Shirou bergerak cepat dan tenang di bawah naungan malam, menyelinap ke dalam markas Soma Familia. Dengan Presence Concealment yang diaktifkan, dia seperti bayangan yang tak terlihat oleh mata manusia. Setiap langkahnya dipikirkan dengan hati-hati, sementara kemampuannya sebagai petualang level 4 memungkinkannya untuk mengelak dari penjaga dengan mudah, bergerak di antara celah-celah dan sudut yang gelap.
Setelah berhasil masuk ke dalam markas, Shirou mulai memperhatikan keadaan sekitar, telinganya menangkap setiap suara samar yang ada. Saat bersembunyi di balik pilar batu besar, dia mendengar percakapan dua penjaga yang berdiri tidak jauh darinya.
"Kudengar mereka menyekap salah satu anggota kita di bawah tanah," kata salah satu penjaga dengan nada setengah berbisik.
"Ya, dia sudah lama di sana. Aku dengar dia mengkhianati Soma Familia. Entah bagaimana dia terlibat dengan Apollo," jawab yang lain.
Mendengar itu, jantung Shirou berdegup cepat. Pikirannya langsung melayang ke Lily, khawatir kalau dialah yang dimaksud. Tak ingin membuang waktu, Shirou bergerak cepat, meninggalkan bayangan di belakangnya.
Dengan langkah ringan yang nyaris tak terdengar, Shirou menuju ke arah yang disebutkan oleh penjaga itu—ruang bawah tanah yang gelap di bagian belakang markas. Ruangan itu tersembunyi, terlindung oleh lorong-lorong panjang yang dijaga ketat. Namun, bagi Shirou yang bergerak bak angin tanpa suara, semua itu tidak menjadi halangan.
Setibanya di depan pintu bawah tanah, Shirou menatap kunci yang kokoh di depannya, tapi itu bukan masalah bagi Shirou. Dalam sekejap, dia memproyeksikan kunci yang cocok untuk membuka pintu tersebut. Setelah memastikan bahwa tak ada seorang pun yang melihat, Shirou membuka pintu perlahan dan masuk ke dalam kegelapan ruang bawah tanah, mencari Lily, yang mungkin sedang berada dalam bahaya.
Shirou menemukan Lily di dalam sebuah sel penjara besi yang terletak di sudut ruang bawah tanah. Cahaya temaram dari obor yang terpasang di dinding memberikan suasana yang suram. Di hadapan sel tersebut, seorang penjaga berdiri, mengawasi dengan malas, tidak menyadari kehadiran Shirou yang menyelinap di balik bayangan.
Dengan cepat dan tanpa suara, Shirou memproyeksikan Kanshou, salah satu pedang favoritnya, ke tangannya. Dia tidak berniat membunuh penjaga itu, hanya ingin melumpuhkannya. Dengan lompatan yang presisi, Shirou menghantam bagian belakang kepala penjaga dengan gagang pedangnya. Penjaga itu jatuh tak sadarkan diri tanpa sempat mengeluarkan suara.
Di dalam sel, Lily gemetar ketakutan, melihat sosok berjubah hitam dengan topeng tengkorak menghampirinya. Sosok itu tampak menakutkan di tengah kegelapan yang menyelimuti ruangan. Ketakutan, Lily memohon dengan suara bergetar, "Tolong, jangan bunuh aku..."
Di balik topeng, Shirou merasa canggung mendengar permohonan itu. Dengan Alteration, dia mengubah suaranya menjadi lebih berat dan misterius, mencoba tidak terdengar seperti dirinya sendiri. "Aku di sini untuk menyelamatkanmu," katanya, suaranya tenang dan terkendali.
Mendengar kata-kata yang tak terduga itu, Lily terkejut, bingung bagaimana seseorang yang tampak seperti pembunuh datang untuk menyelamatkannya. "K-Kenapa?" tanya Lily, matanya melebar.
Shirou menatapnya melalui topengnya dan menjawab dengan tegas, "Aku hanya ingin membantu teman Bell." Jawaban itu sederhana namun tulus, menunjukkan niat Shirou yang sebenarnya.
