Aiz berdiri dengan tegas di tengah ruangan besar di lantai 37, memandang ke dalam kegelapan yang mengelilinginya. Di dalam benaknya, mimpi buruk yang dialaminya tadi malam masih segar, membuat dadanya terasa sesak. Ia mengingat bagaimana ia melihat Shirou mati di hadapannya, seperti kedua orangtuanya dahulu. Aiz mengepalkan tangan dan menguatkan tekadnya.
'Aku tidak akan membiarkan itu terjadi lagi. Aku akan menjadi lebih kuat, aku akan melindungi orang-orang di sekitarku,' pikirnya.
Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh dari atas. Aiz, Riveria, dan Shirou mendongak dan melihat sesuatu jatuh dari langit-langit dungeon. Sebuah sosok besar dan menakutkan terjatuh dengan keras, menghantam tanah dan menimbulkan awan debu. Ketika debu itu mereda, Aiz melihatnya dengan mata terbuka lebar: sebuah tengkorak raksasa yang mengerikan, dengan tulang-belulang yang bersinar kehijauan dan aura mematikan. Monster Rex lantai 37 — Udaeus.
"Udaeus…" bisik Riveria dengan nada waspada, "Monster Rex yang sangat berbahaya. Aiz, hati-hati!"
Namun, Aiz sudah menghunus pedangnya. "Ini adalah kesempatan yang aku tunggu," katanya dengan tegas, matanya penuh tekad. "Aku akan mengalahkannya… sendirian."
Riveria mengerutkan alis. "Aiz, ini berbahaya! Kau tidak harus melakukannya sendirian."
Shirou berdiri di belakang mereka, siaga, memperhatikan gerak-gerik Udaeus yang mulai bangkit dengan mengerang, tulang-tulangnya bergerak dengan bunyi keras. Dia sudah memikirkan kemungkinan terburuk dan mulai membayangkan wujud Caladbolg II di dalam benaknya, bersiap jika situasi menjadi benar-benar kritis.
"Aku harus!" balas Aiz cepat, tanpa menoleh. "Jangan ikut campur! Ini adalah pertarunganku."
Dengan satu lompatan, Aiz menerjang maju, pedangnya berkilauan saat dia menghampiri Udaeus. Monster itu mengayunkan tangannya yang besar, mencoba memukulnya dengan tulang raksasa. Aiz dengan gesit menghindar, memutar tubuhnya dan menebas kaki monster itu, tetapi hanya meninggalkan goresan kecil.
Udaeus mengerang marah dan melancarkan serangan balasan dengan kecepatan yang tak terduga. Aiz terus menghindar dan mencari celah, tapi setiap serangannya terasa tidak cukup untuk memberikan kerusakan signifikan. Meskipun begitu, dia tetap gigih, wajahnya berkerut penuh konsentrasi.
Riveria menggertakkan giginya, hatinya berdebar cemas melihat Aiz kesulitan. Tanpa bisa menahan diri, dia mengangkat tongkat sihirnya dan merapalkan mantra perlindungan, "Heavenly Wind, protect her with your divine shield — 'Veil's Breath'"
Sebuah perisai angin melingkupi tubuh Aiz, menangkis serangan Udaeus yang datang dari samping. Aiz terhenti sejenak, menatap Riveria dengan kesal. "Riveria! Jangan ikut campur!" teriaknya.
Riveria tersenyum sedikit. "Maaf, Aiz. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu terluka parah," jawabnya dengan nada hangat namun tegas.
Aiz menggertakkan giginya, merasa campuran frustrasi dan kebersyukuran. Ia tahu bahwa Riveria hanya mencoba melindunginya, tetapi dia harus melakukan ini sendiri. Dengan tekad yang baru, Aiz menarik napas dalam-dalam dan melompat ke arah Udaeus sekali lagi, menghindari serangan monster itu dengan kelincahan yang luar biasa.
Sementara itu, Shirou terus mempersiapkan Caladbolg II di pikirannya, membayangkan setiap detailnya, dari bilah yang tajam hingga gagangnya. Ia hanya perlu satu detik untuk memanggilnya jika keadaan menjadi lebih buruk.
