Sementara itu, Shirou duduk di kamarnya, ia mulai memutar ulang kejadian kemarin di pikirannya. Berbaring di atas kasur, pandangannya menerawang ke langit-langit, terhanyut dalam ingatan yang begitu jelas.
Pertama, ia teringat bagaimana dekatnya ia dengan Riveria tadi malam. Momen-momen ketika Riveria dengan kecantikan dewasa dan sikap anggunnya terlihat berbeda dari biasanya. Bukan hanya sebagai sosok pimpinan Loki Familia yang dihormati, tetapi sebagai seorang wanita yang tiba-tiba menjadi begitu dekat dan hangat. Kecantikan yang selalu ia lihat tampak lebih menonjol semalam, membuat Shirou merasa gugup. Bagaimana Riveria berbaring di pangkuannya, bagaimana dia menggoda dengan canda ringan, serta senyum penuh makna di wajahnya—semua itu seolah memberitahu Shirou bahwa ada sesuatu yang lebih dalam yang mungkin dia rasakan.
Namun, di balik semua itu, Shirou tak bisa melupakan dansanya dengan Aiz. Saat mereka berdansa bersama, ia merasakan kecanggungan yang manis, sebuah keintiman yang muncul tanpa mereka sadari. Bagaimana Aiz terlihat begitu cantik dalam gaun hijaunya, cara ia berusaha untuk belajar berdansa, dan saat Little Ariel membawanya melayang. Ada momen ketika mereka hampir bersentuhan wajah—momen yang membuat jantung Shirou berdegup kencang. Dalam detik-detik itu, ia merasakan kedekatan yang lebih dari sekadar teman seperjuangan.
Shirou menutup matanya, wajahnya memerah saat pikirannya berkelana lebih jauh. Apakah mungkin kedua wanita itu tertarik kepadanya? Ia merasa canggung memikirkan hal itu. Sejak tiba di Orario, ia selalu fokus pada misi dan tantangan yang dihadapinya, tidak pernah mengira akan ada perhatian dari mereka. Tapi, melihat bagaimana Aiz dan Riveria bersikap akhir-akhir ini, Shirou mulai berpikir... mungkin ada sesuatu yang berbeda.
"Apakah mungkin mereka...?" gumam Shirou dalam hatinya, merasa semakin malu dengan pemikirannya sendiri. Shirou belum terbiasa dengan perhatian seperti ini, dan ia tak tahu harus merespons bagaimana. Tapi satu hal yang pasti—kedua wanita itu telah meninggalkan kesan yang dalam di hatinya.
Lalu, Shirou mengalihkan pikirannya ke sosok lain yang tak kalah penting dalam kehidupannya—Lefiya, Elf berambut coklat yang selalu memberinya kenyamanan dan ketenangan. Senyum Lefiya, yang penuh dengan kelembutan dan kehangatan, selalu mampu mencairkan kecanggungan dalam setiap percakapan mereka.
Ia mengingat saat mereka jalan-jalan berdua di Melen, menikmati suasana malam yang tenang, diiringi desiran ombak dan pemandangan indah pantai. Bagaimana Lefiya dengan semangat berbicara tentang hal-hal kecil, menemaninya menyusuri kota. Semua itu terasa begitu alami, seolah-olah mereka sudah lama mengenal satu sama lain. Di tengah perjalanan itu, ada momen yang membuat Shirou teringat dengan jelas.
Waktu itu, Lefiya tiba-tiba berkata, "Bukankah bulan ini begitu indah?" Kalimat sederhana yang membuat Shirou terdiam. Dalam hati, Shirou langsung teringat ungkapan dari dunianya, "Tsuki ga kirei desu ne," sebuah ungkapan yang digunakan sebagai pengakuan cinta di Jepang. Wajahnya memerah seketika, mengira Lefiya sedang mengutarakan perasaannya. Namun, ketika Shirou membalas dengan canggung, "Aku bisa mati bahagia," Lefiya hanya tertawa bingung, tak menyadari kebingungan Shirou. Saat itu, Shirou sadar bahwa ia telah salah mengartikan kata-kata Lefiya, dan rasa malu langsung menyergap dirinya.
Kini, mengenang kembali momen tersebut, Shirou merasa takut untuk kembali salah mengartikan perasaan orang lain. Ia khawatir apakah ia mungkin juga salah memahami perhatian yang ditunjukkan oleh Aiz dan Riveria kepadanya. Apakah itu sekadar perhatian teman, atau ada sesuatu yang lebih dari itu?
