Ketika Shirou tiba di Twilight Manor, malam telah larut. Suasana di dalam mansion begitu hening, pertanda bahwa seluruh anggota Loki Familia sudah terlelap. Shirou melangkah hati-hati di lorong gelap, berniat menuju kamarnya untuk beristirahat. Namun, saat ia hampir mencapai tujuannya, pintu kamar di sebelahnya terbuka perlahan. Lefiya keluar dari kamarnya, dan begitu melihat sosok Shirou, ia menghentikan langkahnya, heran mengapa Shirou pulang begitu larut.
Dengan nada penasaran, Lefiya bertanya, "Shirou, kenapa pulang larut malam seperti ini?"
Shirou, yang tidak ingin membuat Lefiya khawatir, tersenyum dan mencoba untuk bersikap tenang. "Aku hanya lembur tadi, membantu di Hostess of Fertility," jawabnya singkat, berharap jawaban itu akan cukup.
Namun, mata tajam Lefiya melihat sesuatu yang tidak beres. Ia memperhatikan tangan Shirou yang bergetar dan tampak terluka. Mata birunya membelalak, penuh kekhawatiran. "Jangan berbohong!" serunya, segera menghampiri Shirou. Tanpa meminta izin, dia meraih tangan Shirou dan memeriksanya dengan seksama. Shirou terkejut ketika menyadari bahwa tangannya benar-benar terluka dan berdarah akibat pertarungan tadi malam dengan Elf dari Freya Familia.
Tersentuh oleh perhatian Lefiya, Shirou hanya bisa terdiam. Bagaimana pun, ia tidak mengharapkan Lefiya akan memperhatikannya sejauh itu. "Lefiya, aku—" Shirou mulai berkata, tetapi Lefiya dengan cepat memotongnya.
"Kau tidak boleh kemana-mana!" tegas Lefiya, sebelum berbalik dan berlari kembali ke kamarnya. Beberapa saat kemudian, dia muncul dengan sebotol healing potion di tangannya. Ia menarik tangan Shirou dengan lembut, menyuruhnya duduk di bangku dekatnya. Tanpa berbicara banyak, Lefiya membuka botol potion itu dan dengan hati-hati mulai mengelus luka di tangan Shirou, meneteskan cairan penyembuh pada kulit yang terluka. Tangan Lefiya yang lembut dan sentuhannya yang penuh perhatian membuat Shirou merasa nyaman, meskipun rasa perih dari lukanya masih terasa.
Selama beberapa menit, suasana hening. Hanya suara lembut napas mereka berdua yang terdengar, sementara Lefiya fokus pada pekerjaannya, dan Shirou, meski biasanya terbiasa menanggung rasa sakit, merasa berterima kasih atas perawatan yang diberikan Lefiya. Saat healing potion mulai bekerja, luka-lukanya perlahan sembuh, darah berhenti mengalir, dan getaran di tangannya mulai berkurang.
Shirou akhirnya berkata dengan pelan, "Terima kasih, Lefiya. Aku tidak bermaksud membuatmu khawatir."
Lefiya menatapnya dengan tatapan lembut, namun ada sedikit rasa marah dalam suaranya. "Shirou, kau harus lebih hati-hati. Jangan menyembunyikan hal-hal seperti ini. Aku tidak ingin melihatmu terluka seperti ini lagi."
Shirou tersenyum kecil, merasa lega dengan perhatian yang diberikan Lefiya, tapi dalam hatinya, dia merasa bersalah karena tidak jujur sepenuhnya.
Lefiya tidak puas hanya dengan menyembuhkan luka di tangan Shirou. Ia memandang Shirou dengan tatapan penuh kekhawatiran, dan sebelum Shirou sempat berdiri, Lefiya mulai menginterogasinya. "Jadi, apa yang sebenarnya terjadi? Jangan coba-coba bilang kalau kau terluka hanya karena pecahan piring saat bekerja di Hostess of Fertility. Aku tahu seberapa kuat dirimu, Shirou," ujarnya tegas, matanya yang besar dan penuh perhatian menatap langsung ke arah Shirou, tak mau dibohongi.
