kabut penghalang pandangan menghilang dan Ia bisa melihat lebih jernih. Ia kembali dihadapkan di tempat yang aneh. Kakinya dapat menginjak sesuatu tapi tidak ada apa-apa dibawahnya, sejauh mata memandang hanya ada partikel debu dan bintang. Eideth akan menduga Ia ada ditempat semacam alam lain seperti limbo tapi jelas tidak mirip dengan yang Ia rasakan. 

 

Limbo adalah alam kekacauan yang membingungkan, dimana semua benda bertabrakan satu sama lain tanpa henti. Sebuah tempat yang dapat dengan mudah dijelaskan dengan satu kata, Kekacauan. Namun Ia berdiri disebuah ruang aneh, Eideth mencoba melompat ke udara dan kakinya jatuh kembali ke bawah seperti ada gravitasi. Eideth tidak yakin tapi Ia merasa pemandangan bak nebula itu hanya latar belakang dari tempat kosong ini. 

 

"Yap, hanya wallpaper animasi" ujarnya berjalan menuju sebuah cahaya dan melewatinya tanpa bertabrakan dengan apapun. Eideth benar-benar tidak tahu alam jenis apa ini, Ia sudah sering dibawa kemana-mana tapi ini hal baru. Eideth berlari menuju apa yang dilihatnya sebagai lubang hitam dan mendekati perlahan-lahan. Ia bisa melihat debu bintang mengelilingi lubang hitam itu membentuk spiral pada kutubnya, dan cincin bagai saturnus di sampingnya. Mungkin Ia bisa keluar dari tempat itu jika Ia mati.

 

"Hey jangan kesana" panggil sebuah suara. Eideth bisa merasa tubuhnya ditarik menjauhi lubang hitam itu. Bukan, malahan Eideth merasa ruang tempatnya berdiri bergerak membawanya. Eideth merasa melihat timelapse yang indah selagi Ia mundur, Ia berlari cukup jauh untuk mendekati lubang hitam itu. Pemandangan itu sepadan ujarnya. Eideth bisa melihat Ia akhirnya berhenti dan dihadapkan kepada sebuah bola putih yang redup. Benda itu segera mengomelinya.

 

"Kenapa, Kamu lari kesana, Aku dari tadi memanggilmu tapi Kamu tidak mendengarkan, apa Kamu mau mati" omelnya. "Iya Aku mau mati, bagaimana lagi Aku bisa keluar dari tempat ini" balas Eideth. "Heeh… Kamu tidak suka denganku" tangis suara itu, Eideth segera meminta maaf mendengar suara itu mulai menangis. "Omong-omong Kamu itu siapa" tanya Eideth meggaruk kepalanya. 

 

Suara itu memperkenalkan diri, "Aku adalah Adazh, Aku adalah perwujudan konsep dari sihir". "Tunggu, apa maksudmu, perwujudan sihir" tanya Eideth balik. "Benar, Semua sihir yang pernah ada dan akan ada, adalah Aku, Aku perwujudan sistem sihir dunia ini" Eideth mendapat kisah yang berat dengan tiba-tiba. "Begini, Aku bisa jelaskan, Aku itu—", "tunggu sebentar, ini benar-benar hal baru buatku, Aku minta waktu sebentar untuk berpikir" potong Eideth. Ia sejujurnya masih ragu. Setelah perbincangannya dengan Revnis, Eideth memikir ulang pendiriannya. 

 

Revnis berkata tentang dirinya berlari dari tanggung jawabnya dengan alasan tidak tahu. Ia merasa dirinya begitu egois dan berniat merubah sikapnya itu. Eideth bertekad Ia akan lebih acuh dengan hal menyusahkan seperti itu, namun Ia membuat suatu pengecualian untuk meninggalkan beberapa hal yang berurusan dengan orang lain. "Bukan tugasku mengetahui kisah dunia ini lebih dalam sebelum para Pahlawan" ujarnya waktu itu. Tapi sekarang bukan cerita seperti itu pikirnya. "Baiklah, Kamu bisa cerita, berikan aku Lore itu" sambungnya. 

