Setelah beberapa saat, Shirou dan Aiz memutuskan untuk mengeringkan tubuh mereka yang basah oleh air laut. Keduanya mengambil handuk dari tas yang mereka bawa, bersiap untuk mengeringkan diri sebelum berganti pakaian. Udara pantai pagi itu terasa hangat, membantu mengeringkan pakaian mereka lebih cepat.
Saat Aiz sedang mencari handuk di dalam tasnya, dia tanpa sengaja melihat kotak bekal yang telah Shirou siapkan sebelumnya. Bekal itu masih terbungkus rapi, menunggu untuk disantap setelah mereka selesai berlatih berenang.
"Shirou... ini bekalnya, kan?" tanya Aiz sambil mengeluarkan kotak tersebut dan memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu.
Shirou, yang juga sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk, menoleh ke arah Aiz dan mengangguk. "Iya, aku menyiapkannya tadi pagi. Mungkin sebaiknya kita makan setelah kita selesai ganti baju," usulnya, mengingat bahwa mereka berdua masih basah dan belum benar-benar bersih.
Namun, sebelum Aiz sempat merespons, tiba-tiba terdengar suara perut yang lapar—suara yang cukup keras untuk membuat Aiz mematung sejenak dengan wajah yang perlahan memerah. Itu adalah bunyi perut Aiz, dan dia tidak bisa menahan rasa malunya.
Shirou yang melihat ekspresi Aiz, tersenyum kecil, menahan tawa. "Sepertinya perutmu punya pendapat yang berbeda," candanya lembut, mencoba membuat suasana lebih ringan. "Bagaimana kalau kita makan dulu sebelum ganti baju? Tidak ada salahnya mengisi perut dulu."
Aiz, yang masih malu karena suara perutnya tadi, perlahan mengangguk sambil tersenyum kecil, senang karena Shirou tidak membuatnya merasa semakin canggung. Dengan semangat, dia membuka kotak bekal yang Shirou bawa, di dalamnya terdapat beberapa sandwich yang sudah dipotong rapi.
Dengan tangan yang cekatan, Aiz mulai membagi dua jumlah sandwich tersebut, memastikan bahwa mereka berdua mendapatkan porsi yang sama. "Ini untukmu, Shirou," katanya sambil memberikan setengah dari sandwich itu kepada Shirou.
Shirou menerima sandwich itu dengan senyuman. "Terima kasih, Aiz. Semoga kau menyukainya," katanya, meskipun dia tahu bahwa Aiz selalu menikmati makanan yang dia buat.
Mereka berdua duduk di tepi pantai, menikmati sandwich tersebut. Angin sepoi-sepoi dari laut menerpa wajah mereka, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Aiz, yang biasanya tenang dan sedikit pendiam, kali ini terlihat lebih rileks, menikmati setiap gigitan dari sandwich yang dibuat Shirou.
"Ini enak," kata Aiz dengan jujur, suaranya lembut tapi penuh rasa puas. Wajahnya menunjukkan betapa dia menghargai makanan sederhana itu.
Shirou tersenyum, senang melihat Aiz menikmati sarapan yang dia buat. "Aku senang kau menyukainya. Makan pelan-pelan saja, kita tidak terburu-buru." Mereka menikmati momen itu dengan tenang, meskipun sebelumnya ada banyak kejadian yang membuat mereka gugup dan canggung. Kini, mereka hanya berfokus pada kebersamaan yang damai di tepi pantai, menikmati sarapan di bawah sinar matahari pagi.
Sambil menikmati sandwich yang ia buat, Shirou tak bisa menahan senyum ketika melihat Aiz begitu menikmati masakannya. Setiap gigitan dari sandwich tampaknya membuat Aiz merasa lebih puas, dan pemandangan itu membuat Shirou merasa senang. Baginya, melihat orang lain menikmati makanan yang ia buat selalu memberikan kebahagiaan sederhana.
Namun, tanpa sadar, pandangan Shirou perlahan turun dari wajah Aiz. Matanya tertuju ke tubuh Aiz yang masih basah oleh air laut. Pakaian renangnya yang basah membuat kulitnya bersinar di bawah sinar matahari pagi. Tetesan air perlahan mengalir di sepanjang kulitnya, membuat pemandangan itu semakin tak terhindarkan bagi Shirou. Meski ia tidak berniat menatap lebih lama, matanya seolah tidak bisa berpaling begitu saja.