Lily menatap sosok berjubah hitam di depannya, keraguan masih terlihat di wajahnya. "Apakah... Tuan Tengkorak menyembunyikan wajahnya karena tidak ingin identitasnya diketahui?" tanyanya ragu, suaranya pelan dan sedikit bergetar.
Di balik topeng tengkoraknya, Shirou tersenyum kecut, merasa sedikit canggung dengan julukan itu. Namun, dia tahu dia tidak bisa menunjukkan identitas aslinya di situasi ini. Dia menganggukkan kepalanya dan menjawab dengan nada rendah, "Ya, akan merepotkan jika orang lain tahu aku yang menolongmu."
Shirou lalu berjongkok di depan penjaga yang tak sadarkan diri dan mulai mencari kunci di kantung penjaga tersebut. Dengan cepat, ia menemukan kuncinya, lalu berbalik dan membuka pintu penjara tempat Lily dikurung.
Begitu pintu terbuka, Lily bergegas keluar, tetapi bukannya kabur seperti yang Shirou harapkan, dia memandang Shirou dengan tekad yang jelas di matanya. "Tolong bawa aku ke ruang Dewa Soma di atas," pintanya, suaranya tegas namun penuh harapan.
Shirou berhenti sejenak, kebingungan mengapa Lily ingin ke sana. "Kenapa kamu tidak kabur saja?" tanya Shirou, tidak mengerti mengapa Lily memilih untuk menghadapi Soma daripada melarikan diri.
Lily menatapnya dengan serius. "Aku ingin keluar dari Soma Familia dan bergabung dengan Hestia Familia. Bell membutuhkan bantuan, dan aku harus membantunya di War Game."
Mendengar tekad kuat Lily untuk meninggalkan Soma Familia demi Bell, Shirou terkejut. Senyum kecil muncul di balik topeng tengkoraknya. Dalam hatinya, dia kagum dengan keberanian Lily yang ingin berjuang untuk Bell, meskipun situasinya begitu sulit.
Shirou dengan cepat mengangkat Lily dalam pelukannya, kedua tangannya dengan mudah menopang tubuh kecilnya. "Peluk erat," bisiknya dengan suara berat yang telah diubah oleh Alteration, sementara pandangannya fokus mencari jalan keluar dari bawah tanah Soma Familia.
Dengan pipi yang memerah, Lily memeluk jubah hitam tuan tengkorak dengan erat, merasa sedikit malu namun juga lega karena akhirnya ada seseorang yang menolongnya. Dia bisa merasakan kekuatan Shirou saat bergerak, membuatnya semakin terkesima.
Shirou menyelinap ke lantai atas dengan gerakan yang sangat halus, bagai bayangan yang bergerak tanpa suara. Kecepatannya sebagai petualang level 4 ditambah dengan kemampuan Presence Concealment membuat mereka berdua hampir tidak terlihat oleh siapa pun di Soma Familia. Setiap kali ada anggota Soma Familia yang lewat, Shirou dengan sigap bersembunyi di balik bayangan, menjauh dari pandangan, sambil tetap menggendong Lily erat di dadanya.
Lily, yang masih tertegun dalam pelukan Shirou, kagum dengan kemampuan Tuan Tengkorak. "Bagaimana dia bisa bergerak secepat ini... tanpa suara?" pikirnya dalam hati, sambil sedikit mempererat pegangannya pada jubah hitam yang menyelimuti tubuh Shirou.
Setelah beberapa saat menyelinap dan memastikan bahwa area aman, Shirou berbisik dengan lembut di dekat telinga Lily, "Di mana ruang Dewa Soma?"
Dengan suara pelan, Lily membalas bisikan itu, "Biasanya... dia ada di tempat pembuatan miras. Di bagian paling dalam gedung."
Shirou mengangguk tanpa berkata apa-apa, lalu dengan sigap bergerak menuju tempat yang dimaksud.
