Chereads / Let me be carefree, please / Chapter 38 - Consequence

Chapter 38 - Consequence

Eideth pergi ke perpustakaan Tarnum dan mulai membaca. Ia masuk dari pintu raksasa itu dam melihat pemandangan yang Ia duga namun lebih. Sebuah menara kayu penuh buku berdiri tinggi dimana-mana. Berbagai ukuran, ketebalan, warna, genre, tidak bisa Ia hitung betapa banyaknya dalam satu hari. Eideth sedikit menyesal kurang mengapresiasi buku dikehidupan lamanya, walau Ia bisa memikirkan argumennya pada waktu itu seperti "ada internet" lah atau semacamnya. Di dunia ini, di kesempatan kali ini, Ia takkan membuangnya lagi. 

 

Eideth pergi ke meja pustakawan untuk mendapat arahan. Pustakawan itu menyadari dirinya tak memakai seragam, dan dengan santai tanpa memalingkan wajah Ia berdalih. "Oh ini, ini eksperimen sosial yang sedang kulakukan, Aku ingin minta izin memakai ini lebih dulu padamu" ujarnya. Eideth mendengar dadu bergulir, pustakawan itu mengizinkannya dan Ia pergi tanpa menimbulkan masalah. Eideth tak mencari buku spesifik dan hanya mengambil apa yang Ia lihat didepannya, lalu mulai membaca.

 

Eideth mulai membaca bukan tanpa alasan, semenjak GM menetapkan aturan bahwa Ia harus "bekerja" mendapatkan mantra yang Ia inginkan. Eideth tidak asing dengan menciptakan mantra, dengan pelajaran yang diajarkan bibinya, Ia hanya perlu mencari referensi yang tepat. Eideth masih memikirkannya sampai hari ini, apa itu sihir? Banyak orang memiliki pengertian tersendiri tentang sihir, tapi apakah itu benar?

 

Menurut Eideth, sihir pada intinya yang paling dasar adalah kekuatan, itulah yang dimaksud sihir. Namun setelah hidup di Artleya cukup lama, Ia mendapat penambahan atas definisi tersebut. Sihir adalah kekuatan untuk melakukan lebih, melewati batas kemanusiaan, baik secara fisik maupun psikis. Di dunia lamanya, Ia dengan mudah berpikir; "saat minyak bertemu dengan percikan dan udara, mereka akan menimbulkan api". Eideth masih memiliki pemikiran menggunakan logika itu sampai sekarang, walau tahu apa yang sihir bisa lakukan. Hanya dengan Mana, rapalan, gerak tangan, dan material yang hampir tidak berkaitan langsung, sihir dapat menciptakan efek yang diinginkan perapalnya.

 

Diri Eideth yang berpegang teguh pada logika tidak menerima ini pada awalnya dan hanya berkompromi. "Sihir hanyalah sesuatu yang mengikuti aturan sihir… atau semacamnya" begitulah Eideth melihat sihir pada awalnya. Efek yang terjadi karena sebuah kekuatan bekerja mengikuti aturan tertentu. Namun Ia tak puas dengan itu dan mulai mempertanyakan semuanya lagi. Saking parahnya, saat Ia sembuh dari kondisi abnormalnya dan mendapat Talent. Eideth menggunakan ponselnya dari otoritas kontrak, untuk membuka internet dan mencari tahu lebih banyak tentang sihir.

 

Namun saat Eideth mengevaluasi dan melihat kembali dari implikasi sihir di dunianya, Ia menemukan lebih banyak hal. Sihir seperti dibagi menjadi dua, sihir umum dimana semua orang punya akses dan bisa memakainya. Dan sihir khusus atau Talent adalah sihir bawaan beberapa individu beruntung, yang menggunakan prinsip sihir umum untuk mengembangkan Talent mereka tersebut. "Seperti mencontoh pr teman dan menulisnya ulang dengan sedikit perbedaan agar terlihat seperti pekerjaan sendiri" komentarnya. 

