Chereads / Let me be carefree, please / Chapter 40 - Average TTRPG Player

Chapter 40 - Average TTRPG Player

Eideth mengakui semuanya pada mereka, bahwa Ia adalah dalang dari kekacauan ini. Membuat mereka menyadari operasi investigasi rahasia ini sia-sia dari awal. "Bukankah sudah saatnya Kita bertemu" ujar Eideth pada tangannya seperti telepon. Eideth menggosok telapak tangannya menghilangkan sihir yang ditempelkan seseorang disana. Eideth mencoba menghibur para pendaftar yang gagal sebanyak mungkin sebelum Ia datang. Vista datang berlarian menghampiri kedua saudara Lin dan Paladin yang kebingungan, dengan sigap Ia mengambil inisiatif. "Eideth, menyerahlah, Kami harus menyerahkanmu pada pihak Akademi, perintah Tuan Revnis" ujarnya.

 

Eideth meninggalkan kerumunan itu di kawal oleh Vista, Paladin juga dimintai tolong untuk menjaga Eideth dari belakang agar Ia tak coba kabur. Paladin mengikuti arahan itu tanpa masalah tapi Ia sadar skenario itu sangat aneh. [Bukankah Vista bawahan Eideth] Paladin mengingatkan, Vista tak membantah dan mengiyakan. "Ayolah, jangan tegang begitu" ujar Eideth seperti meremehkan masalah ini.

 

Paladin segera sadar ini adalah cara Eideth melarikan diri dari keributan yang Ia buat. Vista, bawahan Eideth, mengawal Eideth pergi dengan alibi diperintahkan oleh pihak Akademi. Eideth melihat Paladin diam saja walau telah menyadari semua, itulah yang Ia pikir Paladin pikirkan di dalam helm besi nya itu. "Kamu sudah tahu Paladin, yah, Aku tidak membantahnya sih" jelas Eideth. Eideth dengan santai meminta informasi dari Vista yang sudah Ia kumpulkan dari siswi perempuan di Akademi tentang seorang pria. 

 

Paladin hanya bisa diam saja, melihat mereka berdua mengobrol santai membahas hasil investigasi mereka di luar misi. Vista mengawal mereka berdua menuju kantor administrasi, hasil investigasinya tak dapat menemukan lokasi pria yang mereka maksud sebelumnya. Eideth melihat telapak tangannya, memulihkan kembali sihir yang ditempeli padanya tadi. "Kau bisa tinggalkan Aku disini, titip salamku pada Alban" ujar Eideth pada mereka berdua yang disuruh pergi pada para profesor. 

 

Eideth diberi tempat duduk untuk menunggu sementara para profesor memikirkan apa yang harus dilakukan. Yuna menganjurkan diri untuk mengurus masalah ini, Ia beralasan Ia sudah diperintahkan oleh Wakil Kepala. Ia menemui Eideth yang duduk seperti siswa yang terkena hukuman, Eideth malah merasa lega Ia diserahkan ke tangan seorang kenalan. Yuna segera mengomelinya seperti seorang guru tapi seketika sadar itu tak berefek apapun. "Sebenarnya, apa tujuanmu melakukan ini" tanya Yuna.

 

"Aku hanya ingin pria itu menemuiku dan tidak bermain sembunyi-sembunyi mengawasiku dengan sihir seperti ini" Eideth menunjuk Yuna segel sihir yang sudah Ia terangi di tangannya. Yuna seketika terpukau melihat segel itu, namun segera menyadari keunikannya. "Segel ini… menggunakan aplikasi sihir level 0, tapi bukannya itu…" Yuna sadar bahwa teori sihir level 0 baru dikembangkan oleh seorang siswa dalam tesisnya. "Dan tesis itu baru dikumpulkan selama sehari… jangan-jangan orang itu" Yuna segera sadar orang yang Eideth maksud.

