Chereads / Let me be carefree, please / Chapter 35 - Citadel Of Knowledge

Chapter 35 - Citadel Of Knowledge

Keluar dari ruang pasien, Eideth memimpin kelompoknya. Pergi menuju meja resepsionis untuk bertanya biaya rumah sakit untuk mendapati Alban telah lebih dulu membayar semua tagihan ketika Ia keluar. Hal itu sangat melegakan untuk Eideth, namun perasaan positif itu tidak bertahan lama ketika Ia keluar dari rumah sakit. Kelompok itu berdiri di luar rumah sakit, terpana dengan pemandangan Kota pengetahuan yang sangat memukau. Terlalu banyak hal asing menarik perhatian mata mereka. Kendaraan-kendaraan yang melintasi jalan raya, trotoar dipenuhi orang-orang dari berbagai ras, gedung-gedung tinggi yang mencakar langit diikuti beberapa yang masih dibangun mengejar mereka. 

 

Kelompok itu sangat menarik perhatian mata orang-orang, terlihat sekali bahwa mereka itu turis pikir mereka. Walaupun tampak menarik perhatian, tak ada seorangpun yang memperdulikan mereka karena mereka juga sibuk dengan urusan masing-masing. 'Ini "spotlight effect" ya' ujar Eideth dalam hati ketika Ia menyadari dirinya sedikit malu terhadap pandangan orang-orang. Ia mengutip hal itu dari ingatannya dan kutipan itu mengusir semua pikiran negatif dalam kepalanya seketika. Pikirannya menjadi tenang dan Ia tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.

 

Eideth segera memperhatikan sekitar, mengumpulkan informasi sebanyak mungkin. Jumlah orang pada sebuah jalan, papan tulisan yang berada dimana-mana, bahkan memperkirakan arah mata angin. [d20/20] Eideth segera mengetahui lokasi mereka saat ini berada dimana dan mulai berjalan mengikuti intuisinya. Kelompoknya tak jauh dibelakang mengikuti Eideth, dan Ia sadar untuk berjalan lebih pelan agar tak meninggalkan mereka. Kelompok itu berjalan kaki karena kereta kuda mereka ditahan terlebih dahulu untuk inspeksi di Pos penjaga. Mereka tak bisa melakukan apa-apa selain menunggu kepunyaan mereka dikembalikan. 

 

Setelah berjalan cukup lama dan bertanya pada orang-orang disekitar, ditambah guliran Eideth yang sedang mujur. Mereka mendapat pertolongan dari anak kecil dan dituntun ke sebuah hotel terdekat. Eideth berterima kasih pada anak itu dan memberinya beberapa koin perak sebagai terima kasih. Eideth bersyukur dirinya yang Ambivert memberanikan diri bertanya pada orang-orang, jika tidak, mereka akan berada dijalan lebih lama. 

 

Hotel itu terlihat meyakinkan dari luar. Banyak bunga-bunga menghiasi eksteriornya, ditambah tanaman merambat yang memenuhi dinding memberi perasaan dekat dengan alam. Sebuah papan nama digantung di atas pintu masuk bertuliskan "Radiance Hotel", sedikit tidak cocok pikir Eideth namun pikiran itu segera terbantahkan. Begitu mereka memasuki Lobby, pemandangan memukau membuat rahang mereka terjatuh. Interiornya lebih menakjubkan, tak bisa dibayangkan dari luar. Lantai yang terbuat dari kayu berwarna gelap, pencahayaan alami lewat jendela besar mereka, bersama hiasan bunga dimana-mana membuat suasana lobby itu terasa seperti mereka berada di luar. Tanaman merambat itu tumbuh diatur memenuhi tempat strategis pada kaca membuat cahaya yang masuk tidak berlebihan dan menghangatkan ruangan sampai pada temperatur yang pas. 

 

Pemilik Hotel segera menyambut tamu nya, melayani mereka dengan pelayanan paling ramah. Mempersiapkan kamar untuk mereka semua dan makanan karena sudah waktu makan siang. Setelah Eideth sadar, Ia berada di kamarnya dengan perut kekenyangan. "Fiuh… bahkan makanan mereka luar biasa" puji Eideth. Ia bangun dari kursinya dan membuka balkon berdiri menikmati pemandangan. Ia bersyukur bisa mendapat waktu tenang seperti ini, rasanya Ia sangat bebas dan damai dalam hatinya.