 

Eideth menyadari bahwa Talent bekerja seperti itu, bahkan Talent miliknya. TTRPG adalah salah satu jenis permainan kesukaannya, sihirnya bekerja mengelilingi konsep dalam TTRPG itu sendiri. Eideth tidak tahu banyak tentang Talent lain, tapi jika Talent miliknya bekerja seperti itu, yang lainnya pasti sama. Dan kini Eideth harus mengikuti dua peraturan, peraturan sihir dari TTRPG itu sendiri dan peraturan sihir Artleya yang akan Ia jelajahi lebih jauh. Walau saat ini Ia hanya tahu aturan dasar, Ia akan belajar lebih banyak dan mencari tahu batasan-batasan yang tersembunyi dibalik sistem ini.

 

Seperti yang Eideth pelajari sebelumnya, sihir di Artleya terikat dengan budaya mereka yang kaya dan beragam. Tiap-tiap benua di Artleya memiliki gaya umum mereka tersendiri. Bahkan dalam benua tersebut dibagi-bagi lagi menjadi beberapa gaya yang sering dipakai oleh khalayak umum. Arkin adalah satu dari tiga benua besar dengan keadaan geografis terletak ditengah dunia. Berkatnya, berbagai macam faktor dapat mempengaruhi sihir, seperti kondisi sumber daya, budaya berpengaruh, dan jumlah praktisi sihir. 

 

Sebagai contoh awal, sihir yang biasa Eideth lihat di daerah lingkungan keluarganya di kota Raziel, adalah sihir rapalan. Sihir ini memiliki fokus untuk membacakan rapalan mantra sambil mengendalikan Mana disekitar untuk menggambarkan formasi formula sihir dihadapan mereka. Aliran ini awalnya tercipta untuk mengurangi dampak mantra umum yang fokus pada rapalan vokal. Walau sedikit tidak efisien dari pandangan luas, keefektifannya dalam pertarungan menunjukkan bukti nyata.

 

Selanjutnya, yang bukan pengetahuan umum, adalah sihir material. Pertama Eideth mengira sihir ini mirip dengan sihir Talent miliknya, namun setelah mempelajarinya sedikit, perbedaan cara kerjanya berbeda. Seorang praktisi sihir aliran ini memasukkan Mana pada material khusus sebagai medium mereka, mereka kemudian mengaktifkan sihir dengan menggambarkan formula sihir pada benda tersebut. Sihir aliran ini dominan dengan mantra yang berkaitan tentang elemen. 

 

Terakhir, adalah sihir gestur. Sihir ini tak perlu rapalan ataupun material yang membuatnya sulit di identifikasi jika tak memiliki pengetahuan yang cukup. Cara kerjanya yang menggunakan gerakan dan postur tangan menjadi ciri khas dan kelemahan besarnya. Jika tangan mereka terkunci, mereka tak bisa merapal sihir. Terlihat seperti kelemahan yang sangat fatal untuk dieksploitasi tapi penyihir adalah petarung jarak jauh, sulit untuk menghadapi mereka jika tidak mendekat.

 

Hal itu membuat Eideth berpikir, Ia belum pernah melawan penyihir lain selama ini. Ia belum pernah melakukan duel sihir dengan lawannya, dan main pedang dan tongkat terus menerus. Bahkan saat berlatih dengan Zain adiknya, mereka berlatih pedang dan Teknik sihir. Itu memberinya sebuah ide, "Zatharna, bagaimana jika salah satu Quest kedepannya, Aku ingin melihat-lihat sihir Kau tahu, menjadi penonton saja, Aku belum merasakan pengalaman sihir yang sesungguhnya dan main melee terus Kau tahu" Eideth berbisik agar tidak dimarahi pustakawan dan pengunjung lain. 

 

[Itu ide yang menarik] balas Zatharna, [hey Kak, tunggu sebentar, itu tidak adil, Eideth tidak melakukan apa-apa dan mendapat kenaikan level] tegur Fawn. [hehe, percobaan yang bagus Eideth, kukira juga itu akan berhasil] komentar Ryx. "Tidak-tidak, maksudku adalah bagaimana jika Quest selanjutnya, tidak tahu kapan, tentang melihat-lihat sihir Artleya, sebagai salah satu misi Milestone tentunya" Eideth memperjelas. Ia tidak membenci Fawn ikut campur seperti itu karena Ia hanya melakukan tugasnya sebagai GM dan Dewi Keteraturan. Lagipula menggunakan peraturan untuk keuntungannya adalah salah satu rencana yang Ia miliki, Ia simpan rasa tidak enak hati itu untuk dibalaskan lain kali.

