Malam semakin larut, dan anggota Loki Familia yang duduk di meja bersama Shirou sudah mabuk berat. Finn, Bete, Raul, dan Gareth—yang biasanya penuh tenaga dan disiplin—kali ini tidak bisa mengendalikan diri setelah minum begitu banyak. Tawa mereka telah mereda menjadi gumaman tak jelas, dan gerakan mereka mulai tidak terkoordinasi.
Setelah memastikan mereka selesai minum, Shirou memutuskan untuk membayar pesanan mereka. Dia berjalan menuju kasir di mana Syr berdiri dengan senyum ramah seperti biasa, meski ada kilatan nakal di matanya. Shirou mengeluarkan kantong koin dari sakunya, siap membayar tagihan malam itu.
"Aku mau membayar untuk mereka," kata Shirou dengan sopan.
Namun, Syr hanya tertawa kecil, menatapnya dengan tatapan penuh godaan. "Oh, tidak perlu. Mama Mia bilang kalau selama kau bekerja di sini, mereka boleh makan dan minum gratis. Jadi, anggap ini bagian dari 'bonus' pekerjaanmu." Setelah jeda sejenak, Syr menambahkan dengan nada menggoda, "Dan, ya, aku dengar pembicaraan kalian tadi. Kau benar-benar pengecut, Shirou."
Wajah Shirou langsung memerah mendengar kata-kata itu. Dia tahu Syr sedang mengejeknya karena jawaban yang dia berikan kepada teman-temannya sebelumnya tentang perasaannya. Dengan nada defensif, dia menjawab, "Menguping itu tidak baik, Syr."
Syr hanya mengangkat bahunya dengan gaya yang sangat tidak peduli, masih dengan senyum liciknya. "Aku? Menguping? Aku tidak tahu apa yang kau maksud, Shirou." Nadanya penuh dengan kepura-puraan yang jelas-jelas disengaja, membuat Shirou semakin canggung.
Tidak ingin memperpanjang masalah, Shirou hanya menghela napas dan tersenyum kecil. "Terima kasih, Syr," katanya sebelum berbalik untuk kembali ke teman-temannya yang masih terhuyung-huyung di meja.
Malam semakin berat, dan tugas baru menanti Shirou: membawa teman-temannya yang mabuk kembali ke Twilight Manor. Dia segera mengambil tindakan. Bete, yang sudah sangat mabuk, harus dibantu berjalan, jadi Shirou dengan cekatan mengangkat lengan Bete dan meletakkannya di bahu kirinya. Raul, yang juga dalam kondisi tidak jauh lebih baik, dipapah di bahu kanannya.
Gareth, yang tampaknya bisa menahan minumannya dengan lebih baik, tidak begitu terpengaruh. Dengan cekatan, dia mengangkat Finn yang kecil di atas pundaknya seolah-olah tidak ada beban. "Ayo, kita bawa mereka pulang," kata Gareth sambil tersenyum lebar, meskipun sedikit mabuk.
Sepanjang perjalanan kembali ke Twilight Manor, suasana menjadi semakin riuh. Bete dan Raul, yang hampir tidak bisa berjalan lurus, mulai bernyanyi dengan suara yang melantur. Mereka mencoba menyanyikan lagu-lagu petualang, tetapi lirik-liriknya tidak jelas, dan nadanya sumbang. Finn, yang berada di pundak Gareth, ikut bersenandung meskipun matanya sudah setengah tertutup. Shirou tidak bisa menahan senyum mendengar mereka bernyanyi dengan lirik yang tidak masuk akal.
"Oi, Shirou...!" kata Bete dengan nada mabuk, matanya nyaris tertutup. "Kau... kau harus... harus nyanyi juga!"
Raul juga ikut berseru, suaranya hampir tak terdengar karena tawa mabuknya. "Iya, Shirou! Nyanyi... nyanyi...!"
Shirou hanya tertawa kecil, menggelengkan kepalanya sambil tetap memapah mereka. "Mungkin lain kali, kalian berdua terlalu mabuk untuk mendengarkan nyanyianku sekarang."