Shirou terdiam sejenak, merasa tidak enak hati karena terus berusaha menyembunyikan kebenaran. Dengan wajah sedikit malu, ia akhirnya menjawab, "Ceritanya panjang, Lefiya..."
Namun, sebelum Shirou bisa melanjutkan, Lefiya dengan cepat menarik tangannya, membawanya menuju balkon yang sepi dan tenang. "Kalau begitu, ceritakan semuanya. Aku akan mendengarkan," katanya sambil mendesak Shirou untuk duduk di sampingnya. Suasana di balkon terasa dingin dengan angin malam yang lembut, namun kehangatan dari kekhawatiran Lefiya membuat Shirou merasa sedikit lebih nyaman.
Mereka duduk bersebelahan, Lefiya yang khawatir mendekatkan dirinya pada Shirou, ingin mendengar seluruh cerita. Melihat kesungguhan di wajah Lefiya, Shirou hanya bisa tersenyum kecut, menyadari bahwa ia tidak bisa menghindari pertanyaan ini.
"Baiklah," Shirou memulai ceritanya dengan lembut, sambil menatap ke langit malam yang dipenuhi bintang. "Semua bermula ketika aku mendengar bahwa Lily, teman Bell, tidak diketahui keberadaannya di markas Soma Familia. Aku tahu Bell akan kesulitan di War Game, jadi aku memutuskan untuk mencari tahu apa yang terjadi pada Lily. Aku menyusup ke markas mereka menggunakan kemampuanku untuk menyembunyikan diri..."
Lefiya yang duduk di sampingnya semakin mendekat, mendengarkan setiap detail cerita dengan perhatian penuh. Raut wajahnya menunjukkan betapa khawatir dan cemasnya dia mendengar Shirou mengambil risiko besar.
"Saat aku sampai di sana," Shirou melanjutkan, "aku menemukan Lily dikurung di penjara bawah tanah. Ada penjaga, tetapi aku berhasil melumpuhkannya tanpa membuat keributan. Setelah membebaskan Lily, aku membawanya ke atas untuk bertemu dengan dewa Soma."
Mendengar nama dewa Soma, Lefiya tampak terkejut. "Dewa Soma?" tanyanya dengan nada khawatir. "Apa yang terjadi setelah itu?"
Shirou tersenyum kecil dan menjawab, "Lily ingin keluar dari Soma Familia dan bergabung dengan Hestia Familia. Dewa Soma, meskipun tidak banyak bicara, mengabulkan permintaan Lily setelah dia berhasil menahan pengaruh anggur Soma, yang sangat kuat. Setelah itu, aku membawanya keluar, tetapi... ada satu masalah."
Lefiya menegakkan tubuhnya, rasa cemasnya semakin besar. "Masalah apa?" desaknya.
Shirou menarik napas dalam sebelum melanjutkan, "Di luar markas, aku bertemu dengan seorang Elf dari Freya Familia. Dia menyadari keberadaanku, meskipun aku menggunakan kemampuan untuk menyembunyikan identitasku. Kami hampir terlibat pertarungan... dan itulah sebabnya tanganku terluka."
Lefiya terkejut mendengar hal itu. "Seorang Elf dari Freya Familia? Bagaimana kau bisa lolos darinya?" tanyanya dengan cemas.
Shirou hanya tersenyum, "Aku berhasil menghindarinya, tetapi dia kuat. Sangat kuat. Aku tidak bisa melawannya secara langsung, jadi aku harus melarikan diri dan menggunakan Raikiri untuk memotong petir yang dia kirimkan ke arahku. Itulah sebabnya tanganku bergetar, efek dari serangan petirnya."
Lefiya memandang Shirou dengan tatapan campuran antara kekhawatiran dan kekaguman. "Kau benar-benar bodoh, Shirou," katanya dengan nada pelan, "Kau selalu mengambil risiko yang tidak perlu."
Shirou hanya tertawa kecil, "Aku hanya ingin membantu. Lagipula, aku tidak bisa membiarkan Bell dan Lily berjuang sendirian."
Lefiya menghela napas panjang, masih khawatir. Namun, di balik rasa cemasnya, ada rasa bangga dan kagum yang semakin tumbuh di hatinya. "Kau benar-benar tidak bisa dihentikan," katanya pelan, "Tapi... aku hanya ingin kau berhati-hati. Jangan sampai terluka lagi."