 

Sebuah notifikasi muncul memanggilnya, Ia sudah duga itu panggilan dari GM. "Iya, iya, Aku tahu," Eideth menggaruk kepalanya lewat frustrasi, "ayo kita lakukan ini" ajak Eideth tak mau menunda-nunda. Saat waktu istirahat adalah waktu dimana karakter melakukan aktifitas mereka, karena Eideth seorang karakter kelas ganda. Ia memiliki banyak kewajiban di punggungnya, terutama kelas Warlock barunya. Deith sebagai "kontraktor" nya akan meminta persembahan sebagai balas budi meminjamkan kekuatan [Stasis] padanya. 

 

"Cepatlah, apa persembahan yang kau inginkan" tanya Eideth dengan sedikit mengeluh. Eideth dalam hati masih sedikit tidak suka pada Deith walaupun sudah terjadi begitu banyak hal di antara mereka berdua. Ia tak malu mengakui Ia bangga bertingkah seperti itu karena Ia tetap harus waspada setiap saat. Eideth tidaklah naif mengingat ini adalah kehidupan ketiganya. Mereka berdua sebelumnya membuat peraturan tentang persembahan yang bisa diminta oleh Deith, termasuk hal-hal yang dilarang untuk diminta. Seperti membunuh orang, mencuri, dan tindakan lain yang bersifat kriminal. 

 

[Aku meminta makanan yang baru saja Kau makan tadi] tulis Deith. Eideth bingung dan coba memproses permintaan tersebut dalam pikirannya. "Tunggu, Kau tidak bilang… Kau ingin Aku makan lagi", [Deith mengangguk] tulisnya. "Apa maksudmu Aku harus makan lagi, Aku sudah kenyang" asumsi Eideth benar. [Makan saja] suruhnya, Eideth tak mau berargumen lebih lama dan segera memesan porsi kedua. Pelayan sedikit kaget tapi mereka segera membawakannya lagi. Eideth mulai memakan itu lagi, jujur Ia sudah tidak selera karena perutnya sudah penuh. Namun ketika Ia menelan mereka, Ia tak merasakan makanan itu turun ke perutnya. Eideth tak menahan perkataannya mengetahui hal itu. "Woah… ini beneran," Ia mengunyah dan menelan sesuap lagi, "Aku tak merasa apa-apa, Kau ini Djin atau apa sih" tanya Eideth terang-terangan.

 

[Deith mengatakan itu tadi sangat lezat] tulisnya. "Aku senang Kau menyukainya" balas Eideth mencoba ramah. Eideth selesai memberikan persembahan untuk "Tuan" nya, kini Ia punya banyak waktu untuk digunakan sendiri. Eideth keluar dari kamarnya memutuskan untuk berjalan-jalan. Ia pergi keluar dari hotel dan hal pertama yang Ia pikirkan, "ayo berpetualang" dengan yakin. Eideth mengeluarkan ponselnya dan melihat pukul berapa saat itu dan hari masih… cukup siang pikirnya, "baru jam 2" ucapnya santai. Eideth selalu menyiapkan ponselnya di tangan untuk mengambil foto penanda jalan. 

 

Tak seperti protagonist yang diberi kemampuan curang lainnya, ponsel Eideth 90% tidak berguna di dunia itu. Peta yang tersedia di ponselnya adalah peta planet biru itu, bukan peta dunia Artleya. Menelpon? Haha, lucu. Hanya Eideth yang mempunyai ponsel itu, Ia tak bisa menghubungi orang didunia lamanya karena berbagai peraturan. Bahkan ketika Ia membuka internet, akun internet yang dipakainya adalah akun tamu. Walaupun Eideth bisa belajar pengetahuan dari dunia lamanya, mereka semua tak berguna di dunia sihir.

 

Eideth menyadari sebuah aturan yang berlaku di setiap dunia yang sudah Ia lewati. Aturan Surgawi yang mengatur pondasi sebuah dunia, mengikat semua makhluk yang ada didalamnya tanpa terkecuali. Aturan Surgawi Artleya adalah sihir, walau fisika tetap ada dimana-mana, Aturan utama lah yang di prioritaskan. Eideth tidak percaya hal ini saat dijelaskan Linzel (kontraktor dunia lain), tapi setelah merasakannya sendiri Ia mengakuinya.

