~Dinding es di depanku terasa hangat ketika ku sentuh. Seekor merpati putih terbang kearahku, menabrak dinding es ini, seketika tubuhnya meledak dan mati. Genangan darah, memberi warna merah pada salju putih ~
-----------------
Untuk ke sekian kalinya, aku terlonjak oleh mimpi yang sama. Merpati putih yang mati menabrak dinding es. Apakah pertanda baik?, Atau buruk. Tiga hari lalu, aku meminta ijin dari orang tuaku untuk tinggal sendiri. Awalnya mereka menolak, tapi karena mereka tau sifatku, akhirnya mereka mengijinkan. Disinlah aku, sebuah apartement yang ku beli. Ku buka jendela balkon, langsung menghadap ke arah kota. Gedung gedung pencakar langit, menjulang tinggi dengan kokoh. Ku minum coklat dingin yang menjadi kesukaanku. Di musim salju seperti ini, entah kenapa aku selalu suka dengan es. Apa karena takdirku? Entahlah.
¥¥¥
Sinka memarkirkan mobilnya di sebuah toko komik kecil, di tengah kota. "Toko komik prince". nama yang keren!.
"Sinka, lama sekali aku tidak melihatmu". Sapa jemin. Pemilik toko komik ini. Seroang pria kurus berambut keriting panjang. Dia selalu memakai kacamata bulat, terlihat nerd. Tapi dia orang yang sangat ramah.
"Aku sibuk akhir akhir ini".
"Kau sendirian, tidak bersama kakamu?". Gerakan tangan Sinka yang tengah memilah buku komik terhenti.
"Tidak". Jawabnya datar.
"Jika kalian sedang bertengkar, cepatlah baikan. Dalam persaudaraan wajar jika ada pertengkaran. Tapi-".
"Buku yang biasa aku baca ada?". Potong Sinka.
"Aku taruh di rak sebelah kiri". Ujar jemin.
Sinka mengambil buku favoritnya, tapi ada satu buku yang menarik perhatiannya. Buku biru muda dengan sampul sebuah pedang es bergambar tengkorak. Buku itu terlihat usang dan berdebu. Sinka mengambil buku itu, tidak ada yang aneh. Hanya berisi tulisan. Tunggu!, Ini adalah toko komik, tapi kenapa bisa ada buku selain komik?.
"Mungkin kebetulan". Batin Sinka. Dia menaruh kembali buku itu, mengambil buku favoritnya dan masuk kedalam ruang baca. Sejak kecil dia sering kesini bersama kakanya, jadi dia sudah hafal dengan tempat ini.
Di dalam ruang baca, ada seroang gadis cantik berambut panjang berflat hijau muda. Dia duduk di pojok ruangan sembari membaca sebuah buku. Sinka mengabaikan gadis itu, dan duduk agak berjauhan. 30 menit keduanya sibuk dengan kegiatan masing masing.
"Bunga es itu akhirnya mekar, tapi hanya sebatas putik. Anak merpati masih dalam buaian sang induk. Tidak berani terbang dalam dinginnya salju. Tapi saat sang malaikatnya di temukan, putik itu akhirnya mekar menjadi bunga es yang cantik. Menunggu sang pangeran menjemputnya, menemui cinta dan persahabatan yang baru". Ucap gadis misterius itu tiba tiba. Gadis itu berdiri dan beranjak pergi.
Sinka menatap kepergian gadis itu, sedikit bingung dengan ucapannya. Saking terbuat membaca buku favoritnya, Sinka sampai terlelap di tempatnya. Jika tidak di bangunkan oleh jemin, mungkin dia akan menginap di tempat itu.
"Kau terlihat kelelahan sekali" ujar jemin.
"Tidak juga".
"Pulanglah, dan beristirahat. Aku tau jika kau ada masalah, kau sering bersikap murung seperti ini. Kau bisa cerita padaku jika kau mau. Kau dan Sinta sudah aku anggap anak sendiri sejak kalian kecil dulu". Sinka hanya tersenyum simpul. Ini pertama kalinya dia kembali memperlihatkan senyuman pada orang lain.
¥¥¥
Sinka merapatkan syal yang di pakainya, salju turun di malam yang gelap. Sinka melajukan mobilnya perlahan, jalanan bersalju memang sangat licin. Di jalanan yang sepi, sekelebat bayangan hitam lewat dengan cepat di depan mobil Sinka. Gadis itu menginjak rem mendadak, nasib baik mobilnya tidak tergelincir.
Sinka keluar mobil dan mencari sosok bayangan itu, tiba tiba rantai hitam melesat dari kegelapan. Sinka membalut tangan kanannya dengan energi biru muda, lalu melemparkannya pada rantai hitam.
