Haris melihat ke arah jam digital yang berpendar redup di atas meja di kamar Hasan. Butuh beberapa saat hingga dia bisa memastikan kalau yang dilihatnya benar.
Waktu sudah melewati tengah malam dan Hasan tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Nafasnya masih memburu di dekat telinga Haris.
Duda itu jadi berpikir kalau Hasan tidak punya pacar karena seleranya terlampau besar. Mungkin perlu beberapa wanita untuk bisa memuaskannya. Sprei terasa basah dan lembab oleh air mani. Bercampur dengan lube dan keringat mereka.
Selama setahun pernikahannya pun, Haris tidak melakukan seperti orang kesurupan. Baru kali ini Haris terlibat dalam sex yang memakan waktu begini lama. Tenaganya tak bersisa selain untuk tetap bernafas dan terjaga.
"Ugh..." Suaranya pun tidak lebih dari erangan atau gumaman tanpa makna.
Yang lebih luar biasa, masih ada saja cairan yang keluar dari ujung penisnya. Klimaksnya masih terasa enak, tapi ada rasa nyeri yang tajam dan menusuk karena kantongnya seperti diperah habis-habisan.
Pola yang sama terulang. Tubuh Hasan di atasnya kembali menegang, seiring dengan kejantanannya yang tertancap dalam diri Haris. Lalu dia akan merasakan semburan hangat dari pemuda itu.
"Hei, Hasan, kamu mungkin lupa tapi besok..nanti kita harus kerja," ujar Haris. Suaranya serak dan parau.
Hasan menatap ke arah wakil direktur yang tengah berbaring tak berdaya di bawahnya. Tubuhnya penuh bercak kemerahan bekas gigitan dan hisapan Hasan. Ada juga bekas semen yang mengering, meninggalkan bercak putih pada tubuh telanjangnya. Atasannya itu terlihat seperti aktor film porno.
Dan pria itu tidak lagi peduli meski Hasan bisa melihat setiap lekuk tubuhnya dengan jelas. Tidak lagi berusaha menutupi kemaluannya yang imut. Atau keberatan saat Hasan memainkan lubangnya yang lunak, yang masih terbuka karena Hasan menyerangnya habis-habisan.
Pemuda itu tidak peduli jika mereka harus bolos sehari atau dua hari. Melihat spermanya mengalir keluar dari anus Haris, turun ke selangkangannya, lebih berarti buat Hasan saat ini. Sungguh pemandangan yang menggairahkan.
Mungkin lain kali dia akan memuncratkan cairannya di wajah wakil direktur itu. Melihat ketidak berdayaan Haris saat semennya menetes mengenai bibirnya... Hasan menghentikan imajinasinya saat merasa teman kecilnya di bawah sana mengeras lagi.
Dia harus berhenti sekarang atau Haris tidak akan mengijinkan Hasan menyentuh dirinya lagi.
Hasan meninggalkan kasurnya dan melangkah ke kamar mandi. Dia mengatur air bath tub agar hangatnya pas, lalu kembali mendekati Haris yang sudah menutup mata. Hasan ragu kalau duda itu sanggup berjalan, sehingga digendongnya tubuh Haris dengan hati-hati.
Haris kembali membuka mata saat badannya diletakkan dalam tub. Air yang hangat dan beraroma citrus, terasa segar bagi jiwa dan raganya yang lelah. Dia pun membasuh perlahan semua sisa permainan mereka yang masih menempel. Termasuk di bagian belakang yang terasa bengkak dan tebal.
Dia juga memakai sabun sekedarnya sebelum membuang air dan menghilangkan sisanya lewat bilasan shower.
"Sudah selesai?" tanya Hasan ketika memasuki kamar mandi.
Dia mengangguk pelan dan berusaha bangun saat Hasan menyelimuti seluruh tubuhnya dengan handuk lebar. Pemuda itu juga langsung mengangkat tubuh Haris semudah mengangkat karung beras.
Haris pasrah saja karena kakinya lemas dan nggroyo seperti bayi impala yang baru lahir.
Ketika mereka masuk, udara kamar sudah bersih dan segar. Begitu juga dengan kasur, sprei dan sarung bantal sudah pakai yang baru. Kesadaran Haris menipis begitu dia berbaring di atas spring bed yang empuk dan nyaman.
Dia tidak mendengar saat Hasan keluar dari kamar mandi dan mengeringkan rambut. Duda itu terlalu lelap, bahkan saat Hasan naik ke kasur dan menarik selimut. Menutup tubuh dan akhir hari bagi keduanya.
...
"...ris... Pak..." panggil suara berat dan dalam di dekat telinganya.
Haris tidak ingin bangun atau membuka mata. Atau bergerak atau apapun juga. Dia ingin terus bergelung di kasur, menyimpan sisa-sisa kehangatan sebelum mandi dengan air yang dingin.
