Chereads / Fate x Danmachi: The Sword Prince / Chapter 38 - Chapter 38

Chapter 38 - Chapter 38

Saat fajar menyingsing dan cahaya pagi yang lembut masuk ke dalam kamarnya, Shirou merasakan ada sesuatu yang aneh. Ada gerakan halus di dekatnya, di sisi tempat tidur. Meski setengah sadar, tubuhnya segera bereaksi. Ia merasakan kehadiran seseorang yang berdiri sangat dekat dengannya. Perlahan, Shirou mengintip dari sela-sela matanya yang masih setengah tertutup.

Tepat di depannya, dia melihat rambut pirang panjang yang berkilauan di bawah cahaya subuh. Itu adalah Aiz, berdiri tenang di dekat tempat tidurnya, tampak memandangnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Aiz tampaknya tak menyadari bahwa Shirou sudah terjaga, dan sepertinya ia sedang menikmati melihat wajah Shirou saat tidur.

Shirou, meski terkejut, tetap tenang. Dengan suara lembut, dia memanggil, "Aiz?"

Aiz langsung terkejut, mata emasnya membelalak sedikit, dan wajahnya tampak malu. "Shirou... maaf!" ujarnya buru-buru, suaranya terdengar canggung dan tergesa-gesa. Dia mengambil beberapa langkah mundur, tampak bingung bagaimana harus menjelaskan situasinya. "Aku masuk ke kamarmu pagi sekali... dan aku tidak izin. Aku tidak bermaksud mengganggumu," lanjutnya dengan nada menyesal.

Shirou, yang kini duduk di kasurnya, hanya tersenyum tenang. Dia menatap Aiz, yang berdiri di hadapannya, tampak begitu cantik dengan one piece dress putih yang sederhana tapi memancarkan pesona lembut. Meskipun Aiz terlihat malu, dia tetap menatap Shirou dengan mata penuh tekad, seolah ada sesuatu yang penting ingin dia sampaikan.

Dengan wajah sedikit memerah, Aiz perlahan menjelaskan. "Aku... aku ingin meminta tolong padamu. Kemarin kau bilang kau bisa mengajariku berenang, kan?" Aiz menundukkan kepalanya sejenak, kemudian melanjutkan, "Aku ingin belajar sebelum yang lain bangun. Aku... tidak ingin ketahuan kalau aku masih tidak bisa berenang."

Melihat betapa seriusnya Aiz, Shirou hanya bisa tersenyum lembut. Perilaku Aiz yang begitu tegas dalam bertarung, tapi begitu malu dalam hal-hal sederhana seperti ini, membuatnya tampak semakin menarik. Shirou mengangguk pelan, masih duduk di kasurnya, dan berkata, "Tentu saja, Aiz. Aku akan membantumu belajar berenang. Kita bisa pergi sekarang sebelum yang lain terbangun."

Aiz, meski biasanya terlihat tenang dan tak banyak bicara, tampak sedikit tersenyum lega. "Terima kasih, Shirou," ucapnya singkat, tapi suaranya terdengar penuh makna.

Shirou berdiri dari tempat tidurnya dan mulai bersiap. Di dalam hatinya, ia merasa senang melihat sisi Aiz yang lebih manusiawi dan lembut ini. Meski mereka telah melewati banyak pertempuran bersama, ada sesuatu yang berbeda dari momen ini—lebih pribadi, lebih dekat.

Saat mereka bersiap untuk pergi ke pantai di pagi buta itu, Shirou tak bisa menahan senyumannya. Ini adalah sisi lain dari petualangan mereka, momen tenang yang menambah kedekatan di antara mereka.

Shirou dengan cepat menyiapkan bekal sederhana berupa sandwich untuk mereka berdua. Dia mengambil bahan-bahan yang tersedia di dapur penginapan dan dengan cekatan membuat sandwich yang penuh gizi untuk sarapan ringan setelah latihan berenang nanti. Saat ia selesai, ia membungkusnya dengan rapi dan menyerahkannya kepada Aiz.

Aiz dengan tenang memasukkan bekal itu ke dalam tas sandangnya. "Terima kasih, Shirou," ucapnya singkat tapi tulus, sambil mengamankan tas tersebut di bahunya. Dengan segala persiapan sudah selesai, mereka berdua bersiap untuk keluar secara diam-diam dari penginapan, agar tidak membangunkan anggota Loki Familia lainnya yang masih tertidur pulas.