Rasa nyaman yang selalu ia rasakan ketika bersama Lefiya, kehangatan yang diberikan Aiz, serta kedewasaan yang mempesona dari Riveria—semua perasaan itu bercampur aduk dalam pikiran Shirou. Ia takut membuat kesalahan seperti saat dengan Lefiya, takut terlalu cepat berasumsi bahwa mereka mungkin memiliki perasaan yang sama terhadapnya.
"Aku tak ingin salah lagi...," pikir Shirou, merasa ragu apakah dia harus membaca sinyal dari Aiz dan Riveria dengan cara yang berbeda. Sebab, terkadang, perasaan bisa disalahartikan, dan Shirou tak ingin membuat hubungan dengan mereka menjadi canggung hanya karena kesalahpahaman.
Shirou menghela napas panjang, menatap ke luar jendela kamar di Twilight Manor. Pikirannya penuh dengan kebingungan dan perasaan campur aduk. Meskipun beberapa peristiwa belakangan ini membuatnya merasa sedikit tersanjung, ia juga tak bisa menghindari perasaan malu dan ragu yang mendalam.
Dengan hati yang penuh keraguan, Shirou mulai memikirkan kemungkinan kecil jika benar Aiz, Riveria, dan Lefiya menyimpan perasaan khusus terhadapnya. Dalam pikirannya, ketiganya memiliki kepribadian dan pesona masing-masing yang tak bisa dipungkiri.
Aiz, dengan keberaniannya yang luar biasa dan kecantikan yang sederhana namun memikat, selalu menunjukkan kepedulian yang tulus. Setiap kali mereka bersama, ia selalu merasa terhubung dengannya, terutama sejak mereka mulai latihan berenang bersama di Melen. Momen-momen itu, meskipun penuh dengan tawa dan kecanggungan, membuat mereka semakin dekat. Namun, di balik senyum manis Aiz, ia tak bisa membaca sepenuhnya apakah Aiz hanya melihatnya sebagai teman latihan atau ada perasaan lebih.
Kemudian, ada Riveria. Riveria yang penuh dengan karisma dan kedewasaan, telah menunjukkan sisi lembut dan hangatnya yang jarang dilihat oleh orang lain. Selama mengajarkan Magecraft kepada Riveria, Shirou menyaksikan bagaimana seorang pemimpin yang biasanya tegas, mampu membuka hatinya. Momen mereka bersama di gudang baru-baru ini begitu intim, di mana Riveria dengan malu-malu menunjukkan sisi yang lebih feminin, bahkan menggoda. Shirou merasa terpesona oleh kecantikan dan kelembutan yang jarang Riveria tampilkan. Namun, dia tak bisa memastikan apakah itu hanyalah ungkapan dari rasa syukur atas bantuannya, atau sesuatu yang lebih mendalam.
Dan terakhir, ada Lefiya, yang selalu berhasil membuatnya merasa nyaman. Lefiya adalah seseorang yang senantiasa mendukungnya, dengan senyumnya yang manis dan perhatian yang lembut. Kedekatan mereka saat jalan-jalan di Melen terasa sangat alami, meski terkadang diwarnai kecanggungan. Walaupun Shirou pernah salah memahami ungkapan Lefiya tentang bulan, momen itu tetap tertinggal di pikirannya. Lefiya memiliki sisi polos dan jujur yang membuat Shirou selalu ingin melindunginya.
Namun, meskipun Shirou mungkin merasa terhubung dengan masing-masing dari mereka, ia tak ingin mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh. Dia tak bisa memutuskan, dan itu membuatnya gelisah. Ketiganya memiliki tempat yang istimewa dalam hatinya, dan Shirou sadar bahwa jika ia memilih salah satu, ada kemungkinan besar akan ada hati yang terluka. Dan itu adalah hal terakhir yang ingin dia lakukan.
"Oleh karena itu, aku akan menunggu," gumam Shirou pelan pada dirinya sendiri, memantapkan hati. "Aku akan menerima yang pertama mengungkapkan perasaannya padaku."
Namun, di balik keputusan itu, ada perasaan bersalah yang menghantui Shirou. Ia sadar bahwa menunggu salah satu dari mereka untuk mengungkapkan perasaan berarti ia menggantung perasaan mereka. Dia tak ingin membuat mereka terus menerus menebak-nebak, atau malah membuat mereka berpikir bahwa Shirou tak menyadari tanda-tanda yang mungkin sudah mereka tunjukkan.