DUARRR
Sinka melirik kesana sini, dari belakangnya kembali muncul dua rantai hitam, Sinka kembali melompat dan mencengkram salah satu rantai dengan tangan kosong. Rantai itu membeku dan hancur. Satu rantai lagi di tarik ke dalam kegelapan. Sosok monster asap muncul dari sana.
"Kau akan menjadi mangsaku malam ini".
¥¥¥
"Aku tidak sengaja bertemu dengan gadis Valeria itu, tadi siang". Ucap gadis berambut panjang dengan flat hijau muda.
"Benarkah?".
"Dia gadis yang sangat dingin, auranya bahkan bisa membekukan satu kota".
"Apa kau akan menemuinya Shu?". Tanya seorang gadis berambut panjang, yang sedikit lebih tua dari semua orang yang ada di ruangan itu.
"Belum saatnya, aku percaya dia bisa mengambil pedang itu". Ucap Shu sembari menyeruput teh nya.
"Pedang itu?". Tanya gadis berflat hijau.
"Pedang jiwa es, evansmana. Itu adalah pedang legendaris yang sudah ada 500.000 tahun. Pedang itu memiliki kekuatan yang amat besar, Sama seperti pedang falcon milik kamu. Tapi sampai sekarang tidak ada Valeria yang berhasil mendapatkannya". Ucap seorang pria, yang duduk di samping gading flat hijau itu.
"Kenapa?".
" Pedang itu memilki kecerdasan tersendiri, banyak Valeria yang gagal mendapatkannya. Bahkan sekarang pedang itu tidak tau ada di mana?". Kali ini, seorang pria tampan berkacamata yang dari tadi duduk di depan piano.
"Begitu".
"Lalu tentang kakanya, bagiamana menurutmu? Shu". Tanya gadis berambut panjang.
"Entahlah, kemungkinan besar kakanya di culik oleh anak buah imu".
"Imu?".
"Musuh alami sang Valeria". Gadis flat hijau mengangguk. gadis berambut sebahu berdiri dan berjalan kearah balkon. Menghirup udara malam yang dingin.
"Sepetinya ada pertarungan". Ujarnya.
"Gadis itu ya".
¥¥¥
DUARRR
Balok balok es yang tajam muncul dari dalam salju, mahluk asap itu terbang dan menyerang Sinka dengan rantai hitam. Sinka menghilang dan muncul di belakang mahluk itu. Memutar tubuhnya dan menendang mahluk itu sampai terbanting ke salju. Sinka turun dan menciptakan kabut putih. Kabut itu merambat dan membungkus mahluk asap. Kabut itu memadat dan menjadi bongkahan es yang mengurung monster asap.
Sinka berjalan dengan tatapan yang sangat dingin. "Apa kau kenal dengan gadis yang bernama Sinta?". Tanya Sinka.
Mahluk itu gemetar, baru kali ini dia melihat tatapan yang jauh lebih dingin dari es.
"A-aku tidak tau" ucapnya.
"Lalu, apa kau memiliki komplotan lain?".
"Ti-tidak". Jawab mahluk itu, terbata bata. Sinka tidak mudah percaya. Dua bongkahan es tajam, menusuk mosnter itu dari dua sisi.
"Masih tidak ingin jujur". Ucap Sinka, mengintimidasi.
"Ba-baiklah, tu-tuan go-gorin, be-berada di-dibawah tanah kota ini". Sinka menghela nafas pelan. Dia menyentuh balik es itu dengan jarinya. Seketika balik itu hancur menjadi serpihan salju bersamaan dengan mahluk asap itu. Sinka mengeratkan syalnya dan berjalan santai menuju mobil. "Gorin yah". Gumam Sinka. Dia kembali melakukan mobilnya.
¥¥¥
Di bawah saluran air yang tidak terpakai di bawah kota, banyak sekelompok monster yang berkumpul. Satu sosok raksasa berbadan sangat besar, berwarna merah tengah duduk dan di kelilingi oleh monster lain yang lebih kecil.
"Tuan gorin, dua anak buah kita sudah di kalahkan oleh seorang gadis". Ucap monster mata satu dengan kepala yang besar.
"Mereka akan menjadi ancaman". Suara gorin, menggema di tempat itu. Riuh para monster terdengar. Ribuan monster berteriak marah.
¥¥¥
"Dia gadis yang hebat". Ucap seorang gadis yang dari tadi menonton pertarungan Sinka dari kegelapan. Setelah itu dia menghilang.
-------------
~di musim yang terlihat, ranting putih yang tertimbun salju jatuh. Menyadarkanku dari kesendirian. Kebenaran yang belum ku temukan. Merpati putih terbang di belangku, menatap langit biru cerah, di atas salju yang membentang putih. Tempat ini menjadi rumah kedua. Tapi, nyamannya tidak bisa terganti. Malaikat pelindungku, kuharap kita akan bertemu lagi. Karna ku tau, kau pun tidak~