Shirou mengangguk pelan, tersentuh oleh perhatian Lefiya. "Aku akan lebih berhati-hati," janjinya dengan tulus.
Lefiya tersenyum kecil, merasa sedikit lega setelah mendengar cerita Shirou sepenuhnya.
Lefiya menatap Shirou dengan tatapan serius, lalu dengan nada pelan namun yakin, dia berkata, "Elf yang menyerangmu tadi... itu Hedin, salah satu anggota inti dari Freya Familia. Dia sudah mencapai level 6, salah satu petualang terkuat di Orario."
Mendengar hal itu, Shirou tersenyum tipis dan merendah, seperti kebiasaannya. "Aku hanya beruntung bisa melarikan diri darinya," jawabnya dengan nada ringan, berusaha menenangkan Lefiya agar tak terlalu khawatir.
Namun, Lefiya hanya menatapnya dengan mata berbinar, jelas tak termakan oleh kesederhanaan Shirou. "Beruntung?" katanya sambil tertawa kecil. "Shirou, kau sudah pernah melukai Revis saat kau masih level 1, dan sekarang kau sudah level 4. Aku yakin dengan kemampuanmu, kau bisa mengalahkan Hedin jika situasinya memaksa."
Shirou tersipu mendengar pujian tulus dari Lefiya. Dia menggaruk kepalanya dengan sedikit malu, lalu berkata, "Aku hanya berharap bisa memenuhi harapanmu, Lefiya."
Lefiya tersenyum lembut, melihat ketulusan di balik kerendahan hati Shirou. Namun, rasa penasaran mulai memenuhi pikirannya. Dia mengingat kembali cerita Shirou tentang bagaimana dia membelah petir yang dikirimkan oleh Hedin. "Shirou," kata Lefiya perlahan, "bagaimana dengan Raikiri yang kau gunakan tadi? Aku penasaran. Bisakah kau memperlihatkannya padaku?"
Shirou mengangguk dan tanpa ragu memproyeksikan Raikiri di tangannya. Senjata itu muncul dengan gemerlap cahaya prana, bilahnya yang bercahaya biru terang memancarkan aura listrik yang kuat. Raikiri adalah salah satu Noble Phantasm yang dimilikinya, dan keindahannya begitu mencolok dalam malam yang sunyi.
Lefiya terkesima. "Raikiri..." bisiknya penuh kekaguman, matanya menelusuri setiap detail bilah pedang itu. "Ini benar-benar indah... dan terasa begitu kuat." Tangannya perlahan mendekati bilah pedang itu, tetapi ia ragu untuk menyentuhnya.
Melihat tatapan kagum Lefiya, Shirou berkata lembut, "Tidak apa-apa. Kau bisa menyentuhnya."
Dengan hati-hati, Lefiya meraba pedang itu. Dia bisa merasakan kekuatan yang mengalir dari Raikiri, meskipun tubuhnya tidak merasakan getaran yang sama seperti saat Shirou menggunakannya untuk membelah petir tadi. "Bagaimana kau bisa memiliki senjata seindah dan sekuat ini?" tanyanya, masih kagum.
Shirou tersenyum dan menjelaskan dengan tenang, "Ini bukan pedang biasa. Ini Noble Phantasm, peninggalan para pahlawan legendaris. Aku bisa memproyeksikannya berkat teknik khusus yang aku pelajari, meskipun aku hanya bisa memanggilnya sementara."
Lefiya masih tak bisa menyembunyikan rasa takjubnya. "Noble Phantasm... Kau benar-benar luar biasa, Shirou." Suaranya penuh kekaguman, tetapi juga ada sedikit nada bangga. Bukan hanya karena kekuatan Shirou, tetapi karena dia mengenal dan dekat dengan seseorang sekuat Shirou.
Shirou, yang mendengar pujian itu, hanya bisa tersenyum canggung. "Aku masih belajar, Lefiya. Masih banyak yang harus aku pelajari. Tapi aku akan selalu berusaha sebaik mungkin."