Shirou bergerak cepat menuju ruangan yang telah ditunjuk oleh Lily. Mereka berdua melintasi lorong-lorong gelap Soma Familia dengan keheningan yang sempurna, hingga tiba di depan sebuah pintu besar. Di sana, seorang lelaki berkacamata dengan postur tegap berdiri menjaga pintu.
Lily terkejut dan segera mengenali sosok tersebut. Dengan suara berbisik penuh kewaspadaan, dia memberi tahu Shirou, "Itu... Tuan Zanis, kapten Soma Familia."
Shirou, yang tetap tersembunyi dalam bayangan, mendengarkan dengan seksama. Lily melanjutkan dengan nada khawatir, "Dia sudah di level 2 akhir. Hati-hati, dia tidak akan mudah dilumpuhkan."
Namun, di balik topeng tengkoraknya, Shirou tersenyum tipis. Meskipun Lily khawatir, Shirou merasa tenang karena level 2 tak lagi menjadi tantangan baginya. Dengan kecepatan dan ketepatan seorang petarung level 4, dia meluncur keluar dari bayangan tanpa suara. Dalam hitungan detik, sebelum Zanis sempat menyadari kehadiran mereka, Shirou menghantamkan gagang senjata yang diproyeksinya dengan cepat ke tengkuk Zanis.
Dengan satu serangan, Zanis terjatuh tanpa suara, pingsan di tempat. Lily yang melihat hal itu hanya bisa ternganga, matanya membulat menyaksikan kekuatan luar biasa dari "Tuan Tengkorak". Betapa mudahnya Shirou melumpuhkan musuh yang jauh lebih kuat dari Lily.
Setelah memastikan Zanis tidak akan bangun, Shirou melepaskan pelukannya pada Lily, membiarkannya berdiri di depan pintu ruangan Dewa Soma. "Ini saatnya," Shirou berkata dengan suara rendah yang diubah, "Lakukan apa yang harus kamu lakukan."
Lily melangkah ke dalam ruangan yang dipenuhi aroma anggur kuat, yang terfermentasi dengan sentuhan ilahi. Bau manis dan tajam itu memenuhi udara, menciptakan suasana yang begitu berbeda dari kegelapan dan kesunyian di luar. Di dalam, sosok dewa Soma, berambut panjang dan bermata tertutup, sibuk mengaduk anggur tanpa sedikit pun perhatian terhadap keadaan sekitarnya. Gerakannya tenang, seolah dunia luar tak mempengaruhinya, fokus sepenuhnya pada fermentasi minuman ilahinya.
Dengan penuh hormat dan ketegangan, Lily bersimpuh di hadapan dewa yang selama ini menaunginya. Dengan suara lirih namun penuh tekad, dia memohon, "Tolong izinkan aku keluar dari Soma Familia, Dewa Soma. Aku ingin bergabung dengan Hestia Familia dan membantu Bell dalam War Game."
Soma tetap tak menunjukkan emosi. Hanya anggur yang terus dia aduk, seolah kata-kata Lily tak benar-benar sampai padanya. Setelah beberapa saat, dengan tenang, dia akhirnya berkata, "Aku tak akan mendengarkan siapapun yang terpengaruh oleh mirasku." Suaranya datar, namun jelas membawa tantangan.
Dia menunjuk ke sebuah gelas berisi anggur di dekatnya, yang aromanya lebih tajam dan menggoda. "Minumlah segelas anggurku, dan jika kamu bisa menahan efeknya, baru aku akan mendengarkan permintaanmu."
Lily menatap gelas itu, menyadari betapa sulitnya permintaan yang diajukan dewa tersebut. Shirou, yang menunggu di luar, bisa merasakan ketegangan yang melingkupi Lily, meskipun dia tak dapat melihat apa yang terjadi di dalam ruangan.
Dewa Soma menatap Lily dengan datar, mengisyaratkannya untuk mengambil gelas anggur yang mengeluarkan aroma kuat dari fermentasi ilahi. "Minumlah," katanya dengan nada dingin. "Jika, setelah meminumnya, kamu masih ingin keluar dari Soma Familia, maka aku akan mengabulkan permintaanmu."
