Arlen masuk kedalam kamar, memberikan segelas kecil minuman yang telah ia buat. Obat untuk perut Katherine yang terganggu karena makanannya. Katherine segera meminumnya kemudia Arlen kembali keluar seraya membawa gelas kosong itu.
Setelah kepergian Arlen, Damian berpindah posisi. Kini dia memposisikan dirinya di atas ranjang, bersebelahan dengan Katherine. Merasa tak ingin jauh Damian menarik Katherine mendekat lalu menyandarkan kepala gadis itu di dadanya.
Katherine hanya diam, tubuhnya sedikit menegang karena canggung namun terasa nyaman setelahnya. Katherine adalah gadis yang tak suka bersentukan terlalu intim dengan lawan jenis seperti ini namun entah setan mana yang merasukinya, membuatnya malah menikmatinya.
Di sisi lain pikiran Damian pun melayang di mana dirinya tak menyangka hari seperti ini akan terjadi. Dia mendapatkan darah kaum werewolf di tubuhnya karena keterpaksaan dahulu, bukan dari keturunan. Bukan hanya mendapat kekuatan sama seperti kaum werewolf tetapi dia juga mendapatkan hal di luar dugaa.
Dia tak pernah membayangkan bahwa dia akan mendapatkan takdir jodoh yang telah di tentukan oleh Moongoddess (dewi jodoh para kaum werewolf) seperti kaum Werewolf lainnya seperti ini.
Katherine mendongak "Ya-ng Mulia." Panggilnya lirih.
Damian mengernyit tak suka kemudian menundukkan kepalanya menatap manik mata Katherine yang terlihat gelisah.
"Kau tak perlu memanggilku seperti itu Kathe. Panggil saja namaku."
Katherine diam. "Dia tahu namaku?." batinya.
Katherine melepaskan dekapan hangat itu dari Damian. Mereka saling bertatapan. Katherine sedikit penasaran kenapa seorang penguasa negeri sepertinya memperlakukan dirinya seintim ini?.
"Kenapa kau memperlakukanku seperti ini?."
Damian tak langsung menjawab. Pria itu menangkup sebelah pipi Katherine, membelainya pelan. Oh, belum pernah dia melakukan ini kepada seorang wanita sebelumnya. Begitu dekat, begitu lembut. Damian bahkan merasa takut kalau-kalau dia melukai kulit halus dan kenyal Katherine.
"Karena kau adalah istriku."
Katherine mengerjapkan matanya sebelum akhirnya membulat sempurna. Kaget? Tentu saja. Damian tersenyum melihat keterkejutan Katherine yang menggemaskan.
Damian hendak menarik Katherine kembali kedalam dekapannya namun Katherine menghentikan aksi Damian terlebih dulu.
"Kapan kita menika?." Tanya Katherine sedikit meninggikan suaranya.
"Segera."
"Kapan aku bilang setuju?." Sepontan Katherine kembali bertanya dan kali ini sukses membuat Damian mengubah ekspresinya. Damian tak senang mendengar pertanyaan itu, seolah-olah Katherine tengah menolaknya terang-terangan.
Melihat tatapan Damian yang seperti itu Katherine gelagapan. Entahlah, rasanya Katherine seperti membuat kesalahan yang sangat besar padahal dia hanya mengajukan sebuah pertanyaan saja. Dengan panik Katherine kembali bersuara.
"Maksudku aku masih sekolah dan sebentar lagi akan ujian kelulusan. Lagi pula aku ini masih 18 tahun. Aku masih harus kuliah, mencari kerja, dan.. masih banyak lagi."
Katherine terdiam saat Damian menarik paksa gadis itu kembali ke dalam dekapannya. Tangannya menelusuri pergelangan tangan Katherine yang di balut perban perlahan lalu menggenggam kedua tangan munyil Katherine yang sedikit dingin.
"Tidak apa. Aku akan menunggu." Suara Damian yang terdengar halus di telinga Katherine membuat Katherine yang tadinya panik mulai tenang.
Katherine tak memberontak sedikitpun. Dia malah semakin merapatkan diri pada Damian mencari kehangatan saat merasakan udara dingin menusuk tulangnya. Damian tersenyum, memeluk Katherine lebih erat lagi supaya kekasihnya ini merasa hangat.
Baru saja matanya tertutup hendak tertidur, tiba-tiba Katherine teringat sesuatu. Matanya terbuka lebar, dia mendongak lalu berseru "Aku harus segera pulang."
Mendengar itu Damian terdiam. Ada rasa tak rela jika Katherine kembali ke tempatnya. Dengan nada yang lembut Damian menjawab pertanyaan Katherine.
"Kita bicarakan lagi besok. Sekarang istirahatlah."
Katherine menurut dan langsung terlelap saat itu juga.
≈≈≈≈
Pagi harinya, Katherine mengerjapkan matanya lalu menoleh kekiri. Kosong, Damian sudah tak ada di sampingnya lagi. Dengan malas Katherine bangun, bersandar di kepala ranjang.
