Loki, yang sedang duduk santai, memandang Aiz dengan rasa penasaran. "Ngomong-ngomong, kenapa kau datang ke ruanganku tadi?" tanyanya sambil memainkan jari-jarinya.
Aiz mengeluarkan sebuah amplop dari balik bajunya dan menyerahkannya kepada Loki. "Aku menerima surat ini untukmu saat berada di luar tadi," jawab Aiz dengan suara tenangnya.
Mata Loki berbinar. Ia langsung mengenali surat tersebut sebagai undangan resmi untuk pesta yang akan datang. "Oh, jadi ini undangan untuk pestanya," gumamnya sambil membuka amplop dengan gerakan cekatan.
Melihat itu, Shirou merasa sudah waktunya untuk mengembalikan tuksedo yang dipakaikannya tadi. Ia memegang kerah tuksedonya dan berkata dengan sopan, "Kalau begitu, aku kembalikan tuksedo ini. Aku rasa tidak akan memakainya."
Namun, Loki hanya melambaikan tangannya, mengabaikan niat Shirou. "Tidak usah, tuksedo itu untukmu. Simpan saja," katanya sambil tersenyum licik. "Siapa tahu kau berubah pikiran atau butuh tuksedo untuk acara lain."
Shirou mengangguk pelan, sedikit terkejut namun juga berterima kasih. "Baik, terima kasih," ucapnya sebelum memutuskan untuk pamit.
Aiz dan Shirou pun izin untuk meninggalkan ruangan Loki. Saat mereka berjalan keluar, Aiz tiba-tiba berkata dengan nada yang lebih lembut. "Aku... masih merasa malu karena aku tidak pandai berdansa," akunya, sedikit tersipu. "Maukah kau menemaniku belajar? Aku ingin lebih baik saat nanti harus berdansa di pesta."
Shirou menoleh ke Aiz, tersenyum dengan lembut. "Tentu saja. Walaupun aku sendiri juga belum pandai, kita bisa belajar bersama," katanya. Walaupun ia sama-sama canggung saat berdansa, keinginan Aiz untuk belajar membuatnya ingin membantu.
Aiz tersenyum lebar, tampak senang. Matanya melirik ke arah tuksedo yang dikenakan oleh Shirou, lalu dengan nada penuh semangat dia berkata, "Kalau begitu, aku ingin mengganti baju dulu. Tunggu sebentar, ya?"
Shirou mengangguk sambil melihat Aiz berjalan pergi untuk mengganti bajunya. Di dalam hati, Shirou merasa ada sesuatu yang menyenangkan dalam kebersamaan mereka, meskipun dalam situasi yang sederhana seperti belajar berdansa.
Setelah beberapa saat, Aiz kembali dengan mengenakan sebuah gaun hijau muda yang memukau, dengan bagian belakang yang terbuka, menonjolkan keanggunannya. Sebuah kalung dengan liontin emerald menghiasi lehernya, berkilau lembut di bawah cahaya ruangan.
Shirou menatapnya, terkesima oleh kecantikan Aiz. Butuh beberapa detik baginya untuk sadar dan berkata, "Aiz, kau... kau terlihat luar biasa. Tapi kita hanya akan belajar berdansa, kau tak perlu berpakaian seperti ini."
Namun, Aiz hanya menggeleng dengan senyum tipis di wajahnya. "Tidak, Shirou. Kau sudah terlihat tampan dengan tuksedo itu, jadi setidaknya aku ingin serasi denganmu saat kita berdansa," katanya dengan jujur.
Shirou yang tak terbiasa dengan pujian seperti itu, terutama dari Aiz, merasa wajahnya sedikit memerah. Ia tersipu, lalu berdeham untuk menyembunyikan rasa malunya. "Terima kasih... Kalau begitu, di mana sebaiknya kita belajar?" tanyanya, berusaha mengalihkan perhatiannya dari kecantikan Aiz.