 

Di perpustakaan itu, Eideth menerjemahkan 15 mantra baru dari ponselnya. Eideth memutuskan untuk mencampur ketiga aliran yang diketahuinya, jika hal itu terdapat dalam penjelasan mantranya. Walau Ia tak menggunakan semuanya, itu adalah harga dirinya untuk mengumpulkan semua mantra sihir tersebut. Tak peduli walau skenario dimana Ia menggunakan sihir tersebut sangat minim, Ia akan menerjemahkan mereka semua. Masalahnya… [341 mantra tersisa], dan itu baru dari buku panduan pemain, belum buku-buku lainnya. Jiwanya merasa tersakiti kalau Ia meninggalkan satu mantra tak peduli sekecil apa itu. 

 

Namun diantara semua itu, hanya satu hal yang mengganggunya. Dari kelimabelas mantra yang Ia terjemahkan, ada satu yang Ia ragu, takut, kurang percaya diri untuk menerjemahkannya. Sebuah mantra, yang sangat kuat, bahkan pemikiran memilikinya saja merusak semua hal yang Ia percayai selama ini. Moral, prinsip, etika yang Ia pegang teguh, petunjuknya akan semua aksinya merasa akan hancur begitu Ia mencoba mantra tersebut. 

Mantra itu ditulisnya disebuah kertas, terpisah dari tumpukan kertas lain yang sudah Ia terjemahkan. Ditengah meja dijauhkan oleh benda lain agar mendapat sorotan perhatian penuh darinya. Eideth ragu menyentuhnya lagi, tapi Ia tak bisa meninggalkannya disana begitu saja. Eideth memenuhi kepalanya dengan berbagai kemungkinan saat menyentuh kertas itu, bingung mau menyesali dan menghancurkan kertas itu, atau membiarkannya masuk dalam koleksi mantra yang Ia punya.

 

Eideth memutuskan Ia tak bisa menentukan pilihannya disana, tidak dalam Side-quest yang sedang Ia lakukan. Eideth segera merapikan kembali buku yang Ia pinjam dan keluar dari perpustakaan. Eideth memutuskan untuk menunda Side-quest itu terlebih dahulu, walau beresiko gagal dan tak berhasil mendapatkan apapun, Ia harus pulang kembali ke kamar hotelnya. Ia bergegas keluar dari Tarnum, Ia hampir menabrak orang-orang didepannya saking khawatirnya. Ia mencoba sebaik mungkin mengendap keluar walau perlu menggunakan Spell Slot tambahan untuk mengusir penjaga.

 

Keluar dari gerbang, Eideth tetap tidak merasa baikan. Untuk itu, Ia segera pergi ke pasar, mencari benda-benda keperluannya untuk mantra itu. Eideth tahu Ia akan menyesali mencoba mempraktikkan mantra itu, tapi Ia akan lebih menyesal kalau Ia kurang siap akan konsekuensinya. Walau cukup lama, Eideth berhasil membeli 4 buah berlian kecil dengan total harga 1200 koin emas. Eideth juga menemukan kelinci percobaan untuk mantra tersebut, Ia menemukan sebuah tikus kecil di jalan dan membunuhnya.

 

"Maafkan Aku kawan kecil, kumohon semoga benda ini gagal, kumohon" pinta Eideth. Hari mulai malam dan Eideth segera kembali ke hotel, melupakan Side-quest yang Ia kerjakan tak peduli Ia menyelesaikannya atau tidak. Ia bertemu dengan Vista di lobby namun Vista tak menyapanya setelah melihat raut wajah yang Ia buat. "Tuan Vista, apa yang terjadi dengan Tuan Eideth" tanya Lin Yan, kedua saudara Lin itu melihat Eideth melewati mereka tak berani menyapanya. "Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi ketika Ia membuat wajah itu, berarti ada masalah yang harus Ia selesaikan sendiri, Kita hanya bisa berharap Ia tidak tetap murung besok" jawab Vista.

 

Eideth mengunci kamarnya dan mulai mempersiapkan eksperimennya. Eideth mengeluarkan mayat tikus itu ke lantai, kemudian meletakkan sebuah kristal disebelahnya. Eideth berhati-hati merapal mantranya, berdoa dalam hati Ia gagal. Ia tak keberatan mantra itu gagal walau menguraikan kristal berharga itu sebagai bayarannya. "Bangkitlah dengan perintahku, [Revivify]" perintahnya.