 

"Ups, cukup sampai disitu, tidak ada gunanya memikirkan itu, sekarang, Aku ingin main" ujarnya kembali fokus ke masa kini. Eideth pergi ke jalanan yang ramai mengikuti pejalan kaki yang lain. Tidak lupa memfoto penanda jalan yang Ia lewati agar tidak tersesat. Ia segera menenmukan sebuah toko buku dan masuk kedalamnya, mencari beberapa buku spesifik yang Ia inginkan. Saat Ia tak menemukan buku yang Ia cari, Ia pindah ke toko lain. Tak butuh waktu lama, tapi pada akhirnya Ia mendapatkan semua yang Ia inginkan. "Dan itu, Zatharna, cara menjalankan sesi belanja, Aku percaya Kau sudah mencatat hal-hal penting" tanya Eideth menghadap ke atas, [Zatharna mengangguk] balasnya.

 

 

Saat Eideth pulang, perjalanan kembali terasa sangat singkat. Ia sudah menghafal sedikit jalan disekitar hotel, dan menambah kepercayaannya terhadap kemampuan navigasinya. Ia kembali ke kamar dan mulai membaca hingga Eideth menghabiskan seharian harinya untuk belajar, bahkan latihan dengan Vista yang biasa Ia lakukan diubahnya menjadi kegiatan belajar dengan buku. 

 

Eideth merasa sebuah kejutan listrik di kepalanya, sesuatu yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu. "bukannya… ini sudah waktu–" sebuah pintu mengetuk memotong perkataannya. Eideth membuka pintu itu dan Vista menunggu bersandar di pintu seperti seorang rentenir. Dengan wajah masam miliknya Ia berkata, "apa Kita tidak latihan hari ini". "Kurasa tidak, hari ini, Kita akan melatih otak kita" Eideth membukakan pintunya lebih lebar menunjukkan tumpukan buku yang baru Ia beli.

 

Vista sedikit terlihat kecewa, "ayolah… jangan begitu, dengar, semua hal yang kuajarkan padamu tentang sihir tidak akan cukup untuk menghadapi dunia luar sana, Kamu ingin terus bersamaku setelah mendapat jawabanmu" ungkap Eideth. Vista termenung sebentar memikirkan perkataan Eideth barusan, Ia terlihat teryakinkan dan masuk mencari judul buku yang menarik perhatiannya. "Aku pinjam yang ini" pinta Vista, Ia segera ingin kembali ke kamarnya.

 

Eideth tidak tahu sisi Vista yang suka membaca buku seperti ini. Dengan niatan baiknya, Ia menghentikan Vista. "Hey, mau baca buku bareng, Kita bisa pesan minuman sekalian membaca, itu terdengar enak bukan", Vista sedikit ragu tapi Ia menganggukkan kepalanya. Mereka melewati pintu Kamar kakak-adik Lin dan Paladin, Eideth memutuskan untuk mengajak mereka untuk membaca bersama. Eideth baru saja ingin mengetuk pintu kamar mereka, segera menyadari kesalahan terbesarnya.

 

"Vista tunggu sebentar, Aku tidak tahu cara mengajak mereka", "apa, apa maksudmu Kamu tidak tahu cara mengajak mereka, tinggal ajak, tanya" jelas Vista. "Kau tidak mengerti, eeep, itu suara langkah kaki mereka, Vista goyangkan bukumu dengan semangat, tunjukkan antusias" suruh Eideth tepat ketika pintunya terbuka. "Ya, ada yang bisa Kami bantu" tanya Lin Mei dengan kakaknya dibelakangnya.

 

"Um… Maaf mengganggu walaupun Kalian sedang sibuk belajar, apa Kalian ingin ikut dengan Kami belajar di luar, Kami juga ingin memesan cemilan" ajak Eideth mencoba sebaik mungkin tidak kaku saat mengatakannya. Mereka terlihat ragu, jadi Eideth memberi satu dorongan terakhir. "Yah… siapa tahu Aku bisa membantu saat Kalian mendapat kesulitan, Aku seorang penyihir ingat" kata Eideth. Mengingat mereka tengah belajar untuk masuk Akademi di dunia sihir, saran dari seorang penyihir itu sangat berharga.