Aiz berpikir sejenak. Ia jelas tidak ingin orang lain melihat mereka berlatih berdansa, terutama jika mereka masih canggung. "Bagaimana kalau di pustaka?" sarannya. "Di sana ada ruang yang cukup lapang, dan mungkin lebih sepi. Kita bisa belajar dengan tenang."
Shirou mengangguk setuju. "Itu ide bagus. Mungkin kita juga bisa menemukan buku yang mengajarkan cara berdansa di sana," katanya sambil tersenyum.
Dengan keputusan itu, mereka berdua pun menuju pustaka Twilight Manor, siap untuk melanjutkan pelajaran dansa mereka di tempat yang lebih tenang dan tersembunyi.
Shirou dan Aiz bergerak perlahan menyelinap melewati lorong-lorong Twilight Manor, berusaha untuk tidak menarik perhatian. Mereka ingin memastikan bahwa tak ada seorang pun yang melihat mereka, terutama karena mereka akan berlatih berdansa—hal yang tak ingin mereka lakukan di depan anggota Familia lainnya. Langkah mereka senyap, meskipun rasa gugup menghantui keduanya.
Setibanya di pustaka, mereka berdiri di tengah ruangan yang luas dan sunyi. Rak-rak tinggi berisi buku-buku tebal mengelilingi mereka, namun suasana terasa tenang, jauh dari hiruk-pikuk luar. Shirou dan Aiz saling bertukar pandang, keduanya terlihat bingung harus memulai dari mana.
Aiz menatap rak buku di sekitar mereka, lalu berbicara dengan nada tenang, "Mungkin kita bisa mencari buku yang mengajarkan cara berdansa."
Shirou mengangguk setuju. "Ya, itu ide yang bagus. Mari kita coba cari," katanya sambil mulai memeriksa rak-rak di sekitarnya.
Mereka berdua mulai mencari, memeriksa deretan buku dengan hati-hati. Namun, setelah beberapa menit mencari, tidak ada satu pun buku yang cocok dengan topik dansa. Kebanyakan buku di pustaka itu adalah tentang sihir, sejarah, atau strategi pertempuran. Shirou menghela napas setelah membaca judul satu buku lagi yang tak ada hubungannya dengan dansa. "Sepertinya tidak ada buku yang kita cari di sini," katanya sambil menoleh ke Aiz.
Aiz tampak sedikit kecewa, tapi dia segera menatap Shirou dan berkata, "Mungkin kita bisa langsung mencobanya saja. Berdansa tanpa bantuan buku."
Shirou terdiam sebentar, lalu tersenyum kecil. "Baiklah," katanya sambil mengulurkan tangannya kepada Aiz, mengisyaratkan mereka untuk mencoba lagi.
Dengan sedikit ragu-ragu, Aiz meletakkan tangannya di tangan Shirou. Mereka kembali ke posisi berdansa seperti sebelumnya, dengan tangan Shirou di pinggang Aiz dan tangan Aiz di bahu Shirou. Perlahan-lahan, mereka mulai bergerak. Namun, seperti yang sudah diduga, mereka berdansa dengan kikuk. Shirou merasa kaku saat melangkah, dan Aiz, meskipun anggun dalam pertempuran, masih kesulitan menemukan ritmenya dalam dansa.
Mereka terus mencoba, berulang kali melangkah dengan canggung, saling menatap dengan sedikit senyum malu. Meski dansa mereka jauh dari sempurna, ada sesuatu yang menyenangkan dalam kebersamaan itu. Mereka mungkin tidak mahir, tapi setidaknya mereka belajar bersama, tanpa tekanan atau gangguan dari orang lain.
Saat Shirou dan Aiz sedang asyik berdansa—meski dengan gerakan yang masih kikuk—tiba-tiba terdengar suara dari belakang mereka. "Apa yang kalian lakukan di sini?" Suara itu tegas namun lembut, mengagetkan keduanya.