Namun, Aiz tampaknya mendapatkan ritme baru dalam pertarungannya. Menggunakan kecepatan dan kelincahannya, dia menari di sekitar Udaeus, menunggu waktu yang tepat. Dan ketika monster itu kembali menyerang dengan amarah, Aiz melihat celahnya. Dengan teriakan keras, dia mengerahkan semua kekuatannya ke dalam satu tebasan.
"Tumbang!" teriak Aiz, pedangnya menggoreskan garis bercahaya di udara. Tebasannya memotong tulang leher Udaeus, dan dalam satu gerakan yang penuh kekuatan, kepalanya terpisah dari tubuh raksasa itu.
Monster Rex itu mengeluarkan raungan terakhir sebelum runtuh ke tanah dengan keras, tubuhnya berubah menjadi kabut hitam yang akhirnya lenyap.
Aiz berdiri tegap di tengah kabut yang menghilang, napasnya terengah-engah. Keringat menetes di dahinya, tetapi senyumnya perlahan muncul di wajahnya. "Aku berhasil… Aku melakukannya," gumamnya.
Riveria tersenyum bangga dari kejauhan, sementara Shirou, yang masih bersiap di belakang, mengendurkan tangan yang ia gunakan untuk memproyeksikan Caladbolg II. Dia tahu sekarang bahwa itu tidak akan diperlukan. Aiz telah membuktikan tekadnya, dan dia berhasil menghadapi tantangan yang dia cari.
Riveria merapalkan mantra penyembuhan di atas Aiz, telapak tangannya bersinar dengan cahaya hijau lembut. "Restore her wounds, heal her pain — 'Heaven's Embrace.'" Cahaya itu menyelimuti tubuh Aiz, luka-lukanya mulai pulih dan rasa lelah di tubuhnya perlahan menghilang. Riveria kemudian memberikan potion pada Aiz untuk memulihkan stamina yang tersisa.
"Terima kasih, Riveria," kata Aiz dengan suara yang masih terdengar lelah tetapi penuh ketenangan. "Aku merasa jauh lebih baik sekarang."
Riveria tersenyum lembut. "Jangan khawatir, Aiz. Kamu telah melakukan hal yang luar biasa hari ini."
Shirou mendekati mereka, menggendong pedang hitam besar yang merupakan drop item dari Udaeus. "Kita harus segera melanjutkan perjalanan ke permukaan," katanya. "Persediaan kita sudah hampir habis."
Aiz dan Riveria mengangguk setuju. Mereka bertiga mulai bergerak menuju jalan keluar menuju lantai atas, perjalanan panjang melewati dungeon dimulai kembali. Saat mereka tiba di lantai 18, mereka melihat seorang petualang yang sedang duduk di pinggir jalan, wajahnya terlihat lusuh dan kotor.
Petualang itu, Mord, segera bangkit dan menghampiri mereka dengan mata penuh harap. "Hei! Kalian punya sesuatu yang menarik di sana," katanya sambil menunjuk pedang hitam yang dibawa Shirou. "Bagaimana kalau kita barter?"
Aiz menatap Mord sejenak, mempertimbangkan permintaannya. "Kenapa kau menginginkannya?" tanyanya, nada suaranya datar namun tajam.
Mord mengangkat bahu dan tersenyum canggung. "Aku… hanya butuh sesuatu untuk membuktikan diriku. Pedang itu akan membuatku terlihat lebih berwibawa di hadapan rekan-rekanku."
Riveria memandang Shirou sejenak, sementara Shirou hanya mengangkat bahu, tampaknya tidak begitu peduli dengan pedang itu. "Kalau itu yang kau inginkan," jawab Aiz akhirnya, "Aku tidak keberatan. Lagipula, pedang ini terlalu berat untuk digunakan dengan benar oleh kita."
Shirou mengangguk dan menyerahkan pedang hitam besar itu kepada Mord. "Semoga bermanfaat bagimu," katanya dengan senyum tipis.