 

Adazh mulai bercerita. Ketika dewa Artleya menciptakan kenyataan, Ia menciptakan 3 entitas pertama, Omnustruct yang membangun alam fana, Adazh sebuah personifikasi dari sihir, dan Dewa penerus keinginan Artleya sebagai pengatur dan pengawas. Omnustruct membangun daratan, lautan, dan langit tempat makhluk Fana bisa hidup. Adazh memberi berkah sihir kepada semua orang. Kemudian Dewa penerus Artleya mengatur kehidupan semua makhluk. 

 

Eideth mencatat semua itu pada ponselnya. Ia bahkan menanyakan gambaran 3 entitas tersebut sebagai tambahan. Ia menjelaskan bahwa para entitas kuno tidak memiliki bentuk tetap, "oke, berarti seperti slime atau semacamnya" ujar Eideth. "Bukan seperti itu" balas Adazh, Ia berkata bahwa entitas di luar nalar sepertinya mengambil wujud berdasarkan perspektif makhluk fana. Dengan kata lain, wujud yang mereka ambil terpengaruh oleh psikis makhluk Fana tersebut. 

 

"Okay, Lore… teruskan" ujar Eideth. Adazh lanjut menceritakan kisah interaksinya dengan makhluk fana dan bagaimana sihir berkembang. Dari yang Eideth simpulkan, Adazh adalah personifikasi sihir yang mengawasi semua sihir yang ada. Perkembangan sihir di Artleya terjadi ketika makhluk fana mendapat pencerahan dan di perhatikan oleh Adazh. Jika mereka berhasil membujuknya atau meyakinkannya, Ia bisa mengizinkan sihir tersebut. 

 

"Jadi, kenapa Aku kesini, apa ini karena teoriku" tanya Eideth. Adazh mengiyakan, tapi alasan Ia berada disana bukan karena itu. "Eideth, Aku ingin Kamu membuka mata para penyihir" mintanya. Adazh mengatakan bahwa para perkembangan para penyihir menjadi stagnan, mereka hanya meniru mantra yang ditinggalkan oleh penyihir terdahulu dan tidak mau mengembangkan apapun. Bahkan menemukan kembali mantra terlupakan adalah penemuan besar bagi mereka. Adazh tidak ingin sihir yang seperti itu, Ia ingin sihir menjadi lambang untuk kebebasan.

 

Eideth mengerti maksud Adazh. Bagi dirinya, yang seorang manusia biasa tanpa sihir dikehidupan dahulu. Sihir seperti impian manis untuk merubah realita. Bahkan Ia tertarik dengan TTRPG karena alasan itu. Sihir di permainan biasa terkadang begitu… kurang menarik perhatian. "Jadi, apa yang Kamu ingin Aku lakukan" tanya Eideth. Adazh mengeluarkan suara gembira melihat Eideth setuju dengan permintaannya.

 

Sudah 6 hari berlalu, Eideth bangun di kamar hotelnya setelah diteriaki oleh alarm ponselnya. Ia mendapat waktu tidur yang layak setelah sekian lama. Selama 5 hari, Eideth menulis ulang tesisnya. Itu adalah hari yang berat, bahkan untuknya. Tubuhnya jadi agak kaku duduk menulis seharian, ditambah desakan dari Revnis untuk melakukan pengujian pada teorinya. Data yang Ia kumpulkan seorang diri tidaklah cukup dan membutuhkan beberapa relawan lain. 

 

Tidak sulit menemukan bahan penelitian di Tarnum, Revnis bahkan mengerahkan seratus siswa Tarnum untuk ikut percobaan ini. Eideth hanya mengajarkan tiga tipe mantra; [Mending] untuk grup utilitas, [Fire Bolt] untuk grup penyerang, dan [Guidance] untuk grup pendukung. Eideth sangat iri melihat mereka merapal sihirnya dengan mudah. Revnis bertanya kenapa Eideth kesal tapi Ia berkata itu adalah masalah pribadi.

 

Setelah Ia mendapat semua data itu, Ia segera menyelesaikan tesisnya. "Dia terlihat sedikit bersemangat, data itu banyak loh" ujar Revnis, bahkan Ia kaget Eideth memberi wajah seperti itu. Yuna disebelahnya langsung menambahkan sebelum mundur dengan canggung, "profesor, saya titip pekerjaan mengoreksi tesis Eideth pada profesor ya, sampai jumpa". Revnis tidak menyangka pegawainya bersikap seperti itu, tapi Ia tidak kesal. Ia mungkin menerima itu sebagai pengalaman sosial baru.