Akhirnya, setelah perjalanan yang terasa lama dengan banyak canda dan suara gaduh, mereka tiba di Twilight Manor. Shirou dengan hati-hati menuntun Bete dan Raul ke kamar mereka masing-masing, memastikan mereka berbaring dengan aman di tempat tidur sebelum menutup pintu kamar mereka dengan lembut.
Sementara itu, Gareth dengan cekatan meletakkan Finn di tempat tidurnya, memastikan sang kapten tertidur dengan nyaman.
Setelah semua temannya terlelap di kamar masing-masing, Shirou menghela napas lega. Malam yang panjang akhirnya selesai, dan meskipun melelahkan, dia merasa puas bisa menjaga teman-temannya. Dengan senyum kecil di wajahnya, Shirou berjalan menuju kamarnya sendiri. Begitu dia berbaring di tempat tidur, dia memejamkan mata dan tertidur, siap menghadapi hari baru.
Pagi itu, seperti biasa, Shirou datang lebih awal ke Hostess of Fertility. Udara pagi masih sejuk, dan suasana jalanan Orario cukup tenang. Namun, saat Shirou memasuki restoran, ada sesuatu yang berbeda dari biasanya. Selain Ryuu, yang seperti biasa sudah berada di sana menyapu lantai dengan gerakan tenang, dia melihat bahwa ada orang lain di dapur—sesuatu yang tak pernah terjadi di pagi hari.
Ketika Shirou melangkah lebih dekat, dia mendapati Syr berada di dapur, berdiri di depan kompor, sibuk mengaduk sesuatu di wajan. Uap dari masakan yang sedang dimasak oleh Syr mengepul tipis, dan aroma aneh tercium dari dapur. Syr tampaknya sangat fokus pada apa yang dia lakukan, tidak menyadari kedatangan Shirou.
Dengan senyum kecil di wajahnya, Shirou menyapa dari pintu dapur. "Pagi, Syr. Sedang apa di dapur sepagi ini?"
Syr terkejut mendengar suara Shirou, nyaris menjatuhkan sendok kayu yang dia pegang. Wajahnya sedikit memerah karena kaget, tapi dia mencoba terlihat tenang. "Oh, Shirou! Kau mengejutkanku. Aku... hanya mencoba membuat bekal pagi."
Ryuu, yang mendengar percakapan itu dari ruang depan, melirik ke arah dapur dengan senyum kecil di wajahnya. "Syr selalu menyiapkan bekal untuk Bell setiap kali dia berangkat ke Dungeon," kata Ryuu dengan nada tenang namun jelas menggoda.
Mendengar itu, wajah Syr semakin memerah, kali ini karena malu. "R-Ryuu! Kau tidak perlu menceritakan itu!" balas Syr dengan nada setengah kesal, tapi jelas terlihat bahwa dia merasa tersipu. Dia kembali sibuk dengan wajan, mencoba mengalihkan perhatiannya dari rasa malunya.
Shirou tidak bisa menahan senyum. "Bekal untuk Bell, ya?" katanya, berjalan mendekat ke arah dapur. "Boleh aku coba?"
Syr menoleh cepat, sedikit ragu, tapi akhirnya menyerahkan sepotong kecil masakan yang dia buat kepada Shirou. "Tentu, tapi jangan terlalu berharap. Aku tidak sebaik dirimu di dapur."
Shirou mengambil potongan makanan yang diberikan Syr dan mencicipinya. Begitu makanan itu menyentuh lidahnya, Shirou langsung merasa ada sesuatu yang... salah. Rasa yang aneh menyelimuti mulutnya, perpaduan yang tidak seimbang antara bahan-bahan yang seharusnya saling melengkapi tapi malah bertabrakan satu sama lain. Wajah Shirou berusaha tetap tenang, tapi jelas dia kesulitan untuk menelan makanan itu.
Syr, yang memperhatikan reaksi Shirou, mulai tampak khawatir. "Bagaimana? Enak, kan?" tanyanya, meskipun jelas dia sudah mulai merasakan ada yang tidak beres.
Shirou menelan dengan susah payah, lalu bertanya hati-hati, "Syr... kau mengikuti resep, kan?"