Mord tampak sangat berterima kasih. "Terima kasih! Terima kasih banyak!" katanya sambil membungkuk beberapa kali. Dia mengambil pedang itu dengan kedua tangannya, mencoba mengangkatnya dengan susah payah. "Ini lebih berat dari yang aku kira…" gumamnya, tetapi ia tetap berusaha menunjukkan keberanian.
Sementara Mord berlalu, Shirou pergi ke tempat di mana ia menyembunyikan tas besarnya. Ia mengangkat tas itu dengan mudah, memasukkannya kembali ke punggungnya. "Baiklah," katanya, "Ayo kita lanjutkan perjalanan ke permukaan."
Aiz dan Riveria mengangguk, dan mereka bertiga melanjutkan langkah mereka, meninggalkan lantai 18 dengan hati yang lebih ringan setelah pertempuran yang melelahkan dan pencapaian yang berharga.
Mereka bertiga melanjutkan perjalanan menuju permukaan, menaiki satu demi satu lantai Dungeon. Ketika tiba di lantai 6, Shirou tiba-tiba berhenti. Di depan mereka terbaring seorang pemuda dengan rambut putih, tubuhnya lemah dan berlumuran keringat, wajahnya pucat. Aiz mengenali pemuda itu seketika.
"Itu dia… pemuda yang kutolong dari Minotaur waktu itu," ujar Aiz, matanya membulat dengan rasa prihatin. "Apa yang dia lakukan di sini sendirian… dan dalam keadaan seperti ini?"
Riveria berlutut di sebelah pemuda itu, meraba denyut nadinya dengan teliti. "Dia pingsan… Kehabisan energi sihir. Sepertinya dia memaksakan diri untuk terus bertarung."
Shirou menatap pemuda itu dengan penuh perhatian. "Aku tahu dia… Bell Cranel," ucapnya sambil menunduk lebih dekat. "Aku pernah menanyakan tentangnya pada Syr. Katanya dia adalah anggota dari Hestia Familia."
Aiz tampak ragu sejenak, tapi dia tetap merasa prihatin. "Apa yang harus kita lakukan, Shirou?" tanyanya.
Shirou menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku kenal Hestia. Aku rasa kita harus mengantarkannya kembali ke tempatnya. Hestia pasti sangat khawatir."
Riveria mengangguk setuju. "Itu ide yang baik. Lagipula, dia tidak bisa dibiarkan di sini dalam keadaan seperti ini. Bisa sangat berbahaya."
Shirou dengan hati-hati mengangkat tubuh Bell yang tak sadarkan diri, memosisikannya di punggungnya. "Ayo, kita bawa dia ke permukaan. Hestia pasti ada di sana," katanya dengan penuh perhatian.
Aiz mengikuti di sampingnya, sambil terus mengawasi keadaan sekitar. "Bell… Dia pasti sangat berani untuk bertarung sendirian di sini," gumamnya pelan. "Tapi juga sangat ceroboh."
Riveria tersenyum kecil. "Terkadang, keberanian dan kecerobohan berjalan beriringan," ujarnya, matanya melirik Shirou yang sedang memanggul Bell. "Tapi semoga kali ini keberuntungannya tidak habis."
Shirou hanya tersenyum tipis dan mulai berjalan dengan langkah mantap, membawa Bell di punggungnya. "Ayo, kita cepat. Dia butuh pertolongan secepatnya."
Mereka melanjutkan perjalanan menuju permukaan, dengan Shirou yang menjaga Bell dengan penuh perhatian, berharap Hestia dapat segera memberikan bantuan yang dibutuhkan untuk pemuda ini.
Saat Shirou menggendong Bell menuju markas Hestia Familia, sebuah kuil tua yang telah ditinggalkan, suara gemerincing langkah mereka menjadi satu-satunya yang menemani di jalan sunyi itu. Bell, yang masih tak sadarkan diri, mulai bergumam dalam tidurnya. Kata-kata yang keluar dari bibirnya lemah, namun cukup jelas untuk didengar.