"Ini semua terasa begitu rumit," pikir Shirou. "Aku tak ingin menyakiti mereka... tapi aku juga tak tahu harus memilih siapa."
Dengan perasaan tak menentu, Shirou tahu bahwa apa pun keputusannya nanti, itu akan berdampak pada hubungan mereka bertiga. Dan itu adalah beban yang cukup berat untuk ditanggung, terutama ketika ia tidak ingin ada yang terluka di akhir cerita ini.
Shirou duduk di tepi tempat tidurnya, pikirannya melayang jauh ke masa lalunya—lebih tepatnya, ke Tohsaka Rin. Perasaan cinta yang pernah ia rasakan terhadapnya terasa jauh lebih sederhana dibandingkan kebingungan yang ia rasakan sekarang. Saat itu, semuanya hanya berpusat pada satu orang, yaitu Rin. Hubungan mereka, walau rumit karena situasi dan kondisi Holy Grail War, tetap terasa lebih mudah dipahami.
Shirou mengingat bagaimana ia mengungkapkan perasaannya kepada Rin, tanpa terlalu banyak pertimbangan atau keraguan. Ia hanya berbicara apa adanya, mengikuti apa yang ia rasakan. Walaupun hubungannya dengan Rin diwarnai oleh pertempuran dan pengorbanan, mereka saling memahami satu sama lain. Tidak ada kebingungan yang kompleks seperti yang ia rasakan sekarang dengan Aiz, Riveria, dan Lefiya.
Namun, semakin lama Shirou memikirkan Rin, semakin dalam rasa khawatir menyelimutinya. Bagaimana kabar Rin sekarang? Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia merindukan Shirou? Atau mungkin, apakah dia menangis mengingat dirinya?
Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui Shirou, tetapi ia juga tahu satu hal yang pasti: Rin bukanlah tipe orang yang akan membiarkan dirinya tenggelam dalam kesedihan. Rin adalah orang yang kuat, mandiri, dan cerdas. Dia tidak akan membiarkan kepergian Shirou menghancurkan hidupnya. Tapi meski begitu, Shirou tak bisa menyingkirkan pikiran tentang bagaimana Rin mungkin berjuang sendirian, menjalani hidupnya tanpa dia di sisinya.
Shirou tahu bahwa jika Rin bisa mendengar pikirannya sekarang, dia pasti akan menyuruhnya untuk bergerak maju. "Jangan berpikir tentang masa lalu, Shirou," mungkin itu yang akan dikatakannya. Rin tak akan mau Shirou terus-menerus meratapi hal-hal yang tidak bisa diubah. Dia akan mendorongnya untuk fokus pada masa kini, pada orang-orang yang ada di hadapannya sekarang.
Shirou menarik napas dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Dia tahu bahwa dia tidak bisa terus-menerus terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya dengan Rin. Dunia tempat ia berada sekarang benar-benar berbeda, dan meskipun ia selalu akan memiliki kenangan indah tentang Rin, dia harus bergerak maju.
"Mungkin benar," gumam Shirou pada dirinya sendiri. "Kalau Rin tahu aku terus memikirkan ini, dia pasti marah dan menyuruhku untuk melanjutkan hidup. Tidak adil bagiku dan bagi mereka yang ada di sini."
Dengan pemikiran itu, Shirou berusaha memantapkan hatinya. Dia tahu bahwa dunia tempatnya berada sekarang memerlukan fokus dan perhatian penuh, terutama mengingat hubungannya dengan Aiz, Riveria, dan Lefiya. Meski masa lalunya dengan Rin masih berarti baginya, Shirou tahu bahwa dia harus menerima kenyataan bahwa hidupnya sekarang berbeda—dan mungkin, itu saatnya untuk benar-benar membuka hati pada masa depan yang baru, di dunia yang berbeda.
"Tidak mudah untuk move on," pikirnya. "Tapi kalau Rin bisa melakukannya, aku juga bisa."
Shirou keluar dari kamarnya dengan pikiran yang masih penuh kebingungan tentang bagaimana dia harus memperlakukan tiga perempuan yang mungkin tertarik padanya: Aiz, Riveria, dan Lefiya. Dia memutuskan untuk sementara menjaga jarak dan membiarkan status quo bertahan, tidak ingin membuat salah satu dari mereka terluka atau merusak hubungan yang sudah terjalin.
