Keesokan harinya, seperti biasa, Shirou dan Riveria bertemu di gudang terpencil di sudut taman Twilight Mansion. Udara pagi yang segar menyelimuti mereka saat Riveria duduk dengan mata terpejam, fokus pada latihannya. Shirou berdiri di sampingnya, mengamati dengan tenang, memastikan semuanya berjalan dengan baik.
Riveria menarik napas dalam-dalam, lalu perlahan menghembuskannya. Dia mulai membayangkan "pelatuk" yang dia ciptakan dalam pikirannya. Sebuah pohon berkembang pesat dari biji yang kecil, sebuah pemicu mental yang telah dia latih selama beberapa hari terakhir. Perlahan, dia merasakan sesuatu yang hangat mulai mengalir di tubuhnya, berawal dari inti dirinya dan menyebar ke seluruh tubuh. Rasa nyaman itu membuatnya tersenyum, mengetahui bahwa dia telah berhasil.
"Tepat seperti itu," kata Shirou dengan nada lembut, menganggukkan kepala. "Kamu sudah hampir menguasainya."
Riveria membuka matanya, dan tiba-tiba sebuah pancaran kebahagiaan memancar dari dalam dirinya. Dia bisa merasakan aliran energi yang stabil dari Magic Circuit yang berhasil dibukanya. Tanpa bisa menahan perasaannya, Riveria melompat kegirangan. "Aku bisa! Shirou, aku berhasil!"
Shirou tersenyum puas, tetapi dia tidak bisa menahan diri untuk tertawa pelan melihat reaksi Riveria yang begitu gembira, jauh berbeda dari sikap tenang dan bijak yang biasanya dia tunjukkan.
Namun, ketika Riveria menyadari betapa antusiasnya dia, rona merah langsung menjalar di pipinya. Dia berhenti melonjak dan menutupi wajahnya dengan tangan, merasa malu karena menunjukkan sisi dirinya yang jarang terlihat. "Ah, maafkan aku, Shirou... Aku... tidak tahu kenapa aku jadi begitu..."
Shirou tertawa kecil, mengangkat tangan untuk menenangkan Riveria. "Tidak apa-apa, Riveria. Ini adalah pencapaian besar, dan kamu punya alasan untuk merayakannya. Lagipula, aku senang melihatmu begitu bersemangat."
Riveria menurunkan tangannya perlahan, masih tersipu malu, tetapi dia tersenyum dengan lembut. "Terima kasih, Shirou. Semua ini karena bantuanmu. Aku tidak akan bisa melakukannya tanpa bimbinganmu."
Shirou menggeleng pelan. "Ini semua adalah hasil kerja kerasmu, Riveria. Aku hanya memberimu arahan, sisanya adalah usahamu sendiri."
Riveria mengangguk, merasa lebih percaya diri daripada sebelumnya. "Aku tidak pernah membayangkan bisa mempelajari hal baru seperti ini. Tapi sekarang, aku merasa seperti ada dunia baru yang terbuka untukku."
"Dan itu baru permulaan," kata Shirou sambil memberikan senyum penuh semangat. "Ada banyak lagi yang bisa kamu pelajari. Ini adalah awal dari perjalanan baru untukmu."
Riveria menyeka sedikit air mata kebahagiaan yang muncul di sudut matanya. "Ya, dan aku tak sabar untuk melihat ke mana perjalanan ini akan membawaku."
Shirou hanya bisa tersenyum, senang melihat betapa besar tekad Riveria untuk terus maju. Pagi itu, di antara cahaya matahari yang menyinari mereka melalui celah-celah atap gudang, mereka berdua merasakan bahwa mereka telah mencapai sesuatu yang istimewa.
Shirou dan Riveria keluar dari gudang kecil di sudut taman, keduanya masih terengah-engah dan keringat menetes dari dahi mereka. Matahari pagi baru saja terbit, memancarkan sinar hangat yang menerpa wajah mereka. Shirou mengelap keringat dari dahinya dengan lengan bajunya, sementara Riveria menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berpacu setelah sesi latihan yang intens.