 

Butuh waktu beberapa jam dan koreksi yang tegas dari Revnis, namun kerja kerasnya akhirnya membuahkan hasil. "Semuanya sudah konkret, yap, ini bagus" Revnis memberinya jempol. Eideth duduk berlutut senang di lantai, akhirnya Ia keluar dari penderitaan itu. "Ayo sekarang Kita latihan presentasi, banyak sekali yang akan Kamu tulis didepan umum" ujar Revnis. Eideth seketika bingung dan Revnis menatapnya balik dengan pandangan yang sama. "Apa yang Kamu maksud dengan menulis…" tanya Eideth.

 

Seorang penyihir Wanita keluar dari kereta kudanya turun ke karpet merah, disana Ia disambut dengan hangat oleh beberapa penjaga. Bukan hanya Ia yang diperlakukan seperti itu, para tamu lainnya yang diundang ke Konferensi Akademik Sihir sudah berdatangan. Konferensi ini adalah acara spesial dimana para penyihir dapat membagikan penemuan mereka untuk membantu perkembangan sihir dunia. Penyihir Wanita itu di panggil oleh seorang pemandu yang sudah disiapkan oleh Akademi. "Permisi Nona, apa Anda Nona Eziel Raziel" tanya Pemandu tersebut. 

 

Eziel tak menyangka yang akan memandunya adalah seorang siswa dari Tarnum. Dari pengalamannya, hal ini belum pernah terjadi sebelumnya. Itu membuatnya berpikir alasan apa yang mendorong perubahan ini. Eziel mengikuti pemandu itu seperti para tamu yang lain, mereka dibawa ke auditorium. Para tamu segera duduk di kursi mereka yang sudah dipersiapkan. Eziel melihat para tamu yang diundang tersebut adalah kumpulan orang-orang jenius dari berbagai tempat. Ia mengenali beberapa wajah ditempat itu, beberapa dari mereka dari perwakilan dari Ibukota Kekaisaran, bahkan ada yang berasal dari luar benua Arkin.

 

Eziel bukanlah orang yang aktif bersosial, acara seperti itu sudah menurunkan semangatnya. Hanya membayangkan berkumpul dengan orang-orang tak dikenal, sudah cukup menjadi alasannya untuk tidak datang. Namun Eziel sudah menetapkan niatnya, semenjak Ia mendapat undangan itu. Saat Agareth memanggil Eideth dengan ponsel yang Ia tinggalkan, Ia menyadari Eideth berada di dalam Akademi Tarnum bahkan memakai seragam mereka. Mengetahui kebiasaan keluarganya, Ia yakin Eideth pasti melakukan sesuatu. Itu bukanlah prasangka buruk, Ia kenal keponakannya dengan baik. 

 

Eziel melihat di kiri dan kanannya hanya orang-orang ada jenius ternama membuatnya bosan. Mungkin karena Ia terbiasa bergaul dengan orang biasa, sedikit lebih mudah berbicara dengan mereka dibanding dengan bangsawan atau semacamnya. Itu juga salah satu alasannya kurang menyukai konferensi seperti ini, Ia merasa seperti hanya orang-orang terpilih yang mendapat anugrah dari pengetahuan. Seperti orang kaya yang terus bertambah kaya dan orang miskin bertambah miskin, orang biasa bahkan tak bisa melihat konferensi ini untuk menambah wawasan mereka. 

 

Ketika Ia berpikir seperti itu, beberapa orang siswa membawa sebuah alat aneh yang terlihat familiar olehnya. Benda yang mereka bawa itu mirip dengan ponsel Eideth. Mereka bukan tiruan asli namun Ia sangat yakin dengan kemiripannya. Bahkan ada beberapa staff membawa semacam kotak besar dengan mangkuk trapesium berisi semacam lensa kaca. Eziel mengira itu semacam lampu sorot karena mereka menghadapkannya ke arah panggung. Ini adalah pengalaman pertama kali untuk semua orang disana, para panitia bersikap sangat aneh.