"Ibu…," bisik Bell, suaranya penuh kerinduan.
Shirou tersenyum tipis dan bergumam, "Maaf, Bell, aku bukan ibumu." Ada nada lembut dalam suaranya, memahami kesedihan yang mungkin dirasakan pemuda itu dalam mimpinya.
Aiz dan Riveria, yang berjalan di sebelahnya, tidak bisa menahan senyum mereka. Tawa kecil terdengar dari Riveria, diikuti oleh kikikan pelan dari Aiz. "Kau benar-benar baik hati, Shirou," komentar Riveria, matanya bersinar hangat.
Namun, keributan kecil itu tampaknya cukup untuk membangunkan Bell. Perlahan-lahan, matanya terbuka, dan ia menemukan dirinya berada di punggung seseorang. Kebingungan melanda wajahnya saat ia berusaha mengingat apa yang terjadi. Ketika ia menyadari bahwa dirinya digendong oleh Shirou, dengan Aiz dan Riveria yang berjalan di sebelah mereka, wajah Bell memerah seketika.
"Ah! A-Apa yang terjadi?" teriak Bell panik, tubuhnya tegang dan segera berusaha turun dari punggung Shirou.
"Kau pingsan, Bell," jawab Shirou dengan tenang, mencoba menenangkan pemuda itu. "Kami membawamu kembali ke markas."
Namun, rasa malu Bell tak dapat disembunyikan saat ia menyadari siapa yang ada di sekelilingnya, terutama ketika matanya bertemu dengan Aiz. Dengan gugup, ia berusaha melompat dari punggung Shirou, tetapi kakinya yang lemah membuatnya tersandung dan hampir terjatuh.
"Oh tidak! Maafkan aku!" seru Bell dengan gugup sambil berusaha menegakkan tubuhnya. Tanpa berpikir panjang, ia segera berlari menjauh, wajahnya memerah sepenuhnya.
Aiz menatapnya dengan penuh keheranan, sementara Riveria menutup mulutnya untuk menahan tawa. Shirou hanya bisa menggelengkan kepalanya, sedikit khawatir namun juga terhibur oleh tingkah Bell.
Namun, sebelum Bell bisa pergi lebih jauh, Hestia muncul dari arah depan, berlari kecil menuju mereka. "Bell!" serunya, penuh kelegaan saat melihat anak asuhnya dalam keadaan baik. Bell tidak sempat bereaksi sebelum Hestia langsung memeluknya erat.
"H-Hestia-sama!" Bell tergagap, wajahnya merah padam, tetapi ia tidak bisa menyembunyikan senyum kecil yang muncul di bibirnya. Ia merasa lega berada di dalam pelukan dewinya, meski rasa malunya tetap membara.
"Bell, kau bodoh! Kenapa kau memaksakan diri sampai seperti ini?" tegur Hestia dengan nada cemas, masih memeluknya erat. "Aku sangat khawatir!"
Shirou, Aiz, dan Riveria tiba mendekati mereka, dengan senyum kecil menghiasi wajah mereka. "Dia baik-baik saja sekarang, Hestia-sama. Kami menemukannya tepat waktu," kata Shirou, mencoba menenangkan dewi yang tampak sangat khawatir.
Hestia menghela napas lega, "Terima kasih, Shirou. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kalian tidak menemukannya."
Bell, yang masih terperangkap dalam pelukan Hestia, tidak bisa menahan rasa syukurnya. Meskipun malu, hatinya dipenuhi kehangatan oleh perhatian yang diberikan padanya. "Terima kasih, semuanya...," gumam Bell dengan suara lembut, suaranya penuh dengan rasa syukur.
Hestia menatap Shirou dengan mata berbinar, senang melihat sahabatnya berada di sini bersama Bell. "Bell, ini Shirou! Temanku yang membantuku memasak Jagamaru-kun dulu," katanya dengan antusias.
Bell mengangguk, mengenali nama itu dari cerita Hestia sebelumnya. "Ah, jadi Anda yang membantu Hestia-sama dulu," kata Bell, suaranya terdengar kagum. "Terima kasih atas bantuan Anda, Shirou-san."