 

Seseorang yang punya pengaruh cukup besar di Akademi Tarnum, yang bisa memantau semua orang. Ditambah fakta yang baru diberitahu padanya, bahwa Eideth ditugaskan oleh para Ksatria Kuil Sphyx. Ia menghubungkan semua petunjuk itu dan sadar Eideth sudah menarik perhatian dari siapa. Seketika seorang penjaga datang, mereka lah orang yang ditugaskan oleh Wakil Kepala jelas mereka. "Tuan, tolong ikuti Kami dengan patuh" ujar penjaga itu.

 

Eideth tersenyum pemandunya sudah datang untuk menjemputnya. Eideth melambai pada Yuna dibawa oleh penjaga itu, "jangan khawatir, Aku akan baik-baik saja" teriak Eideth keluar dari ruangan itu. Para penjaga itu menyuruhnya untuk menjaga sikap memperlakukannya seperti penjahat, mencoba terlihat tegas dan seram di depannya tapi Eideth tidak takut. Eideth tidak punya apapun untuk ditakuti ataupun dirugikan, tapi Ia tetap bermain sesuai peraturan mereka.

 

Eideth dibawa ke sebuah ruangan, pintu masuknya mengeluarkan aura asing darinya. Mereka membukakan pintu itu dan menampakkan interior ruangan yang unik. Tak seperti lingkungan diluar ruangan tersebut seperti kastil fantasi, dibalik pintu itu terdapat ruangan dengan dekorasi modern. Lantai putih mengkilap seperti kaca, bahkan Eideth tidak bisa memperkirakan terbuat dari apa lantai itu. Ada sebuah meja kerja dengan sebuah sofa tamu didepannya, Ia diperintahkan untuk disana menunggu perintah lebih lanjut.

 

Para penjaga itu berhenti didepan pintu tak bisa memberanikan diri mereka untuk masuk. Eideth menyadari disana tempat Ia ditahan, memberi tip sebuah koin emas untuk kerja bagus mereka lalu menutup pintu ruangan itu. Mereka jelas kebingungan namun karena pekerjaan mereka sudah selesai, mereka lanjut berjaga di depan pintu itu. Eideth menarik nafasnya dan bersiap untuk melakukan percobaan persepsi beruntun pada ruangan itu. 

 

"Zatharna Kamu siap, Aku akan masuk mode menyebalkan" ujarnya. Eideth mulai memperhatikan setiap sudut di ruangan itu. Hal pertama yang Ia sadari adalah kamera pengawas di sudut atas ruangan mengawasi gerak geriknya. Eideth mempelajari arah pandangan kamera itu dan merapal [Minor Illusion] padanya, selagi Ia bergerak di titik buta. 

 

Eideth mulai melakukan percobaan persepsi dan investigasi pada semua benda; meja, kursi, rak buku, tempat sampah. Tak satupun benda luput dari pandangannya yang tidak Ia cek. Zatharna yang sudah diperingati pun masih kewalahan memberikan informasi untuk tiap percobaan. Tapi usahanya tak sia-sia dan membuahkan hasil.

 

Setelah lima menit, seorang profesor datang ke depan pintu ruangan itu. Para penjaga pergi setelah Ia perintahkan dan membuka pintu itu. Didepannya, Eideth duduk dengan kaki menyilang ke arahnya menatap langsung ke matanya. Profesor itu langsung tahu bahwa itu hanyalah ilusi dan menyuruh Eideth keluar dari balik mejanya. "Luar biasa profesor, tak kusangka Kamu bisa melewati DC milikku" Ia bertepuk tangan.

 

"Akhirnya Kita bisa bertemu langsung, Wakil Kepala dari Akademi Tarnum, dan Pendeta tinggi Kuil Sphyx, Tuan Revnis saya kira" sapa Eideth menundukkan kepalanya didepan orang penting tersebut. "Senang bisa bertemu denganmu juga, Tuan Eideth" ujar Revnis. Mereka segera berjabat tangan dan bertukar posisi tempat duduk. Revnis sedari tadi memperhatikan ruangan tak dapat tenang memperkirakan apa saja yang Eideth lakukan di ruangannya. 