Shirou dan Aiz langsung berhenti dan menoleh ke arah suara itu. Ternyata, Riveria sudah ada di pustaka, diam-diam mengamati mereka. Ia memicikkan matanya, menatap pakaian serasi yang dikenakan Aiz dan Shirou. Di dalam hatinya, ada sedikit rasa cemburu yang perlahan muncul, meskipun wajahnya tetap tenang.
"Pustaka ini bukan tempat untuk berdansa," kata Riveria, suaranya tenang namun penuh peringatan. Ia melangkah lebih dekat, tatapannya tajam namun penuh perhatian.
Aiz, yang merasa malu karena tertangkap basah, dengan cepat menjawab. "Kami hanya... mau belajar berdansa untuk pesta nanti," katanya, suaranya sedikit gugup. "Aku malu dilihat orang lain, jadi aku pikir lebih baik melakukannya di sini."
Riveria memandang mereka sejenak sebelum menarik tangan Shirou dari Aiz. "Kalau begitu, biar aku yang mengajarimu," katanya dengan nada yang lebih serius, seolah menantang tanpa berkata langsung.
Tanpa menunggu jawaban, Riveria langsung mengajak Shirou untuk berdansa dengannya. Gerakannya jauh lebih elegan, penuh percaya diri, dan setiap langkah yang ia lakukan bersama Shirou terasa halus dan alami. Riveria menunjukkan teknik berdansa yang mahir, membuat Shirou terlihat lebih luwes, meskipun sedikit terkejut oleh perubahan drastis dari suasana yang sebelumnya canggung.
Aiz, yang tidak menyadari maksud tersembunyi dari tindakan Riveria, hanya berdiri di tempat dan menatap dengan kagum. "Hebat, Riveria!" katanya sambil bertepuk tangan kecil, benar-benar terpesona oleh gerakan anggun Riveria yang membuat berdansa tampak begitu mudah.
Sementara itu, di dalam hati Riveria, dia merasa puas telah menunjukkan bahwa dirinya lebih cocok berdansa dengan Shirou. Namun, wajahnya tetap tenang dan anggun, menjaga rahasia perasaannya yang lebih dalam terhadap Shirou.
Ketika tarian mereka selesai, Shirou merasa sedikit canggung. Riveria tersenyum tipis sambil melepas tangannya dari Shirou. "Begitulah caranya berdansa dengan benar," katanya sambil menatap Aiz, seolah mengingatkan bahwa dia, sebagai mentor Aiz, bisa mengajarkan lebih dari sekadar sihir dan strategi perang.
Aiz yang tidak ingin menyerah, dengan cepat mengambil kembali tangan Shirou. Ia menatap Riveria dengan harapan di matanya dan berkata, "Riveria, tolong ajarkan kami cara berdansa yang benar. Kami ingin melakukannya dengan baik untuk pesta nanti."
Riveria menahan diri agar tidak memperlihatkan perasaan cemburunya dan mencoba tetap tenang. Ia mendekati mereka dan mulai memperbaiki posisi tangan dan badan Shirou serta Aiz. "Shirou, letakkan tanganmu di sini, lebih santai tapi tetap kuat," katanya sambil menyesuaikan posisi tangan Shirou di pinggang Aiz. Lalu ia memperbaiki postur Aiz dengan lembut, "Aiz, bahumu jangan terlalu kaku. Ikuti irama dengan lembut."
Dengan sabar, Riveria memberikan instruksi dan memperhatikan setiap gerakan mereka. Perlahan tapi pasti, langkah-langkah Aiz dan Shirou mulai lebih selaras, dan tarian mereka semakin lancar. Mereka mulai menemukan ritme, dan gerakan yang sebelumnya kikuk kini mulai terasa lebih alami.
