Satria Timur melihat mayat prajurit siluman emas bertumpukan. Air matanya mengalir di pipinya.
"Kenapa harus ada perang?" Satria timur membatin.
"Apakah ada prajurit kita yang tewas?" tanya Satria Timur kepada komandan pos.
"Tidak ada. Tiga puluh prajurit luka parah, 70 prajurit luka ringan." Jawab komandan pos kepada Satria Timur.
Satria timur anggukkan kepala setelah mendengar laporan komandan pos sambil berjalan mengelilingi tumpukan mayat, sesekali membalikkan tubuh prajurit untuk memastikan mereka telah meninggal.
"Tolong kuburkan mayat prajurit siluman dengan layak." Ucap Satria Timur kepada prajuritnya.
"Baik!" jawab komandan pos serentak dengan tiga puluh prajurit yang ikut bersama dengannya.
"Saya harus melapor ke istana. Prajurit yang terluka. Tolong di obati hingga sehat kembali." Perintah Satria Timur
"Kami akan jalankan perintah!" sahut komandan pos.
Satria Timur berjalan kembali ke kudanya. Tidak lama kemudian dia telah menunggangi kudanya. Memacu kuda di pagi hari ke istana. Perasaan panik telah sirna di pikirannya, peperangan telah di menangkan oleh pasukannya.
Sementara di istana kerajaan, raja Kawasa Dhara Barna sedang berbicara dengan lima raja siluman sakti. Raja siluman kera, raja siluman gagak, raja siluman harimau, raja siluman gajah dan raja siluman babi.
Tampak panglima perang Cakra Hitam dan sepasang pendekar sakti ikut menemani raja Kawasa Dhara Barna.
Mereka duduk di balkon utama istana sambil melihat pesta rakyat yang masih berlangsung meriah sembari berbincang isi pertemuan kelima raja siluman dengan empat anak raja Wisesa.
Raja beranjak berdiri sembari mengangkat cangkir emas
"Saya ucapkan terima kasih kepada kalian semua." ucap raja lalu menegak habis minuman di dalam cangkir emas
"Sudah kewajiban hamba menjaga paduka raja."
Kelima raja siluman menjawab dengan serentak sambil berdiri kemudian Kelima raja siluman menegak minuman mereka sebagai tanda ucapan terima kasih kepada sang raja.
Mereka duduk kembali. Raja Kawasa Dhara Barna meletakkan kedua tangan di atas meja sambil memandangi wajah rajah siluman satu persatu.
"Saya tugaskan kalian berlima menjaga alam manusia. Banyak siluman dari negeri ini berpindah ke negeri manusia. Para siluman mencari jiwa manusia-manusia serakah."
Seketika kelima raja siluman beranjak dari tempat duduk dan langsung bersujud sebelah kaki di hadapan sang raja dengan kepala tertunduk.
"Terima kasih baginda raja. Hamba terima perintah!"
kelima raja siluman menjawab serentak dengan suara lantang.
"Berangkatlah sekarang!" perintah raja Kawasa Dhara Barna.
Mereka beranjak berdiri sembari membungkukkan setengah badan
"Siap paduka raja!. Semoga paduka raja selalu di lindungi oleh Sang Hyang Widhi. Kami mohon diri." Sahut mereka serentak.
Raja Kawasa Dhara Barna berdiri dari tempat duduknya
"Berhati-hatilah menghadapi para siluman jahat."
."Baik paduka raja!"
Kelima raja siluman menjawab serentak kemudian berjalan mundur meninggalkan balkon utama istana.
Mata Raja Kawasa Dhara Barna sekelebat di wajah pendekar Kusumaningrum. Seorang gadis belia yang memiliki ilmu kesaktian yang tinggi.
"Berapa usiamu?"
Pertanyaan raja Kawasa Dhara Barna membuyarkan lamunan Kusumaningrum.
Mata pendekar Kusumaningrum mengedip sejenak menyadarkan dirinya dari lamunan kemudian telapak tangannya menempel di dada sambil menjawab pertanyaan raja Kawasa Dhara Barna
"Hamba berumur 120 tahun Yang Mulia paduka raja."