Syr terlihat tersinggung, alisnya terangkat. "Tentu saja aku mengikuti resep! Hanya saja... aku melakukan sedikit improvisasi di sana-sini." Nadanya terdengar tegas, seolah dia yakin bahwa improvisasinya tidak mungkin salah.
Shirou menghela napas panjang, lalu meletakkan bekalnya di atas meja. "Syr, kalau begitu coba kau rasakan sendiri," katanya sambil tersenyum sedikit. "Aku yakin kau akan mengerti."
Syr tampak ragu, tapi akhirnya mengambil sepotong dari masakannya sendiri dan mencicipinya. Begitu rasanya menyentuh lidahnya, ekspresi wajahnya berubah. Matanya melebar sedikit, lalu wajahnya perlahan mengerut, meskipun dia mencoba tetap bersikap tenang. "T-Tidak buruk," katanya pelan, tapi jelas dari wajahnya bahwa dia berjuang keras untuk menyukai rasanya. "Ini... enak, kan?"
Shirou tidak bisa menahan tawanya lagi. "Syr, jangan memaksakan dirimu. Rasanya memang aneh. Kau tahu itu."
Syr mendesah dan meletakkan sendoknya. "Oke, oke, mungkin aku memang terlalu banyak improvisasi," akunya sambil tersipu malu.
Shirou tersenyum, menggulung lengan bajunya dengan siap. "Kalau begitu, biarkan aku yang ajarkan kau cara memasak dengan benar, tanpa terlalu banyak improvisasi."
Syr menatapnya sejenak, lalu tersenyum malu-malu. "Baiklah, aku menyerah. Ajar aku, Shirou."
Dengan itu, Shirou mengambil alih dapur, dan mulai memberikan instruksi dasar kepada Syr tentang memasak dengan benar. Dia menunjukkan cara mengukur bahan dengan tepat, bagaimana menyeimbangkan rasa, dan kapan harus berhenti "mengimprovisasi" resep. Sementara itu, Ryuu tetap di depan restoran, sesekali melirik ke dapur dengan senyum lembut, menyaksikan interaksi antara Shirou dan Syr dengan rasa hangat di hatinya.
Setelah memberikan contoh cara memasak dengan benar, Shirou menyuruh Syr untuk mencoba memasak sendiri. "Sekarang giliranmu," katanya dengan senyum sabar, memberi ruang bagi Syr untuk mempraktikkan apa yang baru saja diajarkan. Syr, yang sedikit gugup, mengangguk dan mulai bekerja.
Namun, tak lama setelah dia mulai, berbagai kesalahan kecil mulai terjadi. Syr terlihat canggung saat menuangkan bahan-bahan, dan dalam satu kesempatan, dia bahkan menumpahkan terlalu banyak garam ke dalam adonan. "Oh, tidak!" serunya, matanya melebar ketika menyadari kesalahannya.
Shirou, dengan tenang, melangkah mendekat. "Tidak apa-apa, Syr. Kita bisa perbaiki ini," katanya dengan nada menenangkan, sambil membantu mengurangi garam yang berlebihan dan memberikan saran bagaimana menyeimbangkan rasa.
Saat Syr kembali mencoba, dia melamun sejenak saat menggoreng, membuat wajan sedikit berasap karena minyak terlalu panas. "Astaga, aku lupa!" Dia dengan cepat mengangkat wajan, tetapi sebagian bahan makanan jatuh ke lantai. Wajahnya memerah karena malu, tetapi Shirou hanya tertawa kecil dan berkata, "Kau bisa melakukannya, hanya perlu lebih fokus. Jangan terlalu khawatir."
Dengan kesabaran yang luar biasa, Shirou membantu Syr memperbaiki kesalahan-kesalahan kecilnya, menunjukkan cara mengatasi setiap masalah dengan tenang. Mereka bekerja bersama, dan meskipun Syr terus membuat kesalahan, Shirou tak pernah kehilangan kesabarannya, memastikan bahwa Syr belajar dari setiap langkah.