Aiz, yang berdiri tidak jauh, tampak tersenyum samar saat mendengar Jagamaru-kun disebut. "Aku ingat itu… Aku sering membeli Jagamaru-kun darimu, Shirou," katanya, mengenang masa-masa itu.
Shirou tersenyum kembali, sedikit terkejut bahwa Aiz mengingatnya. "Benar, aku ingat. Kau adalah pelanggan tetap kami," jawabnya dengan nada ramah. "Aku selalu senang mendengar kau menyukainya."
Hestia, yang tampaknya baru menyadari kehadiran Aiz dan Riveria, tiba-tiba tertegun. Matanya melebar dengan keterkejutan. "Tunggu… Shirou, kau berjalan bersama Aiz Wallenwhatsit dan Riveria Ljos Alf! Mereka sangat terkenal!" serunya dengan nada kagum dan sedikit tidak percaya.
Riveria hanya tersenyum tenang, sementara Aiz menatap Shirou dengan rasa ingin tahu yang sama seperti sebelumnya. Shirou, merasa sedikit canggung dengan pujian itu, segera merendahkan dirinya. "Ah, tidak… Aku hanya seorang supporter yang beruntung," jawabnya sambil menggaruk kepalanya, mencoba menutupi rasa canggungnya. "Aku hanya membantu di belakang."
"Supporter?" Hestia menatap Shirou dengan tatapan bingung dan sedikit tak percaya. "Kau berpetualang bersama Loki Familia sebagai supporter?"
"Ya, seperti yang kau lihat," kata Shirou sambil tersenyum malu. "Aku belum cukup kuat untuk menjadi petarung garis depan, jadi aku membantu dengan cara lain."
Bell menatap Shirou dengan kagum. "Walaupun begitu, itu tetap luar biasa, Shirou-san. Berpetualang bersama Loki Familia adalah sesuatu yang besar!" katanya dengan semangat.
Aiz menatap Shirou sejenak sebelum tersenyum tipis. "Dia mungkin merendah, tapi dia sangat membantu dalam ekspedisi ini," tambah Aiz, memuji Shirou tanpa ragu.
Shirou tersipu, merasa canggung namun juga sedikit malu. "Terima kasih, Aiz. Tapi aku hanya melakukan yang terbaik," katanya dengan nada rendah hati.
Hestia memandang Shirou dengan bangga. "Tetap saja, Shirou, kau benar-benar hebat," katanya dengan senyum lebar. "Aku senang melihatmu baik-baik saja dan berhasil melangkah sejauh ini."
Shirou mengangguk, hatinya terasa hangat oleh dukungan dari teman-temannya. "Terima kasih, Hestia-sama. Aku akan terus berusaha," jawabnya dengan keyakinan.
Aiz menatap Bell dengan tatapan lembut, tampak sedikit ragu sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Bell... Aku ingin meminta maaf atas apa yang terjadi saat insiden dengan minotaur itu," ucapnya dengan suara yang jujur dan tulus. "Aku tidak bermaksud membuatmu merasa takut…"
Bell terkejut mendengar kata-kata Aiz. Wajahnya langsung memerah dan ia salah tingkah, merasa bingung bagaimana harus merespons. Wanita yang selama ini ia kagumi dan hormati, bahkan dianggap sebagai pahlawannya, kini meminta maaf padanya. "Ti-Tidak, Aiz-san! Tidak perlu minta maaf!" katanya cepat, suaranya sedikit bergetar. "Aku justru sangat berterima kasih padamu… jika bukan karena kamu, mungkin aku tidak akan selamat hari itu. Terima kasih banyak, Aiz-san," tambahnya sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Aiz tersenyum tipis, merasa lega mendengar ucapan Bell. "Aku hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja," balasnya singkat, tapi penuh perhatian.
Bell mengangkat kepalanya, tersenyum cerah meski pipinya masih sedikit merah. "Ya, aku baik-baik saja… terima kasih, Aiz-san."
