Malam itu, Syr dengan tenang mencuci seragam hijau Shirou. Restoran sudah sepi, dan semua pelayan lain sudah pulang ke rumah mereka. Syr menatap seragam yang kini ada di tangannya, mengenang momen-momen ketika Shirou dengan giat mengenakan pakaian ini, baik saat memasak di dapur maupun saat membantu membersihkan restoran. Shirou selalu bekerja tanpa pamrih, tak pernah memikirkan dirinya sendiri, seperti tak ada beban yang ia pertimbangkan untuk menolak permintaan.
Syr tersenyum kecil, lalu berkata lirih pada dirinya sendiri, "Shirou itu terlalu baik... Dia tidak pernah mengutamakan dirinya sendiri."
Kenangannya kembali melayang pada saat pertama kali ia melihat Shirou menawarkan diri untuk menolongnya. Saat itu, Shirou masih belum resmi bergabung dengan Loki Familia, namun dia tidak ragu untuk melindungi Syr dari seorang petualang mabuk yang sudah mencapai level 3. Ketika Shirou mencoba menahan pemabuk itu, dia terjatuh, terlalu lemah untuk melawannya, namun dia tetap berdiri. Jika saja Ryuu tidak datang tepat waktu untuk mengusir pemabuk itu, Shirou mungkin akan terluka parah. Dan meskipun begitu, Shirou tidak mengeluh sedikit pun.
"Dia selalu menolong orang lain, meskipun dirinya sendiri yang terluka," Syr menghela napas pelan.
Pikirannya kembali pada peristiwa malam tadi. Shirou yang menawarkan dirinya untuk membantu Bell di War Game melawan Apollo Familia. Shirou yang, setahu Syr, hanya level 1, namun tetap ingin terjun ke medan pertempuran melawan Familia yang jauh lebih kuat. Syr menggigit bibir bawahnya, merasa khawatir sekaligus kagum pada tekad yang begitu kuat dari Shirou. Dia tahu, tidak ada rasa takut dalam diri Shirou ketika ada orang lain yang membutuhkan pertolongan.
"Apakah... itu karena trauma masa lalu?" Syr merenung dalam diam, tangannya yang sedang mencuci seragam Shirou kini berhenti bergerak. Dia teringat dengan jiwa Shirou, yang mungkin penuh luka, penuh karat, seperti pedang tua yang terus diasah tapi tetap penuh goresan. Betapa banyak beban yang Shirou bawa dari masa lalunya, dan betapa kuat Shirou menyembunyikannya di balik senyumnya.
Syr merasa ada sesuatu yang begitu mendalam dan kelam di dalam jiwa Shirou. Rasa iba merayap di hatinya. Shirou selalu menolong orang lain, mungkin karena dia ingin menebus sesuatu yang pernah terjadi padanya. Syr bertanya-tanya apa yang sebenarnya dialami oleh Shirou sebelum datang ke Orario. Apa yang telah membuatnya begitu keras terhadap dirinya sendiri, namun begitu lembut terhadap orang lain?
"Shirou... Kau benar-benar orang yang istimewa," bisik Syr pelan, sambil melanjutkan pekerjaannya dengan hati yang terenyuh.
Di dalam hatinya, Syr berharap bisa terus berada di sisi Shirou, meskipun hanya sebagai seorang pelayan, atau seorang teman. Ia ingin memastikan bahwa suatu hari nanti, Shirou akan mampu menemukan kedamaian untuk dirinya sendiri, tidak hanya berlari menolong orang lain.
Syr menghela napas pelan saat dia menggantung seragam hijau Shirou di jemuran. Cahaya bulan yang samar menyinari halaman kecil tempat dia menjemur pakaian. Pikirannya melayang pada sebuah pikiran yang sering menghampirinya akhir-akhir ini—seandainya dia merekrut Shirou terlebih dahulu, ke Freya Familia, bukannya membiarkannya bergabung dengan Loki Familia. Sebagai Freya, dia bisa lebih leluasa mengikis karat di jiwa Shirou, membuatnya bersinar seperti berlian yang disembunyikan di dalam batu.