Akhirnya, setelah berkali-kali mencoba dan memperbaiki kesalahan, Syr berhasil menyelesaikan bekal untuk Bell. Meski tidak sempurna, rasanya jauh lebih baik daripada yang dia buat sebelumnya. Syr, yang mencicipi hasil masakannya, terlihat sangat terkejut. "Aku... aku benar-benar berhasil?" Dia tampak tak percaya dengan hasil masakannya sendiri.
Shirou tersenyum melihat reaksi Syr. "Kau melakukannya dengan baik, Syr. Ini enak."
Syr menatap Shirou dengan penuh rasa terima kasih, wajahnya berseri-seri. "Terima kasih banyak, Shirou. Tanpamu, aku tidak akan pernah bisa memasak sesuatu yang layak dimakan!"
Shirou, seperti biasanya, hanya tersenyum rendah hati. "Tidak masalah. Aku hanya menunjukkan jalan, kau yang melakukannya sendiri."
Syr, masih dengan senyum di wajahnya, pamit untuk mengantar bekal tersebut kepada Bell. "Aku akan pergi mengantarnya sekarang. Terima kasih lagi, Shirou!" katanya sambil melambaikan tangan sebelum pergi.
Setelah Syr pergi, Ryuu yang sedari tadi menyaksikan dari jauh, berjalan mendekat ke Shirou. "Terima kasih, Shirou," kata Ryuu dengan nada tulus. "Syr sudah mencoba memasak berkali-kali sebelumnya, dan... aku sering menjadi korban yang harus mencicipi masakannya yang gagal."
Shirou tersenyum canggung mendengar itu, membayangkan bagaimana Ryuu harus menghadapi makanan aneh buatan Syr selama ini. "Kau pasti banyak menderita," gumamnya, tak bisa menahan tawa kecil. "Tapi setidaknya sekarang, Syr mulai belajar memasak dengan benar."
Ryuu mengangguk, wajahnya tetap tenang meski ada sedikit senyum di sudut bibirnya. "Ya, semoga setelah ini, aku tidak perlu lagi mencicipi eksperimen berbahayanya."
Shirou tertawa pelan, merasa lega bisa membantu, dan meskipun itu hanya soal sederhana seperti memasak, dia senang bisa membuat hari orang lain lebih baik—baik untuk Syr yang kini lebih percaya diri, maupun untuk Ryuu yang tak lagi harus menjadi "korban" dari masakan yang gagal.
Malam itu, setelah para pelanggan terakhir meninggalkan Hostess of Fertility, suasana restoran menjadi lebih tenang. Shirou dan pelayan lainnya memutuskan untuk duduk santai di salah satu meja, menikmati waktu istirahat setelah hari yang panjang. Aroma makanan yang tersisa masih samar-samar tercium, tapi kini suasananya jauh lebih santai. Semua orang tampak kelelahan, namun senang setelah melewati hari yang produktif.
Syr, yang duduk di sebelah Shirou, menatapnya dengan senyum lembut. "Terima kasih lagi, Shirou," katanya dengan suara tulus. "Kali ini, Bell benar-benar mengatakan kalau bekal yang kubuat enak. Dia tidak perlu berpura-pura lagi." Wajahnya memancarkan kebahagiaan yang sederhana, seolah pencapaiannya dalam memasak membuatnya lebih percaya diri.
Shirou tersenyum kecil mendengar itu. "Nah, itu karena kau mengikuti resep dengan baik dan lebih hati-hati dalam memasak. Kalau kau terus berlatih seperti ini, masakanmu pasti akan semakin enak."
Syr tertawa kecil mendengar pujian Shirou, wajahnya sedikit merona. "Mungkin aku akan terus meminta bantuanmu. Kau harus mengajarkanku memasak selama kau libur. Bagaimana?"
Shirou mengangguk dengan senang hati. "Tentu saja, aku akan senang mengajarkanmu." Bagi Shirou, membantu orang lain dalam hal sederhana seperti memasak adalah salah satu cara dia bisa menebarkan kebaikan, dan melihat Syr berkembang di dapur membuatnya merasa puas.
Anya, yang mendengarkan percakapan itu dari seberang meja, tiba-tiba menyelipkan komentar iseng. "Kau tahu, Shirou, Syr ini sudah lama naksir Bell. Apa kau tidak khawatir kalau Syr diambil pria lain?" katanya dengan nada menggoda.