Begitu mereka keluar dari penginapan, udara pagi terasa segar, sejuk dengan sentuhan angin laut yang membawa aroma garam dan embun. Shirou berjalan di samping Aiz, merasa tenang di tengah keheningan pagi yang baru dimulai. Sambil berjalan, ia sesekali melirik ke arah Aiz yang berada di sebelahnya. Rambut pirang panjang Aiz berkibar tertiup angin pagi, berkilauan dalam cahaya matahari yang baru terbit. Pemandangan itu membuat Shirou tak bisa menahan senyum kecil, merasa beruntung bisa melihat momen yang begitu indah dan damai ini.

Sambil terus berjalan di sepanjang jalan setapak yang mengarah ke pantai, Shirou bertanya dengan lembut, "Pantai mana yang akan kita tuju?"

Aiz menoleh padanya, menunjuk ke arah hutan yang berada di depan mereka. "Di balik hutan itu ada pantai kecil. Tempatnya jarang dilalui orang, jadi tidak akan ada yang melihat kita," jawabnya dengan tenang.

Shirou mengangguk, mengerti maksud Aiz. Pantai tersembunyi itu terdengar sempurna untuk latihan berenang tanpa harus khawatir ada orang lain yang melihat. Mereka berdua melanjutkan perjalanan, menyeberangi jalan setapak yang berkelok-kelok menuju hutan yang Aiz tunjukkan. Pepohonan di sekitar mereka semakin rapat, menciptakan suasana tenang dan tersembunyi.

Ketika mereka mulai mendekati tujuan, suara ombak perlahan terdengar, semakin jelas saat mereka mendekati pantai kecil yang tersembunyi di balik hutan itu. Pantai itu tampak tenang dan terpencil, dengan pasir putih lembut yang menghampar di sepanjang bibir pantai, serta ombak yang lembut membelai tepiannya. Tempat ini tampak sempurna—jauh dari hiruk-pikuk dan mata-mata yang penasaran.

Shirou tersenyum, merasa siap membantu Aiz belajar berenang di tempat yang begitu damai ini.

Setelah sampai di pantai kecil yang tersembunyi, Shirou dan Aiz memilih tempat di dekat sebuah batu besar untuk meletakkan barang-barang dan bekal yang mereka bawa. Pantai itu sunyi, hanya terdengar suara lembut ombak yang berdebur di kejauhan. Setelah menata barang-barang mereka, Aiz tanpa ragu mulai membuka one piece dress putih yang ia kenakan, membuat Shirou terkejut.

Shirou yang tidak siap dengan pemandangan itu segera memalingkan wajahnya, wajahnya memerah. "A-Aiz, apa yang kau lakukan?" tanyanya dengan sedikit panik, suaranya bergetar karena tak tahu bagaimana harus bereaksi. Pikirannya langsung dipenuhi oleh kebingungan, merasa tidak seharusnya melihat pemandangan tersebut.

Namun, Aiz yang sudah menyadari reaksi Shirou hanya tersenyum kecil, tampak tenang seperti biasanya. "Tidak apa-apa, Shirou. Aku sudah mengenakan bikini di dalamnya," jelasnya dengan suara lembut namun meyakinkan. Tidak ada sedikit pun rasa malu dalam suaranya; dia hanya menganggapnya sebagai persiapan untuk berenang.

Perlahan, Shirou memberanikan diri untuk menoleh kembali ke arah Aiz, dan saat itu dia melihat Aiz sudah mengenakan bikini putih yang sempurna membalut tubuh atletisnya. Rambut pirangnya yang panjang dibiarkan tergerai, berkilauan di bawah sinar matahari pagi yang lembut. Dalam hatinya, Shirou langsung teringat pada apa yang pernah Lefiya katakan tentang Aiz. Memang benar, Aiz tampak luar biasa cantik dalam bikini putih itu—bahkan lebih dari yang dia bayangkan.

Namun, Aiz tidak menyadari kekaguman Shirou. Dia hanya menatapnya dengan bingung ketika melihat Shirou yang terdiam, terpaku di tempatnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. "Shirou? Kau juga harus ganti baju, kan?" katanya dengan nada polos, tak memahami mengapa Shirou begitu terpesona.

Tersadar dari lamunannya, Shirou segera berdeham, berusaha mengendalikan diri. "Ah, ya! Tentu... aku akan ganti baju sekarang," jawabnya dengan cepat, merasa sedikit malu karena terkejut melihat Aiz. Ia mengambil pakaian renangnya dari tasnya dan bersiap untuk berganti, meskipun pikirannya masih sedikit terpengaruh oleh pemandangan sebelumnya.

Dengan pantai yang sepi dan hanya mereka berdua di sana, suasana terasa damai, meskipun ada sedikit kecanggungan dari kejadian tadi.

