Riveria duduk dengan tenang di depan Shirou, mengingat kembali suara indah yang keluar dari gramofon yang baru saja diproyeksikan oleh Shirou. Alat itu terasa begitu asing bagi dirinya, namun sekaligus memukau. Dengan rasa penasaran, Riveria bertanya, "Shirou, gramofon tadi... apakah di duniamu mereka memiliki banyak alat seperti itu? Apakah teknologi di sana berkembang sejauh itu?"
Shirou menggaruk kepalanya, sedikit malu karena tahu teknologi di dunia asalnya jauh melampaui apa yang bisa dipahami di Orario. "Sebenarnya, gramofon itu sudah bisa dianggap kuno di tempat asalku. Ini hanya alat yang digunakan untuk memutar musik dengan metode yang sudah lama ditinggalkan."
Mendengar kata "kuno," Riveria terkejut. "Kuno? Tapi itu terdengar begitu indah, dan tampak seperti sesuatu yang cukup maju. Kau mengatakan bahwa alat itu sudah lama tidak digunakan?"
Shirou tersenyum, mengangguk. "Ya, di dunia asalku, gramofon sudah tidak banyak digunakan lagi. Orang-orang di sana memiliki alat yang jauh lebih canggih untuk mendengarkan musik. Bahkan, ada alat elektronik yang bisa menyimpan ribuan lagu dalam satu perangkat kecil saja."
Riveria menyimak dengan kagum, mencoba membayangkan dunia Shirou yang penuh dengan teknologi yang begitu berbeda dari apa yang ada di Orario. "Lagu-lagu dalam satu perangkat kecil? Kau tidak perlu lagi piringan untuk memutarnya?" tanyanya, takjub.
Shirou tertawa kecil, "Ya, benar. Piringan seperti itu tidak lagi digunakan. Bahkan, teknologi telah berkembang ke titik di mana musik bisa diputar langsung dari udara tanpa perlu kabel atau koneksi fisik. Namun, hal-hal seperti itu terlalu kompleks untuk kuprojeksi menggunakan Magecraft. Aku bisa memprojeksi gramofon karena itu cukup sederhana, tapi alat elektronik modern memiliki ribuan, bahkan jutaan, komponen kecil yang membuatnya hampir mustahil untuk diproduksi ulang dengan sihir."
Riveria tercengang. "Jadi, meskipun kau bisa memproyeksikan senjata dan alat dari duniamu, ada batasan untuk teknologi tertentu?"
Shirou mengangguk, merasa kagum sendiri saat menjelaskan teknologi di dunianya. "Benar. Elektronik sangat rumit, bahkan untukku. Dunia kita memiliki alat yang bisa memvisualisasikan gambar bergerak, seperti... gambar hidup di udara, tanpa benda fisik. Mereka menyebutnya televisi, dan alat-alat itu jauh melampaui apa yang bisa kulakukan dengan sihir."
Riveria menatap Shirou dengan kagum, membayangkan betapa majunya dunia yang pernah Shirou tinggali. "Itu terdengar seperti sihir sendiri. Dunia tempatmu berasal... apakah semua orang menggunakan alat seperti itu?"
Shirou mengangguk lagi. "Ya, sebagian besar orang memiliki akses ke teknologi seperti itu. Komunikasi, hiburan, bahkan kehidupan sehari-hari kami dipermudah dengan berbagai macam alat canggih."
Riveria terdiam sejenak, membiarkan semua informasi itu meresap. "Dunia di mana teknologi bisa menggantikan sihir... Sepertinya, duniamu jauh lebih maju dalam banyak hal, Shirou. Aku tidak bisa membayangkan hidup seperti itu."
Shirou tersenyum, menatap Riveria dengan lembut. "Mungkin memang begitu, tapi Orario juga memiliki keunikan dan kekuatannya sendiri. Sihir di sini jauh lebih nyata, lebih dekat dengan alam dan kekuatan yang kami di dunia asalku tak bisa capai. Bahkan aku masih terkejut dengan banyak hal di dunia ini."