Katherine menoleh kearah jendela yang masih tertutup korden. Tumben sekali Jessy tak membuka kordennya, pikir Katherine. Dia lalu menurunkan kakinya dari ranjang dan syukurlah, kakinya sudah bisa digerakan meskipun masih terasa sedikit nyeri. Ketherine beranjak, berjalan perlahan kearah jendela berniat untuk membuka korden yang menutupi jendela.
Srakk..
Terlihatlah sekumpulan benda putih menempel di pepohonan.Apakah semalam turun salju?. Katherine menunduk dan baru sadar bahwa kamar yang ia tempati berada di lantai 2.
Katherine tersenyum lagi saat membayangkan kakinya menginjak benda putih itu. rasanya Katherine ingin segera keluar saat ini juga. Musim dingin adalah musim favorit nya karena dia menyukai salju dan tentu saja lapangan es untuk bermain ice skating tentunya.
Dengan semangat Katherine berbalik dan berjalan kearah pintu, berniat untuk turun ke bawah dan bermain dengan salju-salju itu.
Kreet..
Langkah Katherine terhenti saat baru melewati pintu. Pandangannya tertuju pada orang-orang yang berkumpul di depan sana yang juga menatapnya.
Oh astaga?. Mereka masih di sini?. Katherine mengangkat tangannya seraya tersenyum canggung. "Selamat pagi."
Tak ada yang menyahut tapi mereka menundukan kepalanya untuk menanggapi sapaan Katherine.
"Anda mau kemana Nona?." Jessy bertanya dengan sangat sopan.
Katherine memiringkan sedikit kepalanya karena mendengar panggilan dari Jessy yang berbeda dari kemarin. Jessy berubah sangat sopan padanya.
"Anda masih harus istirahat." Jessy kembari melanjutkan.
"Bicaramu kenapa jadi sangat formal sekali Jess?." Katherine bertanya merasa tak senang dengan perlakuan Jessy padanya.
Jessy menunduk "Maaf sebelumnya Nona, saya tidak tahu kalau anda.."
"Jessy." Pria yang berdiri di samping Jessy memanggil. Ada tatapan pringatan di mata pria itu.
Katherine yang melihatnya semakin bingung. Ia pandangi satu persatu orang yang ada di sana. Dia hanya mengenal Jessy dan Arlen namun tidak dengan kedua pria lainnya.
Jessy dengan takut-takut mendekati Katherine lalu kembali mempertanyakan niat Katherine yang keluar kamar sepagi ini.
"Anda ingin kemana Nona?. Saya temani."
"Keluar. Ingin melihat salju." Jawabnya seadanya. Tak lagi mempertanyakan soal nada bicara dan panggilan Jessy padanya lagi.
Akhirnya Jessy membantu Katherine berjalan. Menuruni anak tangga menuju lantai dasar. Katherine memperhatikan ruangan itu. Dapur, meja makan, perapian, dan sofa panjang beserta meja kecil di depannya. Jessy membuka pintu dan..
Wuss..
Angin dingin masuk menabrak tubuh Katherine. Tubuh Katherine merinding di buatnya namun senyumannya tak berhenti bertengger di bibirnya saat memandang benda putih itu di depan matanya.
"Tunggu sebentar Nona, saya ambilkan mantel."
Katherine tak menjawab, dia masih fokus pada pemandangan di depannya. Meskipun salju belum menutupi seluruh area, sudah cukup untuk membuat Katherine puas.
Tak sabar, Katherine berjalan sedikit kesusahan. Menuruni beberapa tangga lalu duduk di tangga terakhir. Memainkan salju salju itu di tangannya seperti anak kecil.
"Kenapa kau keluar Kathe?. Di luar dingin."
Katherine menoleh saat merasakan sesuatu menempel di pundaknya kemudian tersenyum mendapati Damian di sana. Pria itu merentangkan jubah mantelnya untuk menutupi tubuh Katherine yang meringkuk.
"Membuat bola salju. Aku sangat menyukainya." Ucap Katherine.
"Apa yang membuatmu sangat menyukainya sampai lupa untuk memakai mantel dan melupakan kakimu yang terluka?." Damian sangat khawatir. Takut Katherine akan kedinginan apa lagi kakinya yang belum begitu sembuh.
"Entahlah. Aku hanya sekedar menyukainya." Katherine meletakan salju yang sudah ia kepal menjadi bulat di atas kayu di sampingnya kemudian mengambil salju di dekat kakinya lagi.
"Mungkin karena bentuk dan warnanya." Lanjutnya seraya memperlihatkan salju di tangannya kearah Damian.
Damian menempelkan telapak tangannya di punggung tangan Katherine. Tatapannya yang tajam menyiratkan kekhawatiran saat melihat tangan munyil itu mulai bersemu merah karena dingin.
Tiba-tiba Katherine terkikik lalu berseru "Tanganmu besar dan juga hangat."
Damian tersenyum mendengar tawa Katherine. Tatapan Khawatir yang ia tampakan tadi pun sedikit berkurang.