Namun, Syr tahu ini bukan pilihan yang bisa ia ambil sekarang. Shirou bukanlah Odr yang ia tunggu selama ini, meski dia memiliki potensi yang luar biasa. Dia bukan sosok yang ditakdirkan untuknya. Shirou adalah orang yang penuh luka, seseorang yang membangun tembok di sekeliling jiwanya, tetapi tetap berjuang menolong orang lain. Freya... atau Syr, hanya bisa mengamati dari jauh. Bagaimana pun, Shirou adalah teman yang berharga bagi Syr. Teman yang ia hargai, walau bukan sosok yang ia kejar.
Syr berhenti sejenak dan melihat seragam hijau itu, tergantung dengan tenang di bawah sinar bulan. Pikirannya melayang pada perbedaan mendasar antara Bell dan Shirou. Bell memiliki jiwa yang terang, transparan, bagaikan permata yang belum terasah, tetapi penuh cahaya dan potensi. Sedangkan Shirou, jiwanya penuh karat, lapisan tebal luka-luka yang menutup potensi sejatinya. Jika melihat Shirou hanya dari jiwa itu, dia tampak seperti seseorang yang patah—tapi perbuatannya, tindakannya, selalu bersinar dengan cara yang sangat indah. Ironi itu membuatnya semakin menarik.
"Shirou... Kamu berbeda," Syr bergumam pada dirinya sendiri. Dia menunduk, membayangkan betapa indahnya Shirou jika karat itu bisa hilang, jika masa lalunya bisa disembuhkan. Namun, mungkin tidak semua orang bisa disembuhkan. Mungkin, Shirou akan terus memikul luka-lukanya sambil tetap menolong orang lain dengan senyum yang lembut di wajahnya.
Syr tersenyum kecil. Walau dia tahu Shirou bukan sosok yang ia tunggu, dia tetap merasa beruntung memiliki teman sepertinya.
Syr berjalan pulang menuju Folkvangr, markas besar Freya Familia, di bawah langit malam yang tenang. Meskipun dia tampil sebagai Syr bagi sebagian besar dunia luar, di sini, semua anggota Freya Familia tahu siapa dirinya sebenarnya. Begitu Freya melangkah ke dalam gerbang besar markas, para anggota Familianya yang setia segera memberi hormat dan mempersilahkan sang dewi untuk masuk dengan penuh penghormatan. Mata mereka penuh kekaguman, sadar bahwa yang mereka hadapi bukan hanya pelayan sederhana, melainkan dewi kecantikan dan cinta.
Freya melangkah anggun melewati aula, meninggalkan kehangatan peran Syr. Langkahnya mantap, tak terburu-buru. Setiap gerakan menunjukkan wibawa dan kuasa. Ketika sampai di kamarnya, Freya menutup pintu di belakangnya, menghela napas panjang. Dia melepaskan pelan-pelan kekuatan dewinya yang terkekang selama berperan sebagai Syr. Aura ilahi yang tersembunyi selama ini mengalir kembali dengan kekuatan penuh. Sosoknya perlahan berubah, kembali menjadi Freya, sang dewi yang penuh kemegahan dan kecantikan abadi.
Dia berdiri di depan cermin, memandang seragam hijau yang ia kenakan sebagai Syr—simbol dari kehidupan sederhana yang sesekali ia nikmati. Dengan gerakan yang tenang dan penuh rasa elegan, Freya melepaskan seragam itu dan menggantungnya dengan hati-hati di samping. Kemudian, ia mengambil gaun hitam elegan yang lebih cocok dengan sosok dewinya. Saat mengenakan gaun tersebut, Freya sepenuhnya kembali menjadi dirinya yang sejati—dewi dengan aura memikat, jauh dari kepribadian Syr yang hangat dan ramah.
Dengan langkah yang anggun, Freya berjalan menuju singgasananya. Duduk di sana, postur tubuhnya memancarkan kuasa dan keagungan yang luar biasa. Mata peraknya memandang jauh ke depan, penuh dengan misteri dan rencana yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri. Sosok Freya yang sekarang sangat berbeda dari Syr. Dia bukan lagi teman yang tersenyum cerah, melainkan dewi dengan pandangan tajam, siap menggerakkan bidak-bidaknya di dunia ini, terutama mereka yang menarik perhatiannya, seperti Shirou Emiya.