 

"Terima kasih sudah mengundang Kami, Kami senang bisa bergabung" jawab Lin Yan. Eideth menunjukkan kegembiraannya dan melompat-lompat. Ia mencoba lagi dengan mengajak Paladin, dan betapa kagetnya Ia saat Paladin membuka pintu dengan sebuah buku di tangannya. Paladin mengangguk setuju dengan mudah dan mereka pun membentuk kelompok belajar yang sempurna.

 

Mereka pergi menuju lobby dan memesan beberapa cemilan sebelum duduk membaca buku mereka. Sesuai janji Eideth membantu saudara Lin saat mereka kebingungan dengan pelajaran mereka. Vista dengan santai membaca buku tentang sihir sedangkan Paladin duduk santai di atas sofa, masih mengenakan baju zirahnya, membaca buku tentang Teknik sihir dan ilmu pedang. Eideth senang bisa membaca buku bersama orang lain seperti ini, mengingatkannya saat dirumah ketika Ia dan saudaranya bosan setelah latihan. 

 

Keesokan harinya, Alban datang ke hotel tempat Eideth dan yang lain tinggal walaupun Ia tak pernah menelpon mereka dimana sebelumnya. Ia masuk ke lobby dan disana Eideth sudah menunggunya sambil membaca buku yang belum selesai semalam. Alban mendekati Eideth dan melihat kartu pengenalnya ada di meja, Alban mendapat perasaan aneh Ia malah akan ditanyai saat itu. Ia memberanikan diri mendekati dan memanggil Eideth, "Tuan Eideth, apa kabar, Kamu sendirian saja hari ini" tanya Alban dengan formal.

 

"Alban duduklah" suruh Eideth sambil terus membaca bukunya tanpa memandang mata Alban. Tahu Eideth mengetahui sesuatu, ditambah tekanan berat yang Ia rasakan darinya, Alban segera duduk manis di kursi berhadapan dengan Eideth. Walaupun kursi itu sangat nyaman, Alban tidak dapat menemukan ketenangan saat mendudukinya. Ia seperti menahan sesuatu, tak berani buka suara terlebih dahulu.

 

"Jadi… bagaimana laporannya Alban, dan berbicaralah dengan santai" tegas Eideth. "Baik… S-soal laporannya, semua berjalan baik–", "baguslah kalau begitu" potong Eideth santai. "Jadi, kemana yang lain, hotel tampak sepi" tanya Alban, Ia semakin gelisah menunggu perkataan Eideth selanjutnya. "Saudara Lin pergi keluar untuk mendaftar ke akademi Tarnum, Vista pergi keluar mencari buku yang dia inginkan, Paladin tengah pergi mencari pandai besi untuk memperbaiki perlengkapannya, tapi Kau sudah tahu semua itu bukan" balas Eideth.

 

Alban tak bisa merespon, Ia tidak boleh merespon. Saat ini di tubuh Alban terdapat semacam penyadap yang merekam pembicaraan mereka. Bagaimana Eideth tahu, Ia sudah tahu sejak tadi malam. "Oke, kita sudah basa-basi sedikit, Aku akan langsung ke intinya saja" ungkap Eideth, Alban tidak siap untuk balasan itu mencoba tetap tenang di tempat duduknya. "Pertama Aku harus memuji sistem pemerintahan di Nous, betapa maju sistem Kalian, memerintahkan setiap orang untuk membawa kartu pengenal, memata-matai pergerakan dan pembayaran, dan lihat, ada semacam sihir pelacak ditanam disini, ini adalah inovasi yang luar biasa" sampai Eideth.

 

Alban tetap diam mendengarkan Eideth dengan baik, lewat perintah dari telinganya. "Oh… pantas saja Kau bisa menemukan Kami disini, benar bukan, Kau tidak bisa menyembunyikan ini dari penyihir sepertiku" ujarnya sarkas. "Dan alat sihir yang kuberi padamu, mereka mengambilnya bukan" tunjuk Eideth, seketika membuat Alban gelisah hingga keringat jatuh dari dahinya. "Mereka pasti bertanya-tanya, siapa pria misterius ini, seseorang yang dalam laporan, memakai tongkatnya melawan bandit, memiliki sihir misterius yang dapat mempengaruhi orang lain, apakah dia seorang ancaman, bukan begitu pikirmu" Eideth sedari tadi memperhatikan Vista secara menyeluruh mencoba mencari dimana alat penyadap itu. Untungnya gulirannya berhasil dan Ia menemukan penyadap itu yang sudah diberi sihir ilusi untuk menutupi keberadaannya.