Riveria tersenyum, merasa bahwa di balik kecanggihan teknologi yang diceritakan Shirou, dunia mereka memiliki sesuatu yang sama berharganya.
Riveria menatap Shirou dengan penuh rasa ingin tahu setelah mendengar penjelasannya tentang teknologi di dunia asalnya. "Jadi, bagaimana dengan Magus di duniamu? Jika dunia kalian begitu maju dengan teknologi, bagaimana mereka menggunakan Magecraft? Apa tidak ada benturan antara sihir dan teknologi?" tanyanya, mencoba memahami hubungan antara dua hal yang tampak bertolak belakang itu.
Shirou terdiam sejenak sebelum menjawab, "Magecraft di duniaku sedikit berbeda. Di sana, kekuatan Magecraft berasal dari sesuatu yang disebut Mystery. Semakin besar Mystery, semakin kuat Magecraft itu. Namun, Mystery akan memudar jika sesuatu yang serupa bisa dilakukan oleh teknologi. Jadi, kekuatan Magecraft menurun seiring teknologi semakin berkembang."
Riveria terlihat bingung. "Mystery? Apa maksudnya? Bagaimana kekuatan Magecraft bisa menurun hanya karena teknologi?"
Melihat kebingungannya, Shirou melanjutkan dengan sabar, "Mystery pada dasarnya adalah keajaiban yang tak dapat dijelaskan. Semakin sulit sesuatu dipahami oleh dunia, semakin kuat kekuatan itu. Ketika teknologi muncul yang bisa menjelaskan atau meniru kekuatan itu, Mystery akan memudar karena orang-orang sudah tidak lagi melihatnya sebagai keajaiban. Misalnya, sihir terbang dulu sangat kuat karena tidak ada yang bisa melakukannya. Tapi setelah pesawat ditemukan, sihir terbang menjadi lebih lemah."
Riveria menatapnya dengan rasa ingin tahu yang semakin besar. "Pesawat? Apa itu pesawat?"
Shirou tersenyum, senang melihat ketertarikan Riveria. "Pesawat adalah kendaraan bersayap yang digunakan untuk terbang di langit. Mereka bisa membawa banyak orang atau barang, dan digunakan untuk perjalanan jarak jauh dengan cepat. Dengan pesawat, orang-orang bisa terbang dari satu tempat ke tempat lain tanpa menggunakan sihir."
Riveria mendengarkan penjelasan itu dengan penuh kekaguman. "Jadi, pesawat adalah teknologi yang menggantikan sihir terbang? Di dunia kami, hanya dengan sihir seseorang bisa melakukan hal seperti itu. Tapi di duniamu, siapa pun bisa terbang menggunakan pesawat?"
Shirou mengangguk. "Ya, siapa pun bisa naik pesawat dan terbang ke mana saja. Dan karena hal itu menjadi umum, sihir terbang kehilangan sebagian besar kekuatannya. Itulah sebabnya, Magus harus merahasiakan kekuatan mereka. Jika sihir mereka diketahui oleh publik dan menjadi hal yang umum, kekuatan itu akan memudar dan menjadi lemah."
Riveria mendengarkan dengan kagum, mencoba membayangkan bagaimana teknologi seperti itu dapat mengubah dunia dan sihir. "Jadi, dengan kata lain, semakin umum sebuah keajaiban, semakin lemah kekuatan di baliknya?"
Shirou mengangguk. "Benar. Oleh karena itu, Magus di dunia asalku selalu merahasiakan kemampuan mereka. Mereka tidak ingin teknologi atau orang awam menyadari keajaiban mereka, karena hal itu akan membuat kekuatan mereka semakin lemah."
Riveria terdiam sejenak, mencerna informasi itu. Baginya, sihir adalah kekuatan alami yang nyata dan kuat, tidak tergantikan oleh apa pun. Tetapi di dunia Shirou, teknologi sudah begitu maju hingga bisa menyaingi bahkan mengalahkan sihir. "Aku tidak pernah membayangkan hal seperti itu bisa terjadi. Sihir dan teknologi... dunia tempatmu berasal pasti sangat berbeda dari yang kita kenal di sini."
