Di tengah malam yang sunyi, Riveria perlahan terbangun dari tidurnya. Cahaya rembulan yang lembut masuk melalui celah-celah kecil di dinding gudang, menerangi wajah Shirou yang tengah terlelap di depannya. Ketika Riveria membuka matanya, hal pertama yang ia sadari adalah kehangatan yang masih ia rasakan dari paha Shirou, tempat ia bersandar.
Ia tersenyum lembut, menyadari bahwa Shirou masih berada di sana, tetap duduk dalam posisi yang sama. Mata Shirou tertutup rapat, dengan napas yang teratur dan tenang. Riveria memahami bahwa Shirou memilih tidur dalam posisi duduk hanya agar ia bisa beristirahat dengan nyaman di pangkuannya.
Hati Riveria masih dipenuhi oleh cinta dan kebahagiaan yang mengalir dari mimpi yang barusan ia alami. Mimpi di mana ia berperan sebagai Juliet, dan Shirou sebagai Romeo, yang bangkit kembali dari kematian hanya untuknya. Meski hanya mimpi, perasaan cinta yang ia rasakan masih begitu nyata, menghujam ke dalam hatinya.
Melihat wajah Shirou yang tenang dan damai, Riveria merasakan dorongan lembut di dalam hatinya. Tanpa bisa menahan diri, ia menundukkan kepalanya dan dengan penuh perasaan, ia mengecup lembut kening Shirou. Sentuhan bibirnya begitu halus, hampir seperti angin malam yang lembut, seolah takut membangunkannya dari tidur. "Jangan pernah pergi dari sisiku, Romeoku," bisiknya pelan, suaranya hampir tak terdengar di antara hembusan angin malam. Kata-kata itu terucap dari lubuk hatinya yang terdalam, perasaan yang selama ini ia pendam.
Setelah mengecup kening Shirou, Riveria kembali menatap wajahnya dengan perasaan damai. Cintanya yang dulu ia pendam dengan hati-hati kini perlahan tumbuh lebih kuat. Tak ingin mengganggu tidurnya, Riveria melanjutkan tidurnya, masih bersandar di paha Shirou, merasa aman dan nyaman berada di sampingnya. Senyuman kecil tetap menghiasi wajahnya, membawa kehangatan di dalam hatinya yang tertidur kembali di atas paha orang yang ia cintai.
Dengan perasaan tenang dan penuh cinta, Riveria melanjutkan mimpinya, berharap perasaannya kepada Shirou suatu hari nanti akan terbalas.
Shirou terbangun dengan sinar matahari yang lembut menyelinap melalui jendela gudang. Matahari pagi mulai mengintip, menerangi ruangan dengan cahayanya yang hangat. Ketika Shirou membuka matanya, ia merasakan kehangatan di atas pahanya. Melihat ke bawah, ia mendapati Riveria masih tertidur lelap dengan wajah yang tenang dan senyuman kecil di bibirnya.
Riveria terlihat begitu damai, bahkan dalam tidurnya. Gaun cantik hijau yang ia kenakan semalam masih membalut tubuhnya dengan anggun, membuatnya tampak seolah-olah ia sedang bermimpi dalam dunia peri yang indah. Shirou yang melihat pemandangan itu merasa bimbang. Ia ingin membangunkan Riveria, tetapi tak ingin melakukannya dengan kasar atau terburu-buru. Ia ingin tetap lembut, seperti yang ia lakukan tadi malam ketika menenangkannya.
Dengan lembut, Shirou mulai mengelus rambut panjang hijau Riveria. Jari-jarinya menyusuri helaian rambutnya yang halus, berusaha membangunkan Riveria dengan sentuhan yang menenangkan. Ia mengingat kembali bagaimana tadi malam sentuhannya mampu membuat Riveria tersenyum dan tidur lebih nyenyak.
Namun, alih-alih bangun, Riveria hanya tersenyum lebih lebar dalam tidurnya. Wajahnya tampak lebih damai, dan nafasnya yang teratur menandakan betapa nyamannya ia di atas paha Shirou. Bukannya terbangun, Riveria malah tampak semakin tenggelam dalam tidurnya, seolah merasa aman dan terlindungi.
