Keesokan harinya, suasana di Twilight Manor terasa segar dengan cahaya pagi yang masuk melalui jendela besar. Shirou, yang baru bangun dan melakukan rutinitas pagi, merasa bahwa hari ini adalah kesempatan yang tepat untuk melanjutkan misinya. Dia telah memikirkan rencana untuk meminta izin libur selama dua minggu dari Loki. Meski terlihat seperti langkah besar bagi seorang pemula seperti dirinya, Shirou yakin ini adalah keputusan yang tepat agar dia bisa menjelajahi dungeon tanpa harus terlalu khawatir.
Setelah sarapan dan beres-beres, Shirou merasa siap untuk menemui Loki. Dia menemukan dewi tersebut sedang duduk di ruang tamu dengan ekspresi santai, tampaknya menikmati secangkir teh di pagi hari. Shirou menghampiri Loki dengan penuh percaya diri.
"Loki-sama, bolehkah aku berbicara sebentar?" Shirou memulai percakapan dengan nada sopan.
Loki menoleh dan tersenyum ceria. "Oh, Shirou! Ada apa? Jangan bilang kamu mau minta sesuatu."
Shirou mengangguk dengan mantap. "Sebenarnya, aku ingin meminta izin untuk libur selama dua minggu ke depan. Aku ingin menghabiskan waktu untuk berlatih dan beristirahat, agar bisa kembali lebih siap untuk tugas-tugas berikutnya."
Loki mengangkat alisnya dan tertawa kecil. "Baru juga menjelajah dungeon, udah minta libur? Haha, tapi ya sudahlah, kalau itu yang kamu mau, aku kasih izin aja. Tapi jangan terlalu jauh dari sini, ya."
Shirou mengangguk penuh rasa terima kasih. "Tentu, Loki-sama. Terima kasih banyak."
Dengan izin yang telah didapat, Shirou mulai mempersiapkan dirinya untuk kembali ke dungeon. Rencananya adalah untuk turun hingga lantai 18, sebuah pencapaian yang memerlukan kehati-hatian dan persiapan matang. Dia memastikan semua perlengkapan dan potion yang dibutuhkannya siap sebelum melanjutkan.
Saat Shirou selesai mempersiapkan segala sesuatunya, dia bertemu dengan Aiz, Lefiya, Tiona, dan Tione di ruang depan manor. Mereka tampak bersemangat untuk pergi berbelanja di kota Orario. Aiz mengenakan pakaian santai yang berbeda dari biasanya, sementara Lefiya, Tiona, dan Tione terlihat sangat antusias.
"Hai, Shirou!" seru Lefiya dengan ceria. "Kamu mau ikut kami? Kami berencana untuk berbelanja di pasar hari ini."
Shirou tersenyum dan menggelengkan kepala. "Terima kasih, Lefiya. Tapi aku sudah memiliki beberapa rencana hari ini. Aku harus pergi ke tempat lain dan mempersiapkan beberapa hal."
Tiona dan Tione menghampiri Shirou dengan penasaran. "Rencana apa yang kamu miliki? Apakah kamu akan pergi jauh?" tanya Tione.
Shirou berpikir sejenak, berusaha menjaga kerahasiaan niatnya. "Ah, hanya beberapa urusan pribadi. Aku rasa lebih baik aku pergi sendiri hari ini."
Aiz, yang baru saja selesai memeriksa perlengkapannya, memandang Shirou dengan rasa ingin tahu. "Semoga semuanya berjalan lancar untukmu, Shirou. Jika ada yang bisa kami bantu, jangan ragu untuk memberi tahu kami."
"Terima kasih, Aiz. Aku akan ingat itu," jawab Shirou sambil tersenyum.
Setelah berpamitan dengan mereka, Shirou meninggalkan Twilight Manor dan menuju ke tempat yang telah dia rencanakan. Dia merasa lega karena bisa memberi alasan dengan lancar tanpa menimbulkan kecurigaan. Kegiatan berbelanja dan rencana perjalanan tim Loki Familia membantunya untuk menjaga fokus dan menyembunyikan tujuan sebenarnya.
Dengan langkah yang mantap, Shirou bergerak menuju ke arah hutan dan kemudian ke dungeon, memastikan bahwa identitasnya tetap tersembunyi. Dalam perjalanannya, dia berusaha untuk memanfaatkan waktu yang ada dengan sebaik mungkin agar dapat kembali ke lantai 18 dan melanjutkan eksplorasi dungeon dengan lebih efektif.
Sementara itu, Aiz dan kelompoknya berangkat untuk berbelanja, berbicara tentang berbagai hal yang mereka temui selama ekspedisi dan menikmati waktu bersama di luar dungeon. Suasana ceria mereka semakin menambah warna pada hari-hari mereka di Orario, sementara Shirou dengan hati-hati melanjutkan misinya, menjaga setiap langkahnya agar tetap tersembunyi dan efektif.
************
Setelah berhasil mencapai lantai 18 dari Dungeon dengan hanya mengalami luka ringan, Shirou merasa lega karena pencapaiannya hingga saat ini. Ia memastikan untuk menukar semua drop item yang diperolehnya dengan potion di Rivira, menggunakan kesempatan ini untuk memperbarui persediaan potionsnya. Setelah transaksi selesai, Shirou merasa siap untuk langkah berikutnya dalam rencananya.
Shirou memutuskan untuk bertanya kepada beberapa penduduk sekitar mengenai izin mendirikan bangunan di Rivira. Dengan rencana untuk membangun gubuk yang berfungsi sebagai Magus Workshop, ia perlu memastikan bahwa ia mematuhi semua peraturan yang ada.
Shirou menemui seorang pria tua yang tampaknya berpengalaman di daerah Rivira. Pria itu duduk di sebuah bangku dekat pasar, menikmati waktu santainya sambil mengawasi lalu lintas di sekitarnya.
"Permisi, Pak," Shirou memulai dengan sopan. "Saya berencana untuk membangun sebuah bangunan di sekitar Rivira, dan saya ingin tahu mengenai peraturan atau izin yang diperlukan."
Pria tua itu menatap Shirou dengan penuh perhatian sebelum menjawab. "Oh, kau ingin mendirikan bangunan? Kalau begitu, kau perlu tahu bahwa untuk membangun sesuatu di dalam kota Rivira, kau harus mengurus izin di balai kota. Itu penting agar semua sesuai dengan peraturan dan tidak mengganggu kehidupan di kota."
Shirou mencatat informasi itu dengan serius. "Bagaimana dengan membangun di luar kota? Apakah ada persyaratan khusus di sana?"
Pria tua itu mengangguk. "Untuk membangun di luar kota, itu jauh lebih mudah. Kamu bisa membangun hampir di mana saja asalkan tidak mengambil tanah yang sudah dihuni atau yang dimiliki orang lain. Namun, aku sarankan agar kau tetap memberi tahu pihak berwenang setempat agar tidak terjadi masalah di kemudian hari."
Shirou mengucapkan terima kasih kepada pria itu atas informasinya. Dengan petunjuk tersebut, ia mulai merencanakan langkah selanjutnya. Ia tahu bahwa mendirikan gubuk di luar kota akan memberikan kebebasan lebih dalam hal lokasi dan pengaturan, serta menghindari kerumitan perizinan yang mungkin berlaku di dalam kota.
Shirou segera menuju ke lokasi yang tenang di luar Rivira. Ia mencari area yang cukup jauh dari pemukiman tetapi masih mudah diakses, sehingga dia bisa membangun gubuk yang akan berfungsi sebagai Magus Workshop. Setelah menemukan tempat yang ideal, Shirou mulai merencanakan desain dan bahan-bahan yang diperlukan untuk membangun gubuk tersebut.
Dengan niat yang jelas, Shirou mulai mengumpulkan material dari berbagai sumber di sekitar Rivira. Ia memanfaatkan beberapa potion dan material yang masih ada untuk memulai proses pembangunan. Shirou tahu bahwa membangun gubuk ini adalah langkah penting untuk mendukung aktivitas Magecraft-nya dan memastikan bahwa ia memiliki tempat yang aman untuk berlatih dan menyimpan peralatannya.