Shirou tersenyum tipis, menyadari bahwa meskipun dunia asalnya dan Orario sangat berbeda, keduanya memiliki keajaiban tersendiri. "Ya, dunia kita memang berbeda. Tapi meskipun begitu, di sini ada banyak hal yang tak pernah kulihat di dunia asalku." Bahkan di dunia sebelumnya Shirou tidak pernah melihat Elf seperti Riveria.
Riveria tersenyum lembut, merasakan kekaguman yang sama terhadap dunia Shirou dan betapa berbedanya kehidupan mereka. "Sepertinya, baik dunia asalmu maupun dunia kami, masing-masing memiliki keajaibannya sendiri."
Riveria menatap Shirou dengan penuh rasa ingin tahu. "Bagaimana dengan Magus lain? Apa mereka memiliki kekuatan seperti milikmu?" tanyanya, matanya berbinar-binar, mencoba membayangkan dunia Shirou yang penuh dengan pengguna sihir yang mungkin lebih kuat darinya.
Shirou tersenyum tipis, lalu menggelengkan kepalanya dengan jujur. "Sebenarnya, aku hanya seorang Magus pemula. Dibandingkan dengan Magus lain, aku tidak tahu banyak. Mereka pasti lebih menguasai berbagai bidang Magecraft yang aku tidak kuasai."
Riveria terkejut mendengar pernyataan Shirou. "Pemula?" Dia tidak bisa menyembunyikan rasa herannya. Bagaimana mungkin Shirou, yang memiliki kekuatan luar biasa seperti yang pernah ia saksikan—terutama saat pertarungan melawan monster-monster kuat—mengaku sebagai seorang pemula? "Kalau begitu, apa yang bisa dilakukan Magus yang lebih kuat? Kau begitu hebat, aku tidak bisa membayangkan kekuatan seorang ahli Magecraft."
Shirou tersenyum canggung dan mencoba merendah. "Sebenarnya, kekuatanku cukup spesifik. Aku ahli dalam Projection dan beberapa teknik lainnya, tapi di luar itu, aku tidak memiliki kemampuan luas dalam Magecraft. Magus lain mungkin bisa mengajarkanmu lebih banyak tentang bidang Magecraft yang lebih umum."
Riveria, yang biasanya tenang dan penuh wibawa, tiba-tiba memegang tangan Shirou dengan lembut. Sentuhan itu hangat, dan tatapan Riveria menunjukkan ketulusan yang mendalam. "Aku tidak peduli dengan ahli Magecraft lainnya, Shirou. Aku lebih memilih belajar Magecraft darimu, daripada dari siapa pun. Bagiku, apa yang telah kau ajarkan jauh lebih berharga," katanya dengan nada yang begitu lembut dan penuh keyakinan.
Shirou bisa merasakan kehangatan yang memancar dari sentuhan tangan Riveria. Ia melihat bagaimana sorot mata Riveria tampak lebih lembut dan cantik daripada biasanya. Wajahnya yang selalu anggun kini menampakkan sisi yang jarang terlihat—sisi lembut seorang wanita yang memendam perasaan. Ini membuat Shirou tersipu malu, tak tahu harus berkata apa.
Momen itu terasa istimewa, dan untuk beberapa saat, mereka berdua hanya terdiam dalam kehangatan yang baru mereka rasakan. Shirou menyadari bahwa meskipun ia masih merasa rendah diri dengan kemampuannya sebagai Magus, Riveria tidak memandangnya demikian. Bagi Riveria, apa yang telah Shirou berikan kepadanya jauh lebih dari sekadar pelajaran Magecraft.