Shirou mulai merasa bingung. "Bagaimana caranya aku membangunkannya tanpa mengganggu tidurnya yang lelap?" pikirnya. Ia tahu bahwa Riveria jarang sekali memperlihatkan sisi rentannya kepada siapa pun, apalagi di tengah-tengah keadaan yang tidak formal seperti ini.
Dia pun menimbang opsi. Jika dia memanggil namanya pelan-pelan, mungkin Riveria akan bangun dengan lebih lembut. Atau, jika dia membiarkan Riveria tidur lebih lama, mereka akan kehilangan lebih banyak waktu pagi. Tapi bagaimana jika Riveria membutuhkan istirahat lebih?
Akhirnya, Shirou mengambil nafas panjang dan dengan lembut berbisik, "Riveria... Sudah pagi." Suaranya lembut, seperti angin sepoi-sepoi. Ia tetap mengelus rambutnya dengan lembut, berharap sentuhan dan suaranya cukup untuk membangunkan Riveria tanpa mengejutkannya.
Namun, Riveria hanya bergerak sedikit, bergumam dalam tidurnya, seolah tidak ingin bangun. Shirou tersenyum kecil, tidak tega untuk membangunkannya dengan cara yang lebih keras. Setelah beberapa saat, dia memutuskan untuk mencoba lagi, kali ini sedikit lebih keras. "Riveria, hari sudah pagi," ucapnya sedikit lebih jelas.
Akhirnya, perlahan, kelopak mata Riveria mulai berkedip dan terbuka. Mata hijaunya menatap dengan lembut, menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang masuk ke dalam gudang. Ia tampak bingung sejenak sebelum menyadari posisinya, masih di atas paha Shirou.
Senyum hangat terpancar di wajahnya ketika ia menyadari siapa yang bersamanya. "Selamat pagi," ucapnya pelan, suaranya masih dipenuhi kehangatan dari tidurnya.
"Selamat pagi," balas Shirou sambil tersenyum. "Maaf kalau aku membangunkanmu."
Riveria menggeleng pelan, "Tidak, kamu membangunkanku dengan lembut. Aku bahkan tidak sadar tertidur lama."
Shirou hanya tersenyum, merasa lega karena berhasil membangunkan Riveria dengan cara yang lembut. Sinar matahari pagi menyelimuti keduanya, memberikan kehangatan baru yang menyelimuti momen itu dengan damai.
Riveria merasakan kehangatan dari elusan tangan Shirou yang masih lembut membelai rambutnya. Di hatinya, ia masih ingin bermanja sedikit lebih lama, menikmati momen langka di mana dia bisa melupakan tanggung jawabnya. Namun, sinar matahari yang masuk dari jendela mengingatkannya bahwa pagi sudah datang, dan bersama dengan pagi itu datang kembali perannya sebagai pemimpin Loki Familia.
Dengan berat hati, Riveria mulai bangun dari posisi nyamannya di paha Shirou. Ia duduk tegak, dan ketika pandangannya jatuh pada gaun indah yang masih ia kenakan, tiba-tiba rasa malu menyelimutinya. Gaun itu adalah simbol dari momen intim mereka berdua tadi malam, dan Riveria tahu jika ia berjalan keluar dengan mengenakan gaun ini, pasti akan ada banyak pertanyaan dari orang-orang di Twilight Manor.
Riveria menyadari bahwa ia tak bisa kembali ke Manor dalam keadaan seperti ini. Dengan wajah tenang dan senyum yang sedikit malu-malu, ia memutuskan untuk meminta bantuan pada Shirou.
"Shirou," ucapnya dengan nada lembut, sambil melirik gaun yang dikenakannya, "Aku baru sadar... kalau aku masih mengenakan gaun ini." Ia menatapnya dengan ekspresi yang sedikit terganggu. "Kamu bisa tolong ambilkan baju gantiku di kamar, tidak?"
Shirou yang tadinya tidak sadar akan dilema Riveria, langsung mengangguk. "Tentu, di mana aku bisa menemukannya?"
Riveria mengeluarkan kunci kamarnya dari balik gaun dan memperlihatkannya pada Shirou. "Ini kuncinya. Baju gantiku ada di balik pintu kamarku. Kamu hanya perlu mengambilnya." Namun, saat Shirou hendak meraih kunci itu, Riveria tiba-tiba menyimpannya kembali dengan senyuman licik.
