POV Syr
Syr memperhatikan dari sudut ruangan dengan matanya yang lembut namun tajam. Pandangannya terpaku pada Shirou, yang masih berdiri di dapur setelah insiden tadi. Ada sesuatu yang membuatnya merasa tertarik pada pemuda ini—sesuatu yang lebih dari sekadar penampilan fisik atau sikap ramahnya.
Meskipun Shirou tampak seperti orang biasa pada pandangan pertama, ia tahu ada lebih dari itu. Dia melihat bagaimana Shirou berusaha keras membantu di dapur, tangan-tangannya bergerak lincah memotong sayuran, menyiapkan bahan, dan memasak dengan keterampilan yang luar biasa. Wajahnya terlihat fokus dan serius, tetapi juga ada ketulusan dalam setiap gerakannya. Ketika Shirou memasak, ada semacam cahaya yang memancar darinya—seperti sinar yang muncul dari dalam jiwanya yang gelap.
Namun, cahaya itu tidaklah murni. Itu bukanlah cahaya seorang pahlawan yang penuh keberanian dan kemuliaan, melainkan lebih seperti kilauan dari logam yang sudah berkarat. Cahaya yang terdistorsi dan tertutupi oleh lapisan kelam. Syr bisa merasakan adanya luka mendalam di dalam jiwa Shirou, bekas luka yang seolah-olah masih belum sepenuhnya sembuh.
Ketika Shirou mencoba melindunginya dari petualang mabuk tadi, ia bisa melihat sekilas jiwa yang berkilau itu lebih jelas. Meskipun jelas-jelas lebih lemah dan tahu bahwa ia tidak punya peluang menang melawan petualang berlevel 3, Shirou tetap maju tanpa ragu. Ada keberanian di sana, tetapi juga keputusasaan—seperti seseorang yang terpaksa terus bergerak maju karena tidak ada pilihan lain. Seolah-olah ia merasa harus selalu membantu orang lain, tidak peduli apa yang harus ia korbankan.
"Apa yang membuatmu begitu keras kepala, Shirou?" Syr bergumam pelan pada dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa Shirou tidak hanya berusaha menolongnya, tetapi juga melawan sesuatu di dalam dirinya. Mungkin itu adalah bayangan masa lalu atau trauma yang telah merusak jiwanya.
Syr mengamati lebih dekat, mencoba merasakan emosi dan motif Shirou yang tersembunyi di balik tindakan-tindakannya. Dari apa yang ia lihat, jiwa Shirou tampak dibangun di atas rasa bersalah yang mendalam, penyesalan yang terus menghantuinya, memaksanya untuk selalu mencari cara menebus dosa yang hanya ia sendiri yang tahu.
Tapi bagi Syr—atau lebih tepatnya, bagi Freya, dewi yang tersembunyi di balik identitas Syr—jiwa Shirou ini tidaklah sesuai dengan Odr yang dia tunggu. Odr yang seharusnya memiliki semangat yang murni, berani, dan membara dengan hasrat yang tulus. Jiwa Shirou lebih seperti pedang berkarat, tajam tetapi rapuh, dipenuhi oleh keinginan untuk menebus dosa-dosa masa lalu, bukan oleh hasrat yang murni untuk hidup dan mencintai.
Namun, terlepas dari itu semua, ada sesuatu yang menarik di sana. Shirou bukanlah orang biasa. Freya dapat merasakan adanya potensi yang unik dalam dirinya—sesuatu yang bisa bersinar terang jika karat itu berhasil dihapus. Mungkin ini yang membuat Freya, dalam perannya sebagai Syr, tidak bisa sepenuhnya mengabaikannya.
Syr tersenyum kecil. "Kamu adalah misteri, Shirou," bisiknya pada dirinya sendiri, "mungkin bukan Odr yang aku tunggu, tetapi ada sesuatu yang membuatku ingin melihatmu lebih jauh."
Dia akan terus mengamati Shirou, mencoba memahami lebih dalam jiwa yang tersembunyi di balik senyum ramahnya, langkah-langkahnya yang tenang, dan tekadnya yang keras kepala. Entah apa yang akan dia temukan, Syr tahu bahwa perjalanan ini akan menarik—dan mungkin, hanya mungkin, dia akan menemukan sesuatu yang tak terduga di balik bayang-bayang kelam masa lalu Shirou.
POV Freya
Di puncak Babel, di dalam aula yang megah dengan singgasana yang dikelilingi oleh cahaya lembut bulan, Freya duduk dengan anggun, memandang keluar jendela besar yang menghadap ke kota Orario. Angin malam menyapu rambut peraknya yang panjang, dan mata peraknya yang tajam memancarkan kilauan seperti bintang di tengah kegelapan. Di hadapannya, Ottar berdiri tegap, pelindung setianya dan prajurit terkuat dalam Freya Familia.
Freya menyandarkan dagunya di tangannya, jari-jarinya yang lentik mengetuk perlahan di pipinya. "Ottar," suaranya lembut namun memiliki kekuatan yang tak terbantahkan, "apa pendapatmu tentang bocah bernama Shirou itu?"
Ottar, dengan postur tubuhnya yang kokoh dan tatapan mata yang selalu serius, sedikit mengernyit. "Dia... menarik, Lady Freya," jawabnya dengan suara dalam yang penuh hormat. "Tetapi saya tidak melihat sesuatu yang luar biasa darinya, selain keberanian yang mungkin bisa disebut kebodohan."
Freya tersenyum tipis, mengingat bagaimana Shirou, seorang pemuda yang bahkan tