Keesokan harinya, di ruang tengah Twilight Manor, Loki terlihat duduk santai dengan kaki terangkat di atas meja. Wajahnya yang penuh senyum tampak menyembunyikan sesuatu yang penting. Anggota Loki Familia berkumpul di sekitarnya, termasuk Shirou, Lefiya, dan Bete. Suasana terasa sedikit tegang karena Loki jarang mengadakan pertemuan mendadak seperti ini.
"Baiklah, dengar semuanya!" Loki memulai dengan nada ceria, meskipun jelas ada maksud serius di balik sikap santainya. "Kalian bertiga,"—ia menunjuk pada Shirou, Lefiya, dan Bete—"akan menyusul Aiz ke lantai 24. Ada beberapa masalah kecil di sana yang perlu kalian bantu selesaikan."
Lefiya mengangguk dengan semangat, matanya bersinar penuh antusiasme. "Ya, Loki-sama! Kami akan segera berangkat."
Bete, dengan nada sedikit malas, mendengus. "Hah, hanya lantai 24? Sepertinya tidak akan terlalu sulit."
Loki tersenyum lebih lebar. "Ah, jangan terlalu meremehkan. Kalian tidak akan sendirian. Kalian juga akan pergi bersama kapten dari Dionysius Familia, Filvis."
Shirou mengangkat alisnya. "Filvis? Mengapa dia ikut serta, Loki-sama?" tanyanya dengan penasaran.
Loki melirik Shirou dengan ekspresi nakal. "Dia punya urusan dengan Aiz, dan dia akan membantu kalian. Tapi, lebih penting lagi, Shirou…" Loki bersandar ke depan, menatap langsung ke mata Shirou dengan senyum licik. "Kau tak perlu menyembunyikan levelmu lagi."
Shirou terdiam sesaat, lalu bertanya pelan, "Maksudmu, Loki-sama?"
Loki terkekeh. "Aku sudah mengibuli Dionysius bahwa kau sudah mencapai level 3 sejak lama, bahkan sebelum bergabung dengan Loki Familia. Tidak ada gunanya lagi menyembunyikannya, toh mereka tidak akan bisa memverifikasinya dengan guild."
Shirou merasa sedikit lega, tapi juga penasaran. "Kenapa kau mengatakan itu pada Dionysius, Loki-sama?"
Loki mengangkat bahu dengan santai. "Karena aku tidak ingin mereka meremehkanmu. Kau adalah bagian dari Loki Familia sekarang, dan aku ingin orang lain tahu bahwa kita tidak menerima anggota yang lemah."
Bete tertawa kecil. "Hah, jadi kita membawa supporter level 3 yang sebenarnya lebih kuat dari kebanyakan anggota Familia lain."
Lefiya menatap Shirou dengan senyum bangga. "Shirou-san, itu artinya kau bisa bertarung lebih bebas kali ini, tanpa khawatir tentang statusmu."
Shirou mengangguk, meskipun sedikit canggung. "Terima kasih, Loki-sama. Aku akan melakukan yang terbaik."
Loki melambaikan tangan dengan acuh. "Ah, itu yang ingin kudengar. Baiklah, sekarang bersiaplah dan berangkatlah secepat mungkin. Jangan buat Aiz menunggu terlalu lama."
Shirou, Lefiya, dan Bete segera menuju ke kamar mereka masing-masing untuk mempersiapkan perlengkapan. Ketika mereka keluar dari manor, Filvis sudah menunggu di gerbang dengan ekspresi serius, mengenakan armor peraknya yang bersinar.
Filvis menatap mereka dengan tenang. "Aku berharap kalian sudah siap. Kita tidak boleh membuang waktu."
Shirou tersenyum sopan. "Tentu, Filvis-san. Kami siap kapan saja."
Filvis memberi anggukan singkat. "Baik. Ayo kita pergi. Kita harus mencapai lantai 24 sebelum senja."
Dengan persiapan yang matang dan semangat yang tinggi, mereka berempat mulai bergerak menuju dungeon. Meskipun tujuan mereka jelas, Shirou tidak bisa menahan perasaan cemas yang samar—tapi juga antusias—untuk melihat apa yang menunggu mereka di kedalaman dungeon kali ini.
Ketika mereka tiba di Dungeon, keempatnya langsung bergerak cepat. Mereka menuruni lantai demi lantai dengan efisiensi tinggi, fokus mereka tertuju pada satu tujuan: mencapai lantai 18 secepat mungkin untuk mengejar Aiz.
Filvis memimpin kelompok dengan tenang dan percaya diri. Setiap kali monster muncul, ia menghadapi mereka dengan gerakan yang anggun namun mematikan. Filvis menggunakan rapiernya dengan ketepatan dan kecepatan luar biasa, setiap tusukan menusuk tepat di titik vital monster, menghabisi mereka dalam sekejap. Bahkan dalam situasi yang penuh bahaya, ekspresinya tetap tenang, hampir tanpa emosi, seolah-olah dia sudah terbiasa menghadapi bahaya semacam ini.
Lefiya, yang mengikuti di belakang Filvis, tak bisa menahan kekagumannya. "Filvis-san... kamu benar-benar luar biasa," gumamnya, matanya berbinar melihat betapa anggunnya Filvis saat bertarung. Ia tidak hanya cepat, tetapi setiap gerakannya terlihat seperti tarian yang elegan, membuat Lefiya terpesona.
Shirou, di sisi lain, tetap menjaga kecepatan di belakang Lefiya. Ia memutuskan untuk tidak menggunakan Magecraft selama perjalanan ini, menyembunyikan kemampuannya dari Filvis. Sebaliknya, ia mengandalkan keterampilannya dengan senjata konvensional—Kanshou dan Bakuya—yang ia simpan dengan aman, siap digunakan kapan saja. Meskipun tidak menggunakan kekuatan penuhnya, Shirou tetap memberikan kontribusi yang signifikan dalam pertarungan, menjaga agar tidak ada monster yang mendekati Lefiya atau Bete.
Saat mereka menembus lantai demi lantai, Shirou sesekali mencuri pandang ke arah Filvis, terkesan dengan kemampuan bertarungnya yang luar biasa. Meskipun dia tidak menggunakan sihir yang spektakuler seperti Lefiya atau kecepatan brutal seperti Bete, Shirou bisa melihat bahwa Filvis adalah petarung yang sangat berpengalaman dan terlatih.
Bete, meskipun masih menunjukkan ekspresi dongkol, tak bisa menahan diri untuk mengakui efisiensi Filvis. "Hmph, setidaknya kita nggak perlu buang-buang waktu dengan seseorang yang nggak bisa bertarung," gumamnya, setengah memuji, meski dengan nada tidak terlalu ramah.
Filvis tetap fokus pada tujuannya, tidak terpengaruh oleh pujian atau komentar apapun. Ketika monster muncul dalam jumlah besar, dia dengan cepat menyusuri garis pertempuran, mengarahkan Lefiya dan Shirou dengan isyarat tangan yang tenang namun tegas.
"Lefiya, tetap di belakang dan dukung dengan sihirmu. Shirou, jaga bagian belakang dan pastikan tidak ada yang menyerang dari sisi yang tidak terlihat," perintah Filvis dengan nada yang tenang namun tegas, menunjukkan bahwa dia sudah terbiasa memimpin dalam situasi berbahaya.
Lefiya mengangguk cepat, sambil mengucapkan mantra pelindung untuk kelompok mereka. Sementara Shirou, dengan ketenangan yang sama, memastikan bahwa mereka tidak tersudut oleh monster dari belakang. Meskipun tidak menggunakan kekuatan penuh, Shirou merasa nyaman dengan perannya, memberikan perlindungan tanpa menonjolkan diri.
Setelah beberapa waktu menembus Dungeon dengan efisiensi tinggi, mereka akhirnya mencapai lantai 18. Tempat itu merupakan lantai yang relatif lebih aman, dan menjadi titik peristirahatan bagi banyak petualang. Namun, kelompok mereka tidak punya waktu untuk beristirahat. Mereka terus mencari Aiz, yang sudah berada di sana sebelumnya.