Setelah Shirou mengganti pakaiannya dengan celana renang, dia berjalan kembali menuju pantai, di mana Aiz sudah menunggunya dengan sabar. Lautan terbentang luas di depan mereka, dengan ombak kecil yang menyapu lembut pasir putih. Aiz berdiri tenang di tepi air, meskipun wajahnya menunjukkan sedikit kegugupan yang jarang terlihat pada sosok petarung tangguh sepertinya.

Shirou mendekat dan tersenyum lembut. "Jadi, sejauh mana kau sudah bisa berenang?" tanyanya dengan suara yang penuh pengertian, ingin tahu apa yang harus ia ajarkan pada Aiz.

Aiz, yang biasanya tenang dan tak banyak bicara, kali ini tampak sedikit malu. Dia menundukkan sedikit kepalanya, sebelum menjawab dengan nada pelan, "Aku... aku sebenarnya belum bisa apa-apa." Wajahnya sedikit memerah, jelas tidak nyaman mengakui kelemahannya dalam hal yang sederhana seperti berenang, padahal dia sangat ahli dalam bertarung.

Shirou mengangguk sambil tersenyum, sama sekali tidak menghakiminya. "Tidak apa-apa, kita bisa mulai dari dasar. Mari kita coba belajar mengapung dulu. Air laut ini cukup dangkal, jadi aman." Dengan ajakan yang tenang, Shirou berjalan menuju air, mengajak Aiz untuk mengikutinya. Mereka mulai dengan berjalan perlahan ke dalam air yang dangkal, agar Aiz terbiasa dengan rasanya berada di dalam air.

Namun, ketika mereka mulai mencapai bagian laut yang sedikit lebih dalam, Aiz tiba-tiba merasa panik. Air yang makin tinggi membuatnya tidak nyaman, dan tanpa berpikir panjang, dia segera meraih dan memeluk erat pinggang Shirou. Pelukannya begitu kuat, seolah-olah dia takut tenggelam, meskipun air belum terlalu dalam. Aiz, yang biasanya begitu percaya diri, kini tampak sangat rapuh dan cemas.

Shirou, meski terkejut oleh reaksi mendadak Aiz, berusaha tetap tenang. Dia bisa merasakan betapa eratnya pelukan Aiz, tubuh lembut gadis itu yang menempel di pinggangnya, dan bagaimana jantungnya berdetak cepat. Namun, Shirou tahu bahwa saat ini bukan waktu untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Dia menenangkan dirinya sendiri, menahan rangsangan yang datang dengan kedekatan fisik ini, dan lebih fokus pada cara menenangkan Aiz.

Dengan nada lembut, Shirou berkata, "Aiz, tenang... Aku di sini. Kau tidak akan tenggelam, aku akan membantumu." Dia meletakkan tangannya dengan lembut di punggung Aiz, memberikan dukungan dan perlindungan, memastikan bahwa dia merasa aman. "Kita hanya akan berada di air yang dangkal. Perlahan saja, oke?"

Aiz, meskipun masih merasa takut, mulai merasakan ketenangan dari kata-kata Shirou. Pelukannya sedikit melonggar, tapi dia tetap menempel erat di dekat Shirou, merasa bahwa berada di dekatnya memberikan rasa aman. "Maaf... aku terlalu panik," gumamnya pelan, merasa malu dengan reaksinya yang tidak biasa.

Shirou hanya tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, semua orang perlu waktu untuk belajar. Mari kita lakukan perlahan." Dengan kesabaran yang besar, dia terus membimbing Aiz, menuntunnya untuk merasa nyaman di dalam air. Meskipun ada momen canggung ketika Aiz memeluknya dengan erat, Shirou tetap menjaga profesionalisme dan terus membantu Aiz melawan ketakutannya.

Mereka berdua menghabiskan waktu di air, di bawah sinar matahari pagi yang hangat, perlahan namun pasti. Shirou terus sabar mengajari Aiz, dan Aiz mulai sedikit demi sedikit merasa lebih nyaman.

Shirou dengan sabar menunjukkan pada Aiz cara mengapung. Dengan gerakan yang perlahan, dia merebahkan tubuhnya di atas air laut yang tenang, membiarkan tubuhnya terapung dengan nyaman. "Lihat, Aiz. Kau hanya perlu rileks dan membiarkan air menopang tubuhmu," katanya sambil memperlihatkan bagaimana caranya mengendalikan napas agar tetap tenang.