Syr yang awalnya tenang, langsung memerah saat mendengar itu, membayangkan kemungkinan Shirou dan Bell memperebutkannya. "A-Anya! Kenapa kau mengatakan hal seperti itu?" balasnya, jelas-jelas merasa canggung dengan topik yang tiba-tiba muncul.
Shirou, yang biasanya tenang, juga merasakan sedikit kecanggungan merayap dalam dirinya. Awalnya, dia merasa agak tidak nyaman dengan topik itu, tetapi setelah berpikir sejenak, dia menyadari bahwa Bell adalah orang yang baik, seseorang yang tulus dan jujur. "Sebenarnya, kalau Bell memang orang yang kau sukai, Syr, aku siap membantu kalian berdua untuk lebih dekat," katanya dengan nada tulus.
Ucapan Shirou membuat Syr terkejut. Dia menatap Shirou dengan mata melebar, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Apa? Kau... tidak cemburu?" tanyanya dengan nada bingung, masih berusaha memproses jawaban Shirou.
Shirou, yang menyadari bahwa dia tidak bisa berbohong kepada Syr—terutama jika Syr memang benar adalah seorang dewi seperti yang ia curigai—hanya tersenyum, mencoba memberikan jawaban yang ambigu. "Aku... hanya ingin melihat orang-orang di sekitarku bahagia," katanya, menghindari pertanyaan langsung.
Syr mengerutkan dahi sedikit, tampak agak kesal. "Hmph, jadi kau tidak cemburu sama sekali? Mungkin pesonaku memang tidak bisa dibandingkan dengan Aiz atau Lefiya, ya? Aku dengar percakapan kalian kemarin." Nada suaranya terdengar agak jengkel, namun tetap ada sentuhan main-main di dalamnya.
Kata-kata Syr langsung mengejutkan semua orang di meja. Chloe, yang duduk tidak jauh dari mereka, langsung menoleh ke arah Shirou dengan mata menyipit penuh rasa ingin tahu. "Tunggu, tunggu... Sejak kapan kau bisa dekat dengan Thousand Elf Lefiya dan Sword Princess Aiz?" tanya Chloe, suaranya penuh kecurigaan namun juga bercampur dengan rasa ingin tahu yang besar.
Shirou, yang kini merasa terpojok, tersipu malu. "Itu... bukan seperti yang kalian pikirkan," katanya sambil menggaruk kepalanya dengan canggung. "Lefiya adalah mentorku, dia banyak membantuku ketika aku pertama kali bergabung dengan Loki Familia. Dan Aiz... yah, dia suka masakanku, itu saja."
Anya, yang tak ingin ketinggalan dalam mengolok Shirou, tertawa keras. "Haha! Jadi kau menggoda wanita dengan masakanmu, ya? Pantas saja mereka semua dekat denganmu!" katanya dengan nada penuh canda.
Shirou hanya bisa menghela napas, tersenyum kecut sambil berusaha tetap tenang di tengah semua godaan itu. Meskipun percakapan ini membuatnya sedikit malu, dia merasa senang bisa menghabiskan waktu santai seperti ini bersama teman-temannya, bahkan jika mereka terus menggodanya tanpa henti.
Malam semakin larut, tetapi suasana di Hostess of Fertility masih terasa hangat dan penuh canda tawa. Syr, yang tampaknya belum puas dengan obrolan ringan, mengeluarkan satu dek kartu dari saku apron-nya dan meletakkannya di atas meja. "Bagaimana kalau kita bermain kartu?" tanyanya dengan senyum menggoda.
Lunoire, yang duduk di seberang, mengerutkan dahi. "Hah, bermain kartu dengan Syr? Kau pasti bercanda. Kau selalu menang." Lunoire jelas menunjukkan rasa malasnya untuk ikut bermain, mengingat reputasi Syr dalam hal permainan ini.
Shirou, yang duduk di tengah-tengah mereka, menatap kartu-kartu itu dengan rasa penasaran. "Aku belum pernah melihat kartu seperti ini sebelumnya," katanya dengan jujur.