Selama beberapa hari berikutnya, Shirou bekerja keras membangun gubuknya. Ia memastikan bahwa struktur tersebut kuat dan aman, serta dilengkapi dengan segala fasilitas yang dibutuhkan untuk mengelola Magecraft-nya dengan efisien. Meskipun proses pembangunan memakan waktu dan tenaga, Shirou merasa puas karena ini adalah bagian dari rencananya untuk lebih mendalami Magecraft dan mengeksplorasi Dungeon dengan lebih baik.
Akhirnya, setelah beberapa waktu bekerja, gubuk yang direncanakan telah selesai dibangun. Shirou melihat hasil kerjanya dengan bangga, merasa bahwa dia telah mencapai salah satu tujuan penting dalam perjalanannya. Dengan gubuk yang sekarang menjadi Magus Workshop-nya, Shirou siap untuk melanjutkan misinya, mengisi ulang magic arrow yang telah habis, dan melanjutkan eksplorasi Dungeon dengan lebih efektif dan terencana.
Setelah gubuk yang dibangunnya selesai, Shirou segera mengatur dan menyiapkan Magus Workshop-nya untuk menjalani eksperimen dan latihan Magecraft. Dia memulai dengan pemasangan Bounded Field di sekitar area gubuk untuk memberikan perlindungan dan mendeteksi siapa saja yang mendekati workshop-nya. Ini adalah langkah penting agar dia dapat bekerja dengan tenang tanpa khawatir ada orang yang mengganggu atau mencuri informasi.
Shirou memilih lokasi strategis untuk Bounded Field-nya, memastikan bahwa area sekelilingnya tercakup dengan baik. Dengan keterampilan Magecraft-nya, dia menggunakan beberapa bahan ritual untuk menciptakan penghalang magis yang dapat mendeteksi kehadiran orang atau makhluk di luar area tersebut. Bounded Field ini akan memudahkan Shirou untuk mengetahui jika ada seseorang yang mendekati workshop-nya, memberi waktu yang cukup untuk bersiap atau menyembunyikan aktivitasnya jika perlu.
Setelah pemasangan Bounded Field selesai, Shirou mulai mengatur ruang kerjanya di dalam gubuk. Ia menyiapkan berbagai alat dan bahan yang diperlukan untuk eksperimen Magecraft-nya. Rak-rak di sekitar workshop dipenuhi dengan alat-alat magis, bahan-bahan ritual, dan beberapa magic sword yang akan menjadi fokus eksperimennya. Dia juga memastikan ada cukup ruang untuk bekerja dengan nyaman dan aman.
Shirou kemudian beralih pada eksperimen dengan magic sword yang belum dimodifikasi menjadi magic arrow. Ia telah membawa beberapa pedang sihir dari Dungeon dan berencana untuk memodifikasi mereka agar lebih efektif dalam pertempuran.
Langkah Pertama: Analisis Magic Sword
Shirou mulai dengan menganalisis magic sword yang akan dimodifikasinya. Dia memeriksa kualitas dan kekuatan magis dari masing-masing pedang, menggunakan kemampuan Projection dan Reinforcement untuk mendapatkan informasi detail tentang mereka. Ini termasuk kekuatan elemen yang ada, kekuatan magis dasar, dan bagaimana mereka berfungsi dalam kondisi tempur.
Langkah Kedua: Modifikasi dan Eksperimen
Shirou kemudian memulai proses modifikasi dengan hati-hati. Menggunakan teknik Alteration, dia mulai mengubah bentuk dan sifat dari magic sword untuk menciptakan magic arrow. Modifikasi ini memerlukan konsentrasi dan keterampilan tinggi, karena setiap perubahan harus dipertimbangkan dengan cermat agar magic sword yang dihasilkan dapat berfungsi dengan baik sebagai proyektil.
Dia menciptakan beberapa prototype magic arrow dari magic sword yang ada, bereksperimen dengan berbagai elemen dan efek. Setiap kali dia selesai memodifikasi satu magic sword, dia melakukan tes untuk melihat bagaimana magic arrow tersebut bekerja. Tes ini dilakukan di area yang telah disiapkan di workshop-nya, dengan target-target yang dirancang untuk menilai efektivitas dan kekuatan magic arrow yang telah dimodifikasi.
Langkah Ketiga: Evaluasi dan Penyesuaian
Shirou mencatat hasil dari setiap eksperimen dan melakukan evaluasi terhadap kinerja magic arrow. Dia mencari cara untuk meningkatkan efektivitas, kekuatan, dan stabilitas dari setiap magic arrow yang dihasilkannya. Proses ini melibatkan banyak trial and error, dan Shirou menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyempurnakan hasil modifikasinya.
Langkah Keempat: Penyimpanan dan Pengorganisasian
Setelah berhasil memodifikasi beberapa magic sword menjadi magic arrow yang efektif, Shirou menyimpannya dengan hati-hati di dalam workshop. Dia memastikan bahwa setiap magic arrow yang telah dimodifikasi ditempatkan dengan baik dan mudah diakses ketika dia membutuhkannya. Dia juga mengatur sistem penyimpanan untuk bahan-bahan dan alat-alat yang digunakan selama eksperimen.
Dengan workshop-nya yang kini sepenuhnya berfungsi dan peralatan yang siap digunakan, Shirou merasa lebih siap untuk menghadapi tantangan berikutnya di Dungeon. Dia tahu bahwa eksperimen dan latihan yang telah dilakukannya akan membantunya menghadapi musuh dengan lebih efektif dan menjelajahi lantai yang lebih dalam dengan lebih baik.
Shirou menatap hasil kerjanya dengan puas. Meskipun perjalanan dan eksperimen ini memerlukan waktu dan usaha yang besar, dia merasa bahwa setiap langkah yang diambilnya adalah bagian penting dari perjalanannya untuk menjadi lebih kuat dan lebih terampil dalam Magecraft. Dengan semua persiapan yang telah dilakukan, Shirou siap untuk melanjutkan eksplorasi Dungeon dan menghadapi tantangan yang lebih besar di masa depan.
Setelah seminggu penuh eksperimen dan modifikasi yang intens, Shirou berhasil menyelesaikan proses transformasi dan menghasilkan sembilan magic arrow yang unik. Setiap magic arrow ini memiliki kekuatan dan karakteristik yang berbeda, yang membuatnya sangat berharga dalam menjelajahi Dungeon dan menghadapi berbagai tantangan. Berikut adalah daftar sembilan magic arrow yang telah berhasil dimodifikasi oleh Shirou:
1. Inferno Arrow
Asal: Bilah Pedang Api Tsubaki
Deskripsi: Magic arrow ini memiliki kekuatan api yang sangat kuat, berkat penggunaan pedang sihir api yang ditempa oleh kapten Hephaestus. Ketika ditembakkan, arrow ini menghasilkan ledakan api yang besar dan menghancurkan musuh dengan efek membakar yang menyiksa. Ini adalah salah satu magic arrow terkuat yang dimiliki Shirou, dan sangat berguna untuk menghadapi kelompok monster atau musuh yang memiliki pertahanan tinggi.
2. Frostbite Arrow
Asal: Pedang Sihir Es
Deskripsi: Magic arrow ini mengeluarkan efek es yang membekukan sasaran dan sekitarnya. Ketika terkena, musuh akan melambat dan mengalami kerusakan tambahan akibat efek pembekuan. Arrow ini sangat efektif untuk menghambat pergerakan musuh dan memudahkan Shirou dalam menghadapi kelompok musuh yang lebih besar.
3. Thunderstrike Arrow
Asal: Pedang Sihir Petir
Deskripsi: Magic arrow ini memiliki elemen petir yang kuat, yang menghasilkan ledakan listrik ketika mengenai sasaran. Musuh yang terkena efek ini akan mengalami kerusakan besar akibat kejutan listrik dan dapat menyebabkan gangguan pada kemampuan tempur mereka. Arrow ini sangat berguna untuk musuh yang sensitif terhadap listrik dan untuk menciptakan kekacauan dalam pertempuran.
4. Quicksilver Arrow
Asal: Pedang Sihir Logam Cair
Deskripsi: Magic arrow ini memiliki efek logam cair yang membuatnya sangat cepat dan sulit untuk dihindari. Ketika ditembakkan, arrow ini akan mengejar target dan membuatnya lebih sulit untuk dielakkan. Ini adalah pilihan yang baik untuk menghadapi musuh yang bergerak cepat atau terbang.