Walaupun usia Kusumaningrum sudah 120 tahun tapi wajahnya masih terlihat berumur belasan tahun.
Sepasang mata raja Kawasa Dhara Barna berkeliling di wajah pendekar Daryana dan pendekar Kusumaningrum.
"Hai! Pendekar gagah berani. Dengarkan titahku!"
Suara Raja Kawasa Dhara Barna menggetarkan hati Pendekar Daryana dan pendekar Kusumaningrum. Mereka berdua langsung bersujud di hadapan raja Kawasa Dhara Barna untuk menerima perintahnya.
"Pendekar Daryana!" seru raja dengan suara lantang.
"Saya perintahkan engkau bertanggung jawab membawa pangeran Kamandaka Jagadita ke alam manusia!"
Perintah raja Kawasa Dhara Barna kepada pendekat Daryana membuat semua mata di sekitar raja seketika terbelalak.
Panglima Cakra Hitam langsung bersujud sembari memberikan hormat.
"Maaf paduka raja, Pangeran baru lahir. Apakah tidak berbahaya?"
Panglima Cakra Hitam langsung tertunduk melihat Raja Kawasa Dhara Barna tersenyum luas kemudian dari balik pintu keluar balkon istana. Permaisuri Cahyati Daliani sedang berjalan menghampiri raja Kawasa Dhara Barna sambil menggendong pangeran Kamandaka Jagadita.
Dua pendekar cantik ikut mengawal permaisuri menghampiri raja Kawasa Dhara Barna. Kedua pendekar tersebut bernama Kayshila dan Entik Pratista Maktika.
Raja Kawasa Dhara Barna beranjak berdiri menyambut kedatangan istri dan anaknya kemudian raja Kawasa Dhara Barna menunjuk empat pendekar muda. Pendekar Daryana, pendekar Kusumaningrum, pendekar Kayshila dan pendekar Entik Pratista Maktika.
"Kalian berempat bertanggung jawab atas keselamatan pangeran selama di alam manusia."
Pendekar Kayshila dan pendekar Entik Pratista Maktika yang baru menginjakkan kaki seketika terperanjat mendengar perintah raja Kawasa Dhara Barna.
Tanpa berpikir panjang, Mereka berdua langsung bersujud di hadapan raja Kawasa Dhara Barna untuk menerima perintah raja.
"Bawa pangeran kepada sepasang suami istri. Selanjutnya pangeran akan di asuh oleh mereka."
Semua wajah terperanjat mendengar keputusan raja Kawasa Dhara Barna yang tidak main-main. Raja menggendong pangeran dari tangan istrinya. Wajah permaisuri tampak bahagia saat memberikan pangeran kepada raja Kawasa Dhara Barna. Senyum luas dari bibir sang permaisuri menghantar pangeran untuk di bawa pergi dari istana.
"Pendekar Daryana!" panggil sang raja.
"Bawalah putraku sekarang!" seru sang raja kepada pendekar Daryana.
Pendekar Daryana segera beranjak berdiri dan menerima pangeran Kamandaka Jagadita yang sedang tertidur dalam balutan selimut tebal.
"Sebentar."
Raja Kawasa Dhara Barna segera melepaskan kalung berantai emas dengan bandulan kepala naga emas dari lehernya kemudian raja Kawasa Dhara Barna mengalungkan kalung miliknya ke leher pangeran. Secara ajaib kalung tersebut perlahan sirna dan menyatu dalam tubuh sang pangeran.
Pendekar Daryana berdiri dalam kebingungan. Raja Kawasa Dhara Barna tersenyum melihat rona wajah pendekar Daryana yang tampak linglung. Sang raja langsung menempelkan telapak tangannya ke dahi pendekar Daryana.
Beberapa saat kemudian sang raja melepaskan tangannya dari dahi pendekar Daryana. Sudut bibir pendekar Daryana terangkat.
"Baik paduka raja. Hamba sudah mengerti." Jawab pendekar Daryana.
Raja Kawasa Dhara Barna memberitahukan tempat dan wajah sepasang manusia kepada pendekar Daryana dengan kekuatan telepati demi keselamatan pangeran Kamandaka Jagadita selama berada di alam manusia.