 

Walau Ia memantau dari kamera pengawas, dan berhasil melihat melewati ilusi yang dibuatnya. Revnis sama sekali tidak tahu dengan jelas apa yang Eideth lakukan, intuisinya menilai untuk tidak menurunkan kewaspadaan didepan Penyihir lain. "Jadi Tuan Eideth, bisakah Kamu menjelaskan alasanmu datang kemari" tanya Revnis dengan ramah. Eideth duduk dengan tegap mendengar pertanyaan itu dan menjawab, "oh, Aku yakin Kamu sudah tahu persis alasanku datang kemari, bukan begitu, Wakil Kepala". 

 

"Pertanyaan yang lebih sesuai adalah kenapa Kamu tertarik padaku" tanya Eideth balik. Revnis tidak basi-basi dan mengungkapkan semuanya, "karena Aku tertarik dengan Talent milikmu". Eideth terdiam mendengar seorang Pendeta Sphyx, tertarik dengan hal tabu tersebut. Kuil Sphyx memang tidak terlihat seperti kuil pada umumnya, itu dikarenakan ajaran Sphyx yang memerintahkan penganutnya untuk menuntut ilmu sebanyak mungkin. Mereka lebih mirip ilmuwan daripada pendeta kalau Eideth jujur.

 

"Talent milikmu itu tak seperti semua catatan yang Kami miliki selama ini, bahkan dari ceritamu pada semua orang yang Kamu temui, Kamu dengan santai menjelaskan Talentmu dan tidak mendapat hukuman dari melanggar tabu tersebut" ungkap Revnis dengan mata bergairah. Eideth yakin melihat api semangat di mata Revnis namun Ia tetap tenang menahan mereka dengan baik, Ia malah terlihat lebih sinis dan licik jadinya. Eideth menyadari Revnis juga sudah mengivestigasi latar belakangnya. Ia tak tahu sejauh apa yang Revnis ketahui tapi Ia tak mau kalah dalam hal persiapan, Ia memanglah seorang penyihir.

 

"Baiklah Revnis, jadi apa yang Kamu inginkan" tanya Eideth. "Aku ingin meneliti dirimu" ujarnya bersandar ke kursinya, Revnis mengeluarkan aura mencekam membuat bulu kuduk Eideth sedikit merinding. "Tidak perlu khawatir, sebagai seorang ilmuwan, Aku akan menghargai mu dengan hadiah yang tinggi, jika Kamu bekerja sama tentunya, apa yang Kamu mau, uang, wanita, buku sihir, Aku bisa persiapkan semuanya" tawar Revnis. Eideth tahu tak ada yang bisa dijangkau oleh ilmuwan (gila) jika mereka penasaran, tapi bukan hanya dia yang seperti itu didalam ruangan itu. "Aku tidak butuh semua itu, sebagai penuntut ilmu Aku yakin Kamu juga sama, jadi Aku langsung saja, jika Kamu ingin tahu Talent milikku, beritahu Aku tentang Talent milikmu" ujar Eideth.

 

Eideth tahu itu adalah titik tengah mereka berdua. Revnis mulai mengasumsikan semua kemungkinan dan variabel yang dimiliki lawan bicaranya itu. "Jika Aku membiarkanmu meneliti Talent milikku, Aku harus memberitahumu cara kerja… otomatis Aku harus melanggar tabu, Kamu tidak berharap Aku tidak akan meminta hal yang sama bukan, Aku tidak sebodoh itu" ujar Eideth. Revnis tidak langsung buka suara dan mengobservasi tingkah Eideth lebih lanjut.