Freya menatap malam melalui jendela, merenungkan peran yang ia mainkan sebagai Syr dan apa yang akan datang di masa depan. "Shirou... apa kamu akan menjadi cahayaku atau karat yang perlahan memudar?" ujar Freya pelan, sambil menutup matanya, membiarkan rencana-rencana besarnya perlahan terwujud.
Sekali lagi, saat Freya duduk di singgasananya, pikirannya kembali mengarah pada Shirou Emiya. Dia menyesali keputusannya yang membiarkan Shirou bergabung dengan Loki Familia. Jika saja dia bertindak lebih cepat, Shirou sekarang bisa berada di bawah naungannya, bersinar di bawah bimbingannya, tanpa harus tersembunyi sebagai petualang lemah yang disebut supporter.
Freya tahu betul bahwa Loki, meskipun sering terlihat ceria dan santai, adalah dewi yang sangat melindungi anggota Familianya. Terlebih lagi, dia memiliki ikatan yang kuat dengan setiap anggotanya. Shirou, walaupun hanya seorang supporter berlevel 1, sudah menjadi bagian dari Loki Familia, dan Loki pasti tidak akan membiarkan siapapun merebutnya tanpa perlawanan.
Jika Shirou adalah anggota Familia lain yang lebih lemah, Freya dengan mudah bisa merayunya, atau bahkan memaksa perubahannya menjadi anggota Freya Familia tanpa khawatir tentang konsekuensinya. Tetapi karena Shirou sekarang adalah milik Loki, Freya harus berpikir dua kali. Loki Familia adalah salah satu yang terkuat di Orario. Perebutan terbuka bisa menyebabkan perang antar Familia, atau yang lebih buruk—sebuah War Game.
Freya menghela napas pelan. Bagaimanapun, meskipun dia adalah dewi yang penuh kuasa dan pengaruh, melawan Loki secara langsung bukanlah langkah yang bijak. Dia memutuskan untuk menahan ambisinya terhadap Shirou, setidaknya untuk sementara waktu. Lagipula, ada Bell Cranel yang saat ini menarik perhatiannya. Bell, dengan jiwa transparannya, adalah cahaya yang terus bersinar terang, dan War Game yang akan datang antara Hestia Familia dan Apollo Familia adalah kesempatan emas untuk melihat potensinya yang sebenarnya.
"Shirou... Kau aman untuk sekarang," gumam Freya pelan, pandangannya berubah tajam saat dia mulai merencanakan strategi berikutnya. "Aku akan menunggumu bersinar... Saat itu tiba, aku akan mengulurkan tanganku sekali lagi."
Freya kemudian memusatkan perhatiannya pada Bell Cranel, siap menyaksikan bagaimana perang antara Hestia dan Apollo Familia akan mengguncang Orario.
Freya dengan anggun memegang sebuah kalung berwarna hijau di tangannya. Batu permata di tengah kalung itu memancarkan cahaya lembut, mengandung kekuatan magis yang telah dia siapkan khusus untuk Bell Cranel. Meskipun kalung itu tidak akan mampu melindungi Bell dari semua serangan, Freya memastikan bahwa kekuatan di dalamnya cukup untuk menahan satu serangan yang sangat kuat—terutama dari Hyakinthos, kapten Apollo Familia yang sudah mencapai level 3.
Freya tersenyum tipis, matanya penuh harapan saat dia membayangkan bagaimana Bell akan menggunakan kalung itu dalam War Game yang akan datang. "Aku ingin melihat bagaimana kau akan berkembang, Bell," gumamnya lembut.
Kalung itu akan diberikan kepada Bell dalam wujud Syr, sebagai hadiah yang tampaknya sederhana namun memiliki kekuatan besar. Syr akan memberikan kalung ini dengan alasan bahwa itu hanya hadiah keberuntungan, tetapi Freya tahu betul bahwa kalung tersebut bisa menjadi penentu hidup atau mati dalam pertarungan yang mendekat.