Di luar ruangan, Shirou, yang bersembunyi dengan topeng Hassan, mendengar percakapan itu dan langsung menyadari betapa kuatnya efek anggur tersebut. Dengan kepekaan yang dimilikinya, Shirou tahu bahwa anggur itu mengandung kekuatan memabukkan yang luar biasa. Bahkan dirinya, meskipun memiliki Avalon di dalam tubuhnya yang mampu memulihkan luka dan mencegah penyakit, merasa bahwa dalam jumlah banyak, anggur itu bisa memabukkannya. Dia mulai merasa khawatir akan kemampuan Lily untuk menahan pengaruh ilahi itu.
Namun, Lily tak menunjukkan keraguan. Dengan tekad yang tak tergoyahkan, dia mengangkat gelas anggur itu, dan perlahan-lahan mulai meminumnya. Setiap tetes yang mengalir ke dalam tubuhnya membawa sensasi kenikmatan yang tak terbayangkan, seolah-olah semua kesedihan dan penderitaannya menghilang dalam sekejap. Tapi bersama dengan kenikmatan itu, muncul juga mabuk yang kuat. Kepalanya mulai berputar, dunia di sekitarnya terasa kabur, dan tubuhnya gemetar.
Namun, Lily menolak untuk menyerah. Dia menggigit bibirnya keras-keras, hingga bibirnya berdarah, berusaha untuk tetap sadar. Matanya mulai memerah, dan air mata mengalir di pipinya, tetapi dia tetap menatap Soma dengan tekad yang tak tergoyahkan.
"Sekali lagi..." katanya dengan suara yang bergetar, namun tegas. "Aku memohon, biarkan aku keluar dari Soma Familia... untuk membantu Bell di War Game."
Soma, yang awalnya acuh tak acuh, terkejut. Tak ada yang pernah melawan efek anggurnya sekuat ini sebelumnya. Lily, dengan tubuh kecilnya, berhasil mengatasi pengaruh mabuk yang begitu kuat.
Setelah hening sejenak, Soma akhirnya menganggukkan kepalanya perlahan, tanda bahwa dia menerima permintaan Lily. "Baiklah," katanya dengan suara rendah. "Kamu bebas pergi."
Lily keluar dari ruangan Dewa Soma dengan langkah yang terhuyung-huyung, tubuhnya lemah setelah melawan efek memabukkan anggur ilahi. Pandangannya kabur, dunia di sekitarnya terasa berputar, dan ia hampir terjatuh ketika tiba-tiba lengannya ditangkap oleh sosok berjubah hitam yang sudah menunggunya di depan pintu.
Shirou, dengan topeng tengkorak Hassan yang masih menutupi wajahnya, tersenyum di balik topeng itu. "Kau melakukan hal yang luar biasa, Lily," katanya dengan suara yang diubah, menyembunyikan identitas aslinya. "Aku bangga padamu."
Dengan nafas terengah-engah, Lily mendongak dan tersenyum lemah. Meski wajahnya masih memerah, ada kilauan kemenangan di matanya. "Terima kasih, Tuan Tengkorak...," ucapnya dengan suara yang pelan tapi penuh syukur. "Tolong... bawa aku pulang."
Tanpa berkata banyak, Shirou mengangguk dan memeluk Lily dengan lembut. "Pegang erat-erat," bisiknya, memastikan Lily memegang jubahnya dengan kuat. Kemudian, dengan kecepatan yang tak terbayangkan, Shirou menyelinap keluar dari markas Soma Familia, bergerak bagai bayangan yang tak terlihat, membawa Lily dengan aman menjauh dari tempat yang telah mengurungnya selama ini.