Syr tersenyum lebih lebar, dan matanya bersinar sedikit nakal. "Oh? Kau belum pernah main? Aku akan menjelaskan peraturannya. Ini permainan sederhana, mirip seperti permainan kartu yang pernah kamu mainkan, mungkin." Dia kemudian menjelaskan aturan permainan secara detail, yang dalam hati Shirou sadari sangat mirip dengan poker dari dunianya. Perbedaannya hanya terletak pada nama dan beberapa aturan kecil yang disesuaikan dengan budaya Orario.
Setelah Syr selesai menjelaskan, mereka semua memulai permainan pertama agar Shirou bisa terbiasa dengan aturan dan alurnya. Namun, semakin lama permainan berlangsung, semakin jelas bagi Shirou bahwa Syr memiliki keuntungan yang tak terlihat. Syr tampaknya bisa membaca emosi para pemain lain dengan mudah—mungkin ini bagian dari kekuatan dewinya—dan itu memberinya keunggulan besar. Setiap kali seseorang gugup, ragu, atau merasa percaya diri, Syr selalu tampak mengetahuinya, yang membuatnya hampir selalu menang.
Namun, Shirou tidak akan kalah begitu saja. Dia menenangkan dirinya, lalu secara diam-diam menggunakan self-hypnosis, membayangkan dunia yang selalu dia pegang erat di dalam hatinya: dunia pedang. Dengan memasuki kondisi mental itu, Shirou menyembunyikan emosinya dan menutupi setiap jejak yang bisa terbaca oleh Syr. Wajahnya tetap tenang, tanpa ekspresi, seperti bayangan seorang petarung yang mengendalikan medan perang.
Mereka melanjutkan permainan, tetapi kali ini Syr mulai menunjukkan tanda-tanda kebingungan. Shirou tetap sulit ditebak. Setiap kali Syr mencoba membaca gerak-gerik Shirou, dia tidak bisa merasakan apa pun—tidak ada kegugupan, tidak ada kepercayaan diri yang berlebihan, tidak ada petunjuk.
Lebih aneh lagi bagi Shirou, dia mulai menyadari bahwa aroma khas Syr—wangi bunga musim dingin yang selalu ia endus—berubah sesuai dengan mood Syr. Saat Syr memegang kartu yang bagus, aroma bunga itu merekah, harum dan manis. Tapi saat dia mendapat kartu yang jelek atau merasa kurang percaya diri, aromanya layu, seperti bunga yang sedang tertekan.
Dengan menggunakan pengamatan ini, ditambah dengan kemampuan self-hypnosisnya, Shirou perlahan-lahan mengambil alih permainan. Syr, yang biasanya dominan dalam setiap permainan kartu, mulai kalah berturut-turut. Semua orang di meja—termasuk Lunoire, Anya, dan Chloe—mulai memperhatikan keajaiban ini.
Ketika Shirou mengalahkan Syr untuk pertama kalinya, semua orang terkejut. Syr menatapnya dengan tatapan tidak percaya, meskipun dia berusaha tetap tersenyum. "Itu pasti keberuntungan pemula," katanya, meskipun nada suaranya terdengar sedikit kesal. Mereka melanjutkan permainan beberapa kali lagi, tetapi tak peduli seberapa keras Syr berusaha, Shirou tetap mengalahkannya, lagi dan lagi.
Anya, yang takjub dengan apa yang dilihatnya, mencondongkan tubuh ke depan dan bertanya pada Shirou, "Oi, Shirou! Bagaimana caramu mengalahkan Syr? Ada trik khusus?"
Shirou, yang tidak ingin mengungkapkan rahasianya, tergagap sebentar. "Uh... aku hanya beruntung, mungkin?" jawabnya dengan canggung, tidak tahu harus berkata apa.
Namun, Syr, yang sudah kalah berkali-kali, hanya tersenyum dan melambaikan tangan. "Tidak perlu menjawab, Shirou," katanya dengan nada manis namun penuh arti. "Lelaki yang penuh misteri itu jauh lebih menarik bagi perempuan, tahu." Lalu dia tertawa, membuat suasana di meja kembali ceria.