Di sisi taman, Lefiya berdiri dengan kaleng penyiram di tangan, asyik menyiram bunga-bunga yang baru ditanam. Ketika dia melihat Shirou dan Riveria keluar dari gudang dengan kondisi berkeringat dan terlihat kelelahan, pikiran Lefiya langsung melesat ke arah yang salah. Wajahnya memerah, dan matanya melebar dengan kombinasi keterkejutan dan kecemburuan.
Lefiya mendekati mereka dengan cepat, matanya tajam tertuju pada Shirou. "Apa yang kamu lakukan pada Lady Riveria, Shirou?!" teriak Lefiya dengan nada penuh tuduhan, pipinya merah padam karena emosi. "Jangan bilang kalau kamu…!"
Riveria segera menyadari apa yang dipikirkan Lefiya dan dengan cepat melangkah maju, mencoba menenangkan gadis muda itu. "Lefiya, tenanglah! Bukan seperti yang kamu pikirkan," ujarnya sambil tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekikukan di suaranya.
Shirou mengangkat alis, bingung dengan reaksi Lefiya yang tiba-tiba. "Eh? Apa maksudmu, Lefiya?" tanyanya dengan nada polos, tidak menyadari dugaan aneh yang terlintas di pikiran Lefiya.
Lefiya menunjuk Shirou dengan jari yang sedikit gemetar. "Jangan berpura-pura tidak tahu! Kalian berdua… keluar dari gudang… berkeringat… dan—"
Riveria segera memotong, "Kami hanya berlatih, Lefiya! Shirou sedang mengajariku sesuatu yang baru, itu saja." Dia mencoba menjelaskan dengan tenang, tetapi jelas bahwa dia juga agak canggung dengan situasinya.
Lefiya memandang ke Riveria dengan curiga, tapi melihat mata Riveria yang jujur dan wajah Shirou yang benar-benar bingung, dia mulai merasa sedikit malu dengan tuduhannya sendiri. "B-benarkah?" tanyanya, sedikit lebih pelan, meskipun masih tampak ragu.
Shirou tertawa kecil, menyadari kesalahpahaman yang terjadi. "Iya, benar. Aku hanya membantu Lady Riveria dengan latihannya. Tidak ada yang lain, Lefiya," katanya sambil tersenyum.
Riveria mengangguk, menambahkan, "Kami melakukan latihan fisik yang cukup intens, jadi wajar saja kami berkeringat."
Wajah Lefiya memerah semakin dalam, kini karena malu. "A-aku... aku minta maaf, aku terlalu cepat menarik kesimpulan…" katanya dengan suara kecil, sambil mengalihkan pandangannya ke tanah.
Shirou tersenyum lebih lebar dan berkata, "Tidak apa-apa, Lefiya. Itu wajar, kamu hanya peduli pada Riveria."
Riveria mengangguk sambil menepuk bahu Lefiya dengan lembut. "Betul, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."
Lefiya mengangguk pelan, meskipun masih merasa malu karena reaksinya yang berlebihan. "Iya... aku mengerti," katanya, lalu berbalik dan kembali menyiram tanaman dengan sedikit lebih banyak tenaga dari yang seharusnya, sementara Shirou dan Riveria saling bertukar pandang dan tertawa kecil di antara mereka.
Lefiya menatap Shirou dengan penuh semangat, ide baru berputar di kepalanya. "Kalau begitu, Shirou… bolehkah aku juga ikut latihan bersama kalian?" tanyanya dengan mata berbinar. "Aku ingin belajar hal-hal baru juga, seperti yang Lady Riveria pelajari!"
Shirou terdiam sejenak, tampak ragu. "Eh, Lefiya… Magecraft bukanlah sesuatu yang mudah dipelajari, apalagi jika tidak memiliki magic circuit," jawabnya hati-hati. "Dan ada risiko besar jika kamu mencoba sesuatu tanpa pengetahuan yang cukup."
Namun, semangat Lefiya tidak mudah goyah. "Aku akan berhati-hati! Aku janji akan mendengarkan semua instruksimu!" desaknya. "Tolong, Shirou! Aku ingin menjadi lebih kuat agar bisa melindungi Lady Riveria dengan lebih baik."