"Sebentar," katanya sambil mencandai Shirou. "Sebenarnya, kamu tak perlu kunci ini, kan? Dengan kemampuanmu, kamu bisa memprojeksikan kunci kamarku kapan saja. Bukankah begitu?"
Shirou tergelak kecil dan mengangguk, mengakui kebenaran kata-kata Riveria. "Ya, aku bisa," jawabnya dengan sedikit canggung, masih belum menyadari maksud tersembunyi dari candaan Riveria.
Riveria, yang kini merasa sedikit lebih percaya diri, tersenyum lembut. Dengan nada menggoda yang jarang ia gunakan, ia menatap Shirou dan berkata, "Kamu tahu, kalau begitu, kamu bisa masuk kamarku kapan saja, jika kamu mau."
Shirou terkejut dengan perkataan itu. Wajahnya merah seketika. "T-tidak, aku tidak akan masuk tanpa izin!" jawabnya dengan cepat, tergagap. Wajahnya memerah, bingung dengan respon Riveria yang tiba-tiba lebih akrab.
Riveria hanya tertawa kecil, senang melihat Shirou begitu canggung dan lucu di depannya. Di dalam hati, ia merasa sedikit lebih lega. Setidaknya, candaan itu berhasil menghilangkan sedikit ketegangan dalam dirinya. "Aku tahu," ucapnya sambil tersenyum, "aku hanya bercanda."
Akhirnya, Shirou menerima kunci itu dari Riveria dengan hati-hati. Ia berjanji akan segera kembali dengan baju yang diminta. Sambil berjalan keluar gudang, Riveria menyaksikan sosoknya yang perlahan menghilang di balik pintu, senyum kecil tetap terpancar di wajahnya.
Shirou mengendap-endap masuk ke kamar Riveria dengan sangat hati-hati. Ia memastikan tidak ada suara yang bisa menarik perhatian orang lain, terutama mengingat status Riveria sebagai salah satu pemimpin Loki Familia yang terhormat. Saat pintu kamar terbuka, aroma lembut yang khas menyambutnya—aroma High Elf yang unik dari Riveria. Wangi itu lembut, sejuk, seolah-olah menggambarkan sosoknya yang anggun dan penuh kedamaian.
Begitu masuk, Shirou tidak ingin berlama-lama. Pandangannya langsung tertuju pada baju ganti Riveria yang tergantung di balik pintu. Ia segera meraihnya, merasa sedikit canggung karena harus mengurus pakaian pribadi seorang perempuan, terlebih lagi seorang yang begitu ia hormati seperti Riveria.
Namun, sebelum keluar, mata Shirou tertarik pada sesuatu yang familiar di atas kasur Riveria. Sebuah papan kayu yang ia gunakan untuk melatih Riveria Magecraft tampak tergeletak dengan rapi di sana. Shirou berhenti sejenak, menatap papan itu dengan penuh kenangan.
Shirou mengingat bagaimana selama beberapa minggu mereka bersama-sama di ruangan yang sama, Riveria dengan tekun belajar teknik Magecraft darinya, meskipun ia sudah menjadi penyihir paling kuat di Orario. Apa yang membuatnya tersentuh adalah fakta bahwa Riveria tidak membuang papan itu meskipun pelajaran sudah selesai. Itu berarti baginya, bukan hanya papan itu, tetapi mungkin juga momen yang mereka lalui bersama memiliki makna yang mendalam.
"Jadi dia masih menyimpannya…" pikir Shirou dengan senyum kecil di wajahnya. Riveria selalu terlihat kuat dan dewasa di luar, tapi melihat bagaimana ia merawat sesuatu yang sederhana seperti papan kayu itu membuat Shirou sadar, bahwa di balik penampilannya yang elegan, ada sisi lembut dan penuh perhatian.
Dengan pakaian ganti Riveria di tangannya, Shirou melangkah keluar kamar. Sebelum benar-benar menutup pintu, ia menatap sekali lagi papan kayu itu, merasakan ada ikatan tak terlihat yang semakin dalam antara dirinya dan Riveria.
Ia berjanji di dalam hatinya, bahwa ia akan selalu ada untuk Riveria, seperti bagaimana ia ada selama ini sebagai seorang teman dan mungkin… sesuatu yang lebih dari itu.