 

Tidak banyak orang yang mengetahui aturan duniawi dari sihir Artleya. Itu adalah rahasia yang dijaga segelintir orang demi memenuhi motif mereka masing-masing. Hukum Mana sudah diketahui khalayak umum walau tidak sepenuhnya mereka mengerti, Aturan Kerahasiaan dan Afinitas masih dirahasiakan oleh orang-orang berpengaruh tinggi, dan akan terus seperti itu untuk beberapa waktu.

 

"Baiklah Dokter Revnis, ayo Kita mulai pembicaraan ini secara profesional, sebagai sesama Penuntu Ilmu (Knowledge Seeker) tentunya" ajak Eideth sambil membenarkan posisi duduknya. "Aku akan mulai dengan sebuah pernyataan, Kita anggap saja tingkat kecerdasan Kita berdua sama, dengan asumsi tingkat pengetahuanku mencapai tingkat rata-rata dari pengetahuanmu" ujar Eideth. "Aku tidak merasa itu adil," bantah Revnis, "Kita berdua tidak tahu begitu dalam tentang satu sama lain ataupun memiliki gambaran jelas tentang latar belakang Kita berdua, itu tidaklah adil untukmu". 

 

"Aku tersanjung Anda masih memikirkan keadilan untukku, tapi Aku yakin Aku cukup mampu, tidak seperti dirimu yang sudah keluar pergi dari Arkin, untuk belajar ke benua lain, Aku cukup yakin pengetahuan yang kumiliki setidaknya bernilai sama, akan ku tunjukkan, Anda baru saja pulang dari penelitian Anda di Calix bukan, Benua sebelah barat yang mengedepankan perkembangan teknologi karena sumber daya Mana mereka sangat terbatas" ungkap Eideth. Revnis terkejut bagaimana Ia tahu hal itu, Ia sadar pengetahuan tentang benua lain bukanlah hal yang umum diketahui oleh orang Arkin.

 

"Oh, Aku tahu lebih banyak dari itu, Anda kira bagaimana Aku bisa membuka wawasan dari para pendaftar jika Aku tidak membuka cara pandanganku menyamakannya dengan mereka" ungkap Eideth. Revnis terkesan dengan kebijaksanaan yang dimiliki lawan bicaranya, Ia tak menyangka seseorang yang begitu muda bisa sebijaksana itu. Mereka mulai berbincang membuka wawasan masing-masing. Dari jauh itu terlihat seperti perdebatan, namun mereka dua menikmati obrolan tersebut. 

 

"Aku harus jujur, sudah lama Aku tidak berbicara seperti ini," ungkap Revnis, "ini obrolan yang menyenangkan" ujarnya. Eideth ikut senang Revnis berkata seperti itu karena Ia merasakan hal yang sama. Revnis tidak henti-hentinya memukau Eideth dengan cerita perjalanan penelitiannya. Ia tak menduga dirinya pun tertarik pada cerita seperti itu. 

 

"Baiklah, kembali ke topik, apa Kamu yakin imbalan itu yang Kamu inginkan Tuan Eideth, Aku dengan senang hati memberitahu Talent milikku pribadi untuk perkembangan ilmu pengetahuan" ujar Revnis menyeduhkan teh untuk mereka berdua. Eideth menyeruput teh miliknya dan bertanya Revnis, "sebelum itu Tuan Revnis, Aku ingin bertanya satu hal, apa motif mu menuntut ilmu selama ini".

 

Revnis dengan santainya menguak, "ah, begitu, jadi Tuan Eideth adalah orang yang seperti itu ya, Aku mengerti, maaf karena bermain-main denganmu seperti itu, kalau boleh jujur, impianku adalah meningkatkan tingkat pendidikan setiap orang" ungkap Revnis. Ia bisa melihat Eideth tidak percaya dengan ucapannya, "tidak disangka-sangka bukan, Aku yakin rupaku yang seperti ini membuat orang-orang berasumsi Aku menginginkan sesuatu sebagai balasan" Revnis mengambil perkataan dari mulut Eideth. Ia tak tahu harus berkata apa dan terus memperhatikan Revnis. "Kenapa Tuan Revnis memberitahuku hal ini" tanya Eideth merasa jawaban Revnis sedikit melenceng.