Aiz, yang masih berdiri di air dengan penuh keraguan, menatap Shirou dengan penuh perhatian. Meskipun dia begitu ahli dalam pertarungan dan segala hal yang berhubungan dengan pedang, berenang adalah hal yang membuatnya merasa tidak berdaya. Tapi dia tidak ingin menyerah. Dengan tekad yang bulat, Aiz mencoba meniru apa yang dilakukan Shirou. Dia mulai merebahkan tubuhnya di air, mencoba merilekskan otot-ototnya dan membiarkan air mendukung tubuhnya seperti yang dilakukan Shirou.

Namun, seiring detik berlalu, rasa panik mulai merayap masuk. Meskipun airnya dangkal, Aiz merasa seolah-olah dia akan tenggelam. Detak jantungnya meningkat, dan naluri bertahannya memaksa tubuhnya bergerak tak terkendali. Dengan cepat, dia menyerah dan, tanpa berpikir, kembali memeluk Shirou dengan erat, tubuhnya melekat ke pinggangnya seperti sebelumnya.

Shirou, yang sudah berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang, kini merasa semakin sulit menahan dirinya. Wajahnya memerah ketika merasakan tubuh Aiz yang begitu dekat dengannya. Meski dia ingin tetap fokus sebagai mentor yang sabar, situasi ini semakin sulit baginya. Aiz yang begitu lembut dalam pelukannya membuat tubuh Shirou bereaksi dengan cara yang sulit dia kendalikan.

"A-Aiz..." suaranya sedikit gemetar, tapi dia berusaha menenangkan dirinya. "Kau harus tenang... Jangan panik. Aku di sini, kau tidak akan tenggelam." Kata-kata itu keluar dengan lembut, meskipun hatinya sendiri berdebar lebih cepat dari biasanya.

Aiz, yang masih berpegang erat pada Shirou, perlahan melepaskan sedikit pegangannya. "Maaf... aku tidak tahu kenapa aku selalu panik," ucapnya dengan suara rendah, rasa malu terlihat di wajahnya. Dia bukan orang yang terbiasa merasa tidak berdaya, dan situasi ini sangat baru baginya.

Shirou tersenyum, meskipun wajahnya masih sedikit memerah. "Tidak apa-apa, Aiz. Ini hal yang wajar. Butuh waktu untuk terbiasa, dan aku akan membantumu." Namun, di dalam hatinya, Shirou berjuang keras untuk mengendalikan perasaan yang timbul akibat kedekatan fisik mereka. Dia tidak ingin membuat Aiz merasa tidak nyaman, tetapi tidak bisa menghindari bagaimana tubuhnya bereaksi.

Meskipun suasana agak canggung, Shirou tetap sabar melanjutkan ajarannya. Mereka mencoba berkali-kali, dan setiap kali Aiz panik, Shirou ada di sana untuk menenangkan dan memberinya rasa aman. Walaupun sulit, Shirou terus berusaha mengingatkan dirinya bahwa ini adalah bagian dari latihan, dan dia ingin Aiz belajar berenang dengan baik.

Shirou dengan penuh kesabaran terus mengajarkan Aiz cara mengapung. Setiap kali ia menunjukkan langkah-langkahnya dengan telaten, Aiz mencoba mengikutinya, tapi rasa panik selalu muncul, membuatnya gagal dan berakhir dengan memeluk erat tubuh Shirou. Berulang kali hal itu terjadi, hingga akhirnya Aiz merasa semakin tertekan. Dalam pelukan terakhirnya, sedikit air mata mulai terlihat di sudut mata Aiz, meski dia berusaha menyembunyikannya.

"Maaf, Shirou..." bisiknya dengan suara pelan tapi penuh penyesalan. "Aku merepotkanmu... dan sepertinya aku tidak bisa belajar berenang. Aku selalu panik..." Dia mengangkat wajahnya sedikit, tampak frustrasi karena meski berusaha keras, dia tetap tidak bisa mengatasi ketakutannya di air.

Shirou, yang merasakan kesedihan Aiz, segera merespons dengan lembut. "Aiz, tidak perlu merasa bersalah. Belajar hal baru memang tidak mudah, dan aku ada di sini untuk membantumu." Dia mengusap lembut punggung Aiz, berusaha memberikan kenyamanan. "Jangan khawatir, aku akan mengajarkanmu sampai kau bisa berenang. Kita lakukan ini bersama-sama, oke?" Kata-kata Shirou penuh dengan ketulusan, ingin memastikan bahwa Aiz tidak merasa terlalu tertekan.

Namun, di tengah percakapan itu, Shirou tiba-tiba mendapatkan sebuah ide yang mungkin bisa membantu. "Bagaimana kalau kita mencoba sesuatu yang berbeda?" katanya dengan mata berbinar. "Kau bisa menggunakan Ariel, sihir anginmu. Mungkin itu bisa membantumu untuk mengapung di air."