Riveria merasa keberanian tumbuh dalam dirinya. Dengan lembut, ia mengelus tangan Shirou yang masih berada dalam genggamannya, lalu menatapnya dalam-dalam. "Apa saja yang bisa kau projeksikan selain senjata-senjata kuat yang pernah kau perlihatkan? Seperti perisai Rho Aias atau busur Atalante itu?" tanyanya dengan nada menggoda yang jarang sekali ia tunjukkan.
Shirou, yang tak terbiasa dengan perhatian dan kelembutan seperti itu, memerah. Riveria yang biasanya serius kini tampak begitu lembut dan lebih dekat daripada sebelumnya. Godaan kecil yang diberikan Riveria membuat Shirou tersipu, namun ia berusaha tetap tenang. Melihat Riveria yang menatapnya penuh perhatian, ia mulai menjelaskan dengan sabar.
"Senjata-senjata itu bukan sembarang senjata," ucap Shirou perlahan. "Mereka disebut Noble Phantasm. Itu adalah wujud legendaris dari senjata atau benda yang dihubungkan dengan kisah heroik dari seorang Heroic Spirit. Noble Phantasm bukan hanya sekadar senjata kuat, tapi juga simbol dari pencapaian pahlawan itu dalam sejarah atau mitologi."
Riveria menatap Shirou dengan mata yang penuh ketertarikan. "Jadi, setiap Noble Phantasm memiliki sejarah dan kekuatan yang luar biasa? Itu pasti sangat sulit untuk di-proyeksikan," gumamnya sambil masih terus mengelus tangan Shirou dengan lembut, seolah menikmati setiap sentuhan.
Shirou tersenyum kecil, meski masih merasa canggung dengan sentuhan Riveria yang begitu lembut dan penuh perhatian. "Ya, Noble Phantasm adalah manifestasi dari jiwa pahlawan. Bukan hanya kekuatannya, tapi juga sejarah, kenangan, dan kekuatan batin dari pahlawan yang menggunakannya. Setiap kali aku memprojeksikan salah satunya, aku harus merasakan dan memahami kisah yang ada di baliknya. Hanya dengan begitu aku bisa menciptakannya dengan benar," jelasnya.
Mendengar penjelasan itu, Riveria semakin kagum. "Jadi, setiap kali kau menggunakan salah satu senjata itu, kau membawa bagian dari sejarah dan jiwa mereka bersamamu?" tanyanya sambil memandangi Shirou dengan rasa hormat dan ketertarikan yang semakin mendalam.
Shirou mengangguk pelan, masih merasa malu di bawah tatapan intens Riveria. "Ya, bisa dibilang begitu. Itu sebabnya aku hanya bisa memproyeksikan senjata-senjata yang aku benar-benar pahami. Setiap proyeksi adalah bagian dari diriku yang terhubung dengan jiwa mereka."
Riveria tersenyum lembut. "Itu luar biasa, Shirou. Kau tidak hanya seorang Magus, tapi juga pembawa sejarah dari para pahlawan legendaris."
Shirou hanya bisa tersenyum canggung, merasa terhormat namun juga sedikit tersipu dengan pujian Riveria.
Riveria duduk tegak, pandangannya penuh perhatian saat ia terus menatap Shirou, keingintahuannya masih belum terpuaskan. "Apakah selain senjata dan perisai, kau bisa memprojeksikan Noble Phantasm lain?" tanyanya dengan nada lembut, namun jelas ingin tahu lebih dalam.
Shirou berpikir sejenak, mencoba mengingat berbagai Noble Phantasm yang pernah ia projeksikan. Dengan perlahan, ia melepaskan tangannya dari genggaman Riveria. Meski Riveria merasa kehilangan kehangatan dari genggaman itu, ia tetap sabar dan menunggu dengan penuh rasa penasaran. Matanya tak lepas dari Shirou, ingin melihat apa yang akan ia tunjukkan.
"Sejujurnya, aku memiliki afinitas dengan pedang. Segala sesuatu yang bukan pedang akan mengonsumsi lebih banyak prana," jelas Shirou sambil menatapnya. "Senjata yang bukan pedang terasa kurang alami bagiku." Riveria mengangguk, memahami keterbatasan Shirou sambil membandingkan dengan afinitas elemen dirinya sendiri. Ia berpikir bahwa mungkin afinitasnya adalah es atau api, sesuatu yang sesuai dengan sihir yang sering ia gunakan.