Freya menyandarkan tubuhnya ke singgasananya, matanya memandang jauh ke arah langit malam Orario, penuh dengan harapan besar terhadap Bell. Dia tak sabar menyaksikan pertunjukan luar biasa yang Bell akan tunjukkan untuknya. Setiap langkahnya, setiap pertarungan yang dihadapi Bell, hanya akan membuat jiwanya bersinar lebih terang, dan Freya akan berada di sana untuk menyaksikan semuanya.
"Ayo, Bell Cranel... Tunjukkan pada dunia, dan padaku, betapa bersinarnya dirimu dalam kegelapan War Game ini."
Setelah beberapa saat, terdengar beberapa ketokan pintu dari luar.
Setelah mendengar ketukan pintu, Freya dengan tenang mempersilakan Hedin masuk ke ruangannya. Sosok Elf tinggi berambut pirang itu masuk dengan langkah mantap dan memberi hormat kepada dewinya. "Freya-sama," katanya dengan hormat, "aku datang untuk melapor."
Freya, yang masih memegang kalung hijau di tangannya, mengangguk lembut dan bertanya, "Apa yang ingin kau laporkan, Hedin?"
Hedin melanjutkan, "Saat aku sedang memantau situasi di sekitar markas Soma Familia, aku menyaksikan salah satu teman Bell, seorang supporter bernama Lily, diselamatkan oleh sosok berjubah hitam dengan topeng tengkorak. Sosok itu bergerak dengan kecepatan yang luar biasa. Berdasarkan kecepatannya, aku memperkirakan dia setidaknya berlevel 5."
Mendengar itu, Freya menyipitkan matanya, sedikit terkejut. "Hanya sedikit petualang di Orario yang berada di level 5," gumamnya, mulai menganalisis. "Itu membuat identitasnya lebih mudah ditebak, bukan?"
Namun, ketika Hedin melanjutkan laporannya, nada suaranya berubah menjadi sedikit murung. "Aku mencoba mengejarnya, tapi dia berhasil melarikan diri tanpa membuka identitasnya. Aku mohon maaf, Freya-sama. Dia jauh lebih cepat dari yang kubayangkan."
Freya kini benar-benar tertarik. "Kau, seorang petualang level 6, tidak mampu menangkapnya? Bagaimana dia bisa kabur darimu?" tanyanya dengan rasa ingin tahu yang semakin besar.
Hedin menjawab dengan nada rendah, "Aku menggunakan salah satu mantraku yang terkuat—mantra petir yang seharusnya cukup untuk melumpuhkannya. Tapi... dia memunculkan pedang yang mampu membelah petirku menjadi dua. Aku tidak pernah melihat hal seperti itu sebelumnya."
Kata-kata Hedin membuat Freya terkejut hingga dia berdiri dari singgasananya. Pedang yang bisa membelah petir? Itu bukan kemampuan biasa. Pikiran Freya mulai berputar, menganalisis kemungkinan-kemungkinan yang ada. "Siapa yang bisa melakukan itu...?" bisiknya pada dirinya sendiri, tak bisa menebak identitas sosok bertopeng tengkorak itu.
Rasa penasaran Freya terusik lebih dalam. "Ini menarik," gumamnya, senyum tipis muncul di bibirnya. "Kita harus mencari tahu lebih banyak tentang sosok misterius ini. Apakah dia sekutu atau ancaman?"
Hedin menunduk lebih dalam, siap melanjutkan tugasnya kapan saja. Tapi di dalam hatinya, dia tahu sosok berjubah hitam itu bukan lawan yang bisa diremehkan.
Freya berjalan berkeliling di ruangannya, pikirannya sibuk menganalisis identitas sosok bertopeng tengkorak yang diceritakan oleh Hedin. Dia mencoba mengingat setiap petualang kuat di Orario, tapi tidak ada yang cocok dengan deskripsi itu.