"Di mana Aiz?" tanya Lefiya dengan sedikit cemas, matanya menyapu sekeliling mereka.
"Kita tidak boleh berhenti sekarang," balas Filvis tanpa kehilangan ketenangannya. "Dia pasti tidak jauh. Tetaplah waspada."
Shirou mengangguk setuju, tetap diam sambil memperhatikan sekeliling mereka. Dalam pikirannya, ia sudah bersiap untuk apa pun yang akan mereka hadapi selanjutnya. Dia tahu bahwa tantangan sebenarnya mungkin masih menunggu mereka di lantai-lantai berikutnya.
Setibanya di lantai 18, kelompok Shirou segera menuju Rivira, sebuah kota kecil yang terletak di lantai yang relatif aman ini. Meskipun lantai ini sering menjadi tempat peristirahatan bagi para petualang, mereka tidak ingin berlama-lama di sini. Fokus mereka adalah mencari informasi tentang keberadaan Aiz.
Mereka mulai menyusuri jalanan Rivira, bertanya kepada penduduk dan petualang lain apakah ada yang melihat Aiz. Namun, tidak ada seorang pun yang bisa memberikan jawaban pasti. Beberapa orang hanya menggelengkan kepala, sementara yang lain tidak tahu sama sekali.
"Kita tidak menemukan apa pun," kata Lefiya, sedikit frustrasi. "Ke mana dia pergi?"
Filvis tetap tenang, meskipun sedikit kebingungan mulai terlihat di wajahnya. "Dia pasti tidak jauh. Mungkin kita hanya belum bertemu dengan orang yang tepat untuk bertanya."
Shirou melihat ke arah Bete yang tampak lebih tidak sabar dari biasanya. "Bete, ada ide lain?" tanya Shirou, mencoba menjaga suasana tetap fokus.
Bete mendengus, mengalihkan pandangannya ke seorang pria yang tampak mencurigakan di sudut jalan. "Tunggu di sini. Aku akan mencoba sesuatu," katanya dengan nada datar sebelum berjalan mendekati pria itu.
Pria tersebut adalah Mord, seorang petualang yang terkenal licik dan sering kali terlibat dalam berbagai kegiatan yang meragukan. Bete langsung mendekatinya dengan tatapan tajam.
"Oi, kamu!" panggil Bete dengan nada mengancam, membuat Mord menoleh dengan cepat. "Lihat gadis berambut pirang dengan pedang baru-baru ini?"
Mord melihat Bete dengan sedikit cemas, mencoba bersikap angkuh. "Oh, Aiz Wallenstein, ya? Mungkin saja. Tapi, informasi itu tidak murah, tahu?"
Bete mendekat dengan cepat, mengangkat Mord dari kerah bajunya. "Aku tidak sedang main-main, Mord. Kau mau bicara sekarang atau aku harus membuatmu?"
Mord mencoba tertawa, meskipun jelas ada ketakutan di matanya. "Hei, tenang dulu, aku cuma bercanda. Ya, ya! Aku lihat dia… dia pergi bersama sekelompok petualang lain ke arah Pantry di lantai 24."
Lefiya, yang berdiri di dekat Shirou dan Filvis, menghela napas lega. "Aiz-san… baiklah, kita tahu ke mana harus pergi."
Namun, sebelum Mord bisa melarikan diri, dia menatap Filvis dengan tatapan yang aneh, hampir seperti ia takut pada sesuatu yang tidak terlihat. "Hei, anak-anak," katanya, lebih serius kali ini. "Kalian tahu siapa yang kalian bawa bersamamu?"
Shirou dan Lefiya saling berpandangan, sementara Bete tetap memegang Mord dengan kuat. "Maksudmu apa?" tanya Shirou dengan nada hati-hati.
Mord tertawa pendek, tetapi suaranya terdengar sedikit gemetar. "Filvis Challia… atau lebih dikenal sebagai Banshee. Kalian pernah dengar cerita itu?"
Lefiya mengerutkan kening. "Banshee? Apa maksudmu?"
Mord mengangguk, pandangannya tidak meninggalkan Filvis, yang tetap diam dan tenang di tempatnya. "Dia satu-satunya korban selamat dari Nightmare di lantai 27 sekitar enam tahun lalu. Semua orang tahu cerita itu. Seluruh partynya habis, kecuali dia. Itulah kenapa dia dapat julukan Banshee… seperti kematian itu mengikuti dia di mana pun dia pergi."
Shirou menatap Filvis, berusaha memahami perasaan yang mungkin dirasakan oleh gadis itu saat mendengar cerita ini diungkit kembali. Namun, Filvis hanya menatap lurus ke depan, wajahnya tidak menunjukkan emosi apa pun, seolah cerita itu bukan hal baru baginya.
Bete menggeram, tidak suka dengan arah pembicaraan ini. "Diam dan fokus pada urusanmu sendiri, Mord. Kau sudah bicara cukup banyak," katanya sebelum melepaskan Mord dengan dorongan keras, membuatnya terhuyung ke belakang.
Mord cepat-cepat melangkah mundur, tidak ingin mencari masalah lebih lanjut. "Baik, baik, aku pergi. Tapi ingat apa yang kukatakan…" katanya sebelum berbalik dan menghilang di keramaian.
Lefiya menatap Filvis dengan khawatir. "Filvis-san… maaf soal tadi. Aku tidak tahu…"
Filvis mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Lefiya berhenti. "Tidak perlu meminta maaf, Lefiya. Itu adalah masa lalu, dan tidak ada yang bisa diubah. Yang penting sekarang adalah menemukan Aiz dan menyelesaikan misi ini."
Shirou mengangguk, meskipun hatinya terasa sedikit berat mendengar kisah itu. Dia bisa merasakan beban emosional yang mungkin dirasakan oleh Filvis, meskipun dia tidak menunjukkannya. "Kita harus tetap fokus. Mari kita teruskan perjalanan ke lantai 24," ucap Shirou, mencoba mengembalikan fokus kelompok.
Dengan tekad baru, mereka berempat melanjutkan perjalanan mereka, meninggalkan Rivira dan turun lebih dalam ke Dungeon. Meski ada bayang-bayang masa lalu yang mengikutinya, Filvis tetap berjalan dengan kepala tegak, fokus pada tujuan mereka yang sebenarnya.
Setelah mendapatkan informasi dari Mord tentang Aiz dan kelompok petualang lainnya yang menuju Pantry di lantai 24, mereka melanjutkan perjalanan. Namun, suasana di antara mereka terasa semakin tegang. Cerita Mord tentang julukan "Banshee" milik Filvis dan masa lalunya sebagai satu-satunya korban selamat dari mimpi buruk di lantai 27 enam tahun lalu masih terngiang-ngiang di kepala mereka.
Lefiya tampak gelisah, sesekali melirik Filvis dengan rasa simpati, sementara Bete hanya mendengus dengan kesal, merasa frustrasi dengan suasana yang semakin tegang. Dia akhirnya tidak bisa menahan diri lagi. "Jadi, kau adalah satu-satunya yang selamat dari mimpi buruk itu, ya? Kenapa kau lari dan membiarkan mereka mati?" provokasi Bete dengan nada kasar, matanya tajam menatap Filvis.
Filvis berhenti berjalan sejenak, wajahnya pucat dan matanya terpejam, seolah mengingat kembali kenangan yang menyakitkan. "Aku tidak punya pilihan lain," jawabnya dengan suara pelan namun tegas. "Aku tidak bisa menyelamatkan mereka… dan aku tidak bisa menyelamatkan diriku sendiri. Setiap hari aku hidup dengan rasa malu dan penyesalan atas mereka yang telah tewas."
