"iiihh,,sakit sayang... pelan-pelan dong awww...sakit beneran loh sayang"
Suara cengengesan manja wanita itu dari dalam kamar Papa ketika aku melintas dari depan kamar papa.
Entah kenapa aku semakin ingin mendengarkan mereka padahal hati ini sangat membenci dan menolak mentah-mentah hubungan mereka.
"Awwwwgghhh...mas sakiiit, awwh aduuh"
Teriak rintihan pelacur itu semakin mengobarkan bara api dalam dadaku...ingin sekali rasanya meludahi mukanya...
"Walau sakit...kamu bakalan suka dan ketagihan sayang....aaaghhh oohhh"
"Uuuuhhhh mass..maaasssss awww"
Sumpah... ini benar-benar menjijikkan sekali, aku benciiiiiii aku benciiiiiii sekali.
Aku tak ingin mendengarkan lebih lama lagi...aku bisa mati berdiri jika masih terus mendengarkan rintihan dan desahan mereka.
Sesampainya dikamar tak ada yang bisa kulakukan selain merasa kecewa dan cemburu. Semakin hari diriku sudah menjadi seperti manusia tak normal...kadang-kadang jadi semakin sensitif, setiap menit hatiku selalu berkata-kata sedih dan pilu...aku rasanya seperti tersakiti setiap detiknya hingga teman-teman disekolah dan juga wali kelas menyadarkan ku sesaat.
"Ibu perhatikan akhir-akhir ini kamu sering telat ke sekolah, dan kamu juga tampak murung dan suka berkata-kata tak nyambung..."
"Winda,,,kalo kamu mau bicara...ibu siap jadi pendengar untukmu, semua masalah pasti ada jalan keluarnya...jangan dipendam"
Ucap Bu Mawar wali kelasku diruang BP karena aku telah berbuat keributan didalam kelas tanpa sebab, aku marah-marah karena merasa semua orang telah menyakitiku.
Disitulah aku mulai menyadari bahwa diriku sudah tampak sangat buruk dan gampang tersulut emosi. Aku merasa seolah semua perkataan orang hanyalah untuk memojokkan ku, aku merasa semua orang sedang berusaha merampas kebahagiaanku.
"Winda capek Bu.... Winda hanya merasa capek menghadapi kenyataan yang ada didepan mata...rasanya semua orang sudah tak punya rasa peduli dan perhatian...rasanya semua orang hanya bisa menikmati kebahagiaannya tanpa pernah peduli betapa perih dan pilunya yang sedang kurasakan...aku hanyalah orang-orang yang terabaikan...aku benciiiiiii.."
Ucapku sambil terisak-isak.
"Winda...ibu pikir kamu hanya perlu seseorang yang peduli. Kalo ibu boleh tau...apa kedua orang tuamu tidak peduli pada kamu?? Lalu apa yang sedang membuatmu merasa kecewa dan terabaikan??"
Tanya Bu Mawar lembut penuh perhatian seolah benar-benar memahami apa yang sedang kurasakan.
"Papa dan Mama sudah setahun lebih bercerai...dan sekarang Mama telah pergi entah kemana...aku pun tak tau...aku bahkan tak merindukan Mama yang sudah terlalu egois meninggalkan ku saat butuh perhatiannya"
Ucapku sambil menangis dan semakin teringat akan kenangan Mama, walau aku tau Mama telah kembali tinggal dirumah harta warisan Opa dan Oma.
"Teruskan...katakan apa yang harus kamu katakan...kamu harus luapkan amarahmu...jangan dipendam walau harus menangis kamu perlu keluarkan semua rasa kekecewaan mu...ibu siap mendengarkan semuanya"
Ucap Bu Mawar sambil memelukku. Dan aku benar-benar merasa dipedulikan.
Tapi aku tak ingin seorang pun ada yang tau kalo aku sedang mencintai Papaku sendiri. Aku tak ingin mempermalukan diriku sendiri.
"Winda sudah tak lagi menemukan kenyamanan saat berada di rumah Bu... rasanya tiap detik hanya semakin menggores luka bila Winda sedang berada di rumah..."
Ucapku sembari melepaskan pelukan.