"Kalau aku ingat benar, Fels yang berada di bawah naungan Ouranos juga berjubah hitam," kata Freya sambil menatap Hedin. "Tapi kau bilang dia seorang penyihir, dan tidak ada penyihir yang bisa membelah petir dengan pedang."
Hedin menganggukkan kepala. "Ya, Fels lebih banyak menggunakan sihir kuno. Sedangkan sosok ini jelas mengandalkan kekuatan fisik, dan dari kecepatannya serta kemampuannya mengatasi mantra petir, dia tampaknya lebih berpengalaman sebagai petarung daripada penyihir."
Freya terdiam sejenak, matanya bersinar penuh misteri. "Sepertinya ada pemain baru di Orario yang kita belum ketahui. Jika dia cukup kuat untuk berhadapan langsung denganmu dan lari tanpa terungkap, ini bukan petualang biasa."
Hedin, yang selalu percaya pada kekuatannya sendiri sebagai petualang level 6, tak bisa menyembunyikan kekagumannya pada sosok misterius itu. "Saya setuju, Lady Freya. Saya juga merasa kalau kita terus mengawasi Hestia Familia, sosok itu pasti akan muncul lagi. Dia tampaknya punya kepentingan besar dengan mereka."
Freya berhenti di tengah ruangan, matanya menatap ke luar jendela, tampak memikirkan strategi baru. "Kau benar, Hedin. Jika kita ingin menangkap sosok bertopeng tengkorak itu, kau tidak bisa melakukannya sendirian. Aku ingin kau bekerja sama dengan Ottar, Hogni, atau Allen. Kekuatan mereka akan memastikan bahwa siapapun sosok ini, dia tidak akan mudah lolos lagi."
Hedin menerima perintah dengan anggukan hormat. "Saya akan mengatur semuanya."
"Lakukan dengan cepat," perintah Freya. "Aku tidak ingin siapapun, terutama pemain baru ini, mengganggu rencana kita terhadap Bell Cranel."
Setelah memberi hormat, Hedin pergi meninggalkan ruangan, siap mengumpulkan rekan-rekannya. Freya kembali duduk di singgasananya, matanya masih dipenuhi oleh bayang-bayang sosok misterius itu. Seseorang dengan kekuatan sebesar itu tidak bisa diabaikan.
Setelah Hedin pergi, Freya berdiri di tepi jendela besar yang menghadap Orario, memandang ke kejauhan kota yang mulai sunyi. Malam ini, pikirannya melayang kembali ke peristiwa yang baru saja terjadi—penyelamatan mendadak Liliruca Arde oleh sosok misterius bertopeng tengkorak. Sosok itu bergerak cepat, memusnahkan ancaman dari Soma Familia tanpa ragu, meninggalkan jejak yang penuh kekuatan dan ketakutan di belakangnya. Namun, hal yang paling menarik baginya bukanlah aksi heroik itu, melainkan satu detail kecil yang tiba-tiba terlintas di benaknya.
Sosok bertopeng tengkorak itu muncul tak lama setelah Freya, dalam wujud Syr, memberi tahu Shirou Emiya tentang kondisi Lily. Saat itu, dia hanya bermaksud membantu Shirou yang terlihat khawatir. Sebagai Syr, dia menyampaikan informasi dengan senyuman lembut, tidak menyangka apa pun. Namun, malam itu juga, sosok bertopeng tengkorak menyelamatkan Lily, membuatnya bertanya-tanya. "Apakah mungkin...?" pikir Freya sejenak, mengingat interaksi kecil itu.
Seandainya Shirou adalah sosok bertopeng tengkorak? Freya membiarkan pikiran itu bermain-main di benaknya. Dia mencoba membayangkan Shirou—pemuda baik dan rendah hati, supporter Loki Familia yang tak menonjol—berubah menjadi figur misterius dan mematikan yang mampu menghancurkan musuh-musuhnya dengan mudah. Sosok itu bergerak dengan kecepatan dan kekuatan yang tak masuk akal untuk level 1. Shirou, seorang supporter di Familia, berlevel rendah, bagaimana mungkin dia bisa menyembunyikan sesuatu seperti itu?
Freya tertawa kecil, hampir tak percaya dengan jalan pikirannya sendiri. Betapa konyolnya ide ini. Shirou yang dia kenal, meskipun memiliki jiwa yang kuat dan penuh tekad, hanyalah seorang petualang berlevel satu. Tidak mungkin dia menjadi sosok bertopeng yang misterius, apalagi sosok itu menunjukkan kemampuan yang setidaknya setara dengan petualang level 5. Seorang petualang level 5 tidak mungkin bisa menyembunyikan kekuatannya di hadapan Freya.
"Bahkan aku tak akan terkecoh dengan hal seperti itu," gumam Freya, senyum masih menghiasi wajahnya. Namun, meski pikirannya menertawakan teori tersebut, sebuah rasa penasaran tetap menggantung. Shirou, bagaimanapun juga, adalah sosok yang terus menarik perhatiannya. Ada sesuatu yang unik dalam dirinya, sesuatu yang belum sepenuhnya terungkap. Freya tidak akan menutup kemungkinan, meski kecil.
Bantal di kasurnya tampak lembut, dan dia meletakkan kepalanya di atasnya, merasakan kesejukan kain sutra yang menyentuh kulitnya. Ruangan itu dipenuhi dengan aroma wangi bunga lily putih, aroma favoritnya yang selalu memberinya ketenangan setelah hari-hari panjang memimpin Familia. Freya perlahan memejamkan matanya, tenggelam dalam kegelapan lembut yang menyelimuti pikirannya.
Dalam tidur yang perlahan datang, senyum di wajah Freya tidak hilang. Meski teori tentang Shirou adalah sosok bertopeng itu terdengar konyol, dia tahu bahwa misteri tentang pemuda tersebut belum sepenuhnya terungkap. Entah bagaimana, Shirou Emiya akan terus menjadi bagian dari permainan besar yang sedang ia atur. Dan Freya, dewi yang selalu menyukai tantangan, siap untuk mengungkap kebenarannya, kapan pun waktunya tiba.
***
Keesokan harinya, setelah mandi, Freya berdiri di depan cermin panjang di kamarnya yang megah, air masih menetes dari rambut perak panjangnya. Kulitnya yang halus berkilauan diterpa cahaya lembut dari jendela, tetapi pikirannya tak sepenuhnya fokus pada dirinya sendiri. Hari ini, dia berencana memberikan sesuatu yang spesial kepada Shirou Emiya, seseorang yang mulai menarik perhatiannya sejak interaksi mereka terakhir kali. Grimoire, buku sihir kuno yang memiliki nilai luar biasa, adalah hadiah yang ingin dia berikan—bukan sekadar benda biasa, tapi alat untuk mempercepat perkembangan Shirou, sama seperti yang pernah dia berikan kepada Bell Cranel dulu.
Freya menyentuh tumpukan buku tua yang disusun rapi di atas meja kecil di sudut kamarnya. Di antara tumpukan itu, sebuah Grimoire menonjol, terbungkus kulit hitam dengan hiasan emas. Grimoire ini sangat langka dan bernilai tinggi, tidak hanya karena kemampuannya untuk memperkuat kekuatan magis siapa pun yang membacanya, tetapi juga karena asal-usulnya yang misterius. "Apakah Shirou akan menerimanya?" pikir Freya, tersenyum kecil sambil membayangkan ekspresi terkejut pemuda itu. Di matanya, Shirou adalah teka-teki—jiwa yang penuh luka tapi tetap bersinar.
Freya menggenggam Grimoire itu dan membawanya dekat dengan dadanya, memutuskan bahwa hari ini adalah hari yang tepat untuk memberikannya. Setelah menyelesaikan ritual paginya, dia melangkah ke lemari besar di sudut ruangan. Kali ini, Freya tak berencana tampil sebagai dirinya sendiri. Dia ingin kembali menjadi Syr, pelayan lembut dari Hostess of Fertility yang penuh perhatian, peran yang selalu ia nikmati karena kesederhanaannya. Sama seperti dia memberikan Grimoire kepada Bell dulu dalam wujud Syr, kali ini dia akan melakukannya untuk Shirou.