Shirou yang berada di belakang, merasakan simpati yang mendalam untuk Filvis. Dia teringat pada dirinya sendiri, saat masih kecil di kota Fuyuki yang terbakar. Dia juga pernah merasa sendirian, tak berdaya, dan penuh rasa bersalah karena selamat ketika yang lain tidak. Tapi kemudian, ada Kiritsugu yang menyelamatkannya dan memberikan harapan baru.
"Filvis," Shirou memanggil dengan suara lembut. "Aku tahu bagaimana rasanya merasa bersalah karena menjadi satu-satunya yang selamat. Dulu… aku juga merasa seperti itu. Tapi ada seseorang yang menyelamatkanku, seseorang yang memberiku kesempatan kedua… untuk hidup dan berbuat lebih banyak. Kiritsugu, orang yang menyelamatkanku dari kebakaran Fuyuki."
Filvis menoleh ke arah Shirou, matanya sedikit melembut meskipun masih ada kesedihan di dalamnya. "Seseorang menyelamatkanmu?" tanyanya dengan nada penasaran, seolah mencari konfirmasi bahwa orang lain juga bisa memahami rasa sakitnya.
Shirou mengangguk. "Ya, dan aku percaya, pada titik tertentu, kita semua akan bertemu dengan seseorang yang datang untuk menyelamatkan kita, memberikan harapan baru. Sama seperti aku yang diselamatkan, dan aku percaya kamu juga akan diselamatkan oleh seseorang."
Filvis terdiam sejenak, wajahnya menunjukkan campuran emosi antara rasa sakit dan harapan yang tumbuh kembali. Dia tersenyum kecil, meskipun senyum itu terasa getir. "Dewa Dionysus… Dialah yang menyelamatkanku," katanya pelan. "Dia memberiku tujuan, kesempatan untuk memperbaiki kesalahan, dan alasan untuk terus hidup."
Lefiya yang melihat itu mencoba menyemangati. "Filvis-san… kamu tidak perlu merasa malu. Banyak dari kita yang akan melakukan apa pun untuk bertahan hidup. Tapi kamu tetap bertahan, itu saja sudah luar biasa."
Bete hanya mendengus lagi. "Tch, hidup dengan rasa malu atau tidak, terserah padamu. Selama kau tidak mengganggu kami dalam misi ini."
Shirou menatap Bete tajam. "Bete, kita semua punya alasan masing-masing untuk apa yang kita lakukan. Mungkin sebaiknya kita fokus pada misi kita saat ini."
Bete mengangkat bahu dengan enggan, tapi tidak berkata apa-apa lagi. Perjalanan dilanjutkan dalam diam, namun ketegangan di antara mereka sedikit mereda setelah percakapan tadi. Meski ada perasaan tak nyaman, ada juga perasaan saling memahami yang perlahan tumbuh di antara mereka. Filvis, meskipun masih terlihat cemas, tampaknya merasa sedikit lebih lega dengan dukungan Shirou dan Lefiya, dan mereka melanjutkan perjalanan dengan hati yang sedikit lebih ringan
Lefiya berjalan di samping Filvis, merasa cemas. Dia mencuri pandang ke arah Filvis, melihat tangan wanita itu yang tampak bergetar sedikit. "Filvis-san," panggil Lefiya dengan lembut, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menghiburnya. "Aku tahu… cerita tentang masa lalumu mungkin membuatmu merasa tidak nyaman. Tapi… kau masih di sini, dan itu yang terpenting, bukan?"
Filvis menundukkan kepala sedikit, seolah berusaha mengendalikan emosinya. "Kau tidak mengerti, Lefiya," jawabnya dingin. "Tanganku ini… dipenuhi dengan darah orang-orang yang tidak bisa kuselamatkan. Aku tidak pantas mendapat simpati atau pengertian."
Lefiya merasa dorongan tiba-tiba dalam hatinya. Tanpa berpikir panjang, dia mengulurkan tangannya dan dengan lembut memegang tangan Filvis yang kotor dan berdarah itu. "Tidak," kata Lefiya dengan suara bergetar namun tegas. "Tanganku ini juga bersedia memegang tanganmu, meskipun penuh dengan darah."
Filvis terkejut, tubuhnya menegang sejenak ketika merasakan sentuhan Lefiya. Dia tidak terbiasa disentuh, terutama oleh orang lain yang bukan elf. Dia menatap Lefiya dengan mata yang melebar, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. "Lefiya, kau tidak perlu—"
Lefiya tersenyum lembut, meskipun matanya penuh dengan air mata yang tertahan. "Aku tahu, Filvis-san… aku mungkin tidak mengerti semua yang kau alami, tapi aku tahu rasa sakit dan penyesalan yang kau rasakan. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa kau andalkan… bahkan jika itu berarti hanya dengan memegang tanganmu."
Filvis menundukkan kepala, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku… aku tak ingin siapa pun menyentuh tangan kotorku ini," gumamnya dengan suara pelan, hampir seperti berbisik. "Tapi… terima kasih, Lefiya."
Shirou, yang berada di belakang, memperhatikan interaksi mereka dengan kagum. Dia melihat bagaimana Lefiya, meskipun jelas masih muda dan kadang-kadang canggung, memiliki keberanian untuk mendekati seseorang yang dikenal karena masa lalunya yang kelam dan penuh penderitaan. Lefiya benar-benar memiliki hati yang murni.
Filvis perlahan mengendurkan pegangan pada pedangnya, tampak sedikit lebih tenang. "Mungkin… mungkin ada sesuatu yang lebih dari sekadar penyesalan," katanya pelan. "Mungkin masih ada harapan…"
Bete, meskipun biasanya tidak peduli, hanya menatap dengan mata setengah tertutup. "Hah, drama elf," gumamnya. "Selama kau bisa bertarung, aku tidak peduli dengan masa lalumu."
Shirou tersenyum tipis mendengar ucapan Bete, tahu bahwa di balik sikap kasar Bete, dia juga memahami rasa sakit Filvis. "Ayo, kita lanjutkan," ujarnya, mencoba untuk membangkitkan semangat tim. "Aiz sudah menunggu, dan kita harus cepat."
Mereka melanjutkan perjalanan, dan kali ini suasana di antara mereka sedikit lebih ringan. Filvis, yang biasanya dingin dan tertutup, merasakan ada sedikit beban yang terangkat dari pundaknya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ada orang lain yang memahami dan peduli padanya, meskipun dia sendiri masih ragu untuk membuka diri sepenuhnya.
Kelompok Shirou, Lefiya, Bete, dan Filvis akhirnya memasuki gua gelap di lantai 24. Suasana gua yang mencekam membuat mereka berhati-hati, dengan hanya cahaya obor yang memberikan penerangan di lorong-lorong yang berkelok. Dinding-dinding batu berkilau samar karena kelembapan, dan suara tetesan air dari langit-langit terdengar bergema di sekitar mereka. Suara langkah kaki mereka yang berhati-hati terdengar jelas di dalam gua yang sepi itu.
Filvis, yang berada di depan, segera mengangkat rapiernya, memperhatikan setiap gerakan sekecil apapun di sekitar mereka. Ketika beberapa monster muncul dari kegelapan, dia melangkah maju dengan tenang, mengayunkan pedangnya dengan gerakan yang anggun namun mematikan. Di tengah pertarungan, Filvis mulai merapalkan mantra dengan suara yang lembut, tetapi tegas, tanpa henti menyerang musuh-musuh di depannya.
"A-aku tidak percaya… Filvis-san bisa melakukannya!" Lefiya berbisik, tertegun melihat bagaimana Filvis bisa bertarung di garis depan sambil melakukan concurrent chant, yaitu merapalkan mantra sembari menyerang.
Filvis memandang ke arah Lefiya dengan cepat, masih fokus pada pertarungannya. "Jangan terlalu banyak bicara, Lefiya," katanya singkat sambil mengayunkan rapiernya, menebas monster yang mencoba menyerang dari samping. "Konsentrasikan energimu pada tugasmu."