5. Shadowstep Arrow
Asal: Pedang Sihir Bayangan
Deskripsi: Magic arrow ini memiliki kemampuan untuk menyamarkan diri dan bergerak dalam bayangan. Ketika ditembakkan, arrow ini akan menghilang sejenak dan muncul kembali di posisi yang berbeda, membuatnya sangat sulit untuk diprediksi. Arrow ini cocok untuk serangan mendalam dan memberikan keuntungan taktis dalam pertempuran.
6. Gale Arrow
Asal: Pedang Sihir Angin
Deskripsi: Magic arrow ini menggunakan kekuatan angin untuk menciptakan gelombang udara yang kuat. Ketika mengenai sasaran, arrow ini akan menghasilkan ledakan angin yang bisa menjatuhkan musuh atau mendorong mereka ke arah yang tidak diinginkan. Arrow ini ideal untuk mengatasi musuh yang memerlukan jarak dan ruang untuk bergerak.
7. Searing Light Arrow
Asal: Pedang Sihir Cahaya
Deskripsi: Magic arrow ini memancarkan cahaya yang sangat terang, membakar musuh dengan efek cahaya yang intens. Selain menyebabkan kerusakan langsung, arrow ini juga dapat membutakan musuh dan mengurangi kemampuan mereka dalam pertempuran. Ini sangat berguna untuk menghadapi musuh yang bergantung pada penglihatan atau memiliki kelemahan terhadap cahaya.
8. Toxic Venom Arrow
Asal: Pedang Sihir Racun
Deskripsi: Magic arrow ini memiliki efek racun yang kuat, menyebabkan kerusakan berkelanjutan kepada musuh setelah terkena. Racun ini dapat mengurangi kekuatan dan kecepatan musuh secara bertahap, memberikan keuntungan taktis tambahan dalam pertempuran yang berlangsung lama.
9. Echoing Impact Arrow
Asal: Pedang Sihir Gelombang Suara
Deskripsi: Magic arrow ini menggunakan gelombang suara untuk menciptakan dampak yang kuat saat terkena sasaran. Efek suara ini dapat mengguncang musuh dan menyebabkan kerusakan yang lebih besar, serta membuat musuh mengalami gangguan dalam konsentrasi mereka. Arrow ini efektif untuk menghadapi musuh yang bergantung pada keseimbangan atau strategi.
Dengan sembilan magic arrow ini, Shirou merasa lebih siap dan lebih kuat untuk menghadapi tantangan di Dungeon yang semakin dalam. Masing-masing magic arrow menawarkan berbagai efek dan kemampuan yang dapat digunakan dalam berbagai situasi tempur, memberikan fleksibilitas dan kekuatan tambahan dalam eksplorasi dan pertempuran. Shirou yakin bahwa kombinasi dari magic arrow ini akan membantunya mengatasi musuh yang lebih kuat dan menembus lantai Dungeon yang lebih dalam dengan lebih efektif.
Shirou duduk di workshopnya, dikelilingi oleh berbagai magic arrow yang telah ia modifikasi dengan penuh perhatian. Di depannya, sembilan magic arrow tersebut terhampar di atas meja kerja, masing-masing dengan bentuk dan warna yang berbeda, mencerminkan elemen dan kekuatan uniknya. Pandangan Shirou berpindah dari satu arrow ke arrow lainnya, mengamati setiap detail yang telah ia kerjakan dengan tekun.
Inferno Arrow tampak menyala dengan api yang seakan-akan masih berkobar di ujungnya, warna merah dan oranye menyatu dalam sebuah pola yang menggugah semangat. Frostbite Arrow memiliki tampilan es yang membeku, dengan kristal-kristal dingin menempel pada batangnya, seakan menyimpan dinginnya musim dingin. Thunderstrike Arrow berkilau dengan kilatan petir berwarna kuning dan biru, seolah ada energi listrik yang melintasi batangnya. Quicksilver Arrow memantulkan cahaya dengan kilau logam cair, membuatnya terlihat hampir seperti cairan berkilauan. Shadowstep Arrow berwarna hitam dengan efek bayangan yang bergetar di permukaannya, menciptakan ilusi seolah-olah arrow ini siap menghilang kapan saja.
Gale Arrow menampilkan desain yang anggun dengan pola angin yang berputar di sepanjang batangnya, memberikan kesan bahwa arrow ini dapat melaju dengan kecepatan luar biasa. Searing Light Arrow bersinar terang dengan warna putih keemasan, pancaran cahaya dari arrow ini terlihat sangat mencolok dan memikat. Toxic Venom Arrow memiliki warna hijau kehitaman dengan efek bergelembung, menandakan racun berbahaya yang terkandung di dalamnya. Echoing Impact Arrow menunjukkan pola gelombang suara yang bergetar di sepanjang batangnya, seolah mengandung kekuatan suara yang akan memproyeksikan dampaknya ke musuh.
Shirou mengamati setiap magic arrow dengan rasa bangga dan kepuasan. Walaupun magic arrow ini jauh lebih lemah dibandingkan dengan Noble Phantasm, yang merupakan artefak legendaris dengan kekuatan luar biasa, Shirou menyadari bahwa magic arrow ini memiliki keunggulan tersendiri. Setiap magic arrow dirancang dengan biaya yang efisien dan jauh lebih mudah dimodifikasi dibandingkan dengan usaha yang diperlukan untuk mengubah Noble Phantasm seperti Hrunting atau Caladbolg II, yang merupakan senjata legendaris milik Archer.
Proses modifikasi magic arrow ini, meskipun memakan waktu dan energi yang cukup besar, ternyata jauh lebih praktis dan memungkinkan Shirou untuk menyesuaikan setiap arrow dengan kebutuhan spesifiknya. Setiap perubahan dan penyesuaian yang dilakukan pada magic arrow ini memberikan hasil yang memuaskan dan sesuai dengan strategi tempur yang direncanakan Shirou.
Shirou merenungkan bagaimana setiap magic arrow ini, dengan keunikan dan kekuatan masing-masing, akan membantunya dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada di Dungeon. Meskipun tidak memiliki kekuatan sekuat Noble Phantasm, magic arrow ini menawarkan fleksibilitas dan adaptasi yang sangat berharga dalam situasi tempur yang beragam. Dengan keberhasilan modifikasi ini, Shirou merasa lebih siap dan lebih percaya diri untuk menghadapi lantai Dungeon yang lebih dalam dan musuh-musuh yang lebih kuat yang akan ia hadapi di masa depan.
Ia merasa bersemangat untuk menguji dan memanfaatkan magic arrow ini dalam pertempuran nyata. Setiap magic arrow tidak hanya merupakan hasil dari kerja keras dan dedikasinya, tetapi juga simbol dari kemajuan dan kemampuan baru yang telah ia capai. Dengan tekad yang kuat, Shirou siap untuk melanjutkan perjalanannya, mengatasi setiap rintangan yang ada di depannya dengan keberanian dan keterampilan yang baru ditemukannya.
Shirou duduk di depan meja kerjanya, di mana magic arrow yang telah dimodifikasinya terhampar di hadapannya. Pikiran Shirou melayang pada teknik yang pernah dia saksikan dari Archer, yaitu kemampuan untuk meng-overload Noble Phantasm dengan kekuatan yang membuatnya berubah menjadi Broken Phantasm—suatu bentuk yang sangat kuat, namun hanya bisa digunakan sekali sebelum hancur total. Teknik ini, meskipun sangat berisiko, mampu menghasilkan kekuatan yang jauh melampaui batas normal senjata tersebut.
Dalam suasana tenang di workshopnya, Shirou merenungkan bagaimana teknik ini bisa diterapkan pada magic arrow yang telah ia buat. Ia membayangkan bagaimana magic arrow yang sudah dimodifikasi dengan berbagai elemen dan kekuatan dapat di-overload untuk menghasilkan efek yang jauh lebih dahsyat daripada biasanya. Namun, dia juga menyadari bahwa melakukan eksperimen ini di lingkungan yang tidak terkendali—terutama di dalam kota—bisa menyebabkan keributan yang tidak diinginkan dan mungkin menarik perhatian yang tidak diinginkan.