Aiz mendongak dengan ekspresi penuh keraguan, masih terbayang ketidakmampuannya tadi. Tapi dia menghargai usaha Shirou dan memutuskan untuk mencoba. Dengan wajah murung, Aiz perlahan melepaskan pelukannya dari Shirou dan melangkah sedikit mundur. "Baiklah, aku akan mencobanya," katanya dengan nada ragu.

Dia mengaktifkan sihir anginnya, Ariel, yang langsung merespons panggilannya. Angin lembut mulai berputar di sekitar tubuh Aiz, membentuk pusaran halus yang tampak elegan. Namun, apa yang seharusnya membantu malah justru memperburuk situasi. Pusaran angin yang dihasilkan Ariel menyebabkan air di sekelilingnya berputar semakin kencang, dan bukannya membuat Aiz mengapung, angin itu justru menariknya ke bawah dengan lebih cepat. Dalam sekejap, Aiz tenggelam kembali ke dalam air.

"Aiz!" seru Shirou dengan cemas, segera bergerak cepat untuk menolongnya. Dia menyelam dan dengan cekatan meraih tangan Aiz, menariknya keluar dari air sebelum dia benar-benar terbenam lebih dalam.

Aiz terbatuk-batuk, menghirup napas panjang setelah berhasil diangkat ke permukaan. Meski wajahnya basah kuyup dan tampak kecewa, dia tak bisa menahan tawa kecil. "Sepertinya... Ariel juga tidak membantu," gumamnya dengan sedikit geli meskipun masih merasa canggung.

Shirou, yang juga basah, tersenyum simpul. "Ya, mungkin Ariel lebih cocok untuk pertarungan daripada berenang," candanya dengan lembut. "Tapi tidak apa-apa, kita akan menemukan cara lain. Jangan menyerah, Aiz. Aku di sini untukmu."

Mendengar kata-kata Shirou, Aiz mulai merasa sedikit lebih baik. Meski situasi ini agak memalukan baginya, dukungan Shirou membuatnya merasa lebih tenang. Aiz tersenyum tipis, meski masih terlihat malu. "Terima kasih, Shirou. Aku akan terus mencoba... dengan caraku sendiri."

Shirou memandang Aiz dengan ekspresi penuh perhatian setelah insiden tenggelam tadi. Meskipun Aiz telah menggunakan Ariel, hasilnya tidak seperti yang mereka harapkan. Tapi Shirou tidak mau menyerah begitu saja. Dia tahu bahwa Aiz memiliki kemampuan luar biasa dengan sihir anginnya, jadi mungkin ada cara lain untuk memanfaatkannya.

Dengan nada lembut tapi penuh rasa ingin tahu, Shirou bertanya, "Aiz, apakah kau bisa mengarahkan angin yang kau keluarkan? Maksudku, bukan di sekujur tubuhmu, tapi hanya di bagian tertentu."

Aiz mengangguk sedikit sambil memikirkan kemampuan Ariel. "Ya, biasanya aku menggunakan Ariel di seluruh tubuhku untuk meningkatkan kecepatanku. Kadang-kadang aku fokuskan pada pedangku untuk memperkuat seranganku, atau di kedua kakiku agar bisa melompat lebih tinggi."

Mendengar penjelasan Aiz, sebuah ide terlintas di benak Shirou. Dia tersenyum dan berkata, "Bagaimana kalau kau mencoba menggunakan Ariel hanya di kakimu, tapi kali ini di atas permukaan laut? Mungkin kau bisa menjaga keseimbangan di atas air." Meskipun ini bukan teknik berenang yang konvensional, Shirou berharap setidaknya ini bisa membantu Aiz merasa lebih percaya diri di air.

Aiz menatap Shirou sebentar, merenung, lalu mengangguk. "Baiklah, aku akan mencobanya," katanya. Dia tampak tenang, meski masih ada sedikit keraguan setelah insiden sebelumnya. Aiz menutup matanya sejenak, memusatkan kekuatannya, dan kemudian mengarahkan angin hanya ke kedua kakinya.

Angin mulai berputar di sekitar kaki Aiz, dan dalam sekejap dia mulai melompat di atas permukaan laut, seolah-olah melayang-layang di atas air. Setiap kali kakinya menyentuh permukaan, Aiz melompat kembali dengan ringan, terangkat oleh kekuatan angin dari Ariel. Gerakannya begitu lincah dan cepat, membuatnya tampak seperti sedang menari di atas ombak yang tenang.