Saat Shirou berjalan menuju ruang makan, dia melihat Aiz duduk di sana dengan pakaian kasual. Senyum kecil terulas di wajahnya saat dia menghampiri Aiz dan duduk di sebelahnya. "Pagi, Aiz," sapanya. "Gimana? Kamu menikmati pestanya kemarin?"
Aiz menoleh ke arah Shirou dan memberikan anggukan kecil. "Pestanya... cukup baik. Aku menemani Loki ke pesta di Mansion Apollo Familia," katanya dengan nada datar seperti biasa, meskipun ada sedikit keraguan dalam suaranya.
Shirou mengangguk, mencoba untuk bersikap santai. "Wah, pasti seru ya. Ada banyak dewa dan dewi di sana, kan?"
Aiz menganggukkan kepalanya lagi, tapi kali ini ada sesuatu yang membuatnya sedikit tersipu. "Aku... juga berdansa dengan Bell," katanya pelan.
Shirou mendengar nama Bell dan tersenyum kecil. Dia sudah lama mengenal Bell, dan tahu betapa pemuda itu sangat menghormati Aiz. "Oh, iya? Bagaimana rasanya berdansa dengannya?"
Aiz terdiam sejenak, lalu tiba-tiba matanya tampak sedikit malu. "Sebenarnya... waktu aku berdansa dengannya, aku mengingat bagaimana kita berdansa sebelumnya," kata Aiz sambil melirik Shirou sekilas. "Dan... tanpa sengaja, Little Ariel aktif."
Shirou hampir tertawa mendengarnya. Dia bisa membayangkan Bell yang tidak siap dengan kekuatan sihir angin Aiz tiba-tiba aktif. "Jadi, apa yang terjadi dengan Bell?"
Aiz menundukkan kepalanya sedikit, dan ada sedikit senyum malu di wajahnya. "Dia terkejut... lalu jatuh," katanya dengan pelan.
Shirou menahan tawanya kali ini, meski dia merasa kasihan pada Bell yang harus menghadapi Aiz dan kekuatan sihirnya yang luar biasa. "Aku bisa bayangkan ekspresi wajahnya saat itu," kata Shirou sambil tertawa kecil.
Aiz tersenyum tipis, sedikit lega karena Shirou tidak mempermasalahkan kejadian itu. "Aku tidak bermaksud membuatnya terjatuh," katanya pelan, nadanya menunjukkan sedikit penyesalan.
Shirou menggelengkan kepalanya. "Aku yakin Bell baik-baik saja. Dia pasti hanya terkejut, tapi aku tahu dia pasti tetap senang bisa berdansa denganmu."
Aiz tersenyum lebih lebar kali ini. "Aku harap begitu," jawabnya pelan. Tapi di dalam hatinya, ada perasaan hangat saat mengingat bagaimana perasaannya saat berdansa dengan Shirou—sesuatu yang jauh berbeda dari dansanya dengan Bell.
Aiz kemudian berubah serius, tatapan matanya sedikit mengeras saat dia mulai bercerita. "Ada sesuatu yang lebih penting dari pesta tadi malam," katanya. Shirou yang melihat perubahan nada bicara Aiz menoleh penuh perhatian.
"Apollo menantang Hestia untuk War Game."
Shirou mengerutkan kening dan bertanya, "War Game? Apa itu?"
Aiz menjelaskan dengan tenang, "War Game adalah semacam pertempuran besar antara Familia. Seringkali itu dilakukan ketika ada perselisihan besar, dan biasanya disetujui oleh Guild. Kedua pihak bertarung dalam skenario yang sudah ditentukan, seperti penyerangan kastil atau duel. Pihak yang menang biasanya mendapatkan hak atau kekuasaan tertentu atas pihak yang kalah."
Mendengar hal itu, Shirou mulai mengerti, tapi kemudian dia mengerutkan kening lebih dalam. "Tapi, kenapa Apollo menantang Hestia? Apa yang diinginkannya?"
Aiz melanjutkan dengan tenang, meski ada sedikit ketegangan di suaranya. "Apollo ingin merebut Bell dari Hestia Familia. Dia terobsesi padanya."
Shirou terkejut. "Merebut Bell? Apa dia bisa melakukan itu?"