Monster-monster itu menyerang secara bertubi-tubi, namun Filvis tetap tenang. Mantranya terus berlanjut, dan setiap kali dia selesai merapalkan satu mantra, ledakan sihirnya langsung melumpuhkan musuh-musuh di depannya. "Dio Thyrsos!" Seru Filvis, dan seberkas cahaya terang meledak dari ujung rapiernya, menghanguskan beberapa monster sekaligus.
Shirou, yang berada di belakang, memperhatikan dengan seksama. "Gaya bertarung yang sangat efisien," pikirnya. "Dia bisa menggabungkan serangan fisik dan sihir dalam waktu yang sama… tidak banyak orang yang bisa melakukan itu."
Bete, yang berlari di sisi lain, melontarkan komentar dengan suara agak keras. "Lihat itu, Lefiya! Belajarlah dari Filvis. Dia bisa chanting sambil bertarung di garis depan. Tidak seperti dirimu, yang selalu membutuhkan perlindungan," ejeknya sambil mengayunkan cakar logamnya, merobek monster yang menyerang.
Lefiya menggigit bibirnya, merasa sedikit tersinggung. "Bete…! Aku… aku sedang berusaha…"
Shirou bisa melihat ekspresi kecewa di wajah Lefiya, dan mencoba untuk menenangkannya. "Tidak apa-apa, Lefiya," katanya dengan lembut. "Semua orang memiliki cara bertarung yang berbeda. Kamu memiliki kekuatan dan kemampuanmu sendiri."
Filvis, sementara itu, terus melanjutkan pertarungannya. "Setiap petualang memiliki caranya sendiri," katanya tanpa menoleh, matanya tetap fokus pada musuh di depannya. "Kuncinya adalah memahami kekuatan dan kelemahanmu sendiri, dan menggunakannya dengan bijak."
Lefiya mengangguk pelan, meskipun masih tampak sedikit malu. "Ya, Filvis-san... aku akan terus belajar," ujarnya dengan suara lebih lembut.
Di depan mereka, serangan monster semakin meningkat, tetapi Filvis tidak gentar sedikit pun. "Tetap waspada," katanya singkat. "Masih banyak yang datang."
Shirou mengangguk, merasa terinspirasi oleh ketenangan dan keberanian Filvis. Dia menyadari bahwa masih banyak yang harus dia pelajari tentang dunia ini, dan orang-orang yang ada di dalamnya. Sambil mengangkat busurnya, dia bersiap untuk menghadapi gelombang musuh berikutnya, mengamati dan belajar dari Filvis yang tampaknya tidak pernah kehilangan fokus di tengah bahaya.
Mereka terus maju hingga akhirnya tiba di sebuah ruang gua yang lebih besar. Di dalamnya, pemandangan yang mengerikan menyambut mereka. Sekelompok petualang dari Hermes Familia sedang terkepung oleh makhluk-makhluk tumbuhan yang dikenal sebagai Violas, yang merambat dengan akar-akar besar mereka, siap mencabik-cabik mangsa mereka.
Di antara kekacauan itu, terlihat sekelompok fanatik yang telah memasang bom di tubuh mereka sendiri, membuat situasi semakin berbahaya. Di pusat kelompok tersebut, berdiri seorang pria tak berbaju dengan topeng tengkorak antelop, tampak seperti pemimpin mereka. Matanya menyala dengan kegilaan, dan auranya memancarkan kekuatan yang tidak bisa diremehkan.
Tanpa ragu, Bete melompat maju, langsung menantang pemimpin fanatik itu. "Kau pikir bisa membuat kekacauan di sini dan lolos begitu saja? Dasar bodoh!" seru Bete dengan nada marah, sebelum menerjang ke arah pria bertopeng itu. Mereka bertukar pukulan dengan kecepatan yang mengerikan, masing-masing berusaha mencari celah untuk menjatuhkan lawan.
"Jangan biarkan mereka mendekat!" teriak Filvis, sambil terus melawan Violas di sekitarnya. Sementara itu, Lefiya mulai melafalkan mantranya, mencoba memusatkan energi sihirnya untuk memberikan bantuan kepada yang lain.
Shirou, yang berada sedikit di belakang, segera menyadari bahaya dari para fanatik yang dilengkapi dengan bom. Dia mengambil busurnya dan memanah dengan presisi, menargetkan bom yang terpasang di tubuh mereka. "Ini harus tepat," bisiknya pada diri sendiri. Panahnya meluncur dan mengenai salah satu fanatik, langsung memicu ledakan.
Efeknya beruntun. Bom-bom di tubuh para fanatik lainnya mulai meledak satu demi satu, menciptakan rentetan ledakan yang menghancurkan sebagian besar Violas di sekitar mereka, juga melukai anggota kelompok fanatik yang masih tersisa.
Filvis, yang berada di garis depan, tersentak ketika pemimpin lawan tiba-tiba beralih menyerangnya setelah menyadari apa yang Shirou lakukan. Dia melompat maju dengan kecepatan yang luar biasa, siap untuk menyerang Filvis dengan kekuatan penuh. Namun, sebelum dia bisa mencapai Filvis, Shirou sudah berada di antara mereka.
Menggunakan Kanshou dan Bakuya, Shirou menangkis serangan brutal pria bertopeng itu, melindungi Filvis. Suara benturan logam keras bergema di gua, menunjukkan betapa kuatnya serangan tersebut.
"Jangan meremehkan kami!" seru Shirou, mendorong kembali pemimpin lawan dengan kekuatannya sendiri. Pemimpin itu terhuyung mundur, jelas tidak menyangka bahwa seseorang akan mampu menghalangi serangannya dengan begitu efektif.
Filvis, yang merasa tersentuh oleh tindakan Shirou, hanya bisa berterima kasih dengan anggukan cepat sebelum melanjutkan serangannya terhadap Violas yang tersisa. Bersama-sama, mereka mulai menguasai medan pertempuran, memastikan bahwa tidak ada musuh yang tersisa.
Sementara itu, Bete dan pemimpin fanatik itu masih bertarung sengit, masing-masing mencoba untuk menjatuhkan lawan dengan kekuatan dan kecepatan mereka. Namun, dengan semakin berkurangnya anggota kelompok fanatik dan Violas di sekitar, keadaan mulai berbalik menguntungkan pihak Loki Familia.
Ketika ledakan terakhir mereda, dan debu mulai mengendap, suasana di gua itu menjadi sunyi. Shirou, Filvis, dan Lefiya berdiri di tengah medan pertempuran, nafas mereka terengah-engah tetapi penuh kemenangan. Sementara itu, Bete berdiri dengan sombong di atas tubuh pemimpin lawan yang tak berdaya, menandakan akhir dari pertarungan yang sengit ini. Akan tetapi lawan yang ia kira sudah tak berdaya menendang dadanya dari posisi berbaring.
Bete Loga terhuyung mundur setelah menerima tendangan kuat dari lawannya yang membuatnya terdorong beberapa meter ke belakang. Dia mendarat dengan keras, menimbulkan debu yang berputar di sekelilingnya. Topeng antelop yang dikenakan oleh pria itu pecah menjadi serpihan, mengungkapkan wajah yang familiar bagi salah satu petualang yang hadir.
Asfi Al Andromeda, kapten dari Hermes Familia, menatap tajam pada wajah yang kini terbuka itu. Wajah itu… dia mengenalnya. Mata biru Asfi melebar saat ingatan menyeruak dari masa lalu yang menyakitkan.
"Olivas Act...," bisiknya nyaris tak terdengar, suaranya tercekat oleh keterkejutan dan ketakutan yang mendalam. "Kau seharusnya sudah mati... kau mati di tragedi Lantai 27, enam tahun lalu!"
Pria yang disebut Olivas Act itu menatap Asfi dengan tatapan dingin, senyum keji menghiasi bibirnya. Luka-luka di tubuhnya yang seharusnya fatal mulai menutup dengan cepat, daging dan kulitnya regenerasi seperti monster yang tak bisa mati.