 

[Eideth, Kamu tidak punya Spell Slot untuk mantra itu] Zatharna mengingatkan. "Zatharna, tolong izinkan Aku melakukan ini, Kau bisa membuka peraturan tentang ini dalam catatan yang kuberikan padamu, kumohon izinkan saja tanpa bertanya-tanya" pinta Eideth. Ia meminta begitu keras padanya, ekspresi diwajahnya terlihat begitu menderita menahan mantra itu terus menerus. Bukan karena rasa sakit, tapi sesuatu yang lebih dalam dan pribadi. Tak lama Zatharna pun mengizinkan.

 

Eideth merasakan kekuatan hidupnya dikorbankan untuk merapal mantra diluar kemampuannya. Eideth memuntahkan sedikit darah dalam mulutnya tapi Ia tetap berkonsentrasi penuh pada mantra itu. Kini rasa sakitnya juga terwujud dalam wujud fisik, namun Ia masih tidak puas. Ia butuh jawaban. Apakah mantra itu berhasil?

 

Selesai merapal mantra, suasana menjadi tenang. Tak terlihat tanda kehidupan dari tikus itu, Eideth tak tahu itu pertanda buruk atau bukan. Tepat saat Ia mau melepas nafas lega, Ia mendengar suara berdecit. Eideth melihat tikus itu, perlahan hidup kembali, bernafas dan menggerakan kakinya. Tikus itu berguling dari punggungnya berdiri dengan keempat kakinya, tampak bingung apa yang terjadi. Ia segera tau itu semua berkat manusia didepannya dan mendekatinya perlahan walau sedikit takut. Tikus itu mengeluskan kepalanya ke kaki Eideth berterima kasih, kemudian pergi melompat keluar kamar lewat jendela yang terbuka. 

 

Eideth tak tahu harus merasa apa. Ia pikir Ia akan mendapat jawabannya begitu hasilnya keluar. Tapi Ia merasa kosong. Perlahan, seiring Ia berealisasi dengan kenyataan, perasaan bersalah memenuhi hatinya. Eideth tak tahu harus berbicara dengan siapa tentang ini, tapi begitu Ia melihat ponselnya, Ia tahu apa yang harus dilakukan. Eideth menekan layar smartphone nya dan mulai menghubungi seseorang. Ia menunggu dengan sabar mendengar suara dering ditelinganya itu, sampai seseorang disisi lain menjawab. "Halo…"

 

Di Kastil Raziel, kedua pasangan suami istri itu tengah kebingungan. Mereka tengah melihat alat aneh yang ditinggalkan anak mereka bercahaya dan berdering. Suara itu benar-benar asing ditambah benda itu bergetar. "Agareth, apa yang harus Kita lakukan" tanya Lucia. Suaminya hanya mengambil alat aneh itu, menggulir gambar pada layarnya dan berharap yang terbaik. Ia sama sekali tak tahu apa yang harus dilakukan, tapi Ia percaya instingnya berkata yang Ia lakukan benar.

 

Benda itu berhenti bersuara setelahnya, Agareth dan Lucia merasa lega keributan itu sudah berakhir. Namun hal tak terduga terjadi, mereka mendengar sebuah suara keluar darinya. Suara yang mereka kenal, "Halo… Ayah Ibu, apa Kalian disana" panggil Eideth. "Halo, Eideth apa itu benar dirimu" tanya mereka berdua kegirangan. 

 

"Iya, ini Aku" sambungnya, "senang sekali bisa mendengar suaramu nak, apa kabarmu, Kamu sudah sampai mana, sudah makan" tanya Lucia mengambil alat itu dari tangan suaminya. Agareth tidak mempermasalahkannya dan terus mendengarkan. "Aku baik-baik saja Ibu, Aku sedang berada di Nous sekarang, Karena Talent milikku sudah aktif, Aku sedang belajar melatih mereka disini, dan iya, Aku sudah makan" jawab Eideth mencoba tidak terseduh-seduh. "Eideth nak, apa benar Kamu baik-baik saja, suaramu…" Lucia menyadarinya.