Aiz mengangguk pelan. "Dalam War Game, Familia pemenang bisa mendapatkan hak untuk merekrut anggota dari Familia yang kalah. Jadi, jika Hestia kalah, Bell bisa dipaksa untuk bergabung dengan Apollo Familia."
Shirou mulai merasa cemas. Dia tahu betapa pentingnya Bell bagi Hestia, dan betapa kuat hubungan mereka berdua. "Tapi... Hestia Familia hanya punya satu anggota, kan? Hanya Bell. Sedangkan Apollo Familia... mereka lebih besar dan kuat dibandingnya."
Aiz mengangguk setuju. "Itu yang membuatku khawatir. Apollo punya banyak anggota, dan mereka semua lebih berpengalaman. Bell mungkin kuat, tapi dia masih level dua. Menghadapi Familia sebesar itu dalam War Game adalah sesuatu yang hampir mustahil."
Shirou menghela napas panjang, perasaannya semakin berat. "Lalu, apa yang terjadi? Hestia tidak mungkin setuju dengan pertarungan yang tidak adil seperti itu."
Aiz tersenyum tipis. "Tepat. Hestia menolak tantangan itu."
Shirou sedikit lega mendengar itu, meski masih ada kekhawatiran di dalam hatinya. "Kalau begitu, War Game-nya tidak akan terjadi?"
Aiz menggeleng pelan. "Setidaknya untuk sekarang. Tapi aku tidak yakin Apollo akan menyerah semudah itu. Dia benar-benar terobsesi dengan Bell."
Shirou termenung sejenak, memikirkan situasi tersebut. Apollo Familia adalah Familia besar, dan meskipun Hestia menolak, Shirou tahu bahwa Apollo bisa saja mencoba cara lain untuk mendapatkan Bell.
"Aku harap Bell baik-baik saja," gumam Shirou, meskipun dia tahu bahwa masalah ini mungkin belum berakhir.
Setelah Shirou selesai menikmati sarapannya, suasana di Twilight Manor mendadak berubah ketika Tiona berlari masuk ke dalam ruangan dengan napas terengah-engah. "Ada kabar penting!" serunya. Semua mata langsung tertuju padanya, merasa ada sesuatu yang genting.
"Apa yang terjadi, Tiona?" tanya Finn, sementara Shirou dan Aiz juga menoleh penuh perhatian.
"Apollo Familia... mereka sudah mengepung Hestia Familia!" jawab Tiona dengan serius, wajahnya penuh dengan kekhawatiran.
Shirou dan Aiz langsung bangkit dari tempat duduk mereka. "Kita harus pergi membantu mereka!" seru Shirou, rasa tanggung jawabnya untuk membantu Bell dan Hestia semakin kuat.
Namun, sebelum mereka sempat bergerak, Finn mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk berhenti. "Tunggu," perintahnya dengan tegas. "Kalian berdua harus tetap di sini."
Aiz, yang sangat menghormati Finn, menuruti perintah tanpa banyak bertanya, meskipun dari sorot matanya terlihat kekhawatirannya terhadap Bell. Namun, Shirou tidak bisa menerima perintah itu begitu saja. Rasa frustrasi dan kekesalannya mulai membara di dalam dirinya.
"Apa maksudmu, kita harus diam saja?" Shirou bertanya dengan nada keberatan. "Kalau kita punya kekuatan untuk membantu, kenapa kita harus tinggal diam di sini?"
Finn sedikit terkejut dengan sikap Shirou yang langsung mempertanyakan perintahnya. Dia menyadari bahwa meskipun Shirou adalah anggota baru Loki Familia, hasratnya untuk melindungi orang lain begitu besar. Namun, Finn tetap tenang, dan setelah beberapa detik berpikir, dia menjelaskan dengan suara tegas tapi penuh kesabaran.
"Kamu harus memahami sesuatu, Shirou," kata Finn sambil menatap lurus ke matanya. "Loki Familia dan Freya Familia adalah yang terkuat di Orario. Kita tidak bisa sembarangan campur tangan dalam urusan Familia yang lebih lemah. Aturan ini sudah ada sejak era Zeus dan Hera Familia dulu untuk mencegah terjadinya tirani. Kalau kita ikut campur sekarang, itu bisa dianggap sebagai penyalahgunaan kekuatan."