Shirou memutuskan bahwa tempat terbaik untuk melakukan eksperimen ini adalah di Dungeon, jauh dari keramaian dan risiko terkena perhatian yang tidak diinginkan. Dia memilih lantai 19 sebagai lokasi percobaannya, sebuah keputusan yang didasarkan pada kenyataan bahwa lantai ini terkenal dengan keberadaan gerombolan monster yang cukup besar, memberikan kesempatan ideal untuk menguji kekuatan magic arrow tanpa harus khawatir mengganggu orang lain.
Pada pagi hari berikutnya, setelah mempersiapkan semua peralatan dan perlengkapan yang diperlukan, Shirou menyiapkan magic arrow yang akan diuji. Dia memilih satu magic arrow yang memiliki elemen api—Inferno Arrow—karena efek api yang memusnahkan dapat memberikan indikasi yang jelas tentang kekuatan tambahan yang bisa dihasilkan dari teknik Broken Magic Arrow.
Dengan hati-hati, Shirou mengemas semua perlengkapannya, termasuk potion untuk penyembuhan, dan memeriksa kembali Bounded Field yang dipasang di sekeliling workshop untuk memastikan tidak ada orang yang memasuki area tersebut. Setelah semuanya siap, Shirou berangkat menuju lantai 19, memastikan untuk tetap tersembunyi dari pandangan dan menghindari area yang padat.
Sesampainya di lantai 19, Shirou memulai eksperimennya dengan mempersiapkan magic arrow yang telah dimodifikasi. Dia memilih tempat yang cukup jauh dari area yang padat untuk memastikan bahwa hasil dari percobaannya tidak merusak area sekitar. Shirou menarik busur hitamnya dan memasang Inferno Arrow, mempersiapkan diri untuk proses overload yang akan dia lakukan.
Shirou mengingat langkah-langkah yang perlu diambil dari teknik Archer. Dia mulai dengan memusatkan prana pada magic arrow, merasakan energi yang mengalir dan membangun kekuatan di dalamnya. Dengan menggunakan teknik Overload, Shirou mulai menambah kekuatan sihir yang mengalir ke dalam arrow, meningkatkan intensitas elemen api di dalamnya hingga mendekati batas maksimalnya. Proses ini menguras prana Shirou secara signifikan, dan dia merasakan tekanan berat pada magic circuit-nya saat dia terus memompa energi ke dalam arrow.
Ketika Inferno Arrow sudah mencapai titik overload, Shirou menarik busur dan membidik ke arah gerombolan monster yang terlihat di kejauhan. Dengan satu tarikan napas, dia melepaskan arrow tersebut, menyaksikan bagaimana Inferno Arrow berubah menjadi sebuah kilatan api yang sangat intens dan berbahaya, lebih kuat daripada biasanya.
Saat arrow melesat dan mengenai targetnya, ledakan api yang dihasilkan benar-benar memusnahkan gerombolan monster yang ada di hadapannya. Api yang membakar dan menghancurkan area sekelilingnya memberikan konfirmasi bahwa teknik Broken Magic Arrow berhasil diterapkan. Namun, setelah ledakan besar itu, magic arrow hancur sepenuhnya, meninggalkan bekas kerusakan yang cukup besar.
Shirou merasa puas dengan hasil percobaannya, meskipun dia harus mengakui bahwa teknik ini membutuhkan pengelolaan prana yang sangat hati-hati dan memiliki risiko tinggi. Dengan memastikan bahwa tidak ada bahaya atau keributan yang ditinggalkan, Shirou kemudian mengumpulkan drop item dari monster yang hancur dan menyusuri jalan pulang, menyadari bahwa eksperimen ini memberikan gambaran jelas tentang potensi magic arrow yang bisa dia kembangkan di masa depan.
Setelah memastikan bahwa semuanya kembali ke keadaan semula dan tidak ada yang mencurigakan, Shirou kembali ke workshopnya, mengatur rencananya untuk percobaan selanjutnya dan melanjutkan persiapannya untuk eksplorasi Dungeon yang lebih dalam.
Setelah kembali dari lantai 19 dan mencapai lantai 18, Shirou merasakan ketenangan yang biasanya menyelimuti kawasan tersebut. Namun, suasana damai ini tiba-tiba terganggu oleh pemandangan yang mengkhawatirkan. Di sekitar kota Rivira, yang biasanya tenang, tampak terjebak dalam kekacauan. Monster tanaman yang dikenal dengan nama Violas—makhluk besar dengan daun-daun tajam dan batang yang bisa menyerang dengan kekuatan mematikan—telah menyerang penghuni kota.
Melihat situasi yang mendesak ini, Shirou segera menyadari bahwa dia tidak bisa hanya berdiri diam. Dia dengan cepat memeriksa peralatan dan perlengkapannya, memastikan bahwa semua senjata dan peralatan yang dibawanya siap digunakan. Dia mengenakan kembali topeng Assassin dan jubahnya, mengubah penampilannya untuk menyembunyikan identitasnya. Ini adalah langkah yang bijaksana, mengingat bahwa kehadiran di kota Rivira saat ini akan sangat mencolok, dan dia tidak ingin menarik perhatian yang tidak diinginkan.
Dengan panahnya siap, Shirou melangkah keluar dari area workshop dan menuju ke lokasi kekacauan. Dia dengan cepat beradaptasi dengan situasi yang tidak terduga ini, memilih untuk menggunakan panah biasa dari jarak jauh untuk mengatasi Violas yang mengancam. Shirou mengetahui bahwa menghadapinya secara langsung bisa sangat berbahaya, jadi dia memutuskan untuk menggunakan pendekatan strategis dengan menyerang dari jarak jauh terlebih dahulu.
Shirou mencari tempat yang strategis untuk memberikan perlindungan maksimal bagi dirinya sendiri, mengamati gerombolan Violas yang sedang menyerang. Violas tampaknya menggunakan tentakel-tentakel mereka untuk menyerang secara acak, menghancurkan barang-barang dan menyerang siapa saja yang mereka temui. Beberapa dari mereka tampak menembakkan serangan tanaman yang beracun, sementara yang lainnya menggunakan batang mereka untuk memukul dan menumbangkan segala sesuatu yang berada di dekatnya.
Menggunakan busur hitamnya, Shirou mulai menembakkan panah dari jarak aman, mengincar bagian-bagian rentan pada tubuh Violas. Panah-panahnya melesat dengan cepat dan tepat, mengenai bagian yang kritis dari monster tersebut. Setiap kali sebuah panah mengenai Violas, monster tanaman tersebut mengeluarkan suara geraman dan mulai bergetar, menandakan bahwa panahnya berhasil menembus lapisan pelindung tanaman mereka.
Sambil terus menembakkan panah, Shirou memeriksa keadaan sekitar. Dia melihat beberapa petualang dan penduduk kota yang tampaknya berusaha melawan Violas secara langsung, namun mereka terlihat kewalahan. Shirou menyadari bahwa situasi ini membutuhkan lebih dari sekadar serangan jarak jauh. Dia mulai memperkirakan waktu yang tepat untuk menggunakan magic arrow-nya jika situasi semakin memburuk atau jika muncul musuh yang lebih kuat dari Violas.
Shirou tetap waspada dan terus memperhatikan dengan seksama. Tiba-tiba, dia mendengar teriakan dari arah lain, menunjukkan bahwa ada kelompok Violas yang lebih besar dan lebih kuat sedang mendekat. Ini adalah momen yang menegangkan, dan Shirou tahu bahwa dia harus bersiap untuk kemungkinan terburuk. Dia mengamati dengan cermat gerak-gerik Violas yang mendekat, mengukur seberapa besar ancaman yang mereka bawa.
Di tengah pertempuran yang semakin intens, Shirou dengan cepat mengambil keputusan untuk menggunakan magic arrow-nya jika diperlukan. Dia menyimpan magic arrow-nya untuk menghadapi monster yang lebih kuat dan menghindari menggunakan terlalu banyak energi pada musuh yang lebih lemah. Dengan tekad yang kuat, Shirou terus berjuang melawan Violas, melindungi penduduk kota dan petualang yang terjebak dalam kekacauan ini.