Tawa Syr menggema di ruangan, sementara Shirou hanya bisa tersenyum canggung, menyadari bahwa meskipun dia berhasil memenangkan permainan, dia tidak akan pernah benar-benar bisa lepas dari pesona dan keusilan Syr. Para pelayan lainnya ikut tertawa, merasa bahwa malam itu benar-benar diwarnai oleh permainan kartu yang tak terduga dan rahasia kecil yang tetap tersimpan di antara mereka.
Setelah beberapa putaran permainan kartu yang penuh canda tawa, suasana di Hostess of Fertility mulai mereda. Malam telah semakin larut, dan para pelayan serta pelanggan yang tersisa mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Shirou merapikan kartu di meja sambil tersenyum tipis, merasa puas dengan malam yang penuh kehangatan dan kejutan.
"Sepertinya sudah waktunya aku pamit," kata Shirou dengan nada lembut, sambil berdiri dari kursinya. Dia melihat ke arah para pelayan yang masih tersisa di sana, termasuk Syr, Anya, Chloe, dan Ryuu, yang tampak sudah mulai membereskan restoran.
Syr, yang duduk di sebelahnya, tersenyum dan melambaikan tangan dengan ceria. "Hati-hati di jalan, Shirou. Dan jangan lupa, kau masih berhutang beberapa pelajaran memasak padaku!" katanya dengan nada bercanda, meskipun ada sedikit keseriusan di balik kata-katanya.
Shirou tertawa kecil. "Aku tidak akan lupa, Syr. Kita lanjutkan nanti."
Anya, yang sedang membereskan meja di belakang mereka, menoleh dan menyeringai lebar. "Jangan sampai tertidur di jalan, Shirou. Lain kali aku ingin lihat trik masakanmu yang bisa membuat perempuan-perempuan itu jatuh hati!"
Shirou hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum, tahu bahwa Anya hanya bercanda, meski ucapannya selalu terdengar setengah serius. Chloe, yang berdiri tak jauh dari Anya, menambahkan dengan nada bercanda, "Jika kau punya trik rahasia, pastikan kau mengajarkan pada kami juga!"
Ryuu, yang biasanya lebih pendiam, hanya tersenyum lembut sambil melirik Shirou. "Selamat malam, Shirou. Sampai jumpa besok."
Setelah menyapa semua orang, Shirou mengambil mantel yang tergantung di dekat pintu dan mengenakannya. Udara malam di Orario mungkin cukup dingin, tetapi Shirou merasa nyaman dengan rasa kehangatan dari interaksi yang dia alami malam itu.
Saat dia membuka pintu restoran, angin malam yang dingin menyapanya, namun Shirou menutup pintu dengan hati-hati di belakangnya, tidak ingin mengganggu keheningan malam yang mulai merasuk. Jalanan Orario di malam hari selalu penuh dengan kehidupan, tetapi sekarang, hanya ada ketenangan yang tersisa. Lampu-lampu jalan berkelip-kelip di kejauhan, memberikan bayangan lembut di sepanjang trotoar batu.
Shirou berjalan dengan langkah tenang menuju Twilight Manor, menikmati ketenangan malam yang langka. Pikiran-pikirannya berputar, memikirkan berbagai hal yang terjadi selama hari itu—mulai dari melatih Syr memasak hingga permainan kartu yang berakhir dengan kemenangan tak terduga. Malam itu, dia merasa lebih terhubung dengan orang-orang di sekitarnya, bahkan dengan canda tawa dan keisengan mereka.
Ketika Shirou akhirnya sampai di Twilight Manor, dia melihat bangunan besar itu menjulang di hadapannya dengan megah, meski tertutup oleh bayangan malam. Kebanyakan anggota Loki Familia sudah terlelap di dalam, mempersiapkan diri untuk hari petualangan baru esok harinya. Shirou menghela napas panjang, merasakan kehangatan yang menjalar di hatinya. Meski dunianya kini berbeda dari yang dulu, dia tahu bahwa tempat ini, Twilight Manor, dan teman-temannya di Loki Familia, sudah menjadi bagian penting dalam hidupnya.
Dengan hati yang tenang, Shirou membuka pintu dan masuk ke dalam manor, siap untuk beristirahat dan menghadapi hari baru.