Namun, di dalam hati Riveria, rasa cemburu semakin tumbuh. Ia memandang Shirou yang kini berdansa dengan Aiz dengan lebih lancar, dan walaupun ia tahu bahwa Aiz adalah muridnya dan ia ingin yang terbaik untuknya, hatinya tidak bisa menolak perasaan tidak nyaman itu. "Aku harus menjaga imejku, meskipun menyakitkan melihat dia berdansa dengan perempuan lain... bahkan jika itu Aiz," pikir Riveria dalam hati, mencoba menekan perasaannya.
Ketika tarian mereka berakhir, Shirou tersenyum dan menoleh ke Riveria. "Terima kasih banyak, Riveria. Berkatmu, kami bisa lebih lancar."
Riveria hanya membuang muka sedikit, berusaha menyembunyikan perasaannya. "Kalian harus berlatih lebih giat agar lebih lancar di pesta nanti," katanya dengan nada datar, sebelum memutuskan untuk meninggalkan pustaka. "Aku akan pergi. Kalian bisa melanjutkan sendiri," ujarnya sambil berjalan keluar, meninggalkan Shirou dan Aiz yang masih berdiri di tengah ruangan.
Aiz tersenyum tipis, merasa beruntung karena Riveria bersedia mengajarkan mereka berdansa meskipun biasanya sangat sibuk. "Riveria benar-benar baik hati mau meluangkan waktu untuk kita," katanya, suaranya terdengar lega.
Shirou mengangguk setuju. "Ya, dia banyak membantu. Aku tak menyangka kita bisa belajar secepat ini," katanya sambil melihat sekeliling ruangan yang sunyi kembali setelah kepergian Riveria.
Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benak Shirou. "Aku punya sesuatu yang mungkin bisa membuat suasana ini lebih menyenangkan," katanya sambil mengangkat tangan dan mulai memproyeksikan sebuah benda. Dengan cahaya redup dari sihirnya, sebuah gramofon tua mulai terbentuk di tangannya. Gramofon itu terlihat antik, dengan piringan musik di atasnya, seolah-olah diambil langsung dari masa lalu.
Aiz memandang gramofon itu dengan penuh rasa penasaran. "Apa itu, Shirou? Aku belum pernah melihat sesuatu seperti itu," katanya dengan mata terbelalak.
Shirou tersenyum kecil, lalu menempatkan gramofon itu di atas meja dan memutar piringan musiknya. "Ini adalah salah satu alat dari dunia lamaku, dari kota tempat aku tinggal, Fuyuki. Dulu aku mencoba memperbaiki gramofon yang rusak seperti ini. Aku memutuskan untuk memproyeksikannya sekarang," jelasnya sambil menyalakan alat itu.
Begitu piringan berputar, suara musik klasik yang lembut mulai terdengar di seluruh ruangan. Melodi itu mengalun dengan anggun, menciptakan suasana yang tenang dan penuh nostalgia. Aiz terkesima, telinganya menangkap irama yang asing namun indah. "Lagu ini... luar biasa," gumamnya sambil menatap Shirou dengan kekaguman.
Shirou menoleh padanya, tersenyum hangat. "Ini adalah musik dari dunia lamaku. Aku pikir ini akan membantu kita untuk berdansa lebih baik," katanya. Ia lalu mengulurkan tangannya kepada Aiz. "Maukah kau berdansa lagi denganku?" tanyanya lembut.
Aiz mengangguk, matanya berbinar-binar. "Tentu saja," katanya, menerima tangan Shirou dengan perlahan. Mereka kembali berdansa, namun kali ini, diiringi oleh musik dari gramofon yang diproyeksikan Shirou. Langkah mereka semakin selaras dengan alunan musik, seakan melodi itu membawa mereka ke dalam dunia yang berbeda.
Aiz merasa lebih tenang sekarang, dan gerakannya pun lebih lancar. Ia mengikuti langkah Shirou dengan lebih mudah, sementara musik terus mengalun lembut di sekitar mereka. Shirou memimpin dengan hati-hati, merasa lebih percaya diri dengan adanya irama yang menemani mereka.
"Musik ini... membuat semuanya terasa berbeda," bisik Aiz pelan, suaranya hampir tenggelam di antara nada-nada indah dari gramofon. "Aku merasa seperti... sedang melayang."
Shirou tersenyum mendengar itu. "Musik memang memiliki kekuatan seperti itu," jawabnya sambil memutar Aiz perlahan. "Aku senang kau menyukainya."
Aiz hanya bisa tersenyum, hatinya terasa damai, jauh dari hiruk-pikuk latihan tempur atau tugas sehari-hari. Tarian itu bukan hanya tentang belajar langkah-langkah, tapi juga tentang menikmati momen bersama—sesuatu yang sederhana namun begitu berarti bagi mereka berdua.
Di sudut ruangan, gramofon itu terus memutar musik, seakan menjaga ritme tarian mereka yang kini terasa lebih halus dan alami. Dalam sekejap, ruang pustaka yang sunyi itu berubah menjadi tempat yang penuh kehangatan dan kebersamaan, hanya untuk mereka berdua.
Saat Aiz menikmati dansanya dengan Shirou diiringi alunan musik dari gramofon, ada perasaan hangat yang tiba-tiba menyelimuti hatinya. Langkah-langkah mereka yang perlahan dan irama musik yang lembut membuatnya teringat pada masa kecilnya. Saat itu, ibunya, Aria, sering menyanyikan lagu-lagu sebelum ia tidur. Kenangan akan suara lembut ibunya kembali mengisi pikirannya, membawa perasaan tenang dan damai yang sudah lama tak ia rasakan.
Tanpa disadari, Aiz mengaktifkan sihir Little Ariel. Angin lembut mulai menyelubungi tubuhnya, membuatnya melayang sedikit di atas lantai pustaka. Shirou, yang awalnya terkejut merasakan Aiz mulai melayang, segera menyesuaikan dirinya. Dia tetap tenang dan mengatur langkahnya, mengikuti irama serta pergerakan Aiz yang melayang di udara.
Mereka terus berdansa, seolah-olah mereka menari di atas awan. Shirou dengan hati-hati memutar Aiz, yang kini melayang di sekelilingnya, sementara angin Little Ariel membawa keduanya dalam putaran yang anggun. Aiz tampak seperti peri angin yang bebas, dan Shirou mengikuti gerakannya dengan harmoni sempurna.
Dansa itu berakhir ketika Aiz kembali ke dekapan Shirou, tubuhnya perlahan turun dari melayang. Wajah mereka begitu dekat, hanya beberapa inci terpisah. Keduanya diam dalam keheningan sejenak, saling menatap, menikmati momen kedekatan itu. Shirou bisa merasakan hembusan napas Aiz, dan hati keduanya berdegup lebih kencang.
Selama beberapa detik, waktu seakan berhenti. Mereka hanya berdiri di sana, terperangkap dalam suasana yang intim dan damai, seolah dunia di sekitar mereka tak lagi ada.
Namun, perasaan canggung akhirnya muncul di dalam hati Shirou. Wajahnya mulai memerah, dan dengan malu-malu, dia melepaskan Aiz dari dekapannya. Aiz, yang juga merasa tersipu, tersenyum tipis, menyadari betapa istimewanya momen yang baru saja mereka alami.
Shirou, yang wajahnya masih memerah akibat momen kedekatan tadi, mencoba mengalihkan rasa malunya dengan membuka pembicaraan. "Aiz, tadi itu... kamu menggunakan Little Ariel untuk berdansa, ya? Aku baru pertama kali melihatnya digunakan seperti itu," katanya, suaranya terdengar canggung namun penuh kekaguman.