Shirou hanya bisa memperhatikan dengan kekaguman, melihat bagaimana Aiz dengan mudah mengendalikan angin untuk melompat-lompat di atas air. Meskipun ini bukan cara berenang yang ia bayangkan, ia tak bisa menahan rasa kagum terhadap kemampuan Aiz.

Setelah beberapa lompatan, Aiz mendarat dengan lembut di depan Shirou, angin perlahan mereda di sekitar kakinya. Meskipun dia tidak terlihat terlalu puas, ada sedikit senyum di wajahnya. "Bagaimana?" tanyanya, meskipun dia sudah bisa menebak jawabannya.

Shirou, dengan senyum simpul, hanya bisa menggaruk kepalanya dengan sedikit canggung. "Hmmm, itu mengesankan... tapi aku rasa kita tidak bisa menghitungnya sebagai berenang," candanya, sambil berusaha menahan tawa.

Aiz, yang biasanya tidak menanggapi candaan, kali ini tertawa kecil, merasa sedikit lega. "Ya, sepertinya aku masih harus belajar berenang dengan cara yang lebih... biasa," katanya dengan nada yang lebih santai, merasa bahwa meskipun belum berhasil berenang, setidaknya mereka telah bersenang-senang.

Shirou tersenyum lebih lebar, senang melihat Aiz lebih rileks. "Tidak apa-apa, kita akan terus mencoba. Kau sudah melakukan hal luar biasa dengan Ariel, hanya butuh sedikit waktu untuk terbiasa dengan air," katanya, sambil menyemangati Aiz untuk terus belajar.

Shirou memperhatikan dengan seksama setiap kali Aiz menggunakan Ariel, menyadari bahwa angin yang dikeluarkan terlalu kuat, menyebabkan Aiz kehilangan kendali dan stabilitas saat mencoba berenang. Setelah beberapa kali mencoba, ia berpikir bahwa mungkin Ariel bisa diatur lebih lembut agar tidak mengganggu keseimbangan Aiz di air.

"Aiz," kata Shirou dengan lembut sambil berpikir, "Kurasa Ariel terlalu kuat untuk digunakan dalam berenang. Bagaimana kalau kau mencoba mengeluarkan angin yang lebih kecil? Hanya cukup untuk menopang tubuhmu di atas air."

Aiz, yang masih tampak kebingungan, menatap Shirou. "Angin kecil? Aku biasanya menggunakan Ariel untuk mengalahkan musuh dengan kekuatan penuh... Aku belum pernah mencoba menggunakannya dengan lebih lembut," katanya, nada suaranya mencerminkan kebingungannya. Baginya, Ariel selalu menjadi senjata kuat, bukan alat untuk membantu dirinya mengapung.

Shirou tersenyum, mencoba memberikan kepercayaan diri pada Aiz. "Cobalah bayangkan angin yang lembut, seperti angin musim semi yang berhembus pelan. Mungkin kita bisa menyebutnya Little Ariel. Jika kau bisa mengeluarkan angin yang kecil dan lembut, mungkin itu bisa membantumu mengapung tanpa terlalu banyak kekuatan."

Aiz terdiam sejenak, memikirkan saran Shirou. Meski ragu, dia percaya pada kata-kata Shirou. Dengan tekad di hatinya, Aiz berdiri di dalam air, membiarkan tubuhnya merasakan dinginnya air laut di sekitarnya. Ketika kakinya perlahan tidak lagi menyentuh dasar, dia memejamkan mata, mencoba membayangkan angin yang lembut—seperti yang pernah ia rasakan dari ibunya, Aria, sang Spirit Angin.

Dia fokus, merasakan angin mengalir lembut dari dalam dirinya, tapi kali ini bukan untuk menyerang. Perlahan, pusaran angin yang halus dan lembut terbentuk di sekeliling tubuhnya. Angin itu cukup kuat untuk menopang tubuh Aiz di atas air tanpa membuatnya kehilangan keseimbangan. Selama beberapa detik, dia berhasil mengapung di permukaan air, angin lembut itu bekerja sempurna.

Shirou menatapnya dengan kagum. "Lihat, kau berhasil! Kau bisa melakukannya, Aiz!" serunya dengan penuh semangat, senang melihat bahwa eksperimen mereka berhasil.

Namun, saat Aiz mulai menyadari apa yang terjadi dan merasa terlalu sadar akan posisinya, konsentrasinya terganggu. Angin di sekitarnya melemah, dan sebelum dia sempat mengendalikan kembali, tubuhnya mulai tenggelam perlahan ke dalam air.