Riveria yang melihat interaksi tersebut menyunggingkan senyum kecil. "Sepertinya semuanya sudah selesai dengan baik. Kita harus kembali sekarang," ujarnya, melihat Shirou.
Shirou mengangguk setuju. "Ya, sudah cukup lama kita di sini. Terima kasih untuk waktu kalian, Hestia-san, Bell-kun," ujarnya dengan nada sopan.
Hestia tersenyum lebar. "Tentu, Shirou! Senang sekali melihatmu lagi. Jaga dirimu baik-baik, ya."
Bell menunduk dengan penuh rasa hormat pada Aiz dan Riveria. "Terima kasih banyak atas segalanya… Semoga kalian juga selamat dalam perjalanan pulang."
Aiz mengangguk. "Semoga kau juga baik-baik saja, Bell."
Dengan itu, mereka semua berpamitan. Shirou, Aiz, dan Riveria perlahan berbalik meninggalkan kuil tua Hestia Familia, sementara Bell dan Hestia melambaikan tangan mereka dengan senyum penuh kehangatan. Di udara pagi yang segar, ada perasaan baru yang terjalin di antara mereka, rasa saling memahami dan menghargai yang lebih dalam.
Sesampainya di Twilight Mansion, suasana terasa penuh dengan energi. Anggota-anggota Loki Familia yang lain segera berkumpul di sekitar Shirou, Aiz, dan Riveria yang baru saja kembali. Loki sendiri berdiri di depan dengan tangan bersedekap, alisnya terangkat penasaran.
"Heh, kalian bertiga... Apa yang kalian lakukan di lantai 37 selama ini?" tanya Loki dengan nada setengah bercanda namun jelas menginginkan jawaban.
Riveria tersenyum tipis, melangkah maju. "Aiz... dia ngotot ingin melawan Udaeus sendirian," jawabnya dengan suara tenang. "Awalnya Finn melarang, tapi setelah sedikit bujukan, ia mengizinkannya dengan syarat aku dan Shirou ikut berjaga."
Loki mendengar penjelasan Riveria, mengangguk-angguk dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Oh? Udaeus, ya? Itu bukan lawan yang mudah bahkan untukmu, Aiz," ucapnya dengan nada serius.
Aiz menunduk sedikit, tampak sedikit malu namun juga puas. "Aku ingin menguji diriku sendiri... dan akhirnya aku berhasil mengalahkannya," kata Aiz dengan nada pelan tapi mantap.
Loki tiba-tiba tersenyum lebar, matanya berbinar-binar. "Baiklah, kalau begitu... Aiz, mari kita lihat seberapa banyak hasil jerih payahmu kali ini! Ayo kita update statusmu!"
Aiz mengangguk, tanpa berkata banyak lagi ia mengikuti Loki masuk ke ruangan pribadi untuk pembaruan status. Shirou berdiri agak jauh, tapi masih bisa mendengar suara-suara dari dalam ruangan.
Terdengar suara Loki yang bersemangat, "Wah, Aiz! Lihat ini! Kau naik level! Sekarang kau Level 6!"
Di luar ruangan, Shirou mendengar teriakan gembira Loki. Ia tersenyum sendiri, merasa lega dan bangga atas pencapaian Aiz. Beberapa anggota Loki Familia yang berada di sekitar mereka bersorak sorai, merayakan kabar baik itu.
Finn, yang berdiri di dekat pintu, melirik ke arah Shirou dan tersenyum tipis. "Sepertinya kau juga telah belajar banyak dari ekspedisi ini, Shirou. Bagaimana rasanya bekerja bersama kami di lantai yang lebih dalam?" tanyanya dengan nada ramah.
Shirou mengangguk, balas tersenyum. "Banyak hal yang bisa kupelajari dari kalian semua. Pengalaman ini sangat berharga."
Finn menepuk bahu Shirou dengan ringan. "Bagus. Aku harap kau terus berkembang, karena perjalanan ini masih panjang."