"Oh, kapten Hermes Familia, Asfi Al Andromeda... Kau masih mengingatku rupanya," Olivas berbicara dengan nada yang penuh ejekan. "Ya, aku memang sudah mati... seharusnya. Tapi 'dia' tidak menginginkan itu."
"Dia? Siapa yang kau maksud?" Asfi bertanya dengan suara bergetar, meskipun dia berusaha keras untuk tetap tenang.
Olivas mengangkat tangannya, melihat ke langit yang kelam, seolah-olah mencari sesuatu di antara bintang-bintang yang tak terlihat.
"Dia... yang membawa aku kembali dari kedalaman neraka yang tak berujung. Dia ingin melihat langit kembali, merasakan cahaya matahari di wajahnya yang penuh kebencian... dan menghancurkan Orario," suara Olivas berubah menjadi serak, penuh dengan intensitas yang mengerikan. "Dia ingin semua monster yang terkurung di bawah sana, di dungeon, untuk merangkak keluar dan menghancurkan kota ini. Semua ini adalah bagian dari rencananya."
Bete, yang mulai bangkit dari posisi terjatuhnya, menatap Olivas dengan tatapan penuh kebencian. "Kau gila kalau berpikir kami akan membiarkan itu terjadi. Siapa pun yang 'dia' itu, kami akan menghentikannya, dan kali ini, aku akan memastikan kau benar-benar mati!"
Olivas hanya tertawa, suara tawa yang memekakkan telinga di tengah ketegangan yang membekukan. "Beranilah mencoba, anjing Loki. Dunia ini hanya sementara, dan aku sudah mati sekali. Kematian tidak lagi menakutkan bagiku."
Asfi memegang erat tongkat sihirnya, rasa takut merayap di hatinya. Namun, dia tahu bahwa mereka harus menghentikan Olivas dan rencana jahat dari makhluk misterius yang telah membangkitkannya kembali. Tatapannya bertemu dengan Bete, dan dalam keheningan itu, mereka berdua menyadari satu hal: Pertempuran ini baru saja dimulai, dan taruhannya adalah kelangsungan hidup seluruh Orario.
"Kita harus bersiap," Asfi berbisik kepada dirinya sendiri, tetapi kata-katanya terdengar jelas bagi Bete. "Apapun yang terjadi, kita tidak boleh membiarkan dia berhasil."
Dengan hati yang penuh tekad, mereka bersiap untuk menghadapi musuh yang lebih menakutkan dari yang pernah mereka bayangkan. Olivas Act, yang seharusnya sudah mati, kini berdiri di hadapan mereka sebagai ancaman yang lebih besar dari sebelumnya, dengan kekuatan misterius yang belum pernah mereka ketahui.
Tiba tiba sebuah lubang muncul dari salah satu sisi gua, di sisi lain gua, terdengar suara gemuruh yang menggema, menandakan bahwa pertempuran sengit tengah berlangsung. Aiz Wallenstein, dengan pedang yang terhunus, melesat cepat seperti kilat, menyerang sosok Revis, petarung kuat yang berdiri di hadapannya. Dengan kekuatan dan kecepatan yang memukau, Aiz berhasil memukul mundur Revis, membuatnya terhuyung ke belakang.
Revis terhenti di tepi jurang yang sempit, menahan diri dari jatuh dengan menggenggam keras tepi batu. Mata merahnya menyala dengan kebencian yang mendalam terhadap Aiz, yang kini berdiri dengan anggun di hadapannya, tak tergoyahkan.
Dari kejauhan, Shirou dan Lefiya menyaksikan pertempuran tersebut. Wajah mereka yang tegang berubah cerah saat melihat Aiz berdiri tegak, membawa harapan di tengah kegelapan gua.
"Aiz-san...," Lefiya berbisik dengan senyum lega, melihat idolanya bertarung dengan keberanian yang tak tertandingi.
Shirou juga mengangguk, merasa kekuatan Aiz memberi mereka dorongan semangat. "Dengan Aiz di sini, kita pasti bisa mengatasi ini. Dia adalah petarung yang luar biasa."
Namun, kebahagiaan mereka tak berlangsung lama ketika suara tawa licik Olivas Act menggema di seluruh gua. Dia memperhatikan Aiz dengan mata penuh kebencian dan keinginan untuk menghancurkan.
"Jadi, inilah Sword Princess yang terkenal...," Olivas menyeringai, lalu mengangkat tangannya ke udara. "Revis, kau telah gagal. Biarkan aku yang menangani ini."
Revis menyeringai, meskipun terluka, dan dengan cepat mundur, membiarkan Olivas mengambil alih.
Dengan gerakan cepat, Olivas memanggil sosok monster yang besar dan mengerikan, sebuah makhluk yang disebut Viscum. Monster itu memiliki tubuh bunga besar seperti Violas berwarna merah dengan kulit keras seperti baja, kelopak merahnya bersinar di kegelapan gua, menatap Aiz dengan lapar.
"Viscum, hancurkan dia!" perintah Olivas dengan suara penuh kebencian.
Viscum meraung dengan suara yang memekakkan telinga, lalu melompat ke arah Aiz dengan taring-taring besarnya yang siap menghancurkan. Namun, Aiz tetap tenang, tidak menunjukkan sedikit pun rasa takut. Dia mengangkat pedangnya ke udara, angin mulai berputar mengelilinginya, membuat rambut pirangnya berkibar liar.
"Tempest," Aiz mengucapkan mantranya dengan suara yang tegas dan penuh kekuatan.
Angin mulai berputar lebih cepat, menciptakan badai kecil di sekitar Aiz. Dalam sekejap, badai itu berubah menjadi kekuatan destruktif yang dahsyat, meluncur langsung ke arah Viscum. Serangan itu menghantam monster tersebut dengan kekuatan penuh, menghancurkan tubuhnya menjadi serpihan-serpihan dalam sekejap mata.
Shirou dan Lefiya menyaksikan dengan takjub saat Viscum hancur tanpa perlawanan. Lefiya tersenyum lebar, kagum dengan kekuatan Aiz.
"Aiz-san benar-benar luar biasa!" serunya dengan semangat yang membara.
Shirou mengangguk, meski fokusnya tetap terjaga. "Ya, dia adalah kekuatan yang luar biasa. Tapi kita harus tetap waspada. Olivas tidak akan berhenti di sini."
Aiz menurunkan pedangnya, memandang Olivas dengan tatapan dingin. "Jika kau pikir monster-monster ini bisa menghentikanku, kau salah besar. Aku tidak akan membiarkan siapapun mengganggu Orario."
Olivas hanya tertawa, meskipun rencana serangannya gagal. "Kau memang kuat, Sword Princess. Tapi ini baru permulaan. Masih banyak yang akan datang, dan aku akan memastikan Orario jatuh ke dalam kekacauan."
Namun, meskipun Olivas berbicara dengan sombong, ada sedikit ketegangan yang muncul di wajahnya. Dia menyadari bahwa kekuatan Aiz jauh di atas ekspektasinya, dan itu membuatnya berpikir keras tentang langkah berikutnya.
"Lefiya, Shirou," panggil Aiz tanpa memalingkan pandangannya dari Olivas. "Bersiaplah, kita akan segera bergerak. Musuh ini belum selesai."
Mereka bertiga kini bersiap menghadapi apa pun yang akan datang, dengan tekad untuk melindungi Orario dari ancaman yang semakin mendekat. Gua yang tadinya sunyi kini dipenuhi dengan aura pertempuran yang semakin memanas, menandakan bahwa pertempuran besar berikutnya sudah di depan mata.
Melihat situasi berbalik tidak menguntungkannya, Olivas Act menunjukkan langkah yang tidak diduga. Dengan gerakan cepat dan tiba-tiba, dia berlari ke arah tepi gua dan melompat ke dalam lubang besar yang terbuka di tengah medan pertempuran.