Aiz terbatuk sedikit ketika air menyentuh wajahnya, dan dia dengan cepat kembali berdiri di air yang dangkal. "Aku... aku hampir berhasil," gumamnya sambil menatap Shirou dengan campuran perasaan lega dan frustrasi.

Shirou tersenyum lebar, meskipun dia tahu Aiz mungkin merasa kecewa karena belum sempurna. "Kau sudah membuat kemajuan besar, Aiz. Hanya butuh latihan sedikit lagi, dan kau akan bisa mengendalikannya dengan sempurna. Kau sudah menemukan caranya, sekarang hanya perlu lebih banyak latihan untuk membuatnya stabil."

Aiz, yang biasanya tenang dan tegas, kali ini tersenyum kecil, merasa bahwa meski ada hambatan, dia tetap bisa melanjutkan usahanya. "Terima kasih, Shirou. Aku akan terus mencoba sampai aku benar-benar bisa," katanya, matanya bersinar dengan keyakinan yang baru ditemukan.

Latihan ini, meski sederhana, membuat Aiz merasa lebih terhubung dengan dirinya sendiri, dan terutama dengan Shirou, yang terus mendukungnya tanpa henti.

Dengan sabar dan perlahan, Aiz mulai terbiasa menggunakan Little Ariel. Angin lembut yang berputar di sekitar kakinya membantunya mengapung di permukaan air tanpa kehilangan keseimbangan. Untuk pertama kalinya, dia merasa yakin bisa mengendalikan sihirnya dengan lebih halus dan tidak terlalu bergantung pada kekuatan penuh. Dengan setiap detik yang berlalu, kepercayaan dirinya tumbuh, dan senyuman kecil menghiasi wajahnya.

Shirou, yang memperhatikan dari dekat, tersenyum bangga. "Kau melakukannya, Aiz. Lihat? Kau bisa mengapung sekarang," katanya, suaranya terdengar penuh kebanggaan.

Semakin percaya diri, Aiz mulai bergerak perlahan ke arah laut yang lebih dalam, ingin menguji batas kemampuannya dengan Little Ariel. Namun, hanya beberapa saat setelah dia bergerak lebih jauh, tiba-tiba datang ombak yang lebih besar dari sebelumnya. Ombak itu menghantam Aiz tanpa peringatan, membuatnya terkejut dan kehilangan kendali.

Dalam sekejap, Aiz terendam di bawah air. Little Ariel, yang awalnya stabil, kini menjadi liar karena kepanikannya. Angin yang semula lembut berubah menjadi pusaran kuat, menciptakan gelombang kecil yang membuat tubuh Aiz berputar-putar di dalam air, semakin kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

Shirou yang melihat kejadian itu langsung bereaksi. Tanpa ragu, dia menyelam ke dalam air, berenang dengan cepat menuju Aiz yang mulai tenggelam dalam pusaran air yang dibuat oleh Little Ariel. Dengan keahlian dan ketenangan, dia berhasil mencapai Aiz dan meraih tubuhnya yang tak berdaya. Aiz tampak tak sadarkan diri, kepanikan yang tadi muncul di wajahnya kini hilang, digantikan oleh ketenangan yang menakutkan.

Dengan sekuat tenaga, Shirou menarik Aiz ke permukaan, mengangkatnya keluar dari air. Dia berenang ke tepi pantai, membawa Aiz yang pingsan ke atas pasir. Shirou segera menempatkannya dengan hati-hati, memeriksa napasnya, tapi tidak ada tanda-tanda bahwa Aiz bernapas.

Dengan perasaan cemas yang mendalam, Shirou mulai melakukan CPR pada Aiz, menekan dadanya dengan ritme yang stabil. Tapi napas masih belum kembali. Merasa semakin terdesak, Shirou tahu apa yang harus dilakukan. Tanpa berpikir panjang, dia menundukkan kepalanya dan melakukan CPR mulut ke mulut, memberikan napas buatan agar udara bisa kembali mengalir ke paru-paru Aiz.

Setelah beberapa kali menghembuskan napas buatan, akhirnya Aiz mulai bereaksi. Tubuhnya bergerak sedikit, dan dia terbatuk-batuk, mengeluarkan air dari paru-parunya. Mata emasnya perlahan terbuka, masih terlihat linglung. Napasnya terengah-engah, tapi dia mulai kembali sadar. Shirou yang masih di sampingnya, menghela napas lega.

"Aiz... kau sudah aman," kata Shirou dengan suara yang penuh kelegaan. Meskipun tubuhnya masih basah dan jantungnya berdetak kencang karena kecemasan tadi, dia tersenyum kecil melihat Aiz akhirnya kembali sadar.