Baru saja keluar dari gerbang Soma Familia, Shirou tiba-tiba berhenti di tempat. Dengan cepat, ia menggunakan Reinforcement pada kedua matanya, memperkuat penglihatannya untuk melihat lebih jauh. Dari kejauhan, ia bisa melihat sekumpulan orang yang sedang berjalan mendekat menuju Soma Familia. Wajah-wajah yang familiar segera dikenali oleh Shirou—di antaranya ada Hestia, Welf, Mikoto, dan Naaza.
Lily, yang masih dalam pelukan Shirou, merasa bingung ketika Shirou tiba-tiba berhenti tanpa alasan yang jelas. "Tuan Tengkorak, ada apa? Kenapa kita berhenti?" tanyanya dengan nada khawatir.
Sambil tetap memperhatikan teman-teman Lily yang semakin mendekat, Shirou tersenyum di balik topeng tengkoraknya. Dengan suara yang sudah ia ubah, ia berkata lembut, "Kau sangat beruntung, Lily. Lihatlah, mereka datang untuk menjemputmu. Banyak teman-teman yang peduli padamu."
Lily mengalihkan pandangannya dan melihat ke arah yang ditunjuk Shirou. Ketika ia menyadari siapa yang datang, air matanya mulai berlinang. Hatinya dipenuhi kehangatan, merasa tersentuh oleh teman-teman yang datang untuk menolongnya.
Ketika rombongan Hestia mendekat, mereka langsung dikejutkan dengan pemandangan yang tak terduga. Lily berada di dekapan sosok berjubah hitam dengan topeng tengkorak. Ekspresi wajah Hestia berubah tegang, dan tanpa ragu, dia berteriak lantang, "Hei, penjahat! Lepaskan Lily sekarang juga!"
Merespons teriakan Hestia, anggota lain dari rombongan, seperti Welf dan Mikoto, segera mempersiapkan senjata mereka, siap menyerang dan menyelamatkan Lily dari sosok misterius itu. Suasana tegang menyelimuti tempat itu, tetapi sebelum mereka bertindak lebih jauh, Shirou, yang bersembunyi di balik topeng tengkoraknya, perlahan melepaskan Lily dari pelukannya. Dengan tenang, dia mengangkat kedua tangannya, memperlihatkan bahwa dia tak bermaksud memulai kekerasan. Sikap tenangnya menahan serangan yang mungkin akan datang dari rombongan Hestia.
Melihat reaksi itu, Hestia tersenyum bangga dan menepuk dadanya dengan sombong. "Lihat? Penjahat itu ketakutan karena auraku yang kuat!" ucapnya dengan penuh percaya diri, merasa bahwa dialah yang membuat sosok bertopeng itu mundur.
Namun, Lily segera melangkah maju, mendekati Hestia dengan kesal. "Kamu salah besar, Hestia-sama!" serunya. "Tuan tengkorak ini bukan penjahat. Dia adalah orang yang menyelamatkanku dari Soma Familia."
Welf, masih terkejut, menurunkan senjatanya dan bertanya dengan kebingungan, "Jadi kau kenal dengan seseorang seperti itu?"
Lily menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Aku tidak mengenalnya. Dia sengaja menyembunyikan identitasnya. Dia hanya ingin menolong tanpa dikenal." ucap Lily, menatap sosok misterius itu dengan rasa syukur di matanya.
Hestia bersama yang lain akhirnya tersadar, dan dengan tulus mereka mengucapkan terima kasih kepada sosok bertopeng itu. "Terima kasih, Tuan Tengkorak, karena telah menyelamatkan Lily."
Shirou, di balik topengnya, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya membalikkan badan, lalu dengan tenang melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Perlahan, dia mulai menghilang, menyatu dengan bayang-bayang hitam yang menyelimuti jalanan gelap di sekitarnya, membuat kehadirannya seolah-olah lenyap dari pandangan.
Mikoto, yang menyaksikan kepergian Shirou, menatap penuh kekaguman. "Gaya Tuan Tengkorak itu... sangat keren. Dia seperti ninja sejati," gumamnya, matanya berbinar penuh kekaguman pada sosok misterius yang baru saja menghilang dalam kegelapan.