"Hei, ke mana kau pikir mau pergi, pengecut!" teriak Bete Loga dengan marah, mengepalkan tinjunya sambil memacu kekuatannya untuk mengejar. Tanpa pikir panjang, dia melompat ke arah lubang yang sama, mengejar Olivas.
Shirou yang juga melihat situasi itu, merasakan urgensi dalam hatinya. Dia tahu, jika mereka membiarkan Olivas lolos, rencana jahatnya bisa terus berlanjut. "Lefiya, bantu Hermes Familia!" serunya. "Aku akan mengejar Olivas!"
Lefiya menatap Shirou dengan khawatir, tapi dia tahu tugas mereka. "Baik, Shirou-san. Hati-hati!"
Shirou mengangguk dan tanpa ragu melompat ke dalam lubang mengikuti Bete dan Olivas. Di bawah, kegelapan yang pekat menyelimuti, namun Shirou memanggil Kanshou dan Bakuya di kedua tangannya, bersiap menghadapi apapun yang menunggu mereka di bawah.
Sementara itu, Aiz Wallenstein masih berhadapan dengan Revis, yang meski telah terdesak, tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah. Revis bangkit kembali dari posisinya yang terpojok, darah segar mengalir dari luka di lengannya. Matanya menyala dengan kegilaan.
"Kau pikir bisa menghentikanku, Sword Princess?" Revis meludahkan kata-kata itu dengan kebencian. "Aku takkan jatuh secepat itu. Kekuatanku jauh melampaui apa yang kau kira!"
Aiz tetap tenang, matanya fokus pada setiap gerakan lawannya. "Aku tidak akan membiarkanmu atau siapa pun mengancam Orario. Bersiaplah, ini akhirmu."
Dengan teriakan marah, Revis menyerang lagi, pedangnya berputar ganas, namun Aiz dengan ketenangan luar biasa melawan setiap serangan, badai angin di sekitarnya terus berputar. Pertarungan mereka berubah menjadi tarian yang mematikan, kedua beradu dengan kecepatan luar biasa.
Di tempat lain, Lefiya bersama dengan Filvis telah bergabung dengan Hermes Familia. Mereka menghadapi ancaman baru — sekelompok besar monster bernama Violas yang tiba-tiba muncul dari sudut gua. Monster itu adalah tanaman yang bisa bergerak, dengan tentakel beracun dan cakar tajam yang berayun ganas ke arah para petualang.
"Lefiya! Kita harus menyingkirkan mereka sebelum jumlahnya semakin banyak!" seru Filvis yang dengan cepat mengeluarkan mantranya, memanggil kekuatan sihirnya.
Lefiya mengangguk, meski ketakutan mengintai di hatinya, dia tidak bisa mundur sekarang. "Aku siap, Filvis!"
"I beseech the name of Wishe!" seru Lefiya, mulai merapal mantranya. "Ancestors of the forest, proud brethren. Answer my call and descend upon
the plains."Bernyanyi. Bernyanyi. Terus bernyanyi
"Connecting bonds, the pledge of paradise. Turn the wheel and dance."
Dia memilih Summon Burst miliknya. Sihir yang dia panggil akan menduplikasi Riveria Ljos Alf dalam mantra yang mampu menghancurkan semua yang terlihat. Dengan menggunakan kekuatan sihir yang luar biasa ini, dia bisa memusnahkan setiap monster sekaligus.
"Come, the ring of fairies."
"Elf Ring."
Lingkaran sihir emasnya tiba-tiba berubah menjadi hijau zamrud. Lefiya memulai merapal mantra sihir Riveria.
"The horn of battle sounds aloud, come crimson flames, the ruthless inferno, you are the avatar of hellfire and bring the great war to a close"
"My name is Alf"
Asfi, yang berada di barisan depan Hermes Familia, melompat mundur sambil melemparkan beberapa bom asap ke arah Violas untuk memberi waktu bagi petualang lain agar bisa mengatur ulang posisi. "Kita tidak boleh kalah di sini! Formasi pertahanan, cepat!" teriaknya, memerintahkan timnya dengan penuh wibawa.
"Mereka datang terlalu cepat! Kita butuh lebih banyak serangan sihir!" salah satu anggota Hermes Familia berteriak, sambil menangkis serangan dari tentakel Violas yang bergerak cepat.
Lefiya berusaha fokus di tengah kekacauan itu, mengangkat tongkat sihirnya dengan kedua tangan, mengakhir mantranya dengan kuat. "Rea Laevateinn"
Sebuah badai api muncul di udara, menelan Violas yang menyerang mereka. Dalam sekejap, sebagian besar monster itu terbakar hingga menjadi abu, membuka jalan bagi petualang lain untuk menyerang balik.
Filvis tersenyum tipis melihat Lefiya mulai menguasai situasi, namun dia tahu bahwa ini belum selesai. "Kita harus menghancurkan mereka sampai tuntas, Lefiya. Jangan biarkan satu pun lolos."
"Baik!" Lefiya menjawab dengan penuh semangat. "Kita pasti bisa!"
Sementara itu, di dalam lubang gua yang gelap, Shirou dan Bete terus mengejar Olivas, yang tampaknya bergerak dengan kecepatan yang tak terduga, seolah-olah dia mengenal setiap sudut dan celah dalam gua tersebut.
"Jangan biarkan dia lolos, Shirou!" teriak Bete dengan marah. "Aku akan menghajarnya begitu aku bisa menangkapnya!"
Shirou hanya bisa berlari dengan kecepatan penuh, memastikan jaraknya dengan Olivas tidak terlalu jauh. Dalam pikirannya, dia terus memikirkan rencana apa yang bisa dilakukan untuk menghentikan Olivas sebelum dia melakukan sesuatu yang lebih berbahaya.
"Olivas... apa rencana gila yang kau sembunyikan di sini?" pikir Shirou sambil terus mengejar, tekadnya semakin kuat untuk menghentikan pria yang dihidupkan kembali itu.
Pertarungan di gua semakin memanas, dan setiap pihak berjuang keras untuk bertahan. Meskipun dikepung oleh monster, pertempuran melawan ancaman besar ini baru saja dimulai.
Shirou dan Bete berlari dengan kecepatan penuh melalui lorong-lorong gelap gua, suara langkah kaki mereka bergema di dinding batu yang dingin. Mereka bisa merasakan kehadiran Olivas Act di depan mereka, semakin dekat, namun tiba-tiba, gua di depan mereka terbagi menjadi dua jalur.
"Sial! Jalan bercabang!" Bete menggeram, matanya liar memindai dua jalur yang ada di depannya.
"Aku akan ambil kanan," ucap Bete cepat tanpa menunggu jawaban dari Shirou. "Kau ambil kiri, kita tidak boleh membiarkan dia lolos!"
Shirou mengangguk tanpa ragu. "Hati-hati, Bete!" serunya, sebelum berlari ke arah kiri.
Bete hanya mendengus sebelum melesat ke jalur kanan, tekadnya bulat untuk menangkap dan menghancurkan Olivas.
Shirou berlari cepat melalui lorong sempit yang ia pilih. Cahaya semakin berkurang, membuat visibilitas semakin sulit, namun dia tetap melanjutkan tanpa ragu. Di ujung lorong, dia tiba di sebuah ruangan besar dalam gua itu. Ruangan itu penuh dengan akar-akar besar yang menjulur dari dinding, dan di sana, berdiri Olivas Act dengan senyuman keji di wajahnya.
"Hah! Tak kusangka yang mengejarku hanya kau, orang tak terkenal seperti ini," Olivas tertawa, suaranya bergema di dalam gua. "Aku hampir berharap yang mengejarku adalah Bete 'Vanargand'. Akan lebih menyenangkan menghancurkan anjing Loki itu. Tapi tampaknya keberuntungan berpihak padaku hari ini."