 

"Karena Tuan Eideth orang yang seperti itu, apa Anda tidak sadar," Revnis bangun mendekati Eideth dengan duduk disebelahnya. Meja kerja yang membatasi keduanya kini tidak menengahi mereka lagi, mereka sangat dekat dan membuka diri satu sama lain. "Tuan Eideth adalah orang yang mau membuka dirinya saat orang lain melakukan hal yang sama, Tuan Eideth tidak pernah ragu mau membagikan pengetahuannya pada orang lain termasuk diriku, hanya saja Tuan Eideth ingin tahu watak seperti apa yang lawan bicaranya miliki" Revnis mulai merubah pendekatannya, menyadari kelemahan Eideth tersebut. Ia mulai duduk dengan lebih santai mengeluarkan aura yang nyaman darinya. "Bukan begitu" Revnis memastikan ulang.

 

Eideth masih ingin menjaga sikapnya tapi Ia menyadari Ia mulai terbawa suasana. Ia semakin santai dan nyaman dengan Revnis, Eideth tak tahu apa itu pengaruh sihir. "Haah… Apa Aku bisa mempercayai perkataanmu" tanya Eideth. Revnis meyakinkannya bahwa tujuannya murni tanpa niatan apapun. Eideth masih tidak yakin tapi Ia mempercayai koinnya, Eideth melempar koin itu dan melihat hasilnya. "Baiklah Aku akan mempercayaimu" jawab Eideth. "Apa Kamu benar-benar memutuskan dengan lemparan koin itu" tanya Revnis, "itu rahasia, Kita semua punya sisi aneh masing-masing bukan" balasnya. "Hey, Aku tidak aneh" protes Revnis, Eideth tergigik sedikit, "kata seorang dengan wajah tampan dengan pemikiran jenius, Kau itu termasuk keanehan alam jika kau pikirkan lagi". Eideth mulai berbicara dengan Revnis sedikit lebih santai. "Yah, kemungkinan orang seperti ku lahir itu, secara statistik, tidak terbayangkan" Revnis memuji dirinya sendiri. 

 

Mereka mulai berdiskusi lebih dalam tentang apa yang mereka tahu, menanyai satu sama lain demi membuka wawasan mereka. Eideth memang tidak terlalu cakap disemua bidang, tapi Ia punya beberapa pengetahuan rahasia yang Revnis inginkan. Revnis memakai kacamata miliknya dan mendapat penguatan dalam penampilannya, Ia kemudian mengeluarkan buku dan mulai mencatat. Eideth juga menanyai Revnis kondisi dunia di luar sana, apa saja yang sedang terjadi di luar benua Arkin. "Argh… Ini pembicaraan paling nyaman dari yang selama ini kulakukan" ujar Revnis menyandar ke kursinya. "Oh iya, bagaimana bisa" tanya Eideth.

 

Revnis menatap Eideth sebentar, melihat pandangan matanya. "Semua orang yang berbicara padaku, selalu menginginkan sesuatu dariku, ingin mendapatiku sebagai kenalan, ingin kepopuleran, pembicaraan seperti ini sangat menyenangkan, Aku bisa melihatnya dari matamu, Kamu tidak mengharapkan apapun dariku, dan hanya ingin berbicara" jelas Revnis. Obrolan itu membuat teh mereka terasa lebih nikmat. "Tunggu, apa jawabanku tidak memuaskan untukmu, Kamu tidak menanyaiku pertanyaan sulit atau apapun, Kamu juga tidak mencatat apa-apa" tanya Revnis. "Tentu saja, Aku senang mendengar penjelasanmu, hanya saja, Aku tidak ingin tahu lebih banyak dari yang ku ketahui saat ini, tanggung jawab dari pengetahuan itu, Aku belum siap menghadapinya" jelas Eideth.

