"Masalah besar!" kata salah satu Editor perempuan yang baru saja masuk dengan wajah terlihat serius.
"Masalah besar apa?" tanya Riehla sembari duduk di kursi kerja-nya.
"Salah satu penulis terbaik yang masuk daftar 10 besar, ternyata suka sama Pak Ellio."
"Terus, apa masalahnya?" tanya Riehla lagi dengan wajah bingung.
Semua orang nampak menanti ucapan perempuan berambut hitam panjang sedikit keriting yang saat itu diikat satu. "Sekarang Penulis itu ada di Lobi, sedang menunggu Pak Ellio yang sedang dibujuk buat mau makan siang bareng. Bisa-bisanya Pak Ellio menolak perempuan secantik itu."
"Kalian tahu sendiri gimana Pak Ellio. Dia gak pernah terlihat makan bersama orang lain selain dengan Pak Randy. Makan siang bareng klien saja ada Pak Randy yang menemani," ujar Kepala Editor yang duduk di kursi-nya.
"Menurut saya keterlaluan, Bu. Gimana kalau kali ini kita juga kehilangannya? Betapa hebatnya perusahaan ini kehilangan tiga Penulis terbaiknya dalam waktu yang cukup singkat."
"Sebaiknya kamu kembali bekerja!"
Bukannya meneruskan pekerjaan yang terhenti sejenak karena pembicaraan Editor perempuan satu itu, Riehla terlihat meninggalkan ruangan. Orang lain pikir mungkin perempuan itu akan ke Toilet, nyatanya Riehla berencana menemui CEO-nya itu. Sampainya di depan Ruang Kerja Ellio, ia langsung mengetuk pintu. Tanpa bertanya terlebih dahulu pada Sekretaris Ellio seperti biasanya. "Seingat saya, saya gak minta kamu mengantarkan sesuatu atau Pak Ellio sedang menunggu kedatangan kamu," kata Sekretaris Ellio dengan wajah dan nada bicara tegas.
Riehla menoleh. "Ada hal mendesak yang perlu saya bicarakan."
Sekretaris yang terkenal dengan ketegasan dan bekerja kerasnya itu berdiri dari duduk. "Pak Ellio bukan seseorang yang bisa kamu temui sesuka hati!"
Ceklek
"Masuk!" perintah Ellio.
Di dalam sana ada Randy yang tengah berdiri. "Hal mendesak apa yang mau kamu bicarakan?" tanya Ellio sembari berjalan ke arah Riehla.
"Saya mau Bapak makan siang bersama Penulis itu! Penulis yang sudah menunggu Bapak di Lobi."
Ellio mengernyit. "Saya rasa kamu gak berhak bicara seperti itu pada saya. Kamu gak mendadak amnesia yang jadinya lupa siapa saya kan?!"
"Penulis itu salah satu Penulis terbaik kita! Saya gak mau kalau sampai perusahaan kehilangan Penulis terbaiknya lagi."
Ellio lipat kedua tangan di depan dada. "Kamu hanya perlu fokus dengan pekerjaan kamu! Perusahaan kehilangan Penulis terbaiknya itu gak akan berpengaruh sama gaji kamu."
Riehla sungguh tak percaya dengan yang dipikirkan Ellio. Bagaimana bisa Ellio berpikiran seperti itu. Riehla benar-benar peduli dengan perusahaan. Tetapi, Ellio menganggapnya beda. "Saya bicara kayak gini karena peduli sama perusahaan, bukan karena gaji. Kalau perusahaan kehilangan satu persatu Penulis terbaiknya yang rugi juga perusahaan. Saya bisa melamae di tempat lain karena pengalaman yang sudah saya miliki, tapi perusahaan? Apa bisa secepat itu bangkit setelah terpuruk?"
Tidak ada yang salah dengan ucapan Riehla, hanya saja Ellio tidak suka Riehla seperti memaksanya untuk makan siang dengan perempuan itu. "Jangan terlalu peduli dengan perusahaan karena itu bukan urusan kamu." Seperti itulah yang bisa dikatakan Ellio.
"Baik. Kalau gitu saya permisi." Riehla pergi dengan wajah kecewa. Alih-alih kecewa dengan sikap Ellio, Riehla lebih kecewa dengan dirinya sendiri yang tidak bisa meyakinkan Ellio untuk pergi makan.
"Hanya makan bersama, untuk menghargai perasaannya yang suka sama Bapak. Perempuan itu gak seperti Kania," ujar Randy yang masih berusaha meyakinkan.