Setelah menyelesaikan misinya, Shirou bergerak cepat mencari tempat sepi di sudut kota untuk melepas jubah dan topengnya. Saat ia mulai merasa lega dan siap kembali ke kehidupannya yang biasa, sebuah pikiran melintas di benaknya. "Apakah aku secara tidak sadar meniru kebiasaan suka pamer Archer?" pikirnya, sedikit tersenyum sendiri mengingat gaya flamboyan Archer yang kerap kali membuatnya geleng kepala.
Namun, suasana santai itu tiba-tiba pecah ketika sebuah suara keras menghentikan langkahnya. "Hei, pengecut bertopeng! Berhenti!" teriak seseorang dengan nada perintah.
Shirou langsung waspada, terkejut bahwa ada orang yang bisa mendeteksinya meskipun ia sedang menggunakan Presence Concealment. Ketika ia berbalik, matanya tertuju pada sosok seorang Elf berambut pirang pucat yang mengenakan kacamata. Wajahnya tegas dan dingin, dengan sorot mata yang penuh keyakinan dan kekuatan. Kulitnya seputih porselen, dan pakaian yang ia kenakan memiliki emblem yang Shirou kenali dengan cepat—emblem Freya Familia.
Kehadiran Elf itu membuat Shirou segera memahami situasinya. Hanya seseorang dengan kemampuan khusus atau level yang lebih tinggi yang bisa mendeteksi keberadaannya. "Sepertinya orang ini tidak bisa diremehkan," pikir Shirou, mempersiapkan dirinya untuk kemungkinan konfrontasi.
Dengan suara tegas dan penuh ancaman, Elf itu berbicara, "Kau tidak seharusnya ikut campur dalam urusan Hestia Familia. Dewiku, Freya, tidak ingin orang luar mempengaruhi mereka."
Shirou memperhatikan lebih detail sosok di hadapannya. Sikapnya yang arogan, emblem yang ia kenakan, serta nama Freya yang disebutkannya membuat Shirou segera menyimpulkan bahwa ini bukan orang sembarangan. Dia pasti salah satu anggota elit Freya Familia, dan tindakannya sudah tentu atas perintah Freya sendiri.
Tanpa basa-basi, Elf itu kemudian memberi perintah, "Buka topengmu! Tunjukkan siapa kau sebenarnya!"
Shirou hanya mendengus kecil mendengar perintah itu. Tidak ada sedikitpun niat dari Shirou untuk menuruti kata-kata pria itu. "Siapa pun kau, aku tidak punya kewajiban untuk mematuhi perintahmu," balas Shirou dengan tenang, meskipun di dalam hatinya ia mulai menyusun rencana. "Sepertinya ini akan menjadi lebih sulit daripada yang aku kira."
Saat Shirou mulai merencanakan langkah berikutnya, ia memutuskan untuk menguji kemampuan lawannya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia berbalik dan berlari dengan kecepatan yang menakjubkan, meninggalkan jejak bayangan. Elf itu tidak tinggal diam, langsung mengejar Shirou dengan kecepatan yang mengesankan, tapi Shirou memanfaatkan momen itu. Dengan Reinforcement yang ia alirkan ke kedua kakinya, kecepatan Shirou semakin bertambah pesat, membuat jarak di antara mereka semakin melebar.
Awalnya, Elf itu tampak mampu mengejar Shirou. Namun, ketika Shirou meningkatkan prana ke kakinya, perlahan tapi pasti jarak mereka mulai melebar, menyebabkan rasa frustasi dan amarah menguar dari Elf yang kini tertinggal jauh di belakang.
Dengan wajah yang memendam amarah, Elf itu mulai melafalkan mantra dengan suara tegas. Shirou yang sedang berada jauh di depan, merasakan sesuatu yang tak biasa di belakangnya. Meskipun awalnya dia merasa tenang meninggalkan Elf itu, sebuah perasaan waspada muncul di hatinya ketika merasakan getaran magis dari mantra yang sedang dirapal. Kilatan petir mulai menyelimuti atmosfer, dan suara guntur bergema keras.