"Berangkatlah sekarang!" seru raja Kawasa Dhara Barna.
"Baik paduka raja." Sahut pendekar Daryana.
Pendekar Daryana bersama dengan tiga pendekar cantik segera membawa pangeran Kamandaka Jagadita pergi dari istana menuju alam manusia.
Permaisuri dan raja duduk bersamaan di atas tempat duduk.
"Panglima…, duduklah!" seru sang raja.
"Terima kasih paduka raja."
Panglima duduk berhadapan dengan raja dan permaisuri dengan wajah masih terlihat bingung atas keputusan raja yang mendadak.
"Apakah panglima masih bingung dengan keputusanku?" tanya sang raja kepada panglima Cakra Hitam.
"Betul Yang Mulia." Sahut panglima Cakra Hitam dengan antusias.
Senyum luas menghiasi wajah sang raja lalu raja Kawasa Dhara Barna menjelaskan keputusan yang baru dia putuskan.
"Saya takut pangeran akan menjadi jemawa bila besar di dalam istana dan melupakan rakyatnya sendiri. Biarlah pangeran mendapatkan didikan dari orang tua angkat di alam Manusia. Lagian mereka bukanlah manusia biasa."
Raja menghela nafas kemudian melanjutkan penjelasannya.
"Mereka sepasang suami istri yang memiliki ilmu spiritual tinggi. Sifat mereka sangat terpuji."
Panglima mangut-mangut mendengar penjelasan sang raja. Bayangan empat anak raja Wisesa tiba-tiba melintas di dalam pikirannya.
"Putra-putri raja Wisesa menjadi jemawa karena terbuai dengan kemewahan istana sehingga melupakan rakyat." Panglima Cakra Hitam membatin sambil memegang jenggot panjangnya.
"Begitu besar cinta Maharaja kepada rakyat. Hamba tidak bisa berkata apa-apa lagi."
Panglima Cakra Hitam sudah mengerti maksud dari keputusan raja Kawasa Dhara Barna. Dia merasa bangga kepada raja. Mengorbankan putra yang baru saja lahir demi rakyatnya.
Pandangan mata raja Kawasa Dhara Barna mengamati suka cita rakyat kerajaan sudah berangsur sepi. Terlihat di lapangan istana kerajaan mulai longgar dari orang-orang. Satu persatu penduduk kembali ke rumah mereka masing-masing.
"Rakyat menaruh masa depan pada istana. Jangan pernah gantungkan harapan suci mereka dengan keangkuhan."
Panglima melihat empat satria komandan gerbang perbatasan memasuki gerbang naga kristal.
Dia tampak gelisah melihat kehadiran keempat satria. Pemberontakan empat anak raja Wisesa sengaja di rahasiakan oleh panglima dari raja.
Panglima langsung bersujud sembari memberikan hormat di hadapan raja Kawasa Dhara Barna.
"Paduka raja, Hamba mohon diri. Ada empat satria mau melapor kepada hamba."
"Baiklah panglima. Syukurlah pemberontakan semalam bisa kita menangkan."
Raja Kawasa Dhara Barna tersenyum lebar sambil menilik wajah panglima yang terperanjat kaget.
"Hamba salah paduka raja." Ucap panglima dengan buliran keringat di dahinya.
"Tidak apa-apa panglima. Silakan temui para satria kita." Ujar raja Kawasa Dhara Barna.
Raja Kawasa Dhara Barna masih bijak atas keputusan panglima Cakra merahasiakan pemberontak dari dirinya kemudian raja Kawasa Dhara Barna beranjak dari tempat duduknya di ikuti oleh permaisuri Cahyati Daliani.
"Terima kasih paduka raja." Jawab
Panglima Cakra hitam memperhatikan raja Kawasa Dhara Barna sedang berjalan masuk ke dalam istana. Dia belum berani beranjak berdiri sebelum sang raja belum masuk ke dalam istana.
Setelah sang raja telah meninggalkan balkon istana. Panglima Cakra Hitam bergegas menemui empat satria komandan gerbang perbatasan.
Bersambung...
*********