Ketika situasi semakin buruk dan Violas mulai menyebar ke area yang lebih luas, Shirou mengetahui bahwa dia harus segera mengambil tindakan untuk melindungi kota Rivira. Dengan strategi dan ketelitian, dia terus bertarung, menjaga kepekaan dan kesiapan untuk menghadapi ancaman yang mungkin muncul lebih lanjut.
Saat Shirou mencari target di antara kerumunan Violas yang menyerang kota, pandangannya tertarik pada suatu pergerakan di kejauhan. Di sana, di tengah keributan, ia melihat Aiz Wallenstein bertarung melawan seorang perempuan dengan rambut merah pendek yang tampak sangat kuat. Perempuan itu bergerak dengan kecepatan dan kekuatan yang luar biasa, lebih cepat dan lebih tangguh daripada Aiz. Aiz sendiri tampak mulai kewalahan. Gerakan perempuan itu begitu lincah dan bertenaga, menyerang Aiz dengan pukulan dan tendangan yang hanya bisa dihindari dengan susah payah.
Di dekat pertempuran itu, Shirou juga melihat Lefiya, duduk bersandar di dinding dengan napas yang terengah-engah. Wajahnya pucat, dan jelas terlihat bahwa ia telah terluka dalam pertempuran sebelumnya. Shirou merasakan dadanya mengencang saat melihat situasi itu. Aiz, sang "Putri Pedang," yang biasanya tak terkalahkan, kini dalam bahaya besar, sementara Lefiya tak mampu berbuat apa-apa.
Tanpa ragu, Shirou segera menarik salah satu magic arrow terkuatnya dari quiver. Panah itu bersinar dengan aura energi magis, dan Shirou tahu bahwa ini adalah kesempatan terbaiknya untuk membuat perbedaan dalam pertarungan tersebut. Dia menarik busurnya dengan kekuatan penuh, membidik tepat ke arah perempuan berambut merah yang tengah menyerang Aiz.
"Trace... on!" gumam Shirou, mengaktifkan kemampuan tracing miliknya.
Panah itu dilepaskan, melesat seperti kilat melintasi udara dan menghantam perempuan berambut merah tersebut tepat di bahunya. Sebuah ledakan kecil terjadi saat magic arrow itu menghantam, menghasilkan percikan cahaya dan semburan energi. Perempuan itu tersentak mundur sedikit, luka kecil terlihat di tempat panah itu mengenai, namun dengan cepat luka tersebut mulai menyembuhkan diri dengan kecepatan yang mengerikan.
Aiz, yang terjatuh dan terluka, mendongak melihat Shirou dari kejauhan. Matanya melebar sejenak, melihat sosok bertopeng yang baru saja menyelamatkannya dari serangan lebih parah. Namun, ia tak sempat mengucapkan apapun. Perempuan berambut merah itu tertawa kecil, suara tawanya dingin dan menusuk.
Ah, ada yang mencoba jadi pahlawan," ucap perempuan itu dengan nada mengejek, tatapannya mengarah lurus ke Shirou. "Seberapa lama kau pikir bisa mengalihkan perhatianku dengan trik murahan seperti itu?"
Shirou tahu bahwa serangannya tadi hanya memberikan gangguan sementara. Dia tidak punya waktu untuk ragu. Dia segera menarik satu lagi magic arrow dari quiver dan menembakkannya ke arah perempuan itu, berharap dapat memberinya cukup waktu untuk menyusun rencana.
Panah kedua melesat dengan kecepatan tinggi dan menghantam dada perempuan itu, menciptakan ledakan energi yang lebih besar daripada sebelumnya. Namun, perempuan itu hanya tersenyum tipis, melangkah maju seolah-olah tidak merasakan sakit sedikit pun.
"Begitu saja?" katanya sambil mengangkat alis. "Kalau begitu, biarkan aku yang menunjukkan padamu cara yang benar untuk bertarung!"
Dengan kecepatan yang tak bisa dipercaya, perempuan berambut merah itu berlari menuju Shirou. Mata Shirou menajam, dia dengan cepat menembakkan panah ketiganya, menargetkan kaki perempuan itu untuk memperlambat gerakannya. Namun, perempuan itu melompat dengan lincah, menghindari serangan tersebut dan terus melesat ke arahnya.
"Aiz, mundur sekarang!" Shirou berteriak, berusaha memberi waktu bagi Aiz untuk mengambil jarak dan memulihkan diri.
Aiz mengangguk singkat, mengikuti perintah orang yang tak ia kenali dan dengan sisa tenaganya melompat mundur, mencoba menjauh dari perempuan berambut merah itu. Namun, perempuan itu tertawa lagi, dan dengan gerakan tangan cepat, ia meluncurkan tendangan kuat ke tanah, menciptakan gelombang kejut yang membuat Aiz terjatuh kembali.
"Tidak begitu cepat, sayangku!" katanya dengan suara yang penuh ejekan.
Shirou mengerutkan kening, menyadari bahwa ia harus segera bertindak. Dia menarik napas dalam-dalam, menenangkan pikirannya, dan mempersiapkan magic arrow berikutnya. Kali ini, dia mengingat teknik Broken Phantasm—membebani panah dengan lebih banyak energi, membuatnya meledak dengan kekuatan yang jauh lebih besar, namun mengorbankan stabilitas panah tersebut.
"Jika aku tidak bisa melukaimu dengan ini…" Shirou bergumam, "…maka aku harus menghancurkanmu!"
Dia menarik busurnya kembali, mengisi panah dengan prana lebih dari biasanya, hingga panah tersebut mulai bergetar dengan intensitas yang mengerikan. "Trace… Overload…" Shirou merapalkan, memfokuskan seluruh energinya pada magic arrow tersebut.
Panah itu mulai bersinar dengan cahaya terang yang membara, melepaskan energi yang semakin besar. Perempuan berambut merah itu tampak tertarik, berhenti sejenak, lalu tersenyum lebih lebar.
"Menarik," katanya sambil menunggu Shirou melepaskan serangannya.
Shirou tahu bahwa dia harus menunggu momen yang tepat. Dia tidak bisa menghabiskan kesempatan ini dengan gegabah. Dia hanya punya satu kesempatan sebelum perempuan itu menyadari triknya dan menyerang lebih agresif. Jantungnya berdetak kencang, tapi matanya tetap fokus. Dia harus memastikan panah ini mengenai sasarannya.
"Ini untukmu!" Shirou berteriak, melepaskan panah tersebut.
Magic arrow yang dimuati energi itu melesat, meninggalkan jejak cahaya terang di belakangnya, menuju langsung ke perempuan berambut merah yang tengah menantang. Namun, Shirou tetap waspada, siap menghadapi apapun yang akan terjadi selanjutnya, sementara konflik semakin memanas di sekitar kota Rivira.
Panah yang diluncurkan oleh Shirou, Quicksilver Arrow, merupakan salah satu dari kreasi terbaiknya. Panah itu memiliki sifat yang unik—tidak hanya melesat lurus ke arah target, tetapi juga mampu mengubah arah secara tiba-tiba, mengejar musuhnya tanpa henti. Cahaya perak berkilauan mengikuti jalur yang dilalui panah itu, menciptakan jejak magis yang tampak berputar-putar di udara.
Perempuan berambut merah itu awalnya tersenyum meremehkan saat melihat Shirou menarik busurnya. Dengan gerakan cepat, dia menghindar dari jalur panah yang melesat ke arahnya. Namun, dia tidak menduga bahwa panah itu memiliki kemampuan untuk berbelok tajam dan mengejarnya seperti predator yang mengincar mangsanya.
"Ap—?!" serunya, ekspresinya berubah dari percaya diri menjadi sedikit terkejut ketika panah tersebut dengan cepat berbelok dan menargetkan punggungnya.
Dia mencoba menghindar lagi, melompat ke samping dengan kecepatan luar biasa, tetapi panah itu kembali berbelok, mengikuti gerakannya seperti seekor elang yang memburu mangsanya. Perempuan itu mengerutkan kening, kini terlihat kesal. "Panah macam apa ini?" gumamnya sambil memutar tubuhnya ke arah Shirou, yang tetap berdiri di kejauhan dengan busur terarah padanya.
Dengan satu gerakan cepat, perempuan itu meluncur ke udara, berusaha melarikan diri dari panah yang mengikutinya. Tapi Quicksilver Arrow itu tak berhenti. Panah itu melesat naik, melintasi udara, mengikuti perempuan itu dengan kecepatan yang hampir sama.