Aiz, yang masih bingung dengan apa yang terjadi, perlahan duduk dengan bantuan Shirou. Setelah beberapa saat, dia mulai mengingat apa yang terjadi, dan wajahnya memerah saat menyadari bahwa Shirou telah menyelamatkannya—dan melakukan CPR mulut ke mulut. Dia menatap Shirou dengan tatapan campuran antara rasa terima kasih dan malu.

"Terima kasih, Shirou... aku tidak tahu harus berkata apa," bisiknya pelan, sambil mencoba menenangkan napasnya yang masih tersengal-sengal.

Shirou hanya tersenyum hangat, meskipun dia merasa canggung. "Tidak apa-apa, Aiz. Yang penting kau selamat," jawabnya singkat, tidak ingin membuat Aiz semakin malu dengan membahas apa yang baru saja terjadi.

Mereka berdua duduk di pantai, dikelilingi oleh ketenangan laut yang perlahan kembali tenang, menikmati momen itu meskipun ada rasa canggung yang masih tersisa di antara mereka.

Shirou, meski lega karena Aiz sudah kembali sadar, merasa canggung dengan apa yang baru saja terjadi. Dia menundukkan kepalanya sedikit, menatap pasir di bawah mereka sebelum akhirnya berkata dengan nada lembut, "Maaf... sepertinya aku sudah mengambil ciuman pertamamu, meski itu dalam keadaan darurat. Tapi, yah, mungkin itu tidak dihitung."

Mendengar kata-kata Shirou, wajah Aiz langsung memerah. Namun, tanpa disangka-sangka, dia menggelengkan kepalanya pelan, senyum tipis di wajahnya. "Tidak... itu tetap dihitung sebagai ciuman," jawabnya dengan suara pelan, tapi tegas.

Kata-kata itu membuat Shirou semakin terkejut. Dia tidak menyangka Aiz akan menanggapi seperti itu. Tapi sebelum dia sempat berpikir lebih jauh, Aiz menambahkan dengan sedikit nada bercanda, "Lagipula... itu ciuman keduaku."

Shirou terdiam, kebingungan semakin memenuhi pikirannya. Dia tahu Aiz bukan tipe yang dekat dengan banyak orang, apalagi lelaki. "Keduamu? Kau... sudah ciuman sebelumnya?" tanyanya, nada suaranya penuh rasa tidak percaya. Dalam pikirannya, Aiz selalu terlihat sebagai seseorang yang sangat mandiri dan fokus pada pertarungan, jadi dia tidak pernah membayangkan Aiz sudah pernah mengalami hal semacam itu.

Aiz tersenyum kecil, kali ini lebih terlihat seperti sedang menyimpan rahasia. Dalam hati, dia mengingat kembali momen ketika Shirou pingsan di Dungeon setelah pertarungannya melawan Revis, dan bagaimana Aiz harus meminumkan Elixir dari mulut ke mulut untuk menyelamatkannya. Aiz tidak ingin mengungkapkan itu sekarang, jadi dia hanya menjawab singkat, "Ya, itu ciuman kedua. Tapi sekarang kita impas."

Shirou yang masih bingung semakin tidak mengerti. "Impas?" tanyanya, mencoba memahami maksud dari kata-kata Aiz.

Aiz tersenyum lebih lebar, kali ini dengan sedikit candaan dalam tatapannya. "Karena aku pernah melakukannya lebih dulu, kita sudah impas sekarang," katanya, membuat Shirou semakin terpesona.

Shirou menatap Aiz, merasa bahwa ada sesuatu yang dia lewatkan, tapi dia tidak tahu persis apa. Senyum Aiz yang lembut, serta sikapnya yang tenang membuat Shirou semakin bingung. Dalam hatinya, dia bertanya-tanya apa maksud sebenarnya dari perkataan Aiz, tapi pada saat yang sama, dia merasa bahwa ini mungkin adalah bagian dari misteri yang hanya akan ia pahami seiring waktu.

Akhirnya, Shirou hanya menggaruk kepalanya dengan canggung, masih belum bisa memahami sepenuhnya apa yang terjadi. Tapi melihat senyum Aiz yang begitu tulus, dia memilih untuk tidak mempermasalahkannya terlalu banyak. "Baiklah... kalau begitu kita impas," jawab Shirou, meskipun dalam hatinya dia masih merasa ada yang belum dia mengerti.

Mereka berdua terdiam sejenak, membiarkan angin pantai yang sejuk menghembus di antara mereka, membawa ketenangan setelah kejadian yang canggung namun mengesankan itu.