Lefiya mengembalikan Raikiri kepada Shirou, yang kemudian memudarkannya kembali menjadi prana. Namun, rasa kagum Lefiya terhadap Shirou tidak hilang begitu saja. Dia melihat lebih dalam ke dalam dirinya sendiri, dan menyadari betapa berharganya sosok di sampingnya ini—bukan hanya sebagai petualang kuat, tetapi juga sebagai teman yang selalu tulus dan rendah hati.
"Shirou..." panggil Lefiya dengan lembut, "kau benar-benar luar biasa, bukan karena pedang-pedangmu, tetapi karena hatimu."
Shirou, yang mendengar kata-kata itu, merasa hatinya hangat, dan untuk sesaat, mereka berdua terdiam, menikmati momen kedekatan mereka di balkon yang sunyi, dengan angin malam yang lembut menerpa wajah mereka.
Lefiya menatap tangan Shirou yang masih bergetar, meskipun Healing Potion telah digunakan. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Tanganmu masih bergetar, Shirou... Sepertinya Healing Potion saja tidak cukup."
Shirou tersenyum lembut, berusaha menenangkan Lefiya. "Besok pasti sudah sembuh, Lefiya. Tidak usah khawatir," katanya. Di dalam hatinya, dia yakin bahwa Avalon yang ada di tubuhnya akan menyembuhkan lukanya sepenuhnya dalam waktu singkat. Namun, dia tak ingin menjelaskan hal itu pada Lefiya.
Lefiya, bagaimanapun, tidak puas dengan jawaban Shirou. Dia menggeleng pelan, menunjukkan ketegasannya. "Tidak, Shirou. Aku tidak bisa membiarkanmu tetap terluka seperti ini," ujarnya dengan nada serius.
Tanpa menunggu persetujuan lebih lanjut dari Shirou, Lefiya menutup matanya dan mulai merapal mantra Elf Ring. Cahaya lembut menyelimuti tubuhnya, menghubungkannya dengan kekuatan sihir yang dimiliki oleh elf lain.
Shirou, yang tadinya hanya tersenyum, mulai tertegun melihat Lefiya begitu fokus dalam merapalkan mantranya. Segera, Lefiya menyelesaikan mantra Elf Ring dan merapalkan Luna Aldis, sihir penyembuhan milik Riveria yang terkenal akan kekuatannya dalam menyembuhkan luka berat.
Cahaya bulan yang lembut menyinari tangan Shirou, membuat kehangatan menyebar dari titik lukanya. Shirou bisa merasakan betapa kuatnya sihir itu, lebih dari sekadar menyembuhkan fisiknya—seolah-olah cahaya itu memulihkan dirinya hingga ke akar terdalam dari lukanya. Getaran di tangannya perlahan mereda, rasa sakit yang tadi ia abaikan mulai menghilang sepenuhnya.
Setelah mantranya selesai, Lefiya membuka matanya, melihat Shirou dengan sedikit kelelahan, namun jelas bahagia. "Bagaimana sekarang?" tanyanya, nada suaranya lembut namun penuh harap.
Shirou memandangi tangannya yang kini benar-benar sembuh. Getaran itu telah menghilang sepenuhnya. Dia tersenyum lebar, penuh kagum pada Lefiya. "Lefiya... kemampuanmu luar biasa," ujarnya dengan tulus. "Kau benar-benar cocok dengan julukanmu, Thousand Elf."
Lefiya tersipu mendengar pujian dari Shirou. "Aku... aku hanya bisa meniru sihir elf lain, itu saja," jawabnya, mencoba merendah. "Itupun belum sampai seribu..."
Shirou tertawa kecil mendengar jawabannya, merasa senang melihat Lefiya begitu rendah hati. "Namun, melihat apa yang baru saja kau lakukan, aku yakin suatu hari kau akan mencapai seribu sihir yang berbeda," katanya, tatapannya penuh dengan keyakinan.
Lefiya merasa jantungnya berdetak lebih cepat mendengar kata-kata itu. Wajahnya yang masih merah semakin memerah, dan dia hanya bisa menatap ke arah langit malam untuk menghindari tatapan Shirou. "Terima kasih, Shirou..." bisiknya pelan, senyumnya terukir di wajahnya yang cerah.