Di sekitar Olivas, berkumpul sekumpulan Violas, makhluk-makhluk mengerikan yang telah menghancurkan banyak petualang dengan tentakel dan racun mematikannya. Mereka bergerak gelisah, seolah menunggu perintah dari Olivas.
Namun, Shirou tidak terlihat terganggu oleh ejekan Olivas. Dengan tenang, dia mengeluarkan Kanshou dan Bakuya, pedang kembar yang selalu siap membantunya dalam pertempuran. "Kau mungkin menganggap ini keberuntungan, Olivas," Shirou berbicara dengan tenang, tapi penuh keyakinan, "tapi itu tidak akan bertahan lama. Aku akan menghentikanmu di sini."
Olivas berhenti tertawa, memandang Shirou dengan lebih serius, namun masih ada sinar penghinaan di matanya. "Kau benar-benar berpikir kau bisa menghentikanku, sendirian? Monster-monster ini akan mencabik-cabikmu dalam sekejap."
"Mungkin," Shirou menjawab sambil maju dengan tenang, "tapi aku tidak akan mundur. Aku akan menghancurkan rencanamu, dan memastikan Orario tidak jatuh ke dalam kekacauan."
"Hah, omong kosong idealis," Olivas melambaikan tangannya, memberi perintah pada Violas untuk menyerang. "Hancurkan dia!"
Violas mengeluarkan suara mendesis, tentakel-tentakel mereka mulai bergerak dengan cepat, siap untuk menyerang Shirou dari berbagai arah. Shirou mempererat cengkeramannya pada pedangnya, menyiapkan dirinya untuk pertempuran yang tidak seimbang ini.
"Trace on!" Shirou memanggil mantra andalannya, memperkuat senjata dan tubuhnya dengan Reinforcement. Dengan langkah cepat, dia bergerak maju, menghindari tentakel yang menyerang dari kiri dan kanan, mengayunkan Kanshou dan Bakuya dengan presisi yang mematikan.
Dalam waktu singkat, dia berhasil menebas beberapa Violas, membuat mereka berubah menjadi abu, namun jumlah mereka masih banyak. Olivas hanya berdiri di belakang, menyaksikan dengan tatapan penuh kebencian.
"Tak peduli seberapa keras kau berjuang, takdir Orario telah ditentukan," Olivas berkata dengan dingin. "Dunia ini akan terbakar, dan kau hanya akan menjadi debu di bawah kaki kami."
Shirou melirik ke arah Olivas, matanya bersinar dengan tekad yang tak tergoyahkan. "Selama aku masih berdiri, aku akan melawan. Kau takkan menang, Olivas."
Pertarungan di gua semakin intens, Shirou menghadapi gelombang serangan dari Violas, namun dia tetap berdiri teguh, mengayunkan pedangnya dengan kekuatan dan ketepatan. Meskipun berada di bawah tekanan, Shirou menunjukkan bahwa dia bukanlah lawan yang bisa diremehkan.
Dan sementara itu, jauh di dalam hati, Shirou tahu bahwa dia harus mengakhiri ini dengan cepat. Jika tidak, Olivas akan berhasil meloloskan diri dan melanjutkan rencananya yang jahat. Dengan setiap tebasan pedangnya, Shirou bertekad untuk menghentikan mimpi buruk ini sebelum terlambat.
Olivas Act mulai merasakan kecemasan merayap di hatinya saat ia melihat Shirou Emiya menghabisi satu per satu Violas yang ia perintahkan untuk menyerang. Setiap tebasan Kanshou dan Bakuya mengirimkan monster-monster itu ke kematian mereka, menjadikannya abu dalam hitungan detik. Ketegangan mulai tumbuh di wajah Olivas, menyadari bahwa Shirou bukanlah lawan yang bisa diremehkan meskipun tampaknya ia lebih lemah.
"Anak ini... Bagaimana mungkin dia bisa mengalahkan mereka dengan mudah?" Olivas bergumam pada dirinya sendiri, merasa kemarahan dan ketakutan bercampur dalam hatinya.
Melihat Shirou sibuk dengan Violas, Olivas memutuskan untuk mengambil tindakan. Tanpa peringatan, dia berlari cepat ke arah Shirou, memanfaatkan celah kecil saat Shirou menebas Violas terakhir. Dengan kekuatan yang luar biasa, Olivas melancarkan tendangan keras ke arah Shirou, mengincar untuk menghancurkannya dalam satu serangan.
Shirou merasakan kehadiran Olivas yang mendekat, namun terlalu terlambat untuk sepenuhnya menghindar. Dia memutar tubuhnya dan mengangkat bahunya untuk menangkis tendangan tersebut.
BAM!
Tendangan Olivas mendarat dengan keras di bahu Shirou, menyebabkan tubuh Shirou terdorong ke belakang dengan kekuatan besar. Meskipun berhasil menangkis, Shirou merasakan dampak yang luar biasa dari serangan itu. Rasa sakit menjalar melalui seluruh tubuhnya, mengingatkan Shirou akan perbedaan level kekuatan yang besar antara dirinya yang level 3 dan Olivas yang level 6.
"Argh...!" Shirou meringis kesakitan, lututnya bertekuk di tanah, namun dia tetap memegang erat pedangnya, menolak untuk jatuh.
Olivas tersenyum sadis melihat Shirou kesakitan. "Kau bisa menangkisnya? Mengagumkan, tapi itu tidak akan cukup. Kau terlalu lemah untuk melawanku, anak muda. Kau harusnya menyerah sekarang sebelum aku menghancurkanmu sepenuhnya."
Namun, meski tubuhnya dipenuhi rasa sakit, pikiran Shirou tetap tajam. Dia cepat-cepat menilai situasi. Gua ini terlalu sempit untuk menggunakan Noble Phantasm atau Magic Arrow—serangan semacam itu bisa menyebabkan gua runtuh atau justru membahayakan dirinya sendiri. Dia perlu strategi yang lebih cerdas, sesuatu yang bisa mengimbangi kekuatan fisik Olivas.
Kemudian, dalam kilatan ingatan, Shirou teringat gerakan Signature Archer, teknik yang hanya digunakan dalam situasi kritis: Triple-Linked Crane Wings. Ini adalah kombinasi serangan dengan Kanshou dan Bakuya yang dapat mengecoh musuh dan memberikan serangan mematikan dari berbagai sudut.
"Ini satu-satunya cara...," Shirou berpikir sambil menggertakkan giginya, menahan rasa sakit yang menyebar dari bahunya. Dia bangkit dengan susah payah, memfokuskan pandangannya pada Olivas.
Olivas mengangkat alisnya, merasa heran dengan keberanian Shirou yang terus bangkit meski sudah jelas kalah dalam hal kekuatan. "Apa lagi yang akan kau coba sekarang? Apakah kau ingin mati begitu cepat?"
Shirou tidak menjawab, matanya penuh dengan tekad. "Aku tidak akan kalah... Tidak di sini, tidak sekarang."
Shirou berdiri tegak meski rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya, darah mengalir dari sudut bibirnya. Dia tahu bahwa Olivas Act lebih kuat secara fisik, tetapi ini bukan saatnya untuk mundur. Dengan Kanshou dan Bakuya di tangan, Shirou menutup matanya sejenak, merasakan aliran energi di tubuhnya, memusatkan pikirannya pada satu teknik yang mungkin menjadi penyelamatnya.
Dia membuka matanya, menatap tajam ke arah Olivas yang mulai bergerak kembali ke arahnya dengan amarah yang membara.
"Ini saatnya...," Shirou bergumam pada dirinya sendiri, memutuskan untuk melancarkan serangan yang mungkin bisa mengubah jalannya pertempuran.
Dengan gerakan cepat, Shirou mengangkat pedangnya dan mulai merapal mantra:
"Spirit and technique, flawless and firm..."
Olivas berhenti sejenak, merasa ada sesuatu yang berbeda dalam udara di sekitar Shirou. Aura yang kuat dan berbahaya mulai memancar dari anak muda itu.