 

"Kalau Kamu penasaran siapa Aku, temui Aku sendiri" suruh Eideth menatap tajam pada kamera itu. Orang-orang disisi lain kamera itu terkejut mereka ketahuan, tapi Alban masih tidak bergerak pasti perintah dari seseorang. "Oke, cukup percakapan panjang ini, sampai kapan Kamu akan diam terus" keluh Eideth. Ia segera mengeluarkan ponselnya dari sakunya dan menelpon ponsel yang diberinya pada Alban.

 

Di suatu laboratorium, kumpulan peneliti tengan mencari tahu benda misterius dihadapan mereka dengan hati-hati. Memperhatikan komponennya dan mencoba mencari tahu sihir macam apa yang terkandung di dalamnya. Dibawah lampu sorot itu, ada sebuah ponsel yang bersih dan mulus tanpa goresan sedikitpun. Disamping meja itu terdapat banyak sekali peralatan yang mereka gunakan untuk membongkar ponsel itu, tapi semuanya tak berhasil. Ponsel itu Tak Dapat Dihancurkan. 

 

Kemudian, tanpa peringatan, ponsel itu berdering dan cahaya keluar dari layarnya. Semua peneliti itu melompat kaget ke belakang. Puluhan jam terakhir mereka coba mempelajari benda itu, sekarang Ia merespon. Seorang peneliti, keluar dari ruangannya, terlihat seperti bos dari para peneliti itu. Mengambil ponsel itu dari meja, dan menggeser lambang pada layar itu. Entah itu karena itu kebetulan ataupun insting Ia berhasil membukanya. Sebuah suara keluar dari ponsel itu tak lama kemudian.

 

"Hai, halo, apa suaraku bisa terdengar" tanya Eideth, peneliti yang menjawab itu tak mengatakan apa-apa dan tetap mendengarkan. "Dengar, akan kukatakan sekali lagi, kalau Kau ingin bertemu denganku, lakukan saja sendirian, jangan menyusahkan temanku seperti ini, bukan hanya itu, Kau juga mengambil hadiah yang kuberikan padanya, Kau memang benar-benar sesuatu, antara Kau dari Kuil Sphyx atau pemerintah disini, itu tidak penting, Cari Aku sendiri Kau dengar, Kau sudah memasang pelacak padaku lewat sistem pemerintah ini, jangan gunakan cara sembunyi-sembunyi seperti ini, hadapi Aku seperti seorang pria… bukan, seorang pelajar jika Kau mau" ngomel Eideth lewat ponsel itu. "Karena sudah tidak ada lagi yang ingin kusampaikan, akan ku kembalikan alat sihir di tanganmu itu pada pemilik aslinya, dadah" Eideth mematikan panggilan. 

 

Ruangan itu menjadi senyap, tak percaya alat sihir itu baru saja aktif karena pemiliknya menggunakannya. Wajah bos itu tampak kasar, Ia memiliki campuran ekspresi di wajahnya. Tak selesai sampai disitu, kejutan masih berlanjut. Ponsel itu perlahan-lahan lenyap, tanpa meninggalkan sisa di tangannya. Peneliti yang lain tampak kecewa berat, subjek penelitian mereka menghilang tanpa bekas. Bos itu mengepalkan erat tangannya yang baru saja memegang alat sihir itu, dengan senyum sinis di wajahnya Ia tampak mendapat tujuan baru.

 

Di hotel, tepatnya di dalam lobby. Eideth memanggil kembali ponsel miliknya yang Ia titipkan pada Alban ke tangannya. Sekarang Ia punya dua ponsel identik ditangannya tersebut, membuat ekspresi Alban semakin gusar. "Hey, jangan masam begitu, semua akan baik-baik saja, mereka akan berhati-hati bersikap padamu tahu Kau adalah temanku, tak perlu berpikir sesulit itu" Eideth meyakinkan Alban mencoba membuatnya tenang. 