Saat Shirou menutup pintu kamar Riveria dengan hati-hati dan menoleh ke belakang, ia terkejut melihat Lefiya berdiri tidak jauh darinya, matanya membesar penuh rasa kaget.
Lefiya, yang biasanya ceria, sekarang tampak sangat terkejut dan bingung melihat Shirou keluar dari kamar Riveria dengan baju ganti di tangannya. Wajahnya berubah merah dan penuh kecurigaan, memikirkan berbagai skenario yang mungkin terjadi di dalam kamar Riveria.
"A-Apa yang kau lakukan di sana, Shirou?!" tanya Lefiya dengan suara gemetar namun nada cemburu dan marah yang jelas. "Kau... kau tidak mungkin...!"
Dengan panik, Shirou mengangkat tangannya, mencoba menenangkan Lefiya yang tampak semakin kesal. Ia berusaha setengah berbohong untuk menghindari kesalahpahaman lebih lanjut.
"Eh... ini... bukan seperti yang kau pikirkan! Riveria hanya meminta bantuanku untuk mengambilkan baju gantinya karena... uh... bajunya kotor saat kami latihan Magecraft bersama kemarin. Itu saja, sungguh!" Shirou menjelaskan dengan tergagap, berusaha terlihat setenang mungkin.
Namun, Lefiya masih tidak yakin dengan penjelasan Shirou. Ia menyipitkan matanya, lalu memasang senyum kecil yang jahil di wajahnya, seolah tidak sepenuhnya percaya.
"Kau yakin, Shirou? Kau... tukang intip, ya?" ejek Lefiya sambil menutupi senyumnya dengan tangan. Walaupun ia mencoba bercanda, ada nada cemburu yang samar terdengar.
Shirou hanya bisa tersenyum kecut mendengar itu. Ia tahu tidak mudah meyakinkan Lefiya, apalagi dalam situasi seperti ini. "Aku serius, Lefiya. Tidak ada yang aneh terjadi. Aku hanya membantu, itu saja," jawabnya, sedikit gugup.
Lefiya, yang masih setengah percaya, akhirnya menghela napas. "Baiklah, kalau begitu... tapi aku akan menanyakan langsung pada Riveria nanti. Kita lihat apakah ceritamu benar!" katanya dengan nada menggoda, meskipun sedikit lebih santai.
Shirou hanya bisa tertawa kecil mendengar itu. "Kau bisa menanyakannya kalau kau mau, tapi aku yakin Riveria akan membenarkan ucapanku," katanya, masih mencoba menjaga sikap tenangnya, walaupun di dalam hati, ia sedikit khawatir apa yang mungkin Riveria katakan jika Lefiya benar-benar bertanya.
Shirou membawa baju ganti Riveria dengan hati-hati ke gudang, tempat di mana Riveria masih sabar menunggunya. Saat Shirou tiba, Riveria tersenyum lembut dan mengucapkan terima kasih.
"Terima kasih, Shirou. Kau benar-benar bisa diandalkan," ucap Riveria sambil menerima baju ganti yang diberikan oleh Shirou.
Saat Shirou bersiap untuk izin keluar agar Riveria bisa berganti pakaian dengan privasi, Riveria tiba-tiba menghentikannya dengan suara tenang namun sedikit bercanda.
"Tak perlu keluar, Shirou. Cukup membalikkan badan saja. Aku tak akan lama," kata Riveria, membuat Shirou sedikit terkejut namun menuruti permintaannya dengan patuh.
Dengan punggung menghadap Riveria, Shirou merasa jantungnya berdetak sedikit lebih cepat, menyadari betapa dekatnya mereka. Untuk mengalihkan kegugupannya, Shirou memutuskan untuk memberi tahu Riveria sesuatu yang lebih serius.
"Riveria," Shirou memulai dengan nada hati-hati, "tadi aku bertemu dengan Lefiya saat keluar dari kamarmu. Dia melihatku, dan aku pikir dia mulai salah paham. Kalau nanti Lefiya bertanya, bisa kau jelaskan padanya bahwa aku mengambilkan baju gantimu karena... pakaianmu kotor karena latihan Magecraft?"