Dengan suara tenang dan konsentrasi penuh, Shirou melafalkan mantra andalannya, "Trace, on." Cahaya samar menyelimuti tangannya saat sebuah Noble Phantasm mulai terbentuk. Namun, alih-alih pedang atau perisai, kali ini yang muncul di tangannya adalah sebuah buku.
Riveria terkejut. "Itu... sebuah buku?" tanyanya dengan nada penasaran, matanya terpaku pada buku misterius yang kini berada di tangan Shirou.
Shirou tersenyum kecil dan menjelaskan, "Buku ini adalah Noble Phantasm milik seorang Heroic Spirit bernama Shakespeare. Dia adalah seorang penulis legendaris di duniaku, dan bukunya bukanlah senjata biasa. Dengan ini, dia bisa menciptakan ilusi yang sangat nyata, seolah-olah kisah dalam bukunya menjadi kenyataan."
Riveria menatap buku itu dengan rasa kagum. "Jadi, ini bukanlah senjata fisik, tapi sesuatu yang dapat memanipulasi realitas? Membuat ilusi menjadi hidup?" tanyanya dengan kagum, meski dalam hati ia berpikir betapa luar biasanya kekuatan tersebut.
Shirou mengangguk. "Benar. Itu adalah kekuatannya. Ilusi yang diciptakan bisa memengaruhi pikiran dan perasaan orang yang terjebak di dalamnya. Bahkan bisa membuat mereka merasakan seolah-olah mereka benar-benar hidup di dalam kisah itu."
Riveria merasa terpesona dengan kemungkinan-kemungkinan yang dihadirkan oleh Noble Phantasm ini. "Menarik," gumamnya. "Sesuatu yang bisa mengubah realitas melalui kekuatan cerita. Itu pasti merupakan kekuatan yang luar biasa jika digunakan dengan benar."
Shirou tersenyum mendengar rasa kagum dari Riveria. Meskipun dia lebih terbiasa dengan senjata fisik, dia tahu bahwa Noble Phantasm seperti milik Shakespeare memiliki kekuatan yang tidak kalah hebat. "Ya, meskipun ini bukan sesuatu yang sering aku gunakan, kekuatannya cukup berbahaya di tangan yang tepat".
Setelah itu Shirou duduk di karpet, Riveria merasa bahwa ini adalah momen yang tepat untuk mengekspresikan perasaannya, jauh dari sorotan orang lain. Di gudang ini, ia bisa menjadi dirinya yang sebenarnya tanpa beban sebagai pemimpin yang harus selalu kuat dan berwibawa. Dengan hatinya yang bergetar oleh ketegangan dan perasaan yang semakin mendalam, ia berbaring perlahan, lalu menyandarkan kepalanya dengan lembut di paha Shirou.
"Shirou," suara Riveria terdengar lembut, hampir seperti bisikan. "Bisakah kau menggunakan Noble Phantasm dari Shakespeare itu kepadaku? Aku ingin merasakannya." Mata hijau Riveria menatap langsung ke wajah Shirou, yang kini tampak tersipu melihat wajah cantik dan tenang Riveria di atas pahanya.
Mendengar permintaan itu, Shirou merasa khawatir. "Tapi... aku belum pernah menggunakannya sebelumnya. Aku tidak yakin bagaimana efeknya," ucapnya cemas. Dia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi kepada Riveria, apalagi dengan Noble Phantasm yang dia belum kuasai sepenuhnya.
Namun, Riveria menatapnya dengan keyakinan yang dalam. "Aku percaya padamu," kata Riveria sambil tersenyum lembut, wajahnya begitu dekat hingga Shirou bisa merasakan kehangatan napasnya. "Aku rela dengan apa pun yang akan kau lakukan padaku."