 

"Eideth, siapa Kau sebenarnya" tanya Alban menuntut jawaban dari Eideth. "Aku… Aku seorang petualang, yang tahu sedikit lebih banyak dari orang lain, pengetahuan yang kubawa adalah tanggung jawabku, tapi bukan untuk itu Aku berpetualang" ucap Eideth, "Aku ingin menikmati hidup, menggapai mimpi, mencari teman, dan seperti Aku sudah mendapat satu lagi yang sangat setia" sambungnya melihat Alban.

 

"Aku tahu Kau ragu datang kemari, coba menggali informasi dariku, ini bukan salahmu, Kau tidak mengkhianatiku sedikitpun, Kau hanya mengikuti perintah, Aku pernah menjadi seorang prajurit sepertimu, percayalah Aku mengerti" ungkap Eideth. Alban mencoba memperbaiki ekspresi wajahnya berkata, "kemarin seorang pegulat dan penyihir, sekarang Kau seorang prajurit juga". Mereka memecahkan kecanggungan suasana itu dengan tertawa bersama-sama. Alban tak menyangka teman barunya itu dapat membantu menyelesaikan masalah pribadi yang pendam sendirian selama ini. Ia benar-benar bersyukur dapat bertemu dengannya. 

 

"Karena pekerjaanku disini sudah gagal total, sebaiknya Aku kembali dan melaport" kata Alban hendak pergi. "Alban tunggu" panggil Eideth menghentikan Alban. "Omong-omong, siapa atasan yang mengambil alat sihir ini darimu" tanya Eideth, "Aku hanya bertanya karena sepertinya Kami akan bertemu kembali, dan Aku ingin bersiap-siap sebelum itu". Alban walau tahu kamera pelacak yang ada ditubuhnya masih aktif, Ia menjawab pertanyaan itu. "Atasanku itu… adalah orang paling terkenal di Akademi Tarnum" ungkapnya secara tidak langsung. Alban sepertinya sudah memikirkan balasan itu sebelumnya. 

 

Alban pergi kembali melakukan tugasnya, melapor ke kuil mengikuti prosedur. Sementara Eideth ditinggal sendirian untuk kedua kalinya di lobby hari itu. Eideth berpikir keras siapa orang terkenal di Tarnum, mengingat apakah saudara Lin ada mengatakan sesuatu, tapi sekeras apapun Ia mencoba tak banyak informasi yang bisa Ia dapatkan. "Yah, kalau begitu, Aku harus turun langsung ke lapangan" ujarnya keluar lobby. 

 

Ia berpakaian dengan rapi, membawa tas selendang berisikan buku-buku miliknya agar Ia terlihat sedikit meyakinkan. Dengan mudah Eideth bertanya kesana-kemari meminta penunjuk arah ke Akademi Tarnum yang terkenal. Kalau penggemar rahasia yang mengambil ponsel Alban punya kaitan dengan Tarnum, disanalah Ia akan menemukannya. "Haah… akhirnya" ucapnya terengah-engah, butuh waktu setengah jam untuk Eideth menemukannya, jikalau jalanan tidak penuh dengan calon siswa yang ingin mendaftar.

 

Melihat dirinya takkan bisa masuk dalam waktu dekat, Eideth memutuskan untuk mengobservasi dari kafe diluar gerbang Akademi Tarnum. Eideth kaget Ia bisa menemukan kafe di dunia lain, "tapi kota dengan campuran budaya sihir dan teknologi, bisa Kau pastikan memiliki sesuatu seperti ini sekali-kali" kata Eideth berbicara dengan dirinya sendiri. Ia memesan secangkir kopi hitam untuk Ia minum sambil mengawasi Tarnum. Tak lupa Ia membeli sebuah koran untuk dibaca dan menyembunyikan dirinya dari pandangan mata. Eideth coba menahan tawa merasa betapa kerennya Ia melakukan adegan layaknya di film. 

 

Setelah beberapa lama, Ia tak mendapati apapun selain kerumunan calon pendaftar yang menunggu begitu lama di gerbang Tarnum. Eideth sedikit kecewa dan hendak pulang sampai sebuah figur menabraknya dan menumpahkan kopi hangat di pakaiannya. "Oh Tuan, maafkan Aku, Aku bersumpah Aku tidak sengaja" ujar pemuda itu. Eideth mengenali wajah pemuda itu, dia orang pertama yang menarik perhatiannya saat memasuki kafe. 