Di tengah lamunannya, suara Aiz tiba-tiba menyadarkannya. "Shirou," ucap Aiz dengan nada tenang, seolah tidak menyadari bahwa Shirou sempat melamun. "Nanti, saat kita kembali ke penginapan, bilang saja kalau kita hanya jalan-jalan pagi, ya? Aku tidak ingin mereka tahu kita berlatih berenang."
Suara lembut Aiz seketika memecah fokus Shirou. Dia tergagap, tersentak dari lamunannya. "Ah, iya! Tentu, jalan-jalan pagi...," jawabnya dengan cepat, suaranya sedikit gemetar karena kejutan. Wajahnya terasa memanas, dan dia berharap Aiz tidak menyadari bahwa dia tadi tidak sepenuhnya memperhatikan apa yang Aiz katakan.
Aiz, di sisi lain, hanya mengangguk pelan, tidak begitu menyadari kebingungan Shirou. Dia melanjutkan makannya dengan tenang, tak tahu bahwa Shirou sempat terperangkap dalam pikirannya sendiri.
Shirou, yang kini menyadari betapa jelas reaksinya tadi, merasa sedikit malu. Dia berusaha fokus kembali pada sandwich yang ada di tangannya, mencoba menenangkan hatinya yang berdebar-debar. Di dalam hati, dia berharap Aiz tidak mempermasalahkan reaksinya yang aneh barusan.
Aiz menyelesaikan sarapannya lebih dulu, menikmati gigitan terakhir dari sandwich buatan Shirou. Dengan perut yang kenyang, dia merasa lebih bersemangat. Aiz berdiri dan membawa handuk serta pakaiannya menuju balik sebuah batu besar yang ada di dekat mereka. Dia memilih tempat itu untuk mengganti pakaian agar lebih nyaman. Setelah memastikan dirinya tersembunyi, dia mulai melepas bikini basahnya dan mengenakan kembali one piece dress yang selalu membuatnya terlihat anggun.
Setelah beberapa menit, Aiz kembali dari balik batu dengan pakaian yang kering dan nyaman, rambut pirangnya tergerai bebas di bawah sinar matahari pagi. Melihat Shirou yang masih menunggu, dia tersenyum tipis. "Sekarang giliranmu," ucapnya tenang sambil mengambil handuk Shirou yang tertinggal dan memberikannya padanya.
Shirou, yang sudah merasa cukup lega dari kejadian sebelumnya, mengangguk dan membawa pakaiannya menuju tempat yang sama di balik batu. Sambil berganti baju, dia memikirkan betapa menyenangkannya momen pagi ini bersama Aiz, meskipun ada momen-momen yang sedikit membuatnya canggung. Dengan cepat, dia mengganti pakaian basahnya dengan setelan yang lebih kering dan nyaman.
Saat Shirou selesai dan kembali ke tempat mereka duduk tadi, Aiz sudah sibuk membereskan perlengkapan mereka. Tas sudah dikemas rapi, dan sisa-sisa bekal sudah disimpan dengan baik. Aiz berdiri dengan elegan, siap untuk berjalan kembali ke penginapan.
"Kau cepat sekali," kata Shirou dengan nada kagum, melihat betapa cekatan Aiz mengemas semuanya.
Aiz hanya tersenyum kecil. "Kita sudah selesai di sini, jadi sebaiknya kita segera kembali," jawabnya sambil mulai berjalan.
Shirou segera menyusul, berjalan berdampingan dengannya. Mereka berdua melangkah tenang, kembali melewati hutan yang sepi dan hijau. Suasana pagi di hutan begitu damai, hanya ada suara angin dan dedaunan yang bergesekan, serta kicauan burung yang mulai terbangun dari tidur mereka.
Selama perjalanan kembali, mereka tidak banyak bicara. Namun, ada kenyamanan dalam keheningan itu. Shirou dan Aiz berjalan berdampingan, menikmati ketenangan yang hanya bisa ditemukan di tempat seperti ini, jauh dari keramaian penginapan dan petualangan di Dungeon. Setiap langkah yang mereka ambil diiringi oleh sinar matahari yang menembus pepohonan, menciptakan bayangan indah di sepanjang jalan.
Di tengah perjalanan kembali ke penginapan, suasana hutan yang tenang membuat percakapan antara Aiz dan Shirou terasa lebih hangat dan pribadi. Aiz, yang biasanya pendiam, memecah kesunyian dengan nada lembut. "Terima kasih, Shirou," ucapnya tiba-tiba, menatap ke arah Shirou dengan senyum tipis. "Selama ini aku tidak pernah bisa berenang. Tapi berkatmu, aku merasa ada perkembangan."