 

"Um… Ibu, bisa Aku bicara dengan Ayah sebentar, ada yang perlu Aku obrolkan" pinta Eideth. Lucia tak tahu apa yang terjadi dan menyerahkan alat itu pada Agareth, 'tanyakan padanya apa yang terjadi' bisik Lucia khawatir. Agareth mengangguk dan menjawab panggilan, "ya Nak, apa yang Kau ingin bicarakan". 

 

Eideth sebisa mungkin berbicara tanpa mengeluarkan tangisnya, "Um… Ayah… Aku ingin bilang… Tadi saat Aku mencoba sihir, Aku menemukan sesuatu, mantra yang kubuat berhasil membangkitkan makhluk yang sudah mati, Aku mencobanya pada tikus tadi… mantra ini berlaku pada semua jenis makluk… apa pendapat Ayah" tanya Eideth. Agareth segera tahu apa yang terjadi dan mengapa Eideth memanggil mereka. Dalam hatinya Agareth, Agareth sedikit merasa bersalah. 

 

Sedari kecil, Agareth mendidik anak-anaknya tentang moral dan etika. Hal yang Eideth temukan itu, tengah menggoyangkan pondasi yang Ia tanamkan pada anaknya. Eideth adalah anak yang berani dan tangguh, Ia mengenal anaknya dengan baik. Ia takut pencapaian tersebut membutakannya. Ia mendidik anaknya untuk berhati lembut dan berpikiran keras. Ia sekarang sedang mengalami krisis.

 

"Eideth, apa Kamu masih ingat apa yang Ayah ajarkan" tanya Agareth. "Iya, Ayah selalu berkata…". "Walau Kita bertarung dengan musuh, Kita harus selalu mengingat prinsip Kita, tak boleh terjerat oleh emosi, Kita tidak membunuh karena Kita kuat, Kita harus berbaik hati karena Kita kuat, namun Kita tak takut membunuh saat Kita harus" ujar mereka bersama. Eideth tertawa sedikit karena sinkron itu.

 

"Nak, Kamu sudah tahu apa yang akan Ayah katakan, tapi akan Ayah ingatkan lagi, Ayah sudah mengajarkan padamu semua hal yang perlu Kamu tahu, apapun pertimbanganmu, Ayah dan Ibu percaya Kamu akan melakukan pilihan yang benar" jelasnya. Agareth tak mendengar apapun dari sisi lain tapi Ia tahu anaknya coba menahan tangis. Ia tersenyum anaknya tetap mengingat ajarannya untuk tetap kuat mau bagaimanapun. 

 

Agareth sudah mengajarkan nilai-nilai hidup pada Eideth. Apa yang harus mereka lakukan, prinsip-prinsip yang mereka tekuni, Ia tahu Eideth sudah siap dengan ajaran yang Ia tanamkan padanya. Tapi kini tugasnya sebagai Ayah untuk memberinya dukungan, bukan kata-kata lembut kenyamanan, tapi hal yang harus Ia dengar. Ia hanya perlu mengingatkan. 

"Terima kasih Ayah, itu yang perlu Aku dengar" balas Eideth. Pikirannya sedikit lebih lega sekarang, "Ayah bisa kembali bersama Ibu sekarang" ujar Eideth. Agareth segera tersadar Ia berjalan menjauh dari Lucia sedari berbicara, anaknya benar-benar mengenalnya balik. Agareth memberi ponsel pada Lucia yang khawatir, "Ibu, maaf membuat Ibu khawatir, Aku hanya bertanya pada Ayah tentang pendapatnya tentang sihirku, Aku takut sedikit dibutakan karenanya dan perlu Ayah memberiku pelajaran" jelas Eideth pada Ibunya.

 

Mereka berbincang sebentar sebelum Eideth menutup panggilan itu, "sudah, sekarang sudah malam, tidurlah" suruh Lucia. "Baik Ibu, selamat malam Ibu Ayah, dadah" ujar Eideth sebelum telepon itu tertutup. Lucia menanyakan Agareth apa yang terjadi dan Ia menjelaskan semuanya. Lucia paham kekhawatiran itu, Ia tak menyangka anaknya yang begitu muda sudah mendapat dilema sebesar itu. Lucia menyandarkan kepalanya pada bahu suaminya mencari kenyamanan, Ibu itu sedang berempati mencoba memikirkan apa yang anaknya pikirkan.