Mereka berdua duduk dalam keheningan yang nyaman di balkon, menikmati malam itu, dan Lefiya diam-diam merasa bahagia telah bisa menolong Shirou, meskipun dalam hatinya ia masih menyimpan banyak perasaan yang ia belum sepenuhnya mengerti.
Shirou tersenyum lembut sambil menatap Lefiya, yang masih tampak lega setelah berhasil menyembuhkan lukanya. "Sebenarnya, kemampuan kita lebih mirip daripada yang kau kira, Lefiya," katanya.
Lefiya menoleh, bingung dengan pernyataan itu. "Eh? Tapi kekuatanmu adalah memunculkan pedang dan senjata, sementara aku hanya bisa meniru mantra dari elf lain. Bagaimana bisa itu mirip?" tanyanya, wajahnya penuh dengan rasa penasaran.
Shirou tersenyum lebih lebar, melihat Lefiya yang polos namun penuh rasa ingin tahu. "Kau tahu, aku sebenarnya hanya bisa memproyeksikan senjata yang sudah pernah kulihat sebelumnya. Sama seperti kau, yang bisa menggunakan sihir Elf lain melalui Elf Ring. Pada dasarnya, kita berdua hanya peniru," jelas Shirou, nadanya tenang dan bersahabat.
Lefiya terkejut sejenak mendengar itu, dan matanya mulai berbinar. Di dalam hatinya, ia merasa hangat dan berbunga-bunga mengetahui bahwa ada kesamaan antara dirinya dan Shirou—sesuatu yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. "Jadi... kita berdua sama-sama peniru, ya?" Lefiya berkata sambil tersenyum lebar, nada suaranya sedikit bercanda.
Shirou tertawa kecil, senang melihat Lefiya merasa lebih baik. "Ya, begitulah," ujarnya. "Bahkan, dulu ada seorang lawanku yang sangat kuat bernama Gilgamesh. Dia sering mengejekku dengan julukan Faker karena aku hanya bisa meniru senjatanya yang asli."
Mendengar itu, Lefiya tak bisa menahan tawanya. Dia membayangkan Shirou yang biasanya tenang diejek dengan sebutan "Faker," dan membayangkan sosok Shirou tetap berjuang meskipun mendapat hinaan seperti itu. "Kalau begitu... aku adalah Faker nomor dua!" Lefiya tertawa lebih keras, menutup mulutnya dengan tangan untuk menahan tawa yang makin besar.
Shirou ikut tertawa bersamanya, suasana malam terasa semakin hangat dan akrab di balkon itu. "Sepertinya, kita berdua memang cocok sebagai tim 'Faker'," katanya dengan nada menggoda, mencoba ikut dalam suasana santai yang Lefiya bawa.
Lefiya, yang biasanya ceria merasa semakin nyaman berada di dekat Shirou. Tawa mereka menggema di udara malam yang tenang, menghapus kekhawatiran yang sebelumnya memenuhi pikiran mereka. Di dalam hatinya, Lefiya merasa senang karena bisa memiliki momen seperti ini dengan Shirou, sesuatu yang sangat berharga baginya.
Lefiya yang penasaran, mengingat kembali cerita Shirou tentang seorang Servant Archer bernama Gilgamesh yang pernah dia sebutkan. Ia menatap Shirou dengan mata berbinar. "Kau pernah bercerita tentang Gilgamesh, kan? Apakah dia Servant Archer yang kau hadapi? Kau berhasil mengalahkannya, kan?" tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu.
Shirou tersenyum kecil, mengenang pertarungan sengitnya dengan Gilgamesh. "Iya, dia memang sangat kuat. Gilgamesh memiliki kekuatan yang disebut Gate of Babylon," jawabnya. "Dengan kekuatan itu, dia bisa memunculkan berbagai senjata yang luar biasa kuat dari gudang harta karun pribadinya."
Mata Lefiya semakin berbinar mendengar kisah itu. "Jadi... kau meniru senjata yang dia keluarkan dari Gate of Babylon untuk melawannya, bukan?" tebak Lefiya penuh antusias.