"Sial! Kau benar-benar gigih, ya?" katanya dengan nada geram, melirik ke arah panah yang terus mengejarnya.
Akhirnya, perempuan berambut merah itu menghentikan gerakannya, dan dengan gerakan yang tampak penuh percaya diri, dia memutar tubuhnya ke arah panah yang mendekat. "Kalau begitu, biarkan aku menghancurkanmu!" Dia mengayunkan tangannya dengan kecepatan tinggi, memukul panah itu dengan kekuatan luar biasa.
Namun, seketika panah itu terkena hantaman, panah tersebut meledak menjadi semburan energi perak. Ledakan itu cukup kuat untuk membuat perempuan itu terdorong mundur beberapa langkah. Lukanya terlihat jelas, meskipun tubuhnya mulai meregenerasi dengan cepat. Wajahnya kini menunjukkan campuran antara kejengkelan dan ketidaksabaran.
"Aku sudah muak denganmu!" teriak perempuan itu, kemarahannya semakin memuncak. Dia berbalik, memusatkan pandangannya pada Shirou yang berdiri dengan busurnya yang masih siap di tangan. "Kau berani mengganggu pertarunganku? Kau akan menyesali itu!"
Shirou menarik napas dalam-dalam, tetap tenang meski merasakan ancaman yang jelas dari kata-katanya. "Jangan pikir aku akan membiarkanmu menyentuh mereka!" Shirou membalas dengan suara yang jelas dan mantap.
Perempuan berambut merah itu tersenyum sinis. "Kau memang berani, aku akan memberikanmu itu," katanya, matanya menyipit tajam. "Tapi keberanianmu tidak akan menyelamatkanmu."
Dalam sekejap, perempuan itu melesat ke arahnya dengan kecepatan luar biasa. Langkahnya begitu cepat hingga tanah di bawahnya bergetar dan serpihan debu terbang ke udara. Shirou tahu bahwa perempuan itu akan mencapai posisinya dalam hitungan detik. Dia tidak punya waktu untuk menarik panah lainnya—dia harus berpikir cepat.
"Kalau begitu, ayo kita lihat siapa yang lebih cepat!" Shirou berteriak, kemudian melompat mundur, berusaha untuk menjaga jarak antara dirinya dan lawannya. Tangannya bergerak cepat mengambil panah biasa dari quiver-nya, menyiapkan serangan berikutnya sambil terus bergerak.
Namun, perempuan itu semakin mendekat, wajahnya tampak penuh dengan tekad untuk menghabisi Shirou. "Kau tidak akan lari dariku!" teriaknya, suaranya penuh kemarahan.
Shirou melompat ke samping, menghindari serangan frontal perempuan itu yang hampir menghancurkan tanah di tempat ia berdiri sebelumnya. "Kau benar-benar cepat," Shirou bergumam, menarik kembali busurnya dengan satu panah biasa yang sudah siap di tangan.
Ia menembakkan panah itu, namun perempuan tersebut dengan mudah menepisnya dengan tangan kosong. "Panah-panahmu itu lemah!" serunya, mendekati Shirou dengan langkah panjang.
Shirou tersenyum samar di balik topengnya. "Aku hanya butuh waktu," jawabnya singkat. Dia menembakkan beberapa panah lagi, kali ini dengan tujuan untuk memancing perempuan itu ke arah tertentu, sambil terus menjaga jarak.
Perempuan itu menggeram, merasa semakin kesal. "Berhenti bermain-main, pengecut!" teriaknya, tetapi ia tetap mengikuti arah panah Shirou, tampak terpaksa untuk mengikuti permainan ini.
Di saat yang sama, Shirou memperhatikan situasi Aiz dan Lefiya dari sudut matanya. Aiz mulai pulih sedikit dan tampak bersiap-siap untuk kembali ke pertempuran, sementara Lefiya, meski masih tampak kesakitan, berusaha mengumpulkan tenaga untuk merapal mantra.
Shirou tahu bahwa waktunya semakin menipis. Dia harus mempertahankan perempuan ini cukup lama agar Aiz dan Lefiya bisa pulih dan kembali ke pertempuran. Dengan penuh fokus, dia menarik napas dan mempersiapkan panah terakhir dari quiver-nya—bukan magic arrow kali ini, tapi hanya panah biasa, untuk terus mengganggu musuh dan membuatnya tetap terkonsentrasi padanya.
Perempuan itu tertawa kecil. "Kau sudah habis, apa lagi yang bisa kau lakukan sekarang?" ujarnya dengan nada mengejek.
Shirou, tetap tenang, menjawab, "Aku hanya perlu bertahan cukup lama. Karena saat kau melawanku, kau tidak bisa menyentuh mereka."
Perempuan itu berhenti sejenak, menyadari bahwa Shirou memang sengaja mengalihkan perhatiannya. Namun, dia menggelengkan kepalanya, tersenyum tipis dengan mata yang menyala penuh dendam. "Jika itu rencanamu, maka kau akan menyesal."
Dengan sekejap, dia kembali menyerang dengan kecepatan kilat. Shirou tahu bahwa serangan ini akan lebih sulit untuk dihindari—tapi dia bersumpah untuk tidak menyerah begitu saja. Dengan ketegangan meningkat, kedua petarung itu bersiap untuk pertarungan berikutnya, tidak ada yang mau mundur satu langkah pun.
Perempuan berambut merah itu tersenyum puas saat ia melihat Shirou tampak dalam posisi yang lemah dan tak bersenjata. "Apa yang kau pikirkan sekarang, pengecut?" serunya dengan nada mengejek, tinjunya meluncur dengan kecepatan kilat menuju dada Shirou. Namun, Shirou tetap tenang, telah memprediksi serangan frontal itu.
Dengan satu gerakan cepat, Shirou memanggil Kanshou ke tangannya. Pedang pendek itu muncul dengan cahaya putih yang berkilauan, tepat di waktu yang tepat untuk menangkis tinju perempuan tersebut. "Apa?!" seru perempuan berambut merah itu, terkejut ketika tinjunya menghantam logam yang keras dan bukan daging.
Dentuman keras terdengar ketika tinju perempuan itu bertemu dengan Kanshou. Tubuh perempuan itu terhentak mundur, dan tiba-tiba wajahnya berubah dari penuh percaya diri menjadi terkejut. "Ahhh!" teriaknya kesakitan saat luka terbuka di kulit tangannya. Darah hitam pekat mengalir keluar, dan untuk pertama kalinya, dia merasa ada sesuatu yang berbeda—luka itu, meskipun kecil, terasa sangat menyakitkan, dan proses regenerasinya berjalan jauh lebih lambat dari biasanya.
"Kenapa… regenerasiku…?" gumamnya, matanya melotot ke arah Shirou. "Apa yang kau lakukan padaku?!" dia memekik marah, matanya menyala penuh dengan kemarahan dan kebingungan.
Shirou tetap diam, menyadari bahwa perempuan ini ternyata bukanlah manusia biasa. "Kanshou dan Bakuya… pedang ini memiliki sifat anti-monster," bisiknya kepada dirinya sendiri, dengan napas berat. "Dia memiliki tubuh seperti monster dari dungeon. Itu sebabnya luka ini tidak bisa sembuh dengan cepat."
Perempuan itu mengerang, merasakan sakit yang tidak biasa di lengannya. "Aku akan menghabisimu karena ini!" Dengan kemarahan membara, dia bergegas menyerang Shirou dengan serangan yang jauh lebih brutal dan cepat dari sebelumnya.
Shirou tahu bahwa dia tidak bisa terus menghindar dari serangan perempuan ini, dan dia juga tahu bahwa dia tidak memiliki cukup waktu untuk mengeluarkan senjata lainnya. Dia memutuskan untuk menggunakan taktik berbeda—dengan satu gerakan cepat, dia melemparkan Bakuya ke udara, seolah-olah senjata itu tidak berarti. Bakuya melayang, berputar di udara, menjauh dari pertarungan.
Perempuan itu tersenyum licik, mengira bahwa Shirou kini benar-benar tak bersenjata. "Kau selesai!" teriaknya dengan penuh kepuasan, meluncurkan tinjuan lain dengan kecepatan luar biasa. Dia berhasil menjatuhkan Shirou ke tanah, tampak hampir tak berdaya, darah mengalir dari beberapa luka di tubuhnya.