 

"Tidak apa Lucia, Eideth anak yang kuat, Kita sudah mendidiknya dengan baik, Kita harus percaya padanya sebagai orang tua" kata Agareth. "Aku tahu… Aku hanya tak bisa berhenti khawatir tau, Aku harap Ia selalu baik-baik saja" balas Lucia. Kedua pasangan itu keluar ke balkon mereka memandang dua bulan Artleya, melamun bersama tahu Eideth sedang melakukan hal yang sama. Merasa anak mereka ditengah mereka saat itu. Butuh dorongan dari Agareth agar Lucia pergi tidur bersamanya.

 

Eideth menutup ponselnya kemudian bersandar ke jendela menatap kearah bulan. Cahaya bulan yang nyaman itu membuatnya berpikir lebih tenang, ditambah Ia merasa seperti sedang bersama orang tuanya disebelahnya menemani. "Itu pasti karena Aku baru saja menelpon mereka" pikir Eideth. Ia mengambil fakta ini begitu berat karena Ia sudah mati sebelumnya. Ia tahu kematian adalah hal yang pasti, namun [Revivify] dengan mudahnya membangkitkan mereka.

 

Prinsip yang dipegang selama ini goyah karena mantra itu, Ia menghargai hidup dan mati. Mengacaukan tatanan itu juga menghancurkan prinsipnya. Di kehidupannya kali ini, Ia berniat mati dengan bangga setelah menyelesaikan kontraknya dan hidup santai. Jika mantra Necromancy yang Ia punya… Ia bahkan tak mau memikirkannya terlalu dalam. Ia tau bagaimana harus menangani hal ini, tanggung jawab dari kekuatan itu sudah Ia miliki sejak awal, Ia tak perlu ragu-ragu lagi.

 

Setelah semua renungan dan depresi itu, kini saatnya Eideth menanggung konsekuensinya. Tak lama Zatharna memanggilnya, [Eideth… ada seseorang yang ingin bicara denganmu] tulis Zatharna. Dari perkataannya, orang yang Zatharna maksud adalah orang luar, bukan GM yang harus Ia hadapi. Eideth coba memikirkan siapa yang ingin bertemu dengannya dan Ia langsung tau. Eideth menerima panggilan itu tanpa banyak bertanya, 

 

Eideth diminta melakukan ritual yang dilakukan oleh pendeta kuil sebelumnya. Namun tujuannya berbeda kali ini. Zatharna menuntun Eideth tentang apa saja yang harus Ia lakukan. Eideth duduk senyaman mungkin di atas tempat tidur, membiarkan dirinya perlahan terbawa oleh ritual tersebut. Ia bisa merasakan jiwanya mulai melayang keluar dari tubuhnya.

 

Ketika Eideth tersadar, Ia sudah berada dialam lain, kemungkinan besar Ia berada di domain dewa yang memanggilnya. Eideth melayang diatas bongkahan tanah, berbeda saat Ia berada dalam domain Joan Dewa belas kasih. Sejauh mata memandang Eideth melihat panorama yang membingungkan. Tanah terbang dimana-mana, mengacaukan Indera akan arah dan orientasi. Anehnya, Eideth tidak pusing melihat pemandangan kacau itu, malah merasa perasaan familiar yang aneh. 

 

Tak lama, sebuah suara memanggil namanya, "Eideth, Kamu bisa mendengarku" panggilnya. Suara itu mulai mengarahkannya untuk melompat ke platform. "Hati-hati saat menda…" suara itu coba memperingatkannya terlebih dahulu tapi Eideth bisa mendarat dengan mudah, terlalu mudah malahan. Satu per satu platform Ia lewati, Ia mencapai sebuah pilar cahaya. 

 

Cahaya itu terpotong menjadi enam seperti sumbu tiga dimensi, membentang dan memotong ruang. Benda itu terlihat sangat panas, atau mungkin hanya perasaannya karena cahaya itu sangat putih dan terang. Ia mendekati pusat cahaya tersebut karena arahan dari suaranya, Eideth hanya berasumsi suara itu adalah milik Dewa yang memanggilnya tanpa mempertanyakan apapun. 