 

"Tapi sampai kapan Kamu akan seperti itu," tanya Revnis, "apa Kamu akan terus lari darinya, apa Kamu memikirkan itu, bersembunyi dalam ketidaktahuan, apa Kamu tidak akan menyesali itu". Eideth merasa terserang mendengar perkataan itu, tapi Ia tak membantahnya karena Revnis benar. Eideth merenungkannya sebentar, karena Ia takut menyesali mereka. "Kamu benar Revnis, Aku tidak ingin terus lari dengan alasan itu, tapi sekarang bukan saatnya, ada seseorang yang akan melakukan tugas itu menggantikanku" jelas Eideth. 

 

"Ah… itu berarti Kamu sudah tahu dari awal dan pura-pura tidak tahu" Revnis menggambarkan. "Yah… tidak juga sih, Aku masing memikirkannya sampai nanti" Eideth berdalih itu rahasia seperti biasa. "Hey, Aku sudah terbuka seperti ini, bukankah Kamu juga akan terbuka padaku" keluh Revnis. "Tentu saja tidak segampang itu, Aku harus punya rahasia Kamu tahu, bagaimana Aku akan membuatmu tetap penasaran padaku" balas Eideth.

 

Namun setelah semua perbicangan itu, ada satu hal lagi yang ingin Eideth tahu dan bagikan. "Hey, Revnis, beritahu Aku pendapat jujurmu, apa pendapatmu soal Hukum kerahasiaan dan afinitas sihir" tanya Eideth. Itu adalah hukum yang jarang diketahui orang-orang tapi tidak untuk mereka berdua. Revnis melepas kacamata nya dan menatap Eideth dengan serius.

 

"Jujur, Aku tidak suka dengan hukum itu," komentarnya, "Aku mengerti soal kerahasiaan, Aku mengerti ada batas dimana seseorang memiliki sihir, sama seperti Talent milikmu yang Kamu jelaskan, Kamu bisa menggunakan berbagai jenis sihir, namun mereka semua memiliki persyaratan yang rumit, Kamu pasti melihat sudah melihat kesenjangan bakat sihir antara Bangsawan dan rakyat biasa, bahkan lebih dari itu, Mereka yang tidak pernah merasakan Mana bahkan tidak tahu mereka bisa melakukan sihir" Revnis mengungkapkan kekesalannya itu. Eideth merasa pemikiran itu cukup logis, bahkan Ia sendiri tak terima saat mengetahui itu.

 

Namun Eideth melihat ke cara pandang lain, "mungkin itu tidak terlalu buruk Kau tahu". "Apa maksudmu", "menurutmu, apa yang dipikirkan oleh Ras Tinggi, saat mereka memulai monarki dan memperbudak semua orang" ungkap Eideth. "Eideth, seberapa banyak yang Kamu tahu tentang itu" Revnis tidak menyangka Eideth mengetahui sejarah kelam Artleya itu. "Aku punya Sumberku sendiri, yang penting, bukankah yang Kita lakukan sekarang ini sama seperti mereka, menyimpan pengetahuan sihir sendiri dari masyarakat luas" lontar Eideth.

 

Hal itu membuat Revnis memikirkan ulang perkataannya itu, "menurutmu apa yang terjadi saat pengetahuan akan sihir dibagikan sama rata" tanya Eideth. "Nilai pengetahuan itu dimata orang-orang akan menurun, orang-orang akan kurang tertarik" timpalnya. "Kamu dan Aku tahu itu, tapi tak semua orang punya kesadaran yang sama dengan Kita" lanjut Eideth.