Shirou menoleh ke belakang, dan tatapannya terfokus pada kilatan cahaya yang semakin terang di tangan Elf itu. Dalam sekejap, Elf tersebut merampungkan mantranya, mengirimkan petir besar yang menyambar ke arah Shirou dengan kecepatan kilat, menggemuruh di udara dengan ancaman mematikan.
Dengan reaksi cepat, Shirou tak mau mengambil risiko. Dia berhenti sejenak dan mengaktifkan Projection. Cahaya biru kehijauan bersinar di tangannya, membentuk Noble Phantasm legendaris yang dikenal sebagai Raikiri, pedang yang mampu memotong petir. Shirou memegang erat pedangnya, bersiap menghadapi serangan dahsyat itu.
Petir menyambar dengan kekuatan yang menggetarkan bumi, tetapi Shirou sudah siap. Saat petir itu menghampirinya, dia menggerakkan Raikiri dengan presisi. Dalam satu tebasan yang cepat dan tajam, Raikiri membelah petir itu menjadi dua. Petir yang awalnya mendekat dengan ancaman maut kini terpecah di udara, memudar tanpa bisa menyentuh Shirou.
Dengan napas teratur dan tatapan penuh konsentrasi, Shirou memandangi Elf itu dari kejauhan. Dia tahu bahwa pertarungan ini belum berakhir, tapi dia juga sadar bahwa dia harus berhati-hati. Elf ini bukan lawan biasa.
Wajah putih pucat Elf tersebut semakin memucat, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi di hadapannya. Petir dahsyat yang ia tembakkan—mantra yang seharusnya mampu menghancurkan lawan—terbelah dengan mudah oleh Shirou. Dia terpana, tidak mampu berkata-kata, hanya bisa berdiri terpaku menyaksikan kekuatan Raikiri yang digunakan oleh Shirou. Elf itu tak pernah menyangka ada orang yang bisa menandingi mantranya dengan begitu elegan.
Namun, Shirou tidak ingin membuang waktu lebih lama. Dia tahu bahwa situasi ini harus segera diakhiri sebelum menarik perhatian lebih banyak orang. Dengan cepat, dia melanjutkan larinya menuju tempat yang lebih sepi. Napasnya teratur, dan setiap langkahnya dipercepat dengan Reinforcement yang masih ia aktifkan di kakinya. Elf itu tidak lagi mengejarnya, tampaknya telah menyerah untuk melanjutkan pertempuran yang tidak menguntungkan baginya.
Setelah beberapa saat, Shirou menemukan sudut kota yang gelap dan sepi, tempat yang aman untuk menyembunyikan identitasnya. Ia menyelinap ke balik sebuah rumah tua yang sudah lama tak dihuni, memastikan tak ada orang yang melihatnya. Dengan satu tarikan napas panjang, Shirou memudarkan topeng, jubah hitam, serta Raikiri menjadi prana, membiarkan semua itu menghilang kembali ke dalam tubuhnya. Dalam sekejap, Shirou Emiya, petualang dari Loki Familia, kembali ke wujud aslinya.
Namun, saat semua selesai, Shirou menyadari ada sesuatu yang tak biasa. Tangannya bergetar halus, sebuah tanda bahwa petir tadi sempat tersalur melalui Raikiri dan menuju tubuhnya. Meski berhasil membelah petir itu, dampaknya tetap terasa pada tubuhnya. Shirou hanya bisa tersenyum kecut sambil memandangi tangannya yang masih bergetar. Dia merasa beruntung—jika Elf tadi adalah petarung fisik atau mampu mengejarnya, pertempuran mungkin akan jauh lebih sulit.
Dengan rasa lega yang mulai memenuhi dirinya, Shirou mulai melangkah kembali menuju Twilight Manor, tempat di mana dia bisa beristirahat dan memulihkan diri. Namun, di dalam hati kecilnya, dia tidak bisa menghilangkan kekhawatiran bahwa konflik ini mungkin belum sepenuhnya berakhir.