"Winda tak suka dan sangat benci melihat Papa bersama wanita pilihannya...Winda tak ingin punya ibu tiri, aku benciiii"
Ucapku dan mulai menangis lagi, rasanya hati ini benar-benar sangat rapuh bila mengingat orang-orang yang ada di rumah.
"Windaa,,,ibu bisa memahami perasaanmu, tapi kamu tidak bole larut dalam rasa benci pada Papamu terus menerus,,,karena itu hanya akan semakin membuatmu depresi dan hidup dalam kebencian. Karena Papamu, punyak hak untuk mencari seseorang yang akan mengurus dan merawatnya..."
"Ibu harap... Winda mau belajar menerima kenyataan... sebenarnya Papamu tidak bermaksud untuk menyakitimu karena yang dilakukanya hanyalah untuk meringankan beban pikiran Winda..."
Perkataan Bu Mawar barusan semakin melukaiku... entahlah rasanya seakan semua orang hanya ingin menyakitiku.
Sore itu di rumah, Papa sudah pulang dari kantor...tidak seperti biasanya Papa selalu pulang di atas jam 11 malam, tapi sejak wanita itu ada di rumah ini Papa selalu pulang di sore hari. Dan anehnya selama seminggu ini belum ada kabar bahwa mereka akan menikah...dan itu memang agak kuharapkan semoga tidak pernah terjadi.
Walau Papa sudah banyak berubah tapi perubahannya hanya semakin menggores luka bakar di hatiku. Seluruh perhatiannya kini tertuju pada wanita pelacur itu. Tapi entah kenapa hati ini masih saja menyayangi dan mengagumi Papa. Rasanya baru kemarin-kemarin aku mulai mengagumi Papa. Tapi kenapa rasa cemburu ini seolah merasa, bahwa aku dan Papa sudah benar-benar sepasang kekasih... Padahal Papa tidak pernah tau sedikitpun, kalo Putri satu-satunya ini sangat mengagumi dan menginginkan cintanya... perasaan ku terlalu dalam mengagumi Papa sehingga api cemburuku pun terus membara membakar hati ini, tiap kali kudengar suara-suara rintihan dibalik kamarnya...segala kesedihan di hati dan rasa cemburu hanya dapat ku tuangkan dalam buku diary ku...
"Rasanya aku tak mampu menerima semua kenyataan ini...aku tak ingin ada wanita lain dikamar Papa selain diriku...harusnya aku yang berada dalam tindihan tubuh hangat Papa...seharusnya aku yang selalu merintih manja dalam dekapannya...seharusnya aku dan akuuuu...." Ucapku masih berdiri didepan cermin sambil menulis buku diary dalam kamarku.
Kini aku hanya bisa menangis...aku hanya bisa mendengar dan menyaksikan kebahagiaan mereka...tapi sampai kapan...
"Windaa.... Winda..."
Teriak Papa tiba-tiba menyentak lamunanku dari balik pintu kamar.
Saat itu aku merasa gugup antara menemui Papa atau mengurung diri saja di dalam kamar. Akhirnya aku mencoba berdamai dengan diriku dan segera bergegas membuka pintu kamar. Saat kubukakan pintu, entah kenapa wanita itu selalu ikut muncul disamping Papa...dan memang sampai detik ini satu kali pun aku belum pernah ingin bicara dengannya.
"Iya Pa..."
Ucapku lusuh, tapi dengan segera mengalihkan pandangan ku dari wajah mereka.
"Papa dan Tante Shania mau bicara sama kamu...dan Papa tidak suka melihat putri kesayangan Papa berwajah sedih dan kusut..."
"Ayo bersihkan wajahmu... Papa dan Tante Shania akan menunggu di ruang keluarga" suara ciri khas papa tegas dan agak berat.
"Baik Pa..." balasku biasa aja
Entah kenapa hatiku selalu luluh bila sudah berhadapan dengan Papa. Lalu aku segera masuk kedalam kamarku dan membasuh muka yang penuh dengar air mata, yang telah mengering di wajah...
Saat memandangi wajah pada cermin, betapa lusuh dan tak bersemangat nya jiwa ini...aku sudah tak peduli dengan penampilanku...aku benar-benar terlihat bagai seorang yang jauh dari kata bahagia.