"Our strength rips the mountains..." Shirou melanjutkan, memfokuskan energi dan tekadnya ke dalam setiap kata yang diucapkannya. Kedua pedang kembarnya mulai bergetar, seolah merespons kekuatan yang dipanggil oleh Shirou.
"Our swords split the water..." Dengan setiap kata, kekuatan Shirou terasa semakin bertambah, bayangan pedangnya mulai membelah udara, menciptakan jejak cahaya yang tampak seperti riak di permukaan air.
Olivas menyadari bahaya yang akan datang, namun sebelum dia bisa melancarkan serangan pencegahan, Shirou melanjutkan mantranya dengan penuh keyakinan.
"Our names reach the imperial villa..."
Pedang-pedang itu kini berputar di sekeliling Shirou, membentuk pola yang rumit dan mematikan, menandai persiapan untuk serangan terakhir.
"The two of us cannot hold the heavens together!"
Dengan teriakan terakhir, Shirou melemparkan Kanshou dan Bakuya ke udara, pedang-pedang itu meluncur dengan kecepatan yang luar biasa, berputar-putar dalam formasi yang sulit diprediksi. Seolah-olah mereka hidup, pedang-pedang itu mengelilingi Olivas dari berbagai arah, menciptakan serangan yang berlapis-lapis.
"Triple-Linked Crane Wings!" Shirou mengumandangkan nama teknik itu dengan penuh keyakinan, saat pedang-pedangnya menyerang dari tiga sudut berbeda.
Olivas yang awalnya percaya diri kini terperangkap dalam pusaran serangan yang tak bisa dia hindari. Kanshou menyerang dari depan, sementara Bakuya menyerang dari samping. Dalam kebingungan itu, Olivas berhasil menangkis satu pedang, namun dia gagal melihat pedang lainnya yang menebas ke arah punggungnya.
"Gaaah...!" teriak Olivas saat Kanshou menembus pertahanannya dan Bakuya menebas sisi tubuhnya. Darah memercik saat luka-luka dalam terbuka di tubuhnya, menyebabkan Olivas terhuyung-huyung ke belakang dengan rasa sakit yang mengerikan.
Pedang-pedang itu kembali ke tangan Shirou dengan sempurna, dan dia berdiri dengan napas terengah-engah, namun dengan tatapan yang penuh kemenangan. "Ini belum berakhir, Olivas. Kau akan jatuh di sini."
Olivas, yang kini terluka parah, masih berusaha berdiri, meskipun tubuhnya terasa semakin lemah. "Kau... kau benar-benar... bukan petarung biasa...," katanya dengan suara yang lemah namun masih dipenuhi kebencian.
Olivas Act berdiri terhuyung-huyung, darah terus mengalir dari luka-luka dalam yang dideritanya akibat serangan Kanshou dan Bakuya. Dia mencoba memanggil kekuatan regenerasinya, sesuatu yang selalu membuatnya kembali dari ambang kematian. Namun, kali ini, luka-luka tersebut tidak sembuh seperti biasanya. Rasa panik mulai merayapi hati Olivas saat dia menyadari bahwa pedang Shirou bukanlah senjata biasa.
"Kenapa... kenapa aku tidak bisa sembuh?" Olivas bertanya, suaranya penuh ketakutan. Matanya melebar, mencoba memahami apa yang terjadi, tapi kesadaran mulai memudar.
Shirou, yang masih berdiri dengan nafas terengah-engah, menatap Olivas dengan mata yang penuh dengan ketegasan. "Ini karena Kanshou danBakuya," Shirou menjelaskan dengan tenang, meskipun rasa lelah mulai menghampirinya. "Pedang-pedang ini memiliki sifat anti-monster, mereka menghambat regenerasi makhluk seperti dirimu. Luka yang mereka buat tidak akan sembuh."
Olivas terdiam, tubuhnya bergetar karena kesakitan dan ketakutan. "Tidak... ini tidak mungkin... aku tidak bisa mati di sini..." Namun, sebelum dia bisa melanjutkan kata-katanya, tubuhnya mulai goyah, dan akhirnya dia jatuh ke tanah, darah mengalir dari mulutnya, matanya terbuka lebar tapi tanpa kehidupan. Olivas Act telah mati.
Shirou berdiri di sana sejenak, menatap tubuh tak bernyawa di depannya. Dia merasakan campuran rasa lega dan kehampaan, tahu bahwa meskipun pertempuran ini telah dimenangkan, masih banyak bahaya yang menunggu mereka.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki cepat mendekat, dan Bete Loga muncul dari salah satu lorong di gua itu. Mata Bete membelalak ketika dia melihat pemandangan di depannya. Olivas Act, musuh yang dia anggap sebagai ancaman besar, terbaring mati di tanah, sementara Shirou, yang jelas-jelas levelnya jauh di bawah Olivas, berdiri dengan pedang kembarnya, napas terengah-engah.
"Apa... yang terjadi di sini?" Bete bertanya dengan nada tidak percaya, matanya menatap Shirou dengan campuran rasa kaget dan kekaguman.
Shirou menatap Bete, menyadari bahwa dia harus segera mengambil langkah untuk melindungi dirinya sendiri. Meski dia berhasil mengalahkan Olivas, dia tahu bahwa kemampuannya untuk menggunakan Kanshou dan Bakuya akan menimbulkan banyak pertanyaan, terutama dari Hermes Familia dan Guild. Dia perlu menjaga statusnya tetap tersembunyi.
"Bete, aku punya permintaan," Shirou berkata dengan suara rendah namun tegas, mendekati Bete. "Tolong... katakan pada Hermes Familia dan Guild bahwa kaulah yang mengalahkan Olivas."
Bete menatap Shirou dengan alis berkerut. "Hah? Apa maksudmu? Kau yang melakukan ini, bukan? Kenapa harus aku yang mendapatkan pujian?" Suaranya terdengar agak kasar, tetapi dia penasaran dengan alasan Shirou.
Shirou menghela napas, merasakan kelelahan yang semakin dalam. "Aku punya alasan untuk tetap menyembunyikan statusku. Jika mereka tahu aku bisa mengalahkan Olivas, mereka akan curiga. Aku tidak bisa menjelaskan semuanya sekarang, tapi percayalah, ini penting. Tolong, bantu aku dalam hal ini."
Bete menatap Shirou dengan tatapan tajam, seolah mencoba menilai ketulusan di balik permintaan itu. Dalam hatinya, dia merasa bingung dan sedikit terganggu melihat Shirou, yang levelnya jauh lebih rendah, berhasil mengalahkan lawan yang bahkan sulit baginya. Tapi di sisi lain, dia menghormati permintaan Shirou yang jelas memiliki alasannya sendiri.
"Hmph, ini aneh sekali...," gumam Bete, lalu dia mengangkat bahu. "Tapi baiklah, aku akan melakukannya. Tapi ingat ini, Emiya, aku tidak suka berhutang budi. Jadi kau harus membayarnya suatu saat nanti."
Shirou tersenyum lemah, lega bahwa Bete setuju. "Terima kasih, Bete. Aku berjanji akan mengingat ini."
Bete mendekati tubuh Olivas, menendangnya sedikit untuk memastikan bahwa musuh itu benar-benar mati. "Baiklah, ayo kita keluar dari sini. Kita katakan pada yang lain bahwa aku yang menanganinya. Kau bisa ikut bermain peran di sana."
Shirou mengangguk, menyimpan Kanshou dan Bakuya kembali. Meski tubuhnya masih terasa lelah dan sakit, dia tahu bahwa pertarungan belum selesai. Tapi untuk saat ini, dia bisa beristirahat sedikit, karena dia berhasil menyembunyikan kebenaran dari mereka yang tidak perlu mengetahuinya.
Bersama Bete, Shirou mulai meninggalkan gua, meninggalkan tubuh Olivas Act di belakang mereka, sebuah ancaman yang akhirnya berhasil dihentikan.