Shirou tersenyum merendah, merasa tak pantas menerima pujian sebesar itu. "Aku hanya membantumu sedikit, Aiz. Sebagian besar karena kau sendiri yang berusaha, dan tentu saja, berkat Little Ariel yang membantu kau mengapung," jawabnya, mencoba menyampaikan bahwa kemajuan itu datang dari usaha Aiz sendiri.
Namun, Aiz menggelengkan kepalanya. "Meski begitu, aku masih belum bisa mengendalikan Little Ariel dengan stabil. Untuk benar-benar bisa berenang, aku masih perlu bantuan," katanya dengan nada serius. Dia lalu menatap Shirou dengan mata keemasan yang bersinar lembut. "Bolehkah kau menemaniku dan membantu selama kita masih berada di Melen? Aku ingin terus berlatih."
Shirou terkejut sejenak, tapi senyuman lebar muncul di wajahnya. "Tentu saja, Aiz. Aku dengan senang hati akan membantumu," katanya dengan penuh keyakinan. Baginya, membantu Aiz bukanlah beban, melainkan sesuatu yang ia nikmati, terutama karena dia tahu betapa pentingnya hal ini bagi Aiz.
Aiz, yang jarang mengekspresikan banyak emosi, kali ini tersenyum sedikit lebih lebar, menunjukkan rasa terima kasih yang tulus. "Terima kasih, Shirou. Maaf kalau aku merepotkanmu untuk beberapa pagi berikutnya," tambahnya, merasa sedikit khawatir bahwa permintaannya mungkin membebani Shirou.
Shirou langsung menggeleng. "Tidak sama sekali, Aiz. Ini bukan merepotkan. Justru aku senang bisa membantumu," jawabnya dengan nada yang tulus, memastikan bahwa Aiz tidak perlu merasa bersalah.
Dengan itu, mereka melanjutkan perjalanan pulang, langkah-langkah mereka terasa lebih ringan. Kedekatan mereka semakin terasa, dan meskipun mereka masih berlatih hal sederhana seperti berenang, momen-momen ini membuat hubungan mereka semakin kuat.
Sesampainya di penginapan, Aiz dan Shirou berjalan santai ke arah pintu masuk. Udara pagi masih terasa segar, dan mereka berdua sudah bersiap untuk menghadapi hari setelah momen mereka di pantai. Namun, tak lama setelah mereka melangkah masuk, suara riang Tiona terdengar dari dekat. "Hei, kalian berdua dari mana?" tanya Tiona dengan penuh semangat, melihat mereka yang sepertinya sudah beraktivitas sejak pagi.
Aiz, yang biasanya tenang, mendadak merasa gugup. "K-kami... baru saja kembali dari jalan-jalan pagi," jawabnya cepat, berharap itu cukup untuk menjelaskan ke mana mereka pergi. Dia berusaha menjaga wajahnya tetap tenang, meski dalam hatinya dia merasa khawatir. Jika Tiona tahu bahwa mereka sebenarnya sedang berlatih berenang, dia pasti akan penasaran dan ingin ikut. Aiz belum siap mengungkap hal itu pada orang lain.
Tiona menatap mereka dengan penuh antusiasme. "Wah, kalian jalan-jalan pagi? Aku juga mau ikut besok! Kedengarannya menyenangkan!" serunya dengan senyum lebar.
Aiz merasakan kepanikannya semakin memuncak. Tiona yang penuh semangat pasti akan memaksa ikut, dan latihan berenang rahasianya dengan Shirou mungkin akan ketahuan. Matanya beralih cepat ke Shirou, berharap dia bisa membantunya mencari alasan. Namun, sebelum Shirou bisa berkata apa-apa, suara lain tiba-tiba muncul dari belakang.
"Hah, Tiona? Bangun pagi? Itu sama sekali tidak mungkin," kata Tione, muncul dengan senyuman jahil di wajahnya. "Kau selalu susah bangun pagi, Tiona. Jadi, jangan pura-pura bisa ikut."
Aiz merasakan kelegaan yang besar membanjiri dirinya. Mendengar Tione berbicara dengan santai membuatnya berpikir bahwa rahasianya mungkin masih aman. Dia mengambil napas panjang untuk menenangkan dirinya dan menoleh ke arah Tiona yang masih terlihat antusias. "Kau lebih baik istirahat saja, Tiona. Aku tidak ingin mengganggu tidurmu. Jalan-jalan pagi bisa menunggu," katanya dengan nada tenang, meskipun hatinya berdebar-debar karena khawatir akan ketahuan.