Shirou akhirnya menghela napas panjang. "Baiklah," katanya sambil tersenyum kecil. "Kalau kamu benar-benar ingin mencoba, aku tidak bisa menolakmu. Tapi ingat, Magecraft sangat berbeda dari sihir yang biasa kamu gunakan, dan akan membutuhkan banyak latihan."
Mata Lefiya berbinar karena senang. "Terima kasih, Shirou! Aku berjanji akan berusaha sebaik mungkin!" serunya gembira.
Di belakang mereka, Riveria mengamati dengan seksama. Ketika Shirou setuju untuk mengajarkan Lefiya, ada sedikit perasaan tidak nyaman yang muncul dalam dirinya, meski ia tidak tahu pasti alasannya. Saat mereka bertiga berjalan menuju gudang latihan kecil di sudut taman, Riveria merasa seolah ada sesuatu yang hilang—sebuah keakraban yang biasanya hanya dimiliki oleh dia dan Shirou selama latihan pagi mereka. Kini, ada orang ketiga di tempat itu.
Riveria menggigit bibir bawahnya pelan, mencoba menghilangkan rasa yang mengganggu itu. "Mengapa aku merasa begini…?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar.
Shirou menoleh ke arahnya. "Kau bilang sesuatu, Riveria?" tanyanya, mengangkat alis.
Riveria menggeleng cepat, tersenyum untuk menutupi perasaannya. "Ah, tidak, tidak ada apa-apa," jawabnya. "Ayo, kita lanjutkan. Lefiya pasti tidak sabar untuk memulai."
Lefiya mengikuti mereka dengan langkah riang, tidak menyadari perasaan campur aduk yang melanda Riveria. Ketika mereka tiba di gudang, Shirou mulai menjelaskan dasar-dasar Magecraft kepada Lefiya, dengan sabar mengulangi beberapa hal yang telah ia ajarkan pada Riveria sebelumnya.
Namun, Riveria hanya bisa berdiri di belakang, merasa aneh karena harus berbagi momen itu dengan orang lain. Ia menyadari sesuatu yang aneh—bahwa ia merasakan sedikit ketidaknyamanan dan… mungkin, cemburu?
'Mengapa aku merasa begini?' pikirnya dalam hati. 'Aku seharusnya senang Lefiya ingin belajar hal baru… Tapi kenapa rasanya seperti ada yang salah?'
Meski dengan perasaan campur aduk itu, Riveria tetap mendengarkan dengan seksama setiap kata yang diucapkan Shirou, berusaha untuk menjaga sikap profesional dan tenang. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa hatinya berdebar sedikit lebih cepat daripada biasanya.
Shirou menatap tubuh Lefiya dengan canggung, menyadari perbedaan antara bentuk tubuh gadis muda ini dan Riveria yang lebih dewasa dan matang. Sekilas, pikirannya mulai berkelana ke hal-hal yang tidak seharusnya. "Apa yang kupikirkan ini?" gumamnya dalam hati, menggelengkan kepala untuk mengusir bayangan yang tidak diinginkan.
Ia menarik napas dalam-dalam dan mulai menempatkan tangannya di dekat bahu Lefiya, menggunakan Structural Analysis untuk mengecek apakah ada magic circuit di dalam tubuhnya. "Tenang saja, Lefiya," kata Shirou, suaranya terdengar lebih tenang dari sebelumnya. "Aku hanya akan mengecek ini secepat mungkin."
Lefiya memejamkan matanya, menahan napas, namun tetap terlihat ketegangan di wajahnya. Shirou menutup matanya, merasakan aliran energi di dalam tubuh Lefiya. Seperti pada Riveria, ada pola yang berbeda; kali ini lebih samar, tapi jelas berbentuk rune kuno. Shirou mengernyit. "Sepertinya… kau juga memiliki sesuatu yang mirip dengan yang dimiliki Riveria," ujarnya sambil berpikir.
Lefiya membuka matanya dengan harapan. "Benarkah, Shirou? Jadi aku juga bisa menggunakan Magecraft?"