Riveria, yang sedang mengganti pakaiannya di belakangnya, awalnya setuju tanpa berpikir panjang. Namun, dengan nada bercanda, ia menambahkan sesuatu yang membuat Shirou sedikit gugup.
"Bagaimana kalau aku biarkan saja Lefiya salah paham, Shirou? Mungkin itu akan lebih menarik," katanya sambil menahan tawa kecil.
Shirou terdiam sejenak sebelum menjawab, tersenyum kecut meskipun Riveria tidak bisa melihat wajahnya.
"Kalau begitu, aku akan dianggap tukang intip dan orang mesum," balas Shirou dengan nada bercanda.
Mendengar itu, Riveria akhirnya tertawa kecil, nadanya ringan dan penuh kehangatan. "Baiklah, baiklah. Aku akan menjelaskan pada Lefiya. Aku hanya ingin melihat reaksimu," katanya dengan nada menggoda, masih tertawa kecil.
Shirou hanya bisa tersenyum, merasa sedikit lebih lega, namun juga masih terkesan dengan betapa berbeda dan hangatnya Riveria dalam momen-momen pribadi seperti ini.
Selama Riveria masih mengganti bajunya, Shirou yang membelakangi tak bisa menahan pikirannya untuk membayangkan bagaimana Riveria terlihat. Dengan gaun yang begitu cantik tadi malam, pesona Riveria terus membayangi pikirannya, membuatnya sedikit gelisah. Untuk mengalihkan imajinasinya yang mulai liar, Shirou memutuskan untuk berbicara, mencoba menggali percakapan yang lebih ringan.
"Riveria," panggil Shirou, memecah keheningan. "Semalam, saat kau tertidur, aku melihatmu menangis. Aku penasaran, apa yang kau impikan?"
Riveria, yang masih merapikan pakaiannya, tersenyum mendengar pertanyaan Shirou. "Hmm, aku memimpikan sesuatu yang mungkin sudah tidak asing bagimu. Apa kau pernah mendengar cerita tentang Romeo dan Juliet?"
Shirou terkejut mendengar nama itu. "Tentu saja aku pernah mendengarnya. Itu salah satu karya terkenal Shakespeare. Meski begitu, aku belum pernah membacanya sepenuhnya. Hanya tahu garis besarnya."
Riveria berhenti sejenak, mengingat kembali mimpinya dengan senyuman. "Dalam mimpiku, aku seolah berada di dalam cerita itu. Aku bisa merasakan kesedihan dan cinta yang mendalam di antara mereka. Tapi..." Riveria sengaja tak menyebut bahwa dia memerankan Juliet, dan Shirou adalah Romeo dalam mimpinya. Itu terlalu memalukan untuk diungkapkan.
Shirou, meski tidak mengetahui detil mimpi itu, bisa memahami dari cerita Riveria bahwa mimpinya mungkin bertema tragedi. Dia sudah tahu bahwa Romeo dan Juliet berakhir tragis, jadi wajar kalau Riveria menangis. "Aku paham kenapa kau menangis dalam tidurmu," katanya dengan lembut. "Ceritanya memang menyedihkan, bukan?"
Riveria tersenyum, namun di dalam hatinya, dia mengingat betapa bahagianya mimpinya berakhir berkat elusan tangan Shirou. Meski cerita aslinya adalah tragedi, dalam mimpinya, Romeo alias Shirou hidup kembali dan membuat segalanya menjadi lebih baik. Tanpa menyebutkan perubahan bahagia dalam mimpinya, Riveria hanya menjawab, "Ya, ceritanya memang menyentuh hati. Tapi ada sesuatu yang indah dalam cinta mereka."
Shirou memperhatikan senyuman Riveria dan berkata, "Kelihatannya kau menyukai cerita itu."
Riveria mengangguk, masih dengan senyum di wajahnya. "Bukan hanya ceritanya. Aku menyukai Romeo. Dia adalah pria yang penuh cinta, siap berkorban demi wanita yang ia cintai. Sosok pria seperti itu adalah idaman bagiku."
Shirou sedikit terkejut mendengar pujian Riveria terhadap Romeo. Tanpa tahu bahwa Riveria sedang membicarakan dirinya secara tidak langsung, Shirou malah merasa sedikit cemburu pada karakter fiksi itu. Meski begitu, dia hanya bisa tersenyum dan menanggapi dengan sopan, tidak menyadari perasaan sebenarnya yang tersembunyi di balik kata-kata Riveria.