Tiona tampak bingung sejenak, tapi kemudian tertawa riang. "Yah, kau benar. Aku memang susah bangun pagi," katanya, menyerah dengan mudah. "Tapi lain kali aku pasti ikut, oke?"
Aiz hanya tersenyum, lega bahwa situasi tidak menjadi lebih rumit. Shirou, yang melihat ekspresi lega di wajah Aiz, hanya bisa tersenyum kecil di belakangnya. Mereka berdua berhasil menjaga rahasia itu untuk sementara waktu, setidaknya sampai Aiz merasa lebih percaya diri dengan kemampuan berenangnya.
Setelah mereka berjalan menjauh dan berada di luar jangkauan pendengaran Tiona dan Tione, Shirou merasa lega dan sedikit terhibur dengan situasi tadi. Dia melirik ke arah Aiz dan dengan nada bercanda berkata, "Sepertinya kita beruntung, Tiona tidak bangun pagi. Kalau tidak, rahasia kita pasti sudah ketahuan." Senyum kecil tersungging di wajahnya, melihat bagaimana mereka berhasil menjaga latihan berenang itu tetap rahasia.
Aiz tersenyum tipis mendengar candaan Shirou, tetapi di dalam hati, ada perasaan lain yang ia rasakan. "Aku masih malu dilihat yang lain... tenggelam berkali-kali," jawabnya sambil menunduk sedikit, mencoba menyembunyikan rasa malunya. Namun, dalam hatinya, Aiz juga merasa senang bahwa situasi ini memberinya waktu berdua dengan Shirou. Momen-momen latihan itu tidak hanya membantunya berkembang, tetapi juga memberinya kesempatan untuk lebih dekat dengan Shirou, sesuatu yang diam-diam ia hargai.
Saat mereka berbicara, dari sudut mata mereka, Finn terlihat menuruni tangga dari lantai dua penginapan. Dengan langkah mantap dan senyum ramah seperti biasa, Finn menghampiri mereka.
Shirou mengambil kesempatan itu untuk bertanya, "Finn, kira-kira sampai kapan kita akan tinggal di Melen?" Rasa ingin tahunya muncul karena dia ingin tahu berapa banyak waktu yang tersisa untuk membantu Aiz berlatih.
Finn berhenti sejenak dan menjawab dengan santai, "Urusanku bersama Riveria mungkin akan selesai sekitar tiga hari lagi. Jadi, kita punya waktu hingga saat itu. Anggap saja ini kesempatan untuk menikmati liburan sejenak." Finn tersenyum, tampak senang bahwa mereka bisa bersantai setelah banyaknya pertarungan yang mereka lalui.
Setelah Finn melanjutkan langkahnya dan menghilang dari pandangan, Shirou menoleh ke arah Aiz dan berbisik, "Tiga hari lagi, berarti kita tidak punya banyak waktu untuk latihan berenang." Ada nada serius dalam suaranya, menunjukkan bahwa dia benar-benar ingin Aiz berhasil dalam waktu singkat ini.
Aiz mengangguk dengan penuh tekad, meski ada sedikit kekhawatiran di matanya. "Aku akan berusaha keras, Shirou. Aku yakin bisa melakukannya," jawabnya dengan suara lembut namun penuh semangat. Bagi Aiz, tidak hanya kemampuan berenangnya yang menjadi fokus, tetapi juga rasa ingin membuktikan bahwa dia bisa mengatasi kelemahannya, terutama di hadapan Shirou.
***************
Selama tiga hari berikutnya, Aiz dan Shirou menjalani rutinitas yang tak berubah. Setiap subuh, sebelum matahari terbit, mereka bangun lebih awal dari anggota Loki Familia lainnya dan dengan diam-diam keluar dari penginapan. Aiz, yang biasanya pendiam dan tenang, tampak lebih semangat setiap pagi, dan Shirou memperhatikan hal itu dengan senyum kecil.
Mereka selalu berjalan bersama menyusuri jalan setapak menuju pantai terpencil yang jarang dilalui orang lain. Hutan yang hijau dan udara pagi yang segar menjadi teman perjalanan mereka setiap kali berangkat ke tempat latihan. Momen-momen ini menjadi waktu yang tak terucapkan, di mana mereka merasa lebih dekat satu sama lain meski tanpa banyak bicara. Kedamaian pagi dan keheningan di antara mereka membuat setiap langkah terasa hangat.
Setibanya di pantai, Shirou dengan sabar mengajarkan Aiz langkah demi langkah. Di hari pertama, Aiz masih kesulitan mengendalikan Little Ariel, membuatnya sering kehilangan keseimbangan dan kembali tenggelam ke dalam air. Namun, setiap kali Aiz tenggelam, Shirou selalu berada di dekatnya, memastikan dia baik-baik saja dan memberinya dorongan agar tidak menyerah.