Shirou menghela napas perlahan. "Tidak persis begitu," jelasnya hati-hati. "Runenya ada… tapi sepertinya tidak lengkap. Polanya terputus di beberapa bagian, yang berarti tidak dapat diaktifkan."
Lefiya terdiam, kekecewaan jelas terlihat di wajahnya. "Jadi… aku tidak bisa menggunakan Magecraft?" tanyanya dengan nada sedih.
Shirou mengangguk dengan pelan, merasa tidak enak telah memberikan harapan palsu. "Sepertinya begitu, Lefiya. Aku… minta maaf," katanya dengan tulus.
Lefiya menundukkan kepala. "Tidak apa-apa… Aku seharusnya tidak berharap terlalu tinggi," katanya pelan. "Terima kasih, Shirou, sudah mencoba." Ia menarik pakaiannya kembali, bersiap untuk pergi. "Aku akan kembali ke mansion," lanjutnya sambil berlalu pergi, tanpa menoleh ke belakang.
Riveria memperhatikan kepergian Lefiya, dan meskipun ada sedikit rasa bersalah di dalam hatinya, ia juga merasa lega. "Kini waktuku dengan Shirou tidak perlu terbagi…" pikirnya sejenak. Namun, segera setelah itu, perasaan bersalah kembali menyergapnya. "Mengapa aku merasa seperti ini?" Ia bertanya pada dirinya sendiri, merasa jengkel dengan perasaannya yang bertentangan.
Shirou, yang masih merasa sedikit tidak nyaman dengan situasi tersebut, mencoba mengubah suasana. "Baiklah, Riveria," katanya, tersenyum lembut. "Mari kita lanjutkan latihan kita. Kurasa masih ada banyak hal yang bisa kita pelajari hari ini."
Riveria mengangguk, berusaha menyingkirkan perasaan bersalah itu dan fokus kembali. "Tentu, Shirou," jawabnya dengan senyum kecil. "Aku siap." Mereka pun kembali melanjutkan latihan mereka, suasana kembali tenang meski ada sedikit kegugupan yang tersisa.
Di tengah latihan pagi itu, Shirou berdiri berhadapan dengan Riveria di dalam gudang yang penuh dengan udara segar dan sedikit aroma kayu lembab. Shirou tersenyum kecil, "Hari ini, aku ingin mengajarkanmu bagaimana merasakan energi sihir dengan lebih jelas," katanya, matanya memancarkan semangat seorang pengajar.
Riveria mengangguk, menunjukkan ketertarikannya. "Bagaimana caranya, Shirou?" tanyanya, telinganya yang tajam sedikit bergerak ketika ia fokus pada perkataannya.
Shirou mengusap dagunya sejenak, berpikir. "Aku selalu merasa hidungku cukup tajam untuk mengendus sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal mistis," katanya. "Seperti bagaimana seorang anjing pemburu bisa mendeteksi aroma mangsanya."
Riveria tersenyum kecil. "Jadi, kau ingin aku menjadi seperti anjing pemburu?" candanya.
Shirou tertawa ringan, "Bukan begitu! Tapi, maksudku, mungkin kau bisa mengandalkan indra lain… Bagaimana dengan telingamu? Apakah kau merasa ada perubahan sejak membuka magic circuit-mu?"
Riveria mengangguk, mengingat pengalamannya. "Ya, sepertinya begitu. Aku merasa telinga elf-ku jadi lebih sensitif terhadap suara… seperti mendengar bisikan halus atau getaran kecil yang sebelumnya tidak pernah kudengar," jawabnya dengan serius.
Shirou mengangguk penuh antusias. "Kalau begitu, mari kita tes teori ini. Aku akan menggunakan sedikit energi sihir untuk menciptakan getaran halus di udara. Cobalah untuk mendengarkannya dan merasakannya dengan telingamu," katanya sambil mengangkat tangannya.
Riveria menutup matanya, mencoba berkonsentrasi, dan mengarahkan seluruh fokusnya pada suara-suara di sekelilingnya. Shirou mulai mengalirkan sedikit energi sihir melalui tangannya, menciptakan gelombang halus yang nyaris tak terdengar. Suara lembut, hampir seperti gemerisik dedaunan yang tertiup angin, mulai berdesir di udara.