Dengan senyuman tipis, Freya mulai berubah menjadi Syr. Dia memilih mengenakan seragam hijau Hostess of Fertility—gaun sederhana dengan apron putih yang melambangkan kerapian dan pelayanan. Tangan halusnya dengan cekatan memasang tali apron, lalu menyisir abu-abu kebiruan yang menjadi ciri khas Syr, memastikan tidak ada sehelai pun yang tersisa di luar tempatnya. Dalam wujud Syr, Freya merasa bebas dari beban sebagai dewi yang penuh kekuatan dan tanggung jawab. Syr hanyalah seorang gadis biasa yang bekerja di sebuah bar, jauh dari intrik dan politik para dewa.
Saat melihat pantulan dirinya di cermin, Syr tersenyum puas. Wajah yang tampak polos dan sederhana itu sama sekali tidak mengisyaratkan kebenaran di baliknya, bahwa ia sebenarnya adalah Freya, dewi kecantikan yang memegang kendali atas banyak nyawa. "Saatnya bermain peran," katanya pada dirinya sendiri sebelum mengambil Grimoire dan melangkah keluar dari kamarnya.
Ketika pintu terbuka, seperti biasanya, Horn sudah menunggu di luar. Mata kiri hitam Horn yang tidak ditutupi rambutnya menatap Syr dengan penuh hormat dan perhatian. Gadis itu, yang telah dipilih sebagai pelayan setia Freya, selalu siap melaksanakan tugasnya dengan ketulusan yang tak tergoyahkan.
"Apakah semuanya siap, Horn?" tanya Syr lembut, meski pertanyaannya lebih bersifat basa-basi. Dia tahu pelayannya yang setia itu tak pernah lalai dalam tugasnya.
Horn menganggukkan kepalanya dengan sopan. "Ya, Lady Freya... eh, maksudku, Syr." Wajah Horn tetap tenang, tetapi ada sedikit ketegangan di balik tatapannya. Mengetahui Freya sedang bermain peran sebagai Syr, dia harus tetap waspada dalam menjalankan tugas menggantikan sang dewi.
Syr menatapnya dengan senyum lembut. "Kau akan baik-baik saja, Horn. Jangan khawatir. Hari ini, aku akan pergi ke Hostess of Fertility untuk bermain sedikit. Pastikan kau menggantikan tugasku di sini dengan baik, seperti biasa." Terdengar lembut, tetapi tersirat perintah yang jelas.
Dengan sigap, Horn mengangguk patuh. "Tentu, Lady Syr. Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya." Tanpa perlu kata-kata lebih lanjut, Horn mulai menyiapkan dirinya untuk perubahan peran. Dalam beberapa detik, tubuhnya bergetar pelan, dan sosok gadis itu perlahan memudar, digantikan oleh wujud Freya yang sempurna—kulitnya yang pucat bersinar, rambut perak yang jatuh lurus sampai punggung, serta tatapan tajam yang khas dari dewi kecantikan itu. Horn kini menjadi Freya, tidak ada perbedaan sama sekali. Dari luar, siapa pun yang melihat akan percaya bahwa Freya masih ada di kamarnya, tetap menjalankan perannya sebagai penguasa Familia.
Syr—Freya dalam wujud pelayan—tersenyum puas melihat transformasi yang sempurna. "Baiklah, aku serahkan semuanya padamu. Nikmati peranmu sebagai diriku, sementara aku bersenang-senang di Hostess of Fertility."
Horn, yang kini dalam wujud Freya, membungkuk dalam. "Terima kasih atas kepercayaan Anda, Lady Freya. Saya akan memastikan segalanya berjalan lancar."
Dengan sebuah anggukan kecil, Syr melangkah meninggalkan kamarnya, berjalan menuju Hostess of Fertility, membawa serta Grimoire yang akan ia berikan kepada Shirou. Sementara itu, di dalam Istana Freya, Horn menjalankan tugas sebagai dewi dengan sempurna, memastikan tak ada yang menyadari bahwa sang dewi sebenarnya sedang menikmati waktu luangnya sebagai gadis pelayan di Hostess of Fertility.