Aiz tersenyum lembut, mengangguk pelan. "Iya, tanpa sadar aku mengaktifkannya. Sebenarnya, saat berdansa tadi aku teringat pada ibuku, Aria, yang sering bernyanyi untukku waktu aku kecil. Lagu-lagu itu selalu membuatku merasa tenang... dan mungkin itu sebabnya Little Ariel keluar dengan sendirinya," jawab Aiz, matanya sedikit menerawang, mengenang memori manis bersama ibunya.
Shirou, yang merasa suasana menjadi lebih hangat dan nyaman, memutuskan untuk mencandainya sedikit. "Sepertinya Little Ariel ini memang serba guna, ya? Selain bisa membantumu mengapung di air, sekarang ternyata bisa digunakan untuk berdansa juga," katanya dengan nada main-main.
Aiz terkekeh kecil, sebuah tawa yang jarang terdengar dari Sword Princess yang biasanya pendiam. "Aku tidak pernah memikirkannya begitu," balasnya, tatapannya lembut namun ceria. "Tapi... apakah saat aku melayang tadi, kamu merasa kesulitan untuk berdansa denganku?" tanya Aiz tiba-tiba, sedikit khawatir bahwa kemampuannya malah membuat dansa mereka jadi lebih sulit.
Shirou menggeleng cepat, sambil tersenyum hangat. "Tidak sama sekali. Malah, itu membuat dansa kita lebih istimewa," jawabnya dengan tulus. "Bahkan jika kamu terbang lebih tinggi lagi, aku akan tetap bisa berdansa denganmu," lanjut Shirou, suaranya mengandung keyakinan yang membuat Aiz merasa lebih tenang.
Aiz menatap Shirou dengan senyum yang lembut, perasaannya nyaman setelah mendengar kata-kata Shirou. "Kamu selalu bisa membuatku merasa lebih baik," bisik Aiz pelan, suaranya hampir tenggelam oleh keheningan pustaka yang tenang.
Shirou, yang masih merasa sedikit malu, hanya bisa tersenyum sebagai balasan, merasa bahwa momen ini begitu berharga untuk keduanya.
Aiz tersenyum lembut, menatap Shirou dengan penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Shirou. Berkatmu, aku sudah siap untuk berdansa malam nanti," katanya, nadanya terdengar lebih percaya diri dari sebelumnya.
Shirou, yang awalnya merasa lega melihat Aiz senang, tiba-tiba merasakan ada yang tidak nyaman di dalam hatinya. Meski dia sendiri memutuskan untuk tidak ikut ke pesta, bayangan Aiz yang berdansa dengan laki-laki lain sedikit membuatnya gelisah. Tapi Shirou segera membuyarkan pikiran itu. "Ini bukan urusanku," gumamnya dalam hati, mencoba menenangkan diri.
Dengan senyuman kecil, Shirou menjawab, "Sama-sama, Aiz. Semoga dansamu lancar nanti malam." Mereka berdua kemudian saling berpamitan dengan rasa saling menghargai.
Setelah berpisah, Shirou berjalan kembali menuju kamarnya. Ketika sampai di depan pintu, dia melihat sebuah surat jatuh dari selipan pintu. Dengan penasaran, Shirou mengambil surat itu dan membukanya.
Isi surat itu singkat, namun jelas: "Datanglah ke gudang di sudut taman Twilight Manor, nanti malam."
Shirou langsung mengenali gaya tulisan itu. "Ini pasti dari Riveria," pikirnya. Shirou sudah beberapa kali mengajarkan Riveria Magecraft di gudang tersebut, jadi tidak aneh jika dia mengirim pesan rahasia seperti ini. Shirou mulai berpikir apa yang akan mereka pelajari malam ini.
Dengan rasa penasaran, Shirou menyimpan surat itu dengan rapi dan mulai bersiap untuk malam nanti. Ada sesuatu yang terasa penting dalam undangan itu, dan dia tahu Riveria tidak akan mengirim pesan tanpa alasan yang mendesak.