Riveria tiba-tiba membuka matanya, telinganya bergerak-gerak. "Aku mendengar sesuatu… seperti desiran angin, tapi lebih lembut dan terarah," katanya, terlihat senang dengan hasilnya.
Shirou tersenyum lebar. "Itu bagus, Riveria! Itu adalah energi sihir yang aku lepaskan. Kau benar-benar bisa mendengarnya!" Dia tampak puas dengan hasil percobaan mereka.
Riveria tersenyum senang, matanya berbinar. "Aku tidak percaya ini bisa terjadi! Dengan sedikit latihan lagi, mungkin aku bisa lebih peka lagi terhadap hal-hal yang tidak kasat mata," ucapnya bersemangat.
Shirou mengangguk, "Tentu saja, Lady Riveria. Kau memiliki bakat alami… Ditambah lagi, kita bisa terus mengembangkan teknik ini lebih jauh."
Riveria menatap Shirou dengan senyum yang penuh rasa syukur. "Terima kasih, Shirou. Aku benar-benar berterima kasih karena kau telah berbagi pengetahuan ini denganku."
Shirou menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Aku juga senang bisa belajar bersama. Kita saling belajar satu sama lain," jawabnya.
Mereka kembali melanjutkan latihan mereka, mencoba berbagai cara untuk mengasah sensitivitas Riveria terhadap energi sihir, sementara Riveria merasa lebih percaya diri dan antusias dalam perjalanan barunya ini.
Latihan pagi itu berlangsung dengan intensitas tinggi, tetapi juga penuh canda dan tawa. Shirou terus mengarahkan Riveria untuk fokus pada getaran-getaran halus energi sihir yang ia ciptakan di udara. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatiannya lebih dari biasanya—telinga panjang Riveria yang bergerak-gerak mengikuti setiap perubahan suara. Telinga itu tampak sangat sensitif, dan Shirou tak bisa menahan rasa penasarannya.
Tanpa berpikir panjang, tangannya secara refleks bergerak menyentuh ujung telinga Riveria. "Hmm... telingamu benar-benar menarik, bisa bergerak sendiri," gumamnya pelan, matanya masih terfokus pada telinga Riveria.
Tiba-tiba, Riveria terkejut. "Sh-Shirou...!" dia berseru, wajahnya berubah merah padam, tetapi dia tidak segera menjauh. Telinganya berkedut di bawah sentuhan Shirou, seolah-olah menanggapi sentuhan itu dengan cara yang sangat sensitif.
Shirou tersadar dan langsung menarik tangannya. "Ah, maaf! Aku tidak bermaksud—aku hanya penasaran… sungguh!" katanya dengan cepat, rasa bersalah terlihat jelas di wajahnya. "Aku tidak tahu kalau itu tidak sopan."
Riveria, meskipun wajahnya masih merah, hanya mengangguk pelan. "Kebanyakan elf memang tidak suka disentuh oleh non-elf... apalagi pada telinga mereka," katanya dengan suara yang agak gugup. "Itu adalah bagian yang sangat sensitif bagi kami."
Shirou langsung menundukkan kepalanya dalam-dalam. "Maaf, aku benar-benar tidak tahu. Aku tidak akan melakukannya lagi."
Namun, Riveria menggelengkan kepala perlahan, senyum tipis menghiasi wajahnya yang masih memerah. "Tidak apa-apa, Shirou. Untukmu… aku memberikan pengecualian," katanya, matanya menatap Shirou dengan lembut. "Kau boleh… menyentuh telingaku… sesuka hatimu," lanjutnya dengan suara yang lebih pelan, hampir berbisik, seolah malu dengan perkataannya sendiri.
Shirou terkejut. "Eh? Benarkah?" Dia hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Riveria mengangguk pelan, meski pipinya semakin merah. "Ya... asalkan itu kau, Shirou," jawabnya sambil menundukkan wajahnya sedikit, mencoba menyembunyikan rona malu di wajahnya.