Shirou mengepalkan tangannya kuat-kuat, masih merasa kesal dan tidak puas. Baginya, kekuatan yang dia peroleh, level yang dia capai, bukan untuk tinggal diam sementara orang lain menderita. Bell adalah temannya, dan Hestia adalah dewi yang baik. Bagaimana mungkin dia bisa membiarkan mereka menghadapi situasi seperti ini tanpa bantuan?
Shirou memandang Finn dan berkata dengan suara rendah tapi penuh tekad, "Aku tidak bertarung selama ini dan menjadi lebih kuat, hanya untuk diam di tempat sementara orang-orang yang aku kenal dalam bahaya."
Finn menatap Shirou dalam-dalam, mengagumi semangat yang dimilikinya. "Aku mengerti perasaanmu," kata Finn dengan nada yang lebih lembut. "Tapi ada kalanya kita harus memilih kapan kita bisa terlibat dan kapan kita harus menahan diri. Percayalah, Hestia Familia harus menghadapi tantangan ini sendiri. Jika kita terlibat, itu akan mengubah segalanya, dan mungkin memperburuk situasi."
Shirou masih diam, tatapannya kosong memikirkan kata-kata Finn. Di dalam hatinya, dia tahu kalau Finn benar, tetapi perasaan tidak berdaya itu membuatnya semakin gelisah.
Meskipun Finn sudah berusaha menenangkan Shirou, perasaan khawatir yang mendalam masih bergemuruh di dalam hati Shirou. Setiap kata yang Finn ucapkan tentang aturan dan batasan terasa benar, tetapi dorongan hati Shirou untuk melindungi orang lain, terutama Bell, terus memanggilnya. Hatinya berkonflik antara tanggung jawabnya sebagai anggota Loki Familia dan instingnya yang selalu ingin menyelamatkan orang lain tanpa peduli konsekuensinya.
Shirou mulai berpikir, "Kalau aku bukan anggota Loki Familia, apakah aku akan lebih bebas bergerak?" Pikiran itu membuatnya semakin frustrasi. Dia sangat menghargai teman-teman barunya di Loki Familia, tapi beban ini semakin menekan hatinya. Dia tak ingin menyulitkan mereka, namun di sisi lain, dia tak bisa membiarkan Bell menghadapi bahaya sendirian.
Dengan tekad yang tiba-tiba muncul, Shirou menatap Finn dengan serius dan berkata, "Orang lain tak akan tahu kalau anggota Loki Familia terlibat... apabila mereka tidak mengetahui identitasku."
Sebelum Finn sempat menjawab, Shirou menutup matanya sejenak dan merapal mantra dalam hatinya. "Trace on." Cahaya samar muncul di sekitarnya, dan dalam sekejap, Shirou memproyeksi topeng milik Hassan ibn Sabbah serta jubah hitam yang menyembunyikan dirinya sepenuhnya.
Dengan kecepatan luar biasa, dia mengaktifkan Presence Concealment, teknik yang membuatnya hampir tidak terlihat. Dalam diam, Shirou melompat dari jendela ruangan dengan gerakan yang begitu cepat dan lincah sehingga dalam hitungan detik dia sudah menghilang di balik bayang-bayang gedung.
Aiz yang melihat tindakan Shirou langsung ingin mengejarnya. "Shirou!" serunya, tetapi langkahnya tertahan oleh Finn.
"Jangan," kata Finn sambil mengangkat tangannya, mengisyaratkan Aiz untuk berhenti. "Biarkan dia pergi."
"Tapi dia—"
Finn menggelengkan kepalanya dengan tenang. "Aku yakin dia akan menjaga identitasnya tetap tersembunyi. Kita sudah lihat sendiri, dia lebih dari mampu untuk itu."
Aiz memandang jendela yang sekarang kosong, hatinya dipenuhi kekhawatiran. Namun, dia tahu Finn benar. Shirou memiliki kemampuan yang unik dan sangat terampil dalam bersembunyi seperti yang dia lakukan saat baru masuk Loki Familia, tetapi meskipun begitu, hati Aiz masih tidak tenang.
Sementara itu, Shirou melesat di antara atap-atap bangunan dengan kecepatan luar biasa, menyelinap di balik bayang-bayang tanpa suara. Dalam kegelapan, dia bukan lagi Shirou Emiya, anggota Loki Familia. Dia adalah sosok tanpa nama, seorang pembunuh bayangan, siap untuk melindungi Bell tanpa melanggar aturan yang membatasinya.