 

"Sekarang lompat" suruh suara itu, Eideth melihat ke sekitar dengan wajah bingung. "Apa Aku benar-benar harus melakukan ini" tanya Eideth, akhirnya Ia mulai memakai akal sehatnya. "Apa, Kita sudah sejauh ini–", "YOLO…" potong Eideth berteriak melompat masuk kedalamnya. Eideth memastikan menutup matanya saat masuk kedalam cahaya itu, takut membutakan matanya.

 

Begitu Eideth membuka matanya kembali, Eideth dihadapkan pada sebuah figur melayang. Ia hanya menampakkan bagian tubuh atas, dengan tangan menyilang didepan dadanya. Ia memasang wajah marah, Eideth mempersiapkan dirinya untuk menerima omelan. "Eideth Raziel, apa Kamu tahu kesalahanmu" tanya Dewa itu, karena Ia tidak langsung ke intinya Eideth memutuskan untuk bermain sedikit. "Gak tau, kayaknya Aku tidak melakukan kesalahan apapun, pasti Anda salah orang, tadi Aku mendengar ada suara saat Aku ada diluar, mungkin Dia yang Anda maksud, tenang saja, Aku akan memanggilnya untuk Anda" dalihnya mencoba kembali. 

 

"Eideth, Kamu tahu apa yang kumaksud, jangan bermain-main" ujarnya. Eideth tidak menyerah memakai topengnya, "ayolah Mystra, jangan seperti itu, apakah Kita bisa membicarakan ini" tanya Eideth. "Ini serius Eideth, Aku harus menjatuhkan pengadilan padamu, ini tugasku sebagai Dewa Alam perbatasan" jelasnya. Eideth menyerah dan tidak akan bermain-main lagi.

 

Mystra adalah salah satu dari lima dewa utama dari era ini, Eideth mendapat sedikit pengetahuan tentangnya dari kontrak dan cerita Zatharna. Mystra bertugas menjaga alam diluar Artleya, saat empat dewa mementing mencari penganut di Artleya, Ia menjaga alam lainnya menggantikan mereka. Eideth hanya mendengar setengah cerita itu, tapi Eideth tak mau mendengar kisahnya. Semakin banyak yang Ia tahu, semakin banyak alasan Ia harus peduli dan semakin terikat dengan dunia ini.

 

"Karena Kamu telah melanggar tabu, mengembalikan yang mati ke alam hidup, sebagaimana pelanggar sebelumnya dihukum, Kamu akan dicap keluar dari alam kematian, dengan ini Kamu tidak akan berpindah ke Planarsphere setelah Kamu mati" Mystra menurunkan hukumannya dan mencap Jiwa Eideth dengan kekuatan misterius yang tak berbentuk. "Setelah ini, saat Kamu mati, Kamu akan menjadi jiwa gentayangan dan takkan menemukan kedamaian di kehidupan selanjutnya" ungkap Mystra. Eideth malah kecewa dan bingung disaat yang bersamaan. Mystra tampak sedikit bangga telah melakukan tugasnya, langsung berganti ekspresi dan meminta maaf. "Maafkan Aku Eideth, Aku tidak ingin melakukan ini saat pertemuan pertama Kita, Aku mendengar banyak hal dari Kakakku tentangmu, Aku tidak bisa menahan hukuman ini walaupun Kamu Jiwa dari dunia lain".

 

"Um… Mystra, Anda–", "tolong, tak perlu lagi menggunakan panggilan seperti itu, Kamu bisa berbicara santai denganku seperti yang Kamu lakukan dengan kakakku" potongnya. "Oke, Aku akan berbicara lebih santai, tolong Kamu juga begitu… jadi… ada sesuatu yang harus Aku beritahu padamu" ungkap Eideth gelisah. "Tolong teruskan, Kau," Mystra berhenti sebentar untuk tertawa kecil, "ehem, Kau tidak perlu menyembunyikan apapun Eideth, katakana saja padaku" ujarnya. Eideth menggaruk kepalanya dan menatap kearah lain.

 

"Umm… Mystra, dalam kontrakku… mungkin Kakakmu belum memberitahumu tentang ini tapi… Aku tidak akan pergi ke Planarsphere saat Aku mati di kehidupan ini" ungkap Eideth seluruhnya kali ini. Suasana jadi diam, Eideth tak tahu bagaimana harus menghadapi kecanggungan itu. Mystra butuh waktu sebentar untuk memproses hal itu, "HAAAAH…?