Suasana di Twilight Mansion semakin riuh dengan sorakan dan tawa. Aiz keluar dari ruangan dengan sedikit senyum di wajahnya, disambut dengan tepukan bahu dan ucapan selamat dari teman-temannya. Dia tersipu, tapi jelas terlihat bahagia dengan pencapaian terbarunya.
Loki berjalan mendekat ke arah Shirou. "Hei, Shirou! Jangan pikir kau bisa lolos dari update status juga! Aku ingin tahu sudah sejauh mana perkembanganmu," katanya dengan senyum nakal di wajahnya.
Shirou mengangkat tangan dengan gerakan menyerah, tertawa kecil. "Baiklah, Loki-sama. Aku akan ikut giliran setelah Aiz."
Loki tersenyum penuh arti. "Bagus. Semakin cepat kita lihat, semakin baik. Aku penasaran dengan semua hal baru yang bisa kita temukan."
Senyuman tipis muncul di wajah Shirou saat ia melihat antusiasme Loki. Dia tahu bahwa petualangannya di Orario ini baru saja dimulai.
Shirou duduk di kursi di depan Loki, bersiap untuk pembaruan statusnya. Setelah Loki menyalurkan sedikit darah ke punggungnya, ia mulai menganalisis perkembangan Shirou. Dengan cepat, ekspresi Loki berubah sedikit canggung saat ia melihat hasilnya.
"Eh... ya, Shirou, hasilnya tidak terlalu buruk," kata Loki mencoba terdengar positif, tapi jelas ada sedikit kebingungan di suaranya. "Tapi... yah, kelihatannya tidak banyak perubahan sejak terakhir kali."
Shirou mengangguk, sudah mengantisipasi hal ini. "Aku memang hanya melawan musuh-musuh yang lebih lemah, jadi aku tidak berharap terlalu banyak."
Loki mengusap dagunya, berpikir sejenak sebelum akhirnya tersenyum. "Jangan khawatir, Shirou. Kamu tidak perlu buru-buru. Kamu baru di Orario, dan dungeon ini lebih rumit daripada yang terlihat. Lebih baik pelan-pelan dan membiasakan diri dulu dengan lingkungan Dungeon. Lagipula, kita semua tahu betapa kuatnya kamu sebenarnya."
Shirou tersenyum tipis, merasa terhibur oleh kata-kata Loki. "Terima kasih, Loki-sama. Aku akan lebih berhati-hati dan berusaha untuk terus berkembang."
Loki lalu menyerahkan kertas status yang telah diperbarui kepada Shirou. Di atas kertas tersebut tertera status Shirou yang baru:
Level 3:
Strength: I(0) -> I(20)
Endurance: I(0) -> I(13)
Dexterity: I(0) -> I(17)
Agility: I(0) -> I(23)
Magic: I(0) -> I(40)
Archer: I
Magic Resistance: I
Magic:
- Magecraft
Skills:
- Underdog : Mengurangi excelia yang diterima saat melawan musuh yang lebih lemah, dan meningkatkan excelia saat melawan musuh yang lebih kuat.
****************
Melihat statusnya yang tertulis di kertas, Shirou memeriksa angka-angka yang terpampang. Meski kenaikan statusnya memang tidak terlalu signifikan, dia tetap merasa puas karena sudah mengetahui alasannya.
Loki memperhatikan reaksi Shirou dengan senyum yang lebih tulus. "Kamu sudah melakukannya dengan baik, Shirou. Teruslah seperti ini, dan ketika saatnya tiba, kamu akan siap untuk tantangan yang lebih besar."
Shirou menggenggam kertas statusnya dengan mantap, lalu berdiri. "Ya, aku akan terus berusaha, Loki-sama."
Loki menepuk bahu Shirou sekali lagi sebelum mengedipkan mata padanya. "Baiklah, lanjutkan! Kalau kamu butuh sesuatu, jangan sungkan untuk meminta."
Shirou mengangguk, lalu meninggalkan ruangan dengan semangat yang tetap tinggi meski hasilnya tidak terlalu memuaskan. Dia tahu perjalanan ini masih panjang, dan setiap langkah kecil tetaplah penting.