 

"Kita semua tahu tak peduli sebagus apa niat baik Kita, orang-orang akan selalu melihat konsekuensinya terlebih dahulu" Eideth terus menumpuk pemikiran baru pada Revnis. Pandangan Revnis untuk membagikan sihir semua orang sedikit goyah. Ia menyadari kembali variabel yang Ia sepelekan. Ia menyadari pandangan Eideth tersebut, dan Ia terjatuh dalam renungan yang dalam. 

 

Eideth tidak pernah ingin mengusik niat baik Revnis, namun Ia ingin melihat keinginan asli dan determinasi miliknya. Didepannya itu, mungkin akan jadi orang yang mengubah dunia, untuk lebih baik maupun buruk. Eideth memberi Revnis begitu banyak dilema mempertanyakan keyakinannya selama ini. Eideth hanya memperlihatkan pandangannya terhadap sihir selama ini, apa yang Ia pelajari dari sejarah dan alasan Ia selalu bersikap kurang peduli. Ia mencoba melindungi sesuatu dan Ia tahu peran yang dipegangnya. 

 

"Eideth, Kamu masih begitu muda, bagaimana Kamu memikirkan semua ini" Revnis berhasil meluruskan pikirannya kembali. Ia berhasil membuat Pendeta tinggi dari Kuil Dewa Pengetahuan berpikir begitu keras, itu pencapaian yang unik pikirnya. "Tak perlu memikirkannya sekeras itu, Kita akan terus disini seharian jika ini terus berlanjut, percayalah, Aku sudah mencobanya" ujar Eideth. Tapi itu tak memberi jawaban pada pertanyaannya.

 

"Benar juga ya, kurasa tak masalah memberitahumu karena Aku juga sudah memberi tahu Kuil Joan tentang ini" Eideth mencoba merangkai kata-kata mengingat Ia harus seambigu mungkin. Agar Ia tak terkena masalah seperti melanggar kontraknya atau apapun. "Ehem… satu dari tiga Janji akan muncul di Calix, gadis itu akan berhasil" ungkap Eideth. Revnis terkejut hingga wajahnya pucat, Ia mencoba memikirkan bagaimana Eideth tahu ramalan itu. "Saran dariku, Dia bukanlah alat, Dia manusia biasa seperti Kita, jadi perlakukan Ia dengan baik" tambahnya.

 

"Eideth, bagaimana… Kamu bisa tahu semua ini, semuanya tak masuk akal, Kamu tidak pernah ke Calix dan bukan dari bagian Kuil manapun, bagaimana bisa…" Revnis terdiam ketika merasakan sensasi aneh. Ia merasakan sesuatu diluar kemampuan nalar memanggilnya, membuatnya diam seketika untuk fokus pada panggilan itu. Eideth juga diam melihat pemandangan itu bersikap santai. Ia yakin itu adalah pengaruh Zatharna atau saudara-saudarinya.

 

"Percaya padanya" kata suara itu. Revnis tidak percaya apa yang didengarnya, akal rasionalnya mencoba memproses ilham itu. Ia langsung mengasumsi itu adalah wahyu dari Sphyx. 'Oh Dewi, Kamu ingin Kamu mempercayai pemuda ini seyakin itu, apa ini ujianku' ujar Revnis dalam hati. Ketika Ia membuka matanya kembali, Eideth menatapnya dengan pandangan yang mengatakan, "Kan? Apa yang kubilang".

 

"Baiklah, Aku akan mempercayaimu, tapi Aku punya sebuah syarat" ujar Revnis. Ia tersenyum dengan tatapan yang dalam. Senyum Eideth langsung hilang melihat respon tersebut. Walau Revnis seorang Pendeta, Ia tetaplah seorang ilmuwan yang punya keinginan sendiri. Revnis punya beberapa ide dalam kepalanya, merangkai kata untuk memberi serangan telak. Eideth tidak tenang menunggu Revnis, Ia punya perasaan tidak enak. "Aku dan mulut besarku, melakukannya lagi" ujarnya dalam hati.