 

Seseorang kemudian naik keatas panggung untuk membuka acara itu. Host itu berkata bahwa konferensi itu direkam dan diperlihatkan ke publik di beberapa tempat. Ia berkata bahwa perubahan itu diminta oleh Wakil Kepala Akademi berkat saran dari temannya. Ia menjelaskan bahwa benda-benda itu adalah kamera, sebuah alat sihir yang baru dikembangkan oleh Wakil Kepala Akademi. 

 

Revnis naik ke atas panggung dan memulai acara tersebut. Sebagai Wakil Kepala Ia menggantikan Kepala Akademi yang sedang pergi melakukan pekerjaan penting. Dengan ketikan sebuah tombol di tangannya, sebuah alat naik keluar dari bawah panggung seketika menyala menembakan cahaya. Alat itu memproyeksikan beberapa gambar dan tulisan. Revnis menjelaskan bahwa alat itu adalah proyektor, sebuah alat sihir yang Ia kembangkan bersama rekannya.

 

Para penonton kagum dengan berbagai perubahan yang di implementasikan oleh Tarnum. Mereka dapat melihat potensi peningkatan pembelajaran untuk para siswa dengan bantuan alat itu. Eziel tidak menyangka begitu banyak perubahan yang terjadi, terutama saat Ia pertama kali menghadiri acara seperti itu. "Jika ada yang ingin bertanya, didepan Kalian ada sebuah kertas, itu adalah jimat mantra pembesar suara, cara menggunakannya adalah hadapkan kertas itu depan mulut kalian saat berbicara, suara Kalian akan diperbesar" Revnis bahkan mempraktikkannya sendiri. Itu adalah salah satu alat sihir dari benua timur, bisa dilihat dari motifnya jelas Revnis. Ia juga berniat memperkenalkan sihir dari berbagai benua kali ini. 

Eziel memperhatikan baik-baik semua presentasi selama acara. Betapa banyaknya penemuan baru tentang sihir membuatnya sedikit bersemangat untuk melakukan penelitian sihir miliknya sendiri. Eziel mengira rangkaian acara telah selesai namun ada presentasi terakhir. Acara utama yang dinanti-nantikan adalah penemuan tingkatan sihir baru yang tidak menggunakan Mana. Orang biasa mungkin akan langsung tertawa mendengar itu mengetahui tak ada satupun sihir yang dapat bekerja tanpa Mana namun hal itu tidak terjadi pada para jenius. Mereka malah menunggu dengan sabar hingga pembawa acara memanggil penyihir pelopor sihir itu.

 

Dua orang anak muda naik ke atas panggung, dengan mengenakan seragam dari Tarnum mereka memperkenalkan diri. "Selamat siang semua, nama saya Kanan Yereldis dan ini guru saya", "halo, nama saya Eideth Raziel" ujar mereka memperkenalkan diri. Eziel menahan teriakannya melihat keponakannya naik ke atas panggung, dan Ia hampir kelepasan saat Eideth mengungkapkannya sendiri. Eziel segera mengeluarkan ponsel milik agareth yang Ia pinjam (tanpa izin), setelah seharian memainkannya Ia menyadari fitur kamera tersebut.

 

Eziel langsung memikirkan bagaimana semuanya terjadi. Eideth tiba-tiba mengemukakan teori sihir baru, memakai seragam dari Tarnum padahal pergi mendaftar ke Akademi Gonan. Banyak sekali yang ingin Ia tanyakan padanya, tapi Ia segera menyadari sesuatu melihat itu. Ia melihat sisi lain dari keponakannya, Ia menjelaskan teorinya dengan begitu semangat dengan senyum di wajahnya. Ia berpikir apa itu wajah yang Eideth lihat darinya ketika mengajari dirinya sihir. Walau Eideth tidak bisa memakai sihir pada awalnya, Ia tak mau tertinggal dan terus belajar. 

 

Eziel tersenyum bangga melihat keponakan sekaligus muridnya tumbuh menjadi pemuda dewasa seperti itu. Eziel tidak mau mengganggu momen miliknya ini. Ia juga merasakan perasaan perasaan nyaman mendengarkan Eideth dan tidak terganggu oleh orang-orang disekitarnya. "Anak kecil itu sekarang sudah berdiri di panggung yang besar, padahal dulu Ia tak bisa memakai sihir" gumam Eziel. Ia segera menghentikan renungannya dan kembali fokus menyimak penjelasan itu, karena Ia punya banyak pertanyaan untuk menjahili keponakannya nanti.