Hari kedua, Aiz mulai menunjukkan perkembangan yang lebih signifikan. Meski sesekali masih tenggelam, dia bisa mengapung lebih lama dengan bantuan Little Ariel. Senyum kecil sesekali terlihat di wajah Aiz setiap kali dia berhasil mengapung tanpa bantuan Shirou. Shirou, di sisi lain, senang melihat kemajuan Aiz, merasa bangga atas usahanya yang keras.
Di hari ketiga, di mana waktu mereka di Melen hampir habis, Aiz akhirnya bisa berenang dengan lebih stabil. Meski Little Ariel masih ia gunakan untuk membantu, dia mulai mengerti bagaimana mengendalikan sihir itu dengan lebih halus. Setiap kali dia berhasil, mata emasnya bersinar penuh semangat, dan Shirou selalu tersenyum bangga setiap melihatnya berkembang.
Mereka menghabiskan pagi-pagi itu dengan penuh kebersamaan, menyaksikan matahari terbit di atas laut setelah latihan usai. Aiz, yang awalnya merasa malu dengan ketidakmampuannya berenang, kini tampak lebih percaya diri, terutama karena Shirou selalu ada di sisinya, memberikan dukungan yang ia butuhkan.
Setelah latihan berenang selesai dan mereka berganti pakaian, Aiz dan Shirou mulai berjalan kembali ke penginapan. Langit pagi yang cerah dan suara deburan ombak di belakang mereka menciptakan suasana yang damai. Selama perjalanan, Aiz tampak lebih bahagia daripada biasanya. Dengan senyum cerah, dia bercerita penuh semangat tentang kemajuannya dalam berenang. "Hari ini, aku bisa mengapung lebih dari sepuluh menit!" katanya, suaranya penuh kebanggaan. Wajahnya berseri-seri seperti anak kecil yang baru saja berhasil menyelesaikan tantangan besar.
Meskipun Shirou telah melihat sendiri bagaimana Aiz mengapung selama latihan, dia tetap tersenyum lembut dan berkata, "Selamat, Aiz. Itu kemajuan yang luar biasa." Kata-kata sederhana itu membuat Aiz semakin bersinar. Baginya, ucapan selamat dari Shirou memiliki arti yang mendalam, terutama karena dia merasa telah bekerja sangat keras untuk mencapai kemajuan tersebut.
Namun, setelah beberapa saat, senyum di wajah Aiz mulai memudar sedikit. Pikirannya mulai memikirkan kenyataan bahwa ini adalah hari terakhir mereka di Melen, yang berarti ini juga hari terakhir mereka berlatih berenang bersama. "Sayang sekali… ini hari terakhir kita belajar berenang di sini," ucap Aiz pelan, suaranya sedikit lebih sedih.
Melihat ekspresi Aiz yang mulai sedih, Shirou tidak bisa membiarkan hal itu. Dia tersenyum lembut dan menoleh ke arahnya. "Jangan khawatir, Aiz," katanya penuh kehangatan. "Kita bisa terus berlatih saat kembali ke Orario. Jika kau masih ingin belajar, aku dengan senang hati akan mengajarimu kapan saja."
Begitu Aiz mendengar kata-kata itu, ekspresinya berubah seketika. Matanya bersinar penuh kegembiraan, dan tanpa berpikir panjang, dia melonjak dengan gembira. "Benarkah?!" serunya, tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya. Tanpa sadar, dia memegang tangan Shirou, merasakan kegembiraan yang meluap. Aiz sangat jarang menunjukkan emosi sebesar ini, tapi momen itu menunjukkan betapa pentingnya kebersamaan mereka baginya.
Shirou, yang merasakan tangan Aiz menggenggam tangannya, terkejut sesaat, tapi kemudian tersenyum. Melihat Aiz begitu gembira membuatnya senang. "Tentu saja," jawabnya. "Kita bisa melanjutkannya kapan pun kau mau."
Mereka berdua melanjutkan perjalanan kembali ke penginapan dengan perasaan hangat di hati mereka, sambil saling berbagi tawa kecil sepanjang jalan.
Sambil berjalan di sepanjang jalan setapak menuju penginapan, Aiz tiba-tiba menoleh ke arah Shirou dan bertanya dengan rasa ingin tahu, "Di mana kita akan belajar berenang saat kembali ke Orario?" Matanya berbinar, menunjukkan betapa seriusnya dia memikirkan rencana mereka setelah meninggalkan Melen.