Kata-kata itu membuat Shirou sedikit terkejut. Ada sesuatu yang ambigu dalam ucapannya, yang membuat hati Shirou semakin berdebar. Dia menelan ludah dan mencoba untuk tetap tenang. "Baiklah," jawabnya akhirnya, menguatkan diri untuk memenuhi permintaan Riveria.
Dengan tangan yang sedikit bergetar, Shirou mengaktifkan Noble Phantasm. "First Folio," ucapnya perlahan.
Seiring dengan diucapkannya nama itu, aura magis menyelimuti Riveria. Perlahan, matanya menutup, dan dia tertidur pulas di atas paha Shirou. Wajahnya yang anggun tampak begitu damai, seakan terselimut mimpi yang lembut.
Shirou, yang kini berada dalam posisi yang cukup canggung, hanya bisa duduk diam memperhatikan Riveria. Tatapannya tertuju pada wajah cantik Riveria, menyadari betapa tenang dan lembutnya ekspresi wanita elf itu dalam tidurnya. Di tengah rasa gugup dan canggungnya, tanpa sengaja pandangannya meluncur ke bawah, melihat lekuk gaun yang dikenakan Riveria, terutama pada belahan dada yang samar terlihat.
Shirou segera memalingkan wajahnya, merasa tidak pantas untuk melihatnya lebih lama. Wajahnya memerah saat berusaha menahan diri dan menjaga pikirannya tetap jernih. Namun, tetap saja, berada dalam situasi seperti ini membuat jantungnya berdegup kencang, terutama karena ini adalah Riveria, seseorang yang sangat dihormatinya, sekaligus juga seseorang yang kini perlahan-lahan ia sadari, mungkin memiliki perasaan yang istimewa padanya.
Di tengah kebisuannya, Shirou hanya bisa berharap agar Riveria mengalami mimpi yang indah di bawah efek First Folio, sementara ia sendiri berusaha menjaga ketenangannya dalam situasi yang penuh keintiman itu.
Dalam tidurnya yang lelap, Riveria memasuki dunia mimpi yang begitu asing namun terasa sangat nyata. Tanpa disadarinya, ia terperangkap dalam alur kisah yang belum pernah ia dengar atau baca sebelumnya—kisah tragis Romeo dan Juliet. Di dalam mimpi itu, Riveria berperan sebagai Juliet, seorang gadis muda yang begitu murni dan penuh cinta, sementara sosok Romeo diperankan oleh Shirou, pria yang diam-diam telah mengisi ruang di hatinya.
Meski tidak mengetahui kisah ini berasal dari dunia lain, Riveria seolah menyatu dengan peran Juliet. Setiap emosi dan alur cerita menyentuh hatinya dengan begitu mendalam. Dalam mimpinya, Romeo dan Juliet—dirinya dan Shirou—terjebak dalam kisah cinta yang rumit dan penuh tantangan. Keluarga mereka bermusuhan, dan cinta yang mereka rasakan harus dijalani dalam sembunyi-sembunyi, di bawah bayang-bayang ancaman.
Shirou sebagai Romeo dalam mimpi itu memperlihatkan kelembutan dan keberanian yang sama seperti yang Riveria kenal di dunia nyata. Setiap tatapan, senyuman, dan pelukan yang ia terima darinya di mimpi itu membuat hati Riveria semakin terpaut. Ia jatuh cinta sekali lagi pada Shirou, tetapi kali ini melalui lensa cinta tragis yang tak bisa mereka hindari.
Dalam momen-momen yang seolah terukir dalam ingatannya, Riveria merasa bagaimana Romeo berjuang untuk cintanya dengan segala keberanian dan pengorbanan. Setiap pertemuan mereka diwarnai dengan janji-janji cinta yang dalam dan tulus, yang hanya semakin memperkuat perasaan Riveria kepada Shirou. Ia merasakan getaran cinta yang tak terbendung, seolah-olah peran Juliet telah menghidupkan perasaannya yang sebenarnya untuk Shirou.