Tetapi, sesaat sebelum dia bisa melancarkan serangan terakhir, Bakuya yang telah dilemparkan Shirou berbalik arah di udara, terbang menuju perempuan itu dengan kecepatan yang mengerikan. "Apa?!" dia berteriak, terlalu terlambat untuk menyadari jebakan itu.
Dengan suara tajam, Bakuya menghujam langsung ke pundak perempuan berambut merah itu. "Akh!" teriaknya dengan penuh rasa sakit, darah hitam kembali mengalir dari luka baru yang muncul. Dia jatuh berlutut, tangannya mencengkeram bahunya dengan ekspresi wajah yang tercengang dan marah. "Ini tidak mungkin! Apa sebenarnya kau ini?!" pekiknya dengan kemarahan.
Shirou tersenyum samar di balik topengnya meski rasa sakit merasuki seluruh tubuhnya. "Aku hanya seorang pemimpi," ujarnya dengan napas terengah-engah. "Yang berusaha untuk menjadi pahlawan…"
Perempuan itu tampak ragu sejenak, matanya berkedip penuh kemarahan. Tapi sebelum dia bisa melanjutkan serangannya, suara langkah kaki cepat mendekat. Finn dan Riveria tiba di lokasi dengan ekspresi terkejut. Finn segera memerintahkan, "Aiz, jaga Lefiya! Riveria, bersiap dengan sihirmu!"
Aiz yang sudah terluka dan berdiri terhuyung-huyung, segera mengangkat pedangnya lagi, sementara Lefiya mencoba mengumpulkan kekuatan untuk merapal mantra. "Siap, Finn!" seru Aiz, meski tubuhnya masih terasa lemah.
Riveria mengangkat tongkatnya, mantra sudah mulai terucap dari bibirnya. "Perempuan itu kuat… tapi dengan luka-luka ini, kita bisa mengalahkannya," ujarnya dengan tenang, matanya berfokus pada perempuan berambut merah yang kini tampak goyah.
Perempuan itu menyadari bahwa ia dikelilingi dan terjebak. Luka-luka dari Kanshou dan Bakuya tidak kunjung sembuh, regenerasinya terhambat. "Kalian akan membayar ini!" teriaknya dengan frustrasi. Dia melompat mundur, memilih untuk melarikan diri dengan kecepatan yang luar biasa.
Finn mengangkat tombaknya, siap mengejar, tetapi Riveria menahannya. "Jangan, Finn. Dia terluka, tapi kita perlu menyelamatkan orang-orang yang terluka di sini," ujarnya dengan nada tegas.
Aiz dan Lefiya segera berlari ke arah Shirou, yang terbaring di tanah dengan napas yang semakin lemah. "Kau siapa sebenarnya?" Aiz bertanya dengan suara penuh kekhawatiran, meskipun dia tidak bisa melihat wajah Shirou di balik topengnya.
Namun, sebelum Shirou bisa menjawab, kesadarannya mulai menghilang. Rasa sakit dari luka-lukanya terlalu kuat, dan perlahan pandangannya menjadi kabur. Suara Aiz dan Lefiya semakin jauh, dan akhirnya, semuanya menjadi gelap baginya.
Aiz menggigit bibirnya, melihat ke arah Finn. "Kita perlu membawanya ke tempat yang aman," ujarnya dengan nada penuh tekad. Finn mengangguk, "Setuju. Riveria, bantu aku dengan mantra penyembuhan darurat. Kita harus bergerak cepat."
Dengan cepat, Finn, Riveria, Aiz, dan Lefiya bekerja bersama, mencoba menolong Shirou yang terluka parah. Mereka tahu bahwa siapapun sosok bertopeng ini, dia telah menyelamatkan mereka dari ancaman besar, dan mereka tidak akan meninggalkannya begitu saja. Namun, mereka juga sadar, pertarungan ini belum benar-benar berakhir.
Aiz POV
Aiz Wallenstein menatap dengan penuh perhatian ke arah perempuan berambut merah yang berdiri di depannya, matanya yang berwarna emas menyipit karena fokus. Perempuan itu tampak seperti bayangan, sosok yang mengancam dan penuh amarah, dengan kekuatan yang tidak pernah Aiz duga sebelumnya. Aiz sudah menggunakan sihir anginnya, Ariel, untuk meningkatkan kecepatannya, tapi serangan-serangan perempuan itu begitu kuat sehingga Aiz merasakan setiap pukulan seperti hantaman dari monster besar.
Perempuan itu berbicara dengan nada dingin, suaranya bergetar dengan emosi yang campur aduk, "Aria... Kau Aria, bukan? Mengapa kau ada di sini?" Dia menatap Aiz dengan kebencian yang mendalam, seolah-olah melihat sesuatu yang lebih dari sekadar musuh.
"Aria?" Aiz bertanya pada dirinya sendiri, bingung. Nama itu adalah nama ibunya tapi dia tidak tahu mengapa perempuan ini menyebutnya. "Apa maksudnya? Mengapa dia mengira aku adalah ibuku?"
Aiz berusaha mengingat pelajaran ayahnya bertahun-tahun lalu, kata-katanya yang lembut tapi tegas terngiang di benaknya, "Aiz, kau akan menemukan seorang pahlawan suatu hari nanti. Seseorang yang akan melindungimu saat kau membutuhkan..." Ayahnya selalu berbicara tentang pahlawan, tapi pahlawan itu tak pernah muncul. Selama ini, Aiz berusaha menjadi pahlawannya sendiri, melindungi dirinya sendiri dan berjuang melawan segala rintangan.
Saat serangan perempuan berambut merah itu semakin intensif, Lefiya mencoba membantunya dengan sihir, tetapi serangannya hanya ditangkis dengan tangan kosong oleh perempuan itu. "Lefiya, mundur!" teriak Aiz, mencoba melindungi temannya yang sudah terluka. Lefiya terjatuh di sudut, tidak berdaya, sementara Aiz merasakan kepedihan yang mendalam di tubuhnya.
"Kenapa aku… kenapa aku tidak cukup kuat?" gumam Aiz dengan napas terengah-engah. Ia mencoba bangkit kembali, menggunakan setiap kekuatan yang tersisa. Perempuan itu kembali melancarkan serangan yang keras, dan Aiz terhempas ke tanah, terluka dan lelah.
Namun, di tengah keputusasaan itu, tiba-tiba ada sesuatu yang lain. Sebuah panah berkilauan muncul dari kejauhan, dan menghantam perempuan berambut merah itu. "Apa… siapa itu?" Aiz berbisik, matanya terbelalak melihat panah yang tiba-tiba muncul.
Di sana, dari bayang-bayang, muncul sosok berjubah hitam dengan topeng tengkorak. Sosok itu dengan tenang menyiapkan panah lain, memanah tanpa ragu meskipun lawannya jelas jauh lebih kuat. Aiz tidak mengenalnya. "Siapa dia?" pikir Aiz, namun ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Sosok itu, walaupun tampak lemah, jelas tidak gentar melawan perempuan yang baru saja melumpuhkannya.
Sosok bertopeng itu terus memanah, mengalihkan perhatian perempuan berambut merah itu. Panah yang ditembakkan menyala dengan cahaya aneh dan mengejar perempuan itu. "Bagaimana dia bisa melakukan itu? Tidak ada mantra," pikir Aiz, terkagum-kagum. "Dia… memanggil senjata itu begitu saja."
Meskipun serangannya terlihat kurang kuat dibandingkan dengan kekuatan perempuan itu, panah tersebut memiliki kemampuan yang tidak biasa. Bahkan, berhasil melukai lawannya yang regenerasinya jauh lebih lambat dari yang seharusnya.
"Kenapa… kenapa dia menolongku?" Aiz bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Tak seorang pun pernah datang menyelamatkannya seperti ini. "Apakah… mungkin dia pahlawan itu?"
Perempuan berambut merah itu mulai marah, dan menyerang ke arah sosok bertopeng itu dengan kekuatan yang jauh lebih besar. Aiz, dengan tubuh lemah, menyaksikan sosok itu bertahan. Dia memanipulasi senjata-senjata yang terus muncul di tangannya, mencoba berbagai taktik untuk melukai perempuan itu.