Shirou, yang tidak pernah mempertimbangkan hal itu sebelumnya, terdiam sejenak. Dengan wajah bingung, dia balik bertanya, "Apakah di Orario ada kolam renang?" Dia benar-benar tidak tahu tempat mana yang cocok untuk latihan berenang di kota besar seperti Orario. Tempat di sekitarnya penuh dengan dungeon, tempat berbahaya, dan tempat berkumpulnya para petualang, tapi kolam renang tidak pernah ada dalam pikirannya.
Aiz, yang mendengar pertanyaan itu, menggeleng pelan sambil berkata, "Aku... masih malu untuk belajar di tempat umum," suaranya sedikit lebih lembut kali ini. Ada perasaan enggan yang mendalam untuk dilihat oleh banyak orang saat dia masih berjuang belajar berenang, terutama karena dia adalah Aiz Wallenstein, Sword Princess yang dikenal kuat dan tak terkalahkan di medan pertempuran.
Melihat kegelisahan Aiz, Shirou mulai berpikir keras. Tempat apa yang cocok, yang bisa memberikan mereka privasi tetapi juga aman? Tidak mudah menemukan tempat seperti itu di Orario yang penuh dengan aktivitas. Shirou masih mencoba mencari solusi ketika tiba-tiba Aiz punya ide.
"Bagaimana kalau di lantai 25 dungeon?" usul Aiz dengan suara yakin. "Lantai itu dikenal sebagai Water City. Ada banyak air di sana, dan tidak terlalu ramai dengan petualang."
Shirou mengernyitkan dahi, memikirkan usul itu. Lantai 25? Dungeon? Meskipun tempat itu mungkin ideal untuk latihan berenang, ada satu masalah besar yang langsung terlintas di benaknya. "Bagaimana kalau ada monster yang muncul di sana saat kita sedang berlatih?" tanyanya, sedikit khawatir.
Namun, Aiz tampaknya tidak sedikit pun terganggu oleh kekhawatiran Shirou. Dengan percaya diri, dia membusungkan dadanya dan berkata dengan tenang, "Jangan khawatir. Aku bisa mengurus monster-monster itu sendiri." Nada bicaranya serius, dan wajahnya menunjukkan tekad yang tidak bisa digoyahkan.
Melihat Aiz begitu percaya diri membuat Shirou sedikit tersenyum. Tentu saja, ini adalah Sword Princess—orang yang telah mengalahkan banyak monster di dungeon, bahkan monster terkuat sekalipun. Dia tahu Aiz tidak akan kesulitan menghadapi ancaman apapun di lantai 25. "Baiklah," akhirnya Shirou setuju, meski masih ada sedikit kekhawatiran di benaknya. "Kalau begitu, kita bisa mencoba latihan di sana nanti."
Dengan semangat, Aiz mengangguk. Dalam hati, dia merasa bersemangat untuk melanjutkan latihan berenang, terutama karena Shirou akan terus mendampinginya.
Sesampainya di penginapan, Aiz dan Shirou melihat Lefiya sedang sibuk mengangkut barang-barang ke dalam kereta kuda yang terparkir di depan penginapan. Keringat tipis terlihat di dahinya saat dia memindahkan beberapa tas besar ke dalam kereta. Pemandangan ini membuat Aiz merasa ada yang tidak beres.
"Lefiya, kau sedang apa?" tanya Aiz penasaran, menghampiri Lefiya dengan langkah cepat. Shirou mengikuti di belakang, terlihat bingung dengan apa yang terjadi.
Lefiya menoleh sambil meletakkan satu tas besar di kereta. Wajahnya sedikit lelah tapi dia tersenyum kecil. "Kapten Finn baru saja mengumumkan kalau kita akan berangkat pagi ini untuk kembali ke Orario," jawab Lefiya sambil mengusap peluh di dahinya. "Semua anggota sudah diberitahu, dan kita akan segera berangkat."
Aiz dan Shirou terdiam sesaat. Mereka berdua sama sekali belum bersiap-siap, bahkan belum mengepak barang-barang mereka. Kepanikan mulai muncul di wajah Aiz. "Apa? Pagi ini? Aku belum beres-beres..." kata Aiz dengan nada yang sedikit panik. Wajahnya berubah gugup saat dia memikirkan barang-barangnya yang masih berantakan di dalam kamar.
Shirou juga ikut panik, menyadari bahwa mereka telah menghabiskan pagi ini di pantai, tanpa menyadari betapa sedikitnya waktu yang tersisa sebelum keberangkatan mereka. "Aku juga belum siap...," gumamnya pelan, meskipun dia berusaha tetap tenang.