Shirou mengangguk pelan, tersenyum lebar mengingat strategi yang ia gunakan. "Benar sekali. Setiap senjata yang ia keluarkan, aku menirunya dengan kekuatanku," kata Shirou, membayangkan kembali pedang-pedang yang ia gunakan dalam pertarungan itu. Lalu, seolah-olah terjun kembali ke medan perang, Shirou menghunuskan pedang imajiner dari udara dengan tangan kanannya dan berkata, "Tak ada aturan yang mengatakan bahwa sebuah imitasi tidak bisa mengalahkan yang asli."
Setelah mengatakan itu, Shirou menyadari betapa dramatis dan sedikit "cringe" ucapannya barusan, membuatnya merasa sedikit malu. Namun, ketika ia menoleh ke arah Lefiya, ia malah melihat ekspresi wajah Lefiya yang terpesona, kagum dengan segala sesuatu yang baru saja Shirou ceritakan.
Lefiya tersenyum lebar, lalu tanpa sadar, ia menirukan sikap Shirou. Dia mengangkat tangannya, seolah-olah sedang memegang tongkat sihir. "Tak ada aturan yang mengatakan bahwa sihir tiruan tidak bisa mengalahkan sihir asli," katanya dengan penuh semangat, membuat dirinya terlihat sangat bersemangat dengan keyakinan yang baru ditemukannya.
Mendengar itu, Shirou tak bisa menahan tawanya. Mereka berdua saling tertawa, tawa yang penuh kehangatan, menandakan perasaan bahagia dan persahabatan yang semakin kuat di antara mereka.
"Lefiya, aku senang kau bisa memahami hal ini," kata Shirou sambil tersenyum lembut, merasa terhubung dengan Lefiya dalam cara yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Lefiya balas tersenyum, merasa lebih percaya diri dan dihargai setelah percakapan itu.
Lefiya menatap Shirou dengan senyum ceria di wajahnya. "Kata-kata itu sangat keren, Shirou," katanya penuh semangat. "Sepertinya cocok menjadi motto tim Faker."
Shirou tak bisa menahan tawa kecilnya. Mendengar ejekan lama dari Gilgamesh yang dulu digunakan untuk merendahkannya, sekarang terdengar begitu ringan dan lucu dari mulut Lefiya, seolah-olah julukan itu adalah sesuatu yang istimewa. "Tim Faker, ya?" Shirou menggelengkan kepala dengan senyum geli. "Siapa sangka sebuah ejekan bisa terdengar seperti nama superhero?"
Lefiya tertawa kecil, tetapi kemudian mulai menguap, tanda kalau rasa kantuk sudah tak tertahankan lagi. Melihat itu, Shirou tersenyum lembut. "Sepertinya kau sudah mulai mengantuk. Sudah saatnya kita kembali ke kamar dan istirahat," katanya sambil menunjuk ke arah kamar mereka.
Lefiya mengangguk setuju, dan mereka pun berjalan bersama di lorong Twilight Manor, dengan suasana tenang dan damai. Langkah kaki mereka bergema di koridor yang sepi, hanya diiringi suara angin malam yang berhembus lembut melalui jendela.
Sesampainya di depan pintu kamarnya, Lefiya berhenti sejenak, lalu berbalik dan tersenyum manis ke arah Shirou. "Mimpi indah, Faker," katanya dengan lembut, nadanya penuh kasih dan kehangatan, membuat kata yang dulu terasa hina itu menjadi sesuatu yang penuh makna.
Shirou terdiam sejenak, meresapi kehangatan dalam suara Lefiya. Kata "Faker" yang dulu hanya berisi penghinaan dari musuh, sekarang terasa begitu manis dan penuh kasih. Shirou tersenyum kembali, merasa betapa beruntungnya ia memiliki teman seperti Lefiya. "Kamu juga, Faker kedua," balasnya dengan senyum lebar.
Lefiya tertawa kecil, sebelum akhirnya melangkah masuk ke kamarnya. Shirou berdiri sejenak di depan pintunya, masih tersenyum, sebelum akhirnya dia pun berjalan menuju kamarnya sendiri dengan hati yang lebih ringan. Malam itu, julukan yang dulu membuat Shirou merasa rendah sekarang terasa seperti simbol ikatan persahabatan dan rasa saling percaya.