"Haaaa..." Aku menghela nafas lesu.
Kami sudah pergi dari desa Elf dan sekarang lagi menuju ke kota terdekat. Tapi, selama perjalanan, aku sama sekali tidak memiliki motivasi di dalam diriku.
Mungkin menyadari hal itu, Alicia mendengus kesal setiap kali dia melihatku yang terus menghela nafas dengan raut wajah yang suram.
"Kau benar-benar menyebalkan, mau sampai kapan kau terus seperti itu. Kau pikir sudah berapa banyak aku menghitungmu menghela nafas terus. Apa kau masih belum bisa melepaskan pikiranmu dari Elvy?" tanya Alicia dari punggungku, yang dengan tepat sasaran menebak masalahku.
Kenapa dia hanya peka di saat yang aneh?
"Itu bukan urusanmu, kan?" jawabku acuh.
"Ya ampun, kau anak yang merepotkan," ucapnya sambil mendesah singkat.
Alis mataku berkedut. "Aku tidak ingin mendengar itu darimu!" cetusku.
Kami telah berjalan cukup jauh dan dia sudah memakai [Buff Potion] bersama sihir pendukungnya, tapi kenapa dewi satu ini tidak ingin turun dari punggungku?
Tidak bisakah dia jalan menggunakan kakinya sendiri?
"Haaaa…" Aku menghela nafas lagi.
"Lihat, kau melakukannya lagi. Bisakah kau berhenti terus seperti itu?"
"Kali ini aku melakukannya karena salahmu!"
Selagi aku menanggapi protes Alicia dengan kesal, aku memikirkan kembali apa yang kurasakan. Semenjak aku meninggalkan desa, rasanya seperti ada sesuatu yang salah di dalam diriku, ini sama seperti kau ingin bermain game tapi kau lupa di mana kau meletakkan konsol gamenya, sedangkan gamenya sudah siap untuk dimainkan.
Ugh, ini benar-benar menyebalkan.
Ada apa denganku akhir-akhir ini, kenapa aku sangat gelisah?
Apa aku segitu sedihnya hanya karena Elvy meninggalkanku?
Sejak kapan aku memiliki perasaan yang seperti ini kepadanya?
Sial, aku tidak bisa terus seperti ini, secepatnya aku harus segera membenahi diriku sendiri dan melupakannya.
Tapi, aku tidak bisa melakukan itu— Tidak setelah aku mengingat kembali kejadian ketika Elvy mengungkapkan perasaannya kepadaku. Setiap kali aku berusaha untuk lupa, adegan di mana Elvy menyatakan cintanya sebelum dia di bunuh oleh Rodan terulang kembali di dalam benakku.
Itu benar-benar menyulitkanku.
"Ya ampun, mungkinkah kau menganggap Elvy seperti adikmu sendiri, dasar siscon."
"…."
Selagi aku terus tersiksa dengan pikiranku sendiri, dewi itu tiba-tiba mengatakan sesuatu yang tidak perlu, jadi aku menjatuhkannya.
*************
Kemudian, perjalanan terus berlanjut, akhirnya kami dapat keluar dari hutan hangus itu dan sekarang kami berada di kawasan hutan yang alamnya masih terjaga.
"Baiklah, kurasa di sini sudah baik-baik saja. Sekarang kau sudah bisa keluar, Estella," panggilku sambil melirik ke arah bayangan tubuhku sendiri.
Saat itu juga, bayangan tubuhku tiba-tiba menggeliat dengan cara yang mengerikan dan membentuk siluet hitam dari seorang gadis kecil. Begitu warna hitam dari bayangan itu mencair, seorang gadis kecil berambut merah dengan gaun renda berwarna hitam berdiri di hadapanku, dia tidak lain adalah Pimpinan pasukan Raja Iblis, Estella sang Vampir Bulan Merah.
"Fuaah~ ini jauh lebih baik. Aku benar-benar tidak suka terus berada di dalam bayanganmu, dunia luar jauh terasa lebih enak dan menyegarkan," ucap gadis itu sambil merentangkan tangannya dengan puas.
"Jangan bilang seakan bayanganku tidak segar. Bukankah kau seorang Vampir, apa kau baik-baik saja terkena matahari seperti itu?"
"Dasar bodoh, jangan samakan aku dengan Vampir kelas rendah seperti mereka. Aku adalah Ratu Vampir, aku tidak lagi memiliki kutukan matahari," ucap Estella dengan wajah bangga.
"Ya ampun, Riku, aku benar-benar tidak percaya kau akan membawa mayat berjalan ini juga. Tidak bisakah kau membunuhnya saja," sahut Alicia yang berjalan dari belakang Estella, sambil menatap tajam ke arah gadis itu.
Estella tersentak, dia mengernyit. "Geh! Bukankah kau wanita gila waktu itu?!"
"Hei, Riku, apa aku boleh membunuh undead ini? Sepertinya dia sangat ingin dimurnikan," ucap Alicia yang sudah bersiap-siap dengan tinju sucinya.
Merasakan aura suci yang luar biasa, Estella menggigil dan dia segera bersembunyi di balik tubuhku sambil gemetaran.
Aku tidak percaya kalau gadis ini dulunya adalah Pimpinan pasukan Raja Iblis.