Melihat mereka berdua yang tampak kebingungan, Lefiya tersenyum kecil, lalu dengan nada bercanda yang mengandung sedikit keusilan, dia menatap Shirou. "Ini semua salahmu, Shirou. Kau yang membuat Aiz lalai dan lupa kalau kita harus segera berangkat," ucapnya dengan sedikit nada marah yang jelas hanya untuk menggoda Shirou.
Aiz, yang mendengar hal itu, langsung merasa bersalah. Wajahnya memerah, dan dia segera menjawab, "Bukan, bukan salah Shirou. Aku yang mengajaknya keluar pagi-pagi," katanya dengan malu-malu, berusaha membela Shirou yang sebenarnya tak salah apa-apa. Wajah Aiz tampak merah, dan dia jelas merasa tak enak hati.
Lefiya hanya tertawa kecil, tetapi di balik tawanya ada sedikit nada cemburu yang tidak bisa dia sembunyikan. "Hah, seandainya aku tahu, aku ingin ikut juga...," ucapnya pelan, sedikit merajuk sambil melihat ke arah Shirou. Wajahnya menunjukkan bahwa dia merasa sedikit iri karena Aiz dan Shirou bisa menghabiskan waktu berdua saja tanpa memberitahunya.
Shirou, yang melihat situasi itu, tersenyum kecil dan merasa sedikit bersalah karena tidak melibatkan Lefiya. "Maaf, Lefiya. Lain kali kita pasti akan mengajakmu," ucapnya sambil mencoba menghiburnya.
Aiz, yang masih malu, mengangguk setuju. "Iya, Lefiya. Maaf...," tambahnya dengan suara lembut.
Lefiya yang masih merajuk, tiba-tiba menatap Aiz dengan tatapan penuh harap. "Aiz, ayo lakukan pinky promise denganku!" rengeknya sambil mengulurkan kelingkingnya ke arah Aiz. Mata Lefiya berbinar-binar, berharap bahwa janji ini akan mengikat mereka di kesempatan berikutnya.
Aiz, yang tidak terbiasa dengan permintaan seperti itu, tersenyum lembut. Tanpa ragu, dia mengelus kepala Lefiya dengan sayang. "Baiklah, aku janji," ucapnya sambil menautkan kelingkingnya dengan Lefiya. Sentuhan itu terasa penuh arti, dan janji sederhana itu membuat Lefiya tersenyum lebar, rasa cemburu kecilnya menguap sejenak.
Namun, Lefiya belum selesai. Dengan sedikit berani, dia kemudian menoleh ke Shirou, senyumnya berubah sedikit malu-malu. "Sekarang giliranmu, Shirou," katanya pelan sambil mengulurkan kelingkingnya ke arahnya. Wajahnya memerah saat mengatakan itu, tapi dia tetap menginginkan janji yang sama dari Shirou.
Shirou terkejut sejenak. Dia tidak terbiasa dengan hal semacam ini, dan tangannya sedikit ragu-ragu. Namun, melihat wajah Lefiya yang memerah penuh harapan, dia akhirnya mengulurkan kelingkingnya dan menautkannya dengan Lefiya. "Baiklah, aku juga berjanji," katanya dengan senyum kecil.
Tapi sebelum janji itu selesai, Shirou tiba-tiba mendekatkan wajahnya sedikit ke telinga Lefiya dan berbisik lembut, "Bukankah kita berdua sudah pergi berdua saat pasar malam kemarin?" Bisikannya itu mengingatkan Lefiya akan momen ketika mereka menghabiskan waktu bersama-sama di pasar malam di Melen beberapa hari yang lalu.
Mendengar bisikan itu, wajah Lefiya berubah semakin merah. Sadar bahwa Shirou mengingat waktu mereka berdua di pasar malam, Lefiya langsung tersipu malu. Dengan cepat dia menjawab, "Itu... itu urusan yang beda!" suaranya terdengar gugup, dan dia mencoba menutupi rasa malunya sambil menarik kembali tangannya dengan cepat.
Shirou tertawa kecil melihat reaksinya, sementara Aiz hanya melihat mereka dengan senyum tipis, tidak begitu mengerti apa yang sedang terjadi, tetapi merasa senang melihat kedua temannya bisa akrab seperti itu.
