Saat pemuda itu memperhatikan kelompok Riku dari atas pohon sambil menyembunyikan hawa keberadaannya, dia menyipitkan matanya dengan tatapan yang merendahkan.
"Benar-benar orang yang santai, apa mereka tidak sadar jika hutan ini merupakan sarang dari para monster dan binatang iblis?" Itu lah yang dia pikirkan dalam batinnya ketika dia menyaksikan kelompok Riku yang terus asik mengobrol.
Tapi, ketika itu juga matanya terbuka lebar.
(Tunggu, apa barusan wanita itu menatapku?— Tidak, itu tidak mungkin, jarak kami ada lebih dari 100 meter dan aku juga sudah menyembunyikan hawa keberadaanku, bagaimana bisa dia menyadariku?!) Dia terkejut ketika melihat Alicia yang hanya sesaat menatap ke arahnya seolah sadar akan kehadirannya. Wanita itu tersenyum, tapi setelah itu dia memalingkan tatapannya lagi.
Pemuda itu menelan ludahnya. "Sepertinya aku terlalu meremehkan mereka. Baiklah, jika aku sudah disadari, kurasa tidak ada alasan lagi untuk bersembunyi," ujar pemuda itu. Berpikir bahwa tidak gunanya lagi untuk bersembunyi, dia memutuskan untuk keluar dan berjalan menghampiri kelompok Riku dengan santai.
"Maafkan aku karena telah mengganggu obrolan kalian, tapi apa aku boleh meminjam waktu kalian sebentar?" ujarnya saat berdiri di hadapan mereka.
Tapi, saat itu juga tubuhnya langsung menggigil.
(Hasrat membunuh?!) pekiknya dalam batin begitu secara tiba-tiba dia merasakan hasrat membunuh yang luar biasa.
Melihat sumbernya, dia menoleh ke arah Riku, yang menatapnya dengan tajam sambil terus berwaspada kepadanya, mata remaja itu tampak kosong dengan warna abu-abu yang buram.
Pemuda itu tersentak dan secara refleks menahan nafasnya. (Ada apa dengan anak ini? Apa itu benar-benar tatapan dari orang yang baru mengalami satu kali pertarungan? Kenapa aku tidak bisa untuk tidak berhenti gelisah?!) batinnya.
Tatapan tajam Riku yang penuh waspada seakan bertanya kepada dirinya, apa kau musuhku atau rekanku? Dia terus mengevaluasi pemuda itu dan juga bersiap-siap untuk bertindak semisalnya terjadi pertarungan di antara mereka. Di telapak tangannya, pemuda itu juga bisa melihat Riku yang seakan bersiap-siap untuk melempar sesuatu, dia tidak tau apa itu, tapi dia yakin itu bukan sesuatu yang baik.
"Kau siapa?" tanya Riku, masih waspada.
Setelah melihat bagaimana reaksi yang dia dapatkan, pemuda itu mengangguk puas. Kemudian, dia mengangkat kepalanya sekali lagi dan menatap mereka dengan tegas.
(Pemikiran yang cepat dan perkembangan pesat dari pengalaman yang sedikit. Baiklah, kurasa aku harus mengakuinya, kau adalah seorang jenius, Riku… Tapi—) gumamnya dalam batin, memuji Riku dengan tulus.
Tapi—
"—Aku tetap tidak akan menyerahkan adikku kepadamu!"
"Eh?"
****************
Seseorang berjalan menghampiri kami, itu membuatku terkejut. Tapi, yang lebih mengejutkannya lagi adalah bahwa orang itu adalah seorang Elf. Dia memiliki rambut pirang pendek dan iris mata berwarna krem yang terlihat tegas.
Aku tidak pernah melihat Elf sepertinya ada di desa, jadi itu membuatku waspada.
Tapi, saat aku mulai bersiap-siap untuk melarikan diri sambil menggenggam [Debuff Powder] yang dapat membutakan lawan, Elf itu tiba-tiba berkata.
"Aku tetap tidak akan menyerahkan adikku kepadamu!"
"Eh?" Itu membuatku terkejut.
Apa yang dia katakan tiba-tiba?
Adik?
Emangnya aku pernah mengambil adiknya?
Karena bingung dengan situasi ini, aku menoleh ke arah Alicia. Wanita itu mengerutkan keningnya seolah sedang berusaha untuk mengingat sesuatu sambil terus menatap ke arah Elf tersebut.
Detik berikutnya, alis matanya terangkat.
"Oh, aku ingat, bukankah kau Elf yang waktu itu?!"
"Elf yang waktu itu?" Aku memiringkan kepalaku, bertanya-tanya apa yang tiba-tiba wanita ini katakan. Apa dia kenalannya?
Aku sekali lagi menoleh ke arah Elf itu.
Seperti yang diduga dari seorang Elf, dia memiliki wajah yang tampan. Meskipun itu sedikit menjengkelkan untuk melihat orang tampan sepertinya.
"Waktu itu, terima kasih karena telah menyelamatkanku."