Setelah beberapa saat, Riveria akhirnya berkata, "Aku sudah selesai berganti baju."
Mendengar itu, Shirou membalikkan badan dan melihat Riveria telah kembali mengenakan jubah hijaunya yang biasa, yang anggun dan menutupi seluruh tubuhnya. Berbeda sekali dengan gaun cantik yang ia kenakan tadi malam, yang terbuka dan memperlihatkan sisi yang lebih feminin dan menggoda dari Riveria.
Riveria melangkah mendekat dan mengajak Shirou kembali ke Twilight Manor. "Ayo kita kembali. Hari sudah semakin siang," katanya dengan suara lembut tapi kembali anggun, seperti biasanya.
Saat mereka berjalan berdampingan menuju Twilight Manor, Shirou bisa merasakan perbedaan besar dalam sikap Riveria. Malam tadi, dia memperlihatkan sisi yang lebih terbuka, lebih menggoda, dan penuh perhatian. Tapi sekarang, Riveria telah kembali ke sifatnya yang elegan dan terhormat, seperti sosok pemimpin yang selalu dihormati oleh semua orang di Loki Familia.
Sesampainya di dekat kamar Riveria, dia berhenti sejenak, menatap sekeliling untuk memastikan tidak ada orang lain yang melihat. Dengan sedikit senyuman di bibirnya, Riveria berkata pelan, "Terima kasih atas malam yang indah." Nada suaranya yang ambigu dan lembut membuat Shirou langsung memerah. Kata-katanya mengandung makna yang bisa disalahartikan, dan Shirou tak bisa menahan rasa malunya.
Sebelum Shirou sempat menjawab, Riveria tersenyum kecil dan bergegas menuju kamarnya, meninggalkan Shirou yang masih terdiam di tempat dengan wajah yang memerah. Shirou hanya bisa menghela napas, tersenyum kecut, dan berjalan kembali ke kamarnya, mengingat momen intim tadi malam dengan perasaan yang campur aduk.
Setelah menyimpan kembali gaun indah yang ia kenakan tadi malam, Riveria berjalan ke tempat tidurnya dengan langkah yang agak lambat. Saat mencapai kasurnya, dia tak bisa menahan perasaan campur aduk yang menghantam pikirannya. Tanpa berpikir panjang, Riveria melompat ke atas kasur dan langsung mendekap bantal ke wajahnya dengan erat, seolah berusaha menutupi seluruh rasa malunya.
Di dalam keheningan kamarnya, Riveria memutar ulang kejadian-kejadian yang terjadi tadi malam. Dengan jantung berdebar, dia teringat bagaimana ia berani tampil begitu mempesona dan, lebih dari itu, begitu agresif menggoda Shirou. "Apa yang sudah aku lakukan?" gumamnya, wajahnya merah padam di balik bantal. Dalam kesehariannya, Riveria selalu tampil sebagai sosok yang tegas dan anggun, jauh dari sikap yang ia tunjukkan semalam.
Namun, meskipun malu, ada rasa kepuasan terselubung yang ia rasakan. Reaksi Shirou yang terpesona karena kecantikannya, wajahnya yang merah setiap kali ia menggoda, serta sentuhan manis saat Shirou dengan lembut mengelus rambutnya. Setiap momen itu seperti terukir jelas dalam ingatannya.
Riveria tersenyum lembut di balik bantal, terutama ketika ia mengingat mimpinya. Di dalam mimpi itu, Shirou telah menjadi Romeo, pahlawan dalam kisah cinta yang membuat hatinya berdebar-debar. Di dunia nyata, dia merasakan hal yang sama saat bersama Shirou. Dia merasakan kehangatan itu lagi, bahkan saat memikirkan bagaimana di mimpinya Shirou menghidupkan kembali momen indah itu—momen di mana mereka seharusnya berpisah dalam tragedi, tapi berubah menjadi akhir yang bahagia.
"Aku benar-benar... jatuh cinta padanya," bisiknya pelan, suara itu hampir tenggelam di dalam bantal yang ia peluk erat.