Beberapa saat kemudian...
Sudah waktunya makan siang dan Riehla nampak meregangkan otot-otot tangan yang terasa sedikit kaku. "Luar biasa! Pak Ellio menerima ajakan makan siang si Penulis," kata salah satu Editor perempuan yang sedang menatap layar handphone.
Beberapa Editor berkumpul untuk melihat apa yang sedang disaksikan Editor itu, termasuk Riehla yang menyelinap di antara mereka. Dapat Riehla lihat foto kebersamaan mereka. Melangkah kembali ke meja kerja dengan sebuah pemikiran.
"Apa yang terjadi? Beberapa saat lalu terlihat kekeh gak mau menerimanya" batin Riehla.
"Lebih dari siapa pun Pak Ellio sangat memikirkan perusahaan," kata Kepala Editor sembari berjalan menghampiri Riehla.
"Saya kira dia gak akan melakukannya."
"Kita gak akan pernah tahu apa yang dipikirkannya."
Dalam perjalanan menuju Kantor di mana, saat lampu merah Ellio memutar kembali adegan perdebatannya dengan Riehla. Padahal Riehla hanya ingin membuat Ellio nantinya tidak ada penyesalan di mana sebenarnya Ellio bisa lihat jika Riehla benar peduli dengan perusahaan, namun ia malah berkata seperti itu. Perkataan Ellio mungkin melukai hati Riehla.
Ting
Satu persatu orang melangkah keluar dari dalam lift begitu pun Riehla yang berjalan bersama Kepala Editor. Dapat semua orang lihat Ellio yang baru saja kembali. Para Editor menghampiri Ellio yang mau tidak mau menghentikan langkah kakinya. "Gimana Pak makan siangnya? Pilihan yang bagus buat menerima ajakan makan siang itu," oceh salah satu Editor perempuan.
"Gak baik menolak perempuan cantik," kata Editor laki-laki.
"Jadi, apa akan ada makan siang kedua dan selanjutnya?" tanya Kepala Editor.
Bukannya menjawab setiap pertanyaan yang ada, Ellio menoleh ke arah Riehla yang sedang menatapnya. Ellio merasa sedikit buruk atas perkataannya itu. "Saya melakukan itu untuk perusahaan, gak lebih!" Lalu, melangkah pergi dari sana. Dan mereka pun melanjutkan kembali langkah kaki.
"Kira-kira nantinya Pak Ellio tertarik gak ya? Penulis satu itu kan cantiknya setara sama Sekretaris-nya Pak Ellio," kata Editor perempuan berambut hitam panjang sedikit keriting.
Beberapa jam kemudian...
Paling enak itu bisa pulang tepat waktu. Sudah pukul 23.15, dan Riehla siap tidur. Namun, gara-gara lupa mengheningkan handphone ia harus kembali terduduk, menerima panggilan masuk dari Randy.
"Ada apa ya Pak telepon saya jam segini?" Tidak tahukah Randy jam berapa sekarang? Waktu yang tidak pas untuk menelepon.
"Saya tunggu di Bandara sekarang!"
"Bandara? Mau apa?" Tiba-tiba telepon langsung menyuruh ke Bandara? Gila sih. Ini waktunya Riehla istirahat.
"Tiba-tiba Sekretaris Pak Ellio sakit dan kami butuh kamu buat menggantikannya. Malam ini Pak Ellio akan melakukan perjalanan bisnis ke Bali."
"What?!"
Ingin sekali menolaknya namun mengingat Ellio yang bukan hanya CEO-nya, di mana Ellio sudah baik membayarnya dengan jumlah tinggi untuk biaya pengobatan Ayah-nya itu, bagaimana bisa menolak. Dengan amat terpaksa dan dengan sedikit mengantuk tentu Riehla bergegas ke Bandara. Jika tidak, ia mungkin akan langsung dipecat. Riehla rasa pekerjaannya lebih banyak, rumit dan melelahkan dari karyawan lainnya. Apakah ia harus bersyukur?
***
Karena belum tidur sedikit pun, Riehla pun tertidur saat pesawat tengah mengudara. Ellio yang asik membaca buku mendadak perhatiannya teralihkan saat merasakan sesuatu di bahu-nya. Kepala Riehla bersandar pada bahu Ellio. Ellio membiarkannya, kembali fokus pada buku. Bukannya seharusnya Ellio menyingkirkan? Ada apa dengan pria dingin satu itu?