 

Duduk di pinggir ruangan, jauh dari jendela dengan sinar matahari yang terang. Menyendiri dengan tumpukan buku dan kertas di meja tempatnya duduk. Pemuda itu tengah sibuk mengerjakan sebuah tugas sambil menggaruk kepalanya dengan frustrasi. Eideth merasa bernostalgia melihat pemuda itu, mengingat dirinya sering duduk sendirian mengerjakan tugas kuliah di kafe sama sepertinya. Itu membuatnya terasa seperti orang tua walau masih berumur 18 tahun, mungkin seumuran dengan pemuda tersebut. 

 

Melihat pakaian Eideth yang terlihat mahal jadi kotor, Ia merasa tidak enak. "Tuan, Aku benar-benar minta maaf" ucapnya, "tidak apa, tak usah dipikirkan… Kelvin" balas Eideth membaca tanda nama di dadanya. Eideth akhirnya bisa melihat wajah jelas pemuda yang mengingatkannya kehidupan lamanya dulu, dan Ia tepat sasaran. Mata pemuda itu memiliki kantung mata hitam dengan tulang pipi hampir terlihat. Wajah seorang pemuda yang tidak mengurus dirinya sendiri demi menyelesaikan tugas tepat waktu, tampak kelelahan dan kurang gizi. Walau begitu, Ia tetap berbicara dengan Eideth menggunakan nada ramah.

"Oh, ah… iya itu namaku, sekali lagi Aku minta maaf atas kecerobohanku Tuan, bagaimana Aku bisa membalasmu," pemuda itu mendapat sebuah ide, "begini Tuan, jika Anda tidak keberatan bagaimana jika Kita bertukar pakaian, Aku tahu tempat pencuci baju didekat sini dan mereka bisa membersihkan pakaianmu dengan cepat, kumohon izinkan Aku memperbaiki masalah ini" pinta nya. Eideth tidak membenci ide itu, Ia merasa pemuda itu benar-benar tulus. Mereka pergi ke kamar mandi dan bertukar pakaian.

 

"Tolong tunggu disini sebentar Tuan, Aku segera kembali" ujarnya sebelum pergi keluar dari kafe. Eideth dengan seragam Tarnum, mengambil langkah berani duduk diluar dibawah teras. Mengekspos dirinya di depan publik sambil pura-pura membaca. Tak butuh waktu lama hingga antrian itu melihat dirinya. 

 

"Hey, lihat itu, seorang senior, mungkin Ia bisa membantu kita" terdengar bisikan dari kerumunan itu, "Kau gila, siswa dari Tarnum mana mungkin mempedulikan orang lain" balas seseorang. "Kita takkan pernah tahu kalau tidak mencoba" balasnya sebelum pergi, "oh si bodoh itu… urkh… ayo kita selamatkan dia" sambungnya. Sekelompok orang mulai keluar dari barisan pergi mendekati kafe, mereka coba mendekati seseorang khususnya yang menggunakan seragam akademi yang tengah membaca buku itu.

 

"Hey, hentikan, Kita membuang-buang waktu, ayo kita kembali" ujar temannya. "Biarkan Aku bertanya pada senior itu dulu, Kita sudah tiga kali ditolak masuk dari gerbang itu karena belum menyelesaikan teka teki ini dengan benar, ini kesempatan emas" jelasnya. "Dia benar kau tahu" sambung temannya yang lain. "Aku tidak bisa percaya dengan kalian, haah… sudahlah, ayo lakukan ini, Kamu yang bertanya padanya duluan, ini rencanamu" suruhnya. 

 

"Permisi Senior" panggil mereka. Eideth tak percaya rencananya berhasil, Ia tertawa dalam hati dengan licik. Ia menurunkan bukunya perlahan dan menjawab panggilan itu, "ya, ada yang bisa ku bantu" balas Eideth. Ia berkata dalam hati, 'tunggulah, kau, pria misterius, Aku akan menemukanmu, Kau tak bisa menggunakan orang disekitarku seperti itu, kecuali Aku sendiri'.