Lefiya, yang sudah selesai mengangkut barang-barangnya, menoleh ke arah Aiz dengan senyum lembut. "Aiz, aku sudah selesai beres-beres. Kalau kamu mau, aku bisa membantumu membereskan barangmu," tawarnya dengan penuh perhatian. Dia tahu bahwa Aiz dan Shirou mungkin belum sempat mengemas barang mereka karena sibuk dengan kegiatan pagi mereka.
Shirou, yang mendengar tawaran itu, juga merasa ingin membantu. "Aku juga bisa bantu. Lagipula, barang bawaanku tidak terlalu banyak," ucapnya dengan niat baik. Dia berpikir mungkin bisa meringankan beban Aiz dan Lefiya.
Namun, Lefiya yang merasa ada kesempatan untuk menggoda Shirou karena tadi dia yang digoda, langsung mengerling jahil ke arahnya. "Tunggu dulu," katanya dengan senyum nakal, "Aiz dan aku kan perempuan. Apakah kamu benar-benar ingin ikut masuk ke kamar kami? Apa kau ingin mengintip privasi Aiz?" Pertanyaannya itu diucapkan dengan nada menggoda, membuat Shirou tiba-tiba merasa canggung.
Aiz, yang biasanya tidak begitu reaktif terhadap hal-hal seperti ini, segera merasa perlu membela Shirou. Dengan wajah tenang, dia menjawab, "Shirou bukan tipe orang seperti itu, Lefiya. Dia bukan pengintip." Ucapannya sederhana tapi penuh keyakinan, membuat Lefiya sedikit terkejut karena Aiz jarang membela seseorang dengan begitu tegas.
Namun, meskipun Aiz membelanya, di dalam hati Shirou merasa sedikit bersalah. Ingatannya melayang pada momen-momen saat mereka berdua berlatih berenang. Meskipun itu tidak disengaja, dia ingat betapa seringnya dia tanpa sadar memandang ke arah tubuh Aiz selama latihan, terutama saat Aiz tenggelam dan membutuhkan bantuannya. Hal-hal kecil seperti itu membuatnya merasa agak canggung sekarang.
Dengan pipi yang sedikit memerah, Shirou segera merasa tidak nyaman. "Ehm, baiklah, aku akan membereskan barang-barangku dulu," katanya sambil menggaruk belakang kepalanya, berusaha mengalihkan perhatian dari situasi yang membuatnya malu. Setelah berpamitan dengan canggung, dia berjalan cepat menuju kamarnya sendiri untuk menghindari pembicaraan lebih lanjut tentang hal itu.
Lefiya hanya tertawa kecil melihat reaksi Shirou, sementara Aiz tetap terlihat bingung dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Shirou mencoba mengalihkan rasa malunya dengan fokus pada satu hal yang bisa ia kendalikan saat ini—membereskan barang-barangnya. Dengan cekatan, ia mulai memasukkan pakaiannya ke dalam tas, melipat setiap helai dengan hati-hati. Setelah semua pakaian tertata rapi, Shirou ingat satu hal yang penting. Ia berjongkok dan mengambil kotak oleh-oleh yang ia simpan di bawah kasurnya selama ini.
Kotak itu berisi miniatur kapal kayu yang ia beli di pasar malam bersama Lefiya beberapa hari yang lalu. Meski sederhana, oleh-oleh itu punya arti penting baginya—sebagai tanda kenangan dari Melen dan juga sebagai janji pada teman-temannya di Hostess of Fertility. Dengan hati-hati, ia memegang kotak tersebut dengan tangan kanannya, merasa lega karena semuanya sudah siap.
Setelah menyandang tas di bahunya dan menggenggam kotak oleh-oleh, Shirou keluar dari kamarnya menuju kereta barang di depan penginapan. Ia meletakkan tas dan kotaknya di antara barang-barang lainnya dengan hati-hati, memastikan semua aman untuk perjalanan pulang.
Setelah itu, Shirou naik ke salah satu kereta kuda penumpang yang sudah disiapkan untuk perjalanan. Ia duduk dengan nyaman di dalamnya, merasa lega setelah semua persiapan selesai. Waktu berlalu, dan anggota Loki Familia lainnya juga naik ke kereta masing-masing. Suara-suara kecil percakapan dan langkah kaki memenuhi udara pagi.
Beberapa saat kemudian, dari depan, terdengar suara Finn yang berwibawa. "Semua sudah siap? Kita akan segera berangkat!" serunya, memberikan isyarat bahwa perjalanan panjang menuju Orario akan dimulai. Suara roda kereta mulai berputar di atas jalan berbatu, dan perlahan, konvoi kereta pun mulai bergerak meninggalkan Melen, membawa mereka kembali ke kota besar tempat petualangan mereka berikutnya menanti.