"Eh?"
Aku dibuat terkejut sekali lagi, di luar dugaanku, Elf itu tiba-tiba membungkukkan tubuhnya kepada Alicia dan berterima kasih.
"Alicia, apa kau mengenalnya?" tanyaku.
Alicia mengangguk dan dia menjawabnya dengan suara yang ringan. "Yah, saat aku sedang mencari tempat untuk bersantai setelah mengalahkan undead ini, aku menemuinya yang tergeletak lemah di bawah puing-puing rumah, jadi aku menyembuhkannya… He-Hei, Riku, ada apa?! Kenapa kau tiba-tiba marah?! Hentikan, kekerasaan itu sangat dilarang! Aaaaaahhh!"
"Kau benar-benar menyebalkan. Padahal waktu itu aku nyaris mati, tapi kau bukannya menyusul malah bersantai-santai kau bilang!"
Aku langsung menerkam dewi itu.
"Uuh, sejak kapan levelmu naik setinggi ini? Rasanya jauh lebih sakit dari biasanya," gerutu Alicia sambil memegang pipinya yang memerah.
Aku mengabaikannya dan memalingkan pandanganku kepada Elf itu yang terus memperhatikan kami. Yah, karena Alicia tidak mewaspadainya, itu artinya dia tidak memiliki niat jahat apapun.
Para roh sangat sensitif dengan niat jahat seseorang, jadi biasanya aku selalu menyuruh Alicia untuk memperhatikan seseorang dan memastikan apakah mereka memiliki niat jahat atau tidak menggunakan indra para roh itu. Selain itu, semisalnya dia memang memiliki niat jahat, Alicia sudah memperingatkanku untuk berhati-hati bahkan sebelum dia bisa muncul di hadapan kami seperti ini.
Tapi, itu bukan berarti aku harus menurunkan kewaspadaanku.
"Jadi, apa maksudmu kau tidak akan menyerahkan adikmu? Maaf, tapi aku tidak pernah ingat pernah mengambil adik orang lain. Kau mungkin hanya salah orang, jadi bisakah kau melepaskan kami," Aku mencoba untuk berpikir dingin.
"Jangan berpura-pura tidak tau apapun, kau—"
"Hei, tenanglah sedikit, lagipula meski kau bilang adik, emang siapa yang kau maksud?" potongku sebelum emosi Elf itu meledak, aku mencoba untuk menenangkannya.
Dia masih terlihat marah, tapi karena dia tau itu bukan pilihan yang tepat untuk berbicara secara sepihak seperti ini. Elf itu menenangkan dirinya dan menundukkan kepalanya.
"Maaf, ini salahku. Kau benar, meskipun aku marah seperti ini tidak akan menghasilkan apapun. Kalau begitu, pertama, izinkan aku untuk memperkenalkan diriku terlebih dahulu." Kemudian, menegakkan postur tubuhnya, dia kembali berkata. "Perkenalkan, namaku Elgia Elvin Cromwell, senang bertemu dengan kalian."
"Elvin?" seruku bertanya-tanya pada nama yang tidak pernah kudengar itu. Aku menatap Alicia, tapi dia hanya menggelengkan kepalanya.
Kemudian, dengan penuh percaya diri, Elvin kembali berkata.
"Benar, aku adalah kakaknya Elvy."
"…."
Aku terdiam pada pengungkapan yang mengejutkan itu.
"Sekarang, apa kau sudah mengerti apa maksud… ku— He-Hei, tu-tunggu, a-ada apa? Kenapa kalian tiba-tiba mendekatiku dengan wajah seperti itu? Hei, kenapa kalian tiba-tiba merampal sihir pendukung?! Tu-Tunggu! Kumohon dengarkan aku dulu— Ugugh!"
Sebelum Elf itu mengatakan sesuatu lebih jauh lagi, aku dan Alicia dengan kompak menerkamnya dengan pukulan telak tepat di wajahnya, membuat dia pingsan seketika.
"Ya ampun, mau seberapa banyak orang mesum yang mengaku diri mereka sendiri sebagai kakaknya Elvy? Cukup wanita itu yang mengisi bagian ini, jangan tambah-tambah masalah lagi."
Elvy pasti benar-benar berat karena hidupnya harus dikelilingi oleh orang-orang aneh seperti ini.
"Baiklah, mari kita singkirkan orang mesum ini dan lanjutkan kembali perjalanan kita. Karena dia kita telah membuang-buang banyak waktu."
Aku memberi keputusan dan Alicia mengangguk setuju.
Setelah kami menyingkirkan orang mesum itu dengan menyembunyikannya di semak-semak, kami melanjutkan perjalanan kami kembali.
Saat aku melangkah pergi bersama Alicia di punggungku, Estella berjalan mendekati orang mesum itu, dia terlihat bersimpati.
"Apa kalian selalu seperti ini?"
Aku tidak tau apa yang dia coba tanyakan. Tapi sepertinya dia menganggap Elf itu kembarannya yang memiliki nasip sama.