"Ya-Yah, tenanglah, Alicia. Dia adalah sumber informasi yang berharga, jadi jika bisa aku tidak ingin membunuhnya. Lagipula, bukankah kekuatannya telah kau segel? Bahkan aku juga sudah melakukan kontrak tuan dan pelayan kepadanya, jadi semisalnya dia mencoba untuk berkhianat, kita bisa segera mengatasinya," ucapku sambil mencoba untuk menenangkan Alicia yang terus menatap Estella dengan hasrat membunuh yang luar biasa.
Mendengar itu, Alicia menyilangkan tangannya dan mendengus. "Yah, baiklah, jika itu maumu." Dia terlihat sangat tidak puas, tapi aku bersyukur dia mau menerimanya. "Kau berutang nyawa kepadaku, gadis undead," lanjut Alicia.
Estella menjulurkan lidahnya mengejek, membuat mereka bertengkar lagi.
Ya ampun, mereka benar-benar merepotkan.
"Haaaa…" Aku menghela nafas lelah.
Ngomong-ngomong, seperti yang kukatakan, aku melakukan kontrak tuan dan pelayan dengan Estella. Tentu saja, aku yang menjadi tuannya.
Alasan kenapa aku melakukan ini hanya untuk berjaga-jaga dan mengekang pergerakan Estella. Karena meskipun kekuatannya telah tersegel, dia tetap mantan Pimpinan pasukan Raja Iblis, aku tidak bisa lengah begitu saja dengannya.
Untuk itulah kontrak ini dibuat, agar dia tidak bisa mengkhianati kami. Semisalnya dia mencoba untuk melakukan pengkhianatan, kontrak ini akan aktif dan menghancurkan jantungnya seketika.
"Aku benar-benar terkejut saat kau pertama kali mengajukan saran ini. Aku pikir saat itu kau telah dicuci otak oleh undead ini, jadi aku merampalkan [Break Spell] berkali-kali," ucap Alicia saat dia menduduki tubuh Estella dan mengunci pergerakannya, yang merupakan hasil dari pertengkaran mereka.
"Bukankah sudah kubilang, ini untuk jaga-jaga."
"Tapi kau terlalu berlebihan, bocah sialan! Aku benar-benar merinding saat kau tiba-tiba mengajukan saran ini, aku sempat meragukan esensimu sebagai manusia," sahut Estella yang menggerutu. Di sana dia masih berusaha keras untuk mencoba lepas dari teknik kuncian Alicia.
Aku berjongkok di depannya dan menatapnya. Melihat itu, merasakan firasat buruk, bahu Estella gemetar. "Ya ampun, bukankah sudah kubilang untuk memanggilku 'Master', apa kau ingin di hukum lagi?" ujarku sambil tersenyum lembut.
Saat itu juga, Estella mulai kesakitan.
"Khh! Sial, dadaku sangat sakit! Benar-benar kontrak yang menyebalkan!" Dia mengerang.
Sebagai hasil karena telah melanggar perintah tuannya, Estella akan merasakan perasaan sakit tak tertahankan di mana jantungnya diremas, jika dia terus melawan, maka rasa sakitnya akan semakin kuat. Inilah yang dimaksud kontrak tuan dan pelayan.
"Jika kau tidak ingin dihukum lebih dari ini, kau harus meminta maaf dan memanggilku dengan panggilan 'Master' dengan benar," pintaku.
Estella terlihat sangat enggan, dia mengerutkan keningnya, tapi dia tetap melakukannya, karena jika dia terus melawan, itu hanya akan membuatnya semakin tersiksa, wajahnya memerah. "To-Tolong, ma-maafkan, aku, Ma… Master," ujarnya yang tampak jijik sambil menatapku dengan hasrat membunuh yang mengerikan.
Ya ampun, dia benar-benar tidak bisa diharapkan, apa dia tidak bisa meminta maaf dengan baik? Tapi, baiklah, kurasa kali ini saja aku akan memaafkannya.
Kuharap dia bisa melakukannya lebih baik lagi untuk ke depannya.
"Hei, Riku, kau tidak melakukan kontrak ini hanya untuk dipanggil 'Master', kan?"
"Te-Tentu saja tidak, a-apa yang kau katakan tiba-tiba?!"
Mendengar perkataan Alicia, aku tersentak, akibatnya suaraku jadi melengking .
"Hmm…" Dia mulai menatapku dengan curiga.
Saat itu juga, keringat dingin mulai menetes dari wajahku dan aku langsung berpaling untuk menghindari tatapannya.
Sial, apa dia mendapatkan kembali kemampuan membaca pikirannya?!
Kurasa sebaiknya aku lebih berhati-hati dalam memanfaatkan kontrak ini.
"Maafkan aku karena telah menganggu obrolan kalian, tapi apa aku boleh meminjam waktu kalian sebentar?" Seseorang mamanggil.
"—?!" Ketika itu juga, mataku terbelalak kaget dan aku dengan cepat langsung memalingkan pandanganku ke arah suara asing yang tiba-tiba menghampiri kami itu.
Aku menyipitkan mataku dengan tajam. Perasaan tegang yang mencekam langsung memompa instingku untuk berwaspada kepada orang itu.
"Siapa kau?" tanyaku yang tercengang saat melihat siapa yang datang.