Namun, seperti kisah aslinya, mimpi itu tidak berakhir bahagia. Di momen paling memilukan, Romeo meminum racun karena yakin bahwa Juliet telah meninggal. Riveria, sebagai Juliet, terbangun dari tidur palsunya, hanya untuk menemukan bahwa pria yang dicintainya telah mati di hadapannya. Kesedihan yang luar biasa merasuki jiwanya. Air mata Riveria mengalir deras saat ia memeluk tubuh tak bernyawa Shirou dalam mimpi itu, meratapi kehilangan yang begitu menyakitkan.
Rasa duka itu terasa begitu nyata, hingga Riveria mulai menangis dalam tidurnya. Wajahnya yang tenang kini berubah, dengan air mata yang perlahan mengalir di pipinya. Sementara itu, Shirou di dunia nyata merasakan perubahan pada Riveria yang masih tertidur di atas pahanya. Dia melihat air mata jatuh dari sudut mata Riveria, membuat Shirou semakin khawatir.
Tanpa mengetahui kisah tragis yang tengah dialami Riveria di alam mimpi, Shirou hanya bisa menatapnya dengan cemas, berusaha menenangkan hati wanita yang telah begitu dekat dengannya. Di dalam mimpi, Riveria terus menangis, merasakan kehilangan yang begitu mendalam setelah kehilangan Romeo—Shirou—dalam pelukan terakhirnya.
Di dunia nyata, Shirou merasa cemas melihat Riveria yang tertidur di pangkuannya mulai menangis tanpa henti. Tanpa tahu apa yang sedang terjadi di dalam mimpinya, Shirou hanya bisa bertindak dengan instingnya. Dengan lembut, ia mengelus rambut hijau indah Riveria, berharap sentuhannya dapat menenangkan wanita itu. Rambut Riveria terasa lembut di tangannya, seperti sutra yang berkilauan di bawah cahaya redup ruangan.
Perlahan-lahan, pengaruh dari sentuhan lembut Shirou mulai terasa dalam mimpi Riveria. Di alam bawah sadarnya, Riveria—yang saat itu masih memeluk tubuh tak bernyawa Romeo dalam mimpi—merasa ada kehangatan yang menyusup masuk ke dalam kesedihannya. Saat Romeo, sosok yang diperankan oleh Shirou, seharusnya sudah mati karena racun, tiba-tiba ia terbangun. Dengan lembut, Romeo yang telah bangun dari kematiannya dalam mimpi itu mengulurkan tangannya dan mengelus rambut Juliet—Riveria—dengan penuh kasih sayang.
Riveria, yang awalnya merasa duka mendalam, terkejut sekaligus bahagia melihat Romeo bangun kembali. Tangisnya yang deras di dalam mimpi berubah menjadi senyuman bahagia. Perasaan hangat mengalir di hatinya, seperti pelukan yang menenangkan, dan ia memandang Romeo dengan penuh cinta.
Di dunia nyata, senyum yang terukir di bibir Riveria juga tampak jelas. Air matanya berhenti mengalir, dan wajahnya kini bersinar dengan ketenangan dan kebahagiaan. Shirou, yang memperhatikan perubahan itu, merasa lega. Ia terus mengelus rambut Riveria dengan lembut, sambil tersenyum kecil melihat betapa damainya dia sekarang. Ia tak tahu apa yang terjadi di dalam mimpi Riveria, tetapi melihat senyum wanita itu membuat hatinya tenang.
Tak ingin membangunkan Riveria, Shirou memutuskan untuk tetap dalam posisi duduk. Dengan hati-hati, ia memprojeksi sebuah bantal kecil di belakang punggungnya agar dia bisa bersandar dengan nyaman. Shirou mengatur napasnya, lalu dengan tenang memejamkan matanya, tetap mengelus rambut Riveria yang tertidur di pangkuannya. Suasana di dalam gudang itu menjadi tenang, dengan Riveria yang tersenyum dalam tidurnya, merasakan kehangatan cinta dalam mimpi dan di dunia nyata.