Namun, perempuan itu tampaknya semakin brutal. "Kau pikir kau bisa mengalahkanku dengan trik sepele itu?" serunya sambil melompat ke arah sosok bertopeng.
Sosok bertopeng itu menggunakan kesempatan untuk memanggil pedangnya kembali, melukai perempuan itu dengan serangan tak terduga. "Hah!" Perempuan itu menjerit, tangannya meraih bahu yang terkena luka dari pedang itu. Regenerasinya tampak terhambat, dan dia mundur.
Melihat perempuan itu mundur, Finn, Riveria, dan Lefiya mendekat. Aiz berlari dengan terhuyung-huyung, meskipun tubuhnya terasa lemah, ia harus memastikan siapa sosok bertopeng itu. "Kau… kau tidak apa-apa?" tanyanya dengan suara cemas.
Sosok bertopeng itu tidak menjawab, napasnya berat, dan ia mulai kehilangan kesadaran. Aiz menatapnya, merasa terkejut dengan ketenangan yang tampak di balik topeng tengkorak itu, meskipun jelas ia dalam keadaan kritis.
Finn menatap Aiz, "Kita harus membawanya ke tempat yang aman," katanya tegas.
"Ya," jawab Aiz sambil mengangguk. Dia mengangkat tubuh sosok bertopeng itu dengan hati-hati. "Kita tidak bisa meninggalkannya di sini."
Lefiya mendekat, meskipun dia terluka, dia tampak khawatir. "Siapa dia sebenarnya, Aiz? Kenapa dia membantumu?" tanyanya sambil melihat ke arah sosok bertopeng yang tak sadarkan diri itu.
Aiz menggelengkan kepalanya, "Aku… aku tidak tahu," jawabnya pelan, suaranya bergetar dengan emosi yang sulit dijelaskan. "Tapi… aku merasa dia datang untuk menyelamatkanku."
Mereka membawa sosok bertopeng itu menuju penginapan terdekat, Finn dan Riveria berjalan di depan untuk memastikan jalan aman. Saat mereka berjalan, Aiz terus memperhatikan sosok bertopeng itu, hatinya dipenuhi dengan berbagai perasaan yang berkecamuk. "Mungkinkah… mungkinkah dia pahlawanku?" pikir Aiz, dan untuk pertama kalinya, dia merasa ada harapan baru yang tumbuh dalam dirinya.
Di saat seperti ini, Aiz tahu, bahwa meskipun sosok itu tampak lemah dan terluka, keberanian dan pengorbanannya telah menyelamatkannya. "Terima kasih," bisik Aiz dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Siapapun kau, aku berhutang nyawa padamu."
Sosok bertopeng itu, yang mereka temukan terluka parah setelah pertempuran sengit, dibaringkan dengan hati-hati di atas kasur di salah satu kamar penginapan. Riveria dengan cepat bergerak ke sampingnya, mulai merapal mantra penyembuhan dengan tangan di atas tubuh sosok itu. Cahaya lembut kehijauan memancar dari tangannya, mencoba menutup luka-luka yang memenuhi tubuh sosok itu.
Namun, semakin lama Riveria mencoba menyembuhkan, semakin jelas baginya bahwa mantra penyembuhannya tidak cukup. Luka-luka yang diderita sosok ini jauh lebih parah daripada yang ia duga. Riveria mengerutkan keningnya, wajahnya penuh kekhawatiran. "Tidak cukup... Luka-lukanya terlalu dalam dan parah," ujarnya dengan suara tegas namun cemas. "Kita harus meminumkan elixir segera, atau dia tidak akan bertahan."
Aiz yang berdiri di sampingnya dengan cemas, memegang botol elixir yang Riveria berikan. Ia menatap wajah sosok bertopeng itu, hatinya berdebar kencang. "Aku akan melakukannya," katanya pelan. Dengan tangan yang gemetar, dia mulai membuka topeng tengkorak itu dengan hati-hati.
Begitu topeng terbuka, wajah yang terluka dan pucat itu terungkap. Semua orang yang ada di dalam ruangan terdiam sejenak, terkejut dengan apa yang mereka lihat. "Shirou?!" seru Finn, suaranya penuh keterkejutan. "Anak ini... pemula yang baru bergabung? Bagaimana bisa dia ada di sini?"
Lefiya menatap dengan mata terbuka lebar, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Dia… dia pemula, bukan? Bagaimana mungkin dia bisa sampai di lantai 18 sendirian?" tanyanya, kebingungan. "Dan... dia melawan perempuan berambut merah itu yang setidaknya berlevel 6..."
Riveria menelan ludah, mengamati wajah Shirou yang pucat dengan ekspresi serius. "Ini... sungguh di luar dugaan," gumamnya. "Tapi sekarang bukan waktunya untuk pertanyaan. Kita harus menyelamatkannya."
Aiz menggenggam botol elixir dengan erat di tangannya. Ia mendekatkan botol itu ke bibir Shirou yang tidak sadarkan diri, tetapi segera menyadari bahwa mulutnya terlalu tertutup rapat untuk bisa menelan. Saat Aiz mencoba dengan hati-hati, Shirou, yang masih dalam keadaan tidak sadar, tiba-tiba memuntahkan cairan elixir itu, menyebabkan sebagian besar elixir itu tumpah.
Finn melihatnya dengan serius dan berkata, "Kita tidak punya waktu. Jika kita tidak memberikan elixir ini dengan cara lain, dia tidak akan selamat. Aku akan—" Finn mengangkat botol elixir dan mendekat ke Shirou.
Aiz, dengan cepat, menghentikan langkah Finn. "Tidak!" serunya dengan tegas. "Aku yang akan melakukannya." Wajahnya berubah merah, tapi matanya menatap penuh keberanian. Finn tersenyum tipis dan mundur, memberikan ruang untuk Aiz.
Lefiya yang tampak gugup memandang Aiz. "A-Aiz... kau yakin?" tanyanya dengan nada cemas namun juga sedikit iri entah pada Aiz atau pada Shirou.
Aiz tidak menjawab, tetapi mengangguk pelan. Ia menatap wajah Shirou yang pucat dan terluka, merasakan sebuah dorongan dalam hatinya yang tidak bisa ia jelaskan. "Dia menyelamatkanku… aku harus melakukan ini," gumamnya dalam hati.
Dengan sedikit ragu, Aiz membuka mulutnya dan menuangkan elixir ke dalamnya, lalu menunduk mendekati Shirou. Dengan lembut, ia menempelkan bibirnya pada bibir Shirou, memindahkan elixir secara perlahan-lahan. "Minumlah... minumlah ini," bisik Aiz dalam hati, menunggu Shirou menelan setiap tetes elixir yang ia berikan. Mulutnya sabar menanti, merasakan denyut jantungnya yang berdebar kencang.
Beberapa saat berlalu dalam kesunyian yang tegang. Shirou akhirnya mulai menelan, sedikit demi sedikit elixir yang diberikan Aiz, dan napasnya tampak lebih tenang. Aiz menarik diri, wajahnya memerah tapi dengan senyum kecil di sudut bibirnya.
Finn mengangguk setuju, matanya menatap Shirou dengan rasa hormat yang baru ditemukan. "Anak ini… lebih dari yang kita kira. Mungkin kita sudah terlalu meremehkannya," katanya dengan nada serius.
Riveria juga tersenyum tipis. "Benar… dia tidak seperti pemula biasa. Ada banyak hal yang harus kita ketahui tentang Shirou."
Lefiya tampak lega, meskipun masih ada sedikit kecemasan di wajahnya. "Terima kasih, Aiz... kau melakukannya dengan sangat baik," ujarnya dengan senyum malu.
Aiz hanya mengangguk pelan, tetap menatap Shirou yang sekarang mulai pulih, meskipun dia masih tidur dengan nyenyak. "Kau sudah banyak membantu, Shirou... Terima kasih," bisiknya pelan.
Shirou tertidur dengan tenang, luka-lukanya perlahan sembuh di bawah pengaruh elixir, dan di ruangan itu, mereka semua merasa lega bahwa sosok misterius ini, pahlawan yang menyelamatkan Aiz, masih bersama mereka — setidaknya untuk saat ini.