"Sebentar lagi waktunya Niar bangun dan bersiap berangkat. Setelah memandikan Niar, Pak Haris boleh tidur lagi," bujuk Hasan.
Seketika itu juga Haris membuka matanya yang lengket dan pedas.
"Biar aku mandikan Niar!" seru Haris yang langsung bangun dari tempat tidur dan kembali terjatuh sesaat kemudian.
Nyeri di pinggang, pinggul dan punggungnya begitu mendadak. Belum lagi dia hanya memakai celana pendek milik Hasan.
"Semangat, Ayah!" ujar Hasan sok imut sambil menepuk pundak Haris lalu berjalan keluar kamar.
Haris hanya bisa mengumpat dalam hati karena sekretarisnya itu sudah berpakaian lengkap. Kemeja biru saphir dan celana kain dark grey yang matching dan tight fitting.
Duda itu menggigit bibir sambil berusaha bangkit. Kali ini giliran perutnya terasa nyeri seperti kram.
Di luar, Niar sedang duduk di depan meja. Wajahnya yang tampak sayu, langsung ceria begitu melihat sosok Haris. Anak gadisnya itu berlari lalu memeluknya dengan erat. Pria berumur itu sampai ingin menangis antara terharu dan menahan sakit di perut yang kena sundul kepala Niar.
"Yah, kata Om Hasan Niar sarapan dulu sambil nunggu Ayah," lapor bocah itu.
"Hmmm..terus, Niar sudah sarapan apa belum?" tanya Haris penuh kasih sayang sambil mengusap rambut yang sudah rapi.
"Belum.. Om Hasan juga belum sarapan."
"Niar mau mandi dulu atau sarapan dulu?" tanya Haris akhirnya.
"Hmm.. Niar mau sarapan sama mandi sama Ayah," jawab bocah itu kembali memeluknya.
"Ayo mandi dulu kalo gitu," saran Haris yang menggandeng putrinya ke kamar mereka.
Berkali-kali Haris bersyukur sebab Niar cukup paham diajak bicara. Tidak rewel dan jarang merajuk. Jika Haris ingat, sejak mereka hidup bersama, Niar bahkan tidak pernah menangis sekalipun. Sungguh anak yang pintar dan low maintenance.
Seusai mandi dan ganti baju, Haris ikut makan pagi bersama. Meski dia tidak selera karena nyeri perut, dia tetap makan untuk memberi contoh baik bagi putrinya. Karenanya, Haris tidak menduga ketika Hasan meraih tangannya di atas meja.
"Ada apa?" tanya duda itu sambil menarik tangannya menjauh.
"Kenapa hanya makan sedikit? Wajah Pak Haris juga pucat," ujar Hasan khawatir.
"Pikirmu gara-gara siapa coba?" bentak Haris sambil melotot sebelum menurunkan emosinya. Dia tidak mau terlihat buruk di mata putrinya. "Ehm, aku hanya agak mual. Bukan perkara besar."
Hasan menyembunyikan senyumnya di balik tangan. Dia tidak mau memprovokasi pria itu lebih lanjut dan merusak suasana makan yang tenang.
.
Mereka masih bisa berangkat lebih awal. Bahkan jalanan tidak seramai biasanya untuk ukuran hari Senin. Setelah mengantar Niar, masih ada banyak waktu meski Hasan mengemudi dengan santai.
Tetapi, bukannya menuju kantor, Hasan malah memutar mobil kembali ke kompleks apartemen.
"Kenapa kamu kembali? Apa ada yang ketinggalan?" tanya Haris.
"Tidak ada. Tapi wajah Pak Haris makin pucat," ujar pemuda itu. Dia lalu meletakkan telapak tangan di pipi atasannya itu. "Sepertinya demam."
"Aku tidak apa-apa." Haris menepis pelan tangan Hasan.
"Bukannya apa, saya tidak mau Pak Haris mengambil keputusan keliru karena sakit. Bagaimana kalau kesalahannya jadi fatal? Katanya Pak Haris banyak tanggungan," nasehat Hasan.
"Aku sudah banyak ambil cuti gara-gara kebakaran kemarin," keluh duda itu.
"Tidak apa. Jumlah cuti Pak Haris masih kalah jauh dibanding Pak Bangun."
Haris tidak bisa mengelak, karena kenyataannya memang begitu. Tapi rasanya sayang, mengambil cuti karena hal sepele.
"Aku bukan bos disana, Hasan. Jadi tetap harus kerja meski sakit sedikit." Haris bersikeras. Saat kata-katanya tidak menjangkau pria di sebelahnya, Haris menepuk lengan pemuda itu. "Ya?"
Hasan memutar kembali kendaraan ke arah kantor. Yang dikatakan pria itu benar. Karena itu Hasan hanya bisa menelan kekecewaannya dalam hati.
.
.