Shirou tersenyum, sedikit lega tapi juga bingung. "Baiklah, tapi aku tidak ingin membuatmu tidak nyaman... Terima kasih, Riveria," ucapnya dengan nada yang lebih lembut.
Riveria menatapnya sejenak, kemudian mengalihkan pandangannya, namun tidak bisa menyembunyikan senyum kecil yang muncul di bibirnya. "Aku tidak keberatan…," bisiknya lagi, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Shirou.
Mereka berdua kembali berlatih, tetapi suasana di antara mereka kini terasa lebih hangat, dengan pemahaman yang tumbuh di antara mereka, serta sedikit keakraban baru yang sebelumnya tidak ada.
Beberapa hari setelah kejadian itu, Riveria tak bisa menghapus senyum yang selalu muncul di wajahnya. Entah saat sedang sarapan di meja besar Twilight Manor, saat memimpin latihan sihir, atau saat sekadar melintas di koridor—senyum itu selalu ada. Anggota Loki Familia yang lain mulai memperhatikannya dan bertanya-tanya, tetapi tak ada yang berani menanyakan langsung pada Riveria. Mereka hanya bisa bertukar pandang dengan kebingungan.
"Riveria-sama, apakah ada sesuatu yang membuatmu sangat bahagia akhir-akhir ini?" tanya Lefiya suatu sore dengan suara lembut, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi. Sebagai seseorang yang selalu mengidolakan Riveria, Lefiya merasa perlu mengetahui apa yang membuat mentornya begitu berbeda akhir-akhir ini.
Riveria, yang tengah memegang buku sihir di perpustakaan, hanya tersenyum lembut. "Ah, tidak ada apa-apa, Lefiya. Mungkin aku hanya… sedikit merasa lebih tenang dan bahagia akhir-akhir ini," jawabnya dengan nada santai, mencoba menyembunyikan kebenaran di balik senyumannya.
Lefiya menatapnya dengan tatapan penasaran, tetapi memutuskan untuk tidak mendesak lebih lanjut. "Baiklah, Riveria-sama. Aku senang jika kau merasa bahagia," katanya sebelum kembali ke latihan sihirnya sendiri.
Namun, malam hari adalah waktu yang paling membuat Riveria benar-benar merenung. Setiap kali dia berbaring di atas kasurnya yang sederhana di kamar kecil di Twilight Manor, pikirannya selalu kembali ke momen-momen di gudang kecil bersama Shirou. Tempat itu, yang dulunya hanyalah sebuah ruang latihan yang biasa saja, kini menyimpan kenangan manis yang selalu menghangatkan hatinya.
"Shirou..." bisiknya pelan dalam gelap, suara lembutnya hampir tenggelam di antara bantal dan selimut yang membungkusnya. Mengingat bagaimana Shirou selalu memperhatikannya dengan penuh perhatian, bagaimana dia selalu sabar dan tidak pernah memaksa, membuat Riveria merasa sangat istimewa. Bukan hanya karena Shirou seorang yang baik hati dan bijaksana, tetapi karena dia melihat Riveria sebagai sosok yang setara, tidak hanya sebagai seorang mentor atau anggota Loki Familia yang dihormati.
"Kenapa hanya kau yang bisa membuatku merasa seperti ini?" pikirnya, membiarkan dirinya larut dalam perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sebagai seorang elf dengan usia lebih dari seratus tahun, Riveria tahu bahwa dirinya dianggap dewasa dan bijaksana oleh banyak orang. Namun, di balik semua itu, dia masih seorang gadis muda dalam umur kaum elf—seorang gadis yang juga ingin merasakan perhatian dan kasih sayang.
Mata hijau Riveria menatap langit-langit kamar yang gelap, mengingat senyuman Shirou yang hangat, tatapannya yang penuh perhatian, dan bagaimana dia selalu tahu apa yang harus dilakukan untuk membuat Riveria merasa nyaman. "Kau benar-benar spesial, Shirou…" gumamnya, senyum kecil kembali muncul di bibirnya sebelum perlahan-lahan ia terlelap dalam tidur yang tenang, dengan pikiran dipenuhi oleh bayangan lelaki yang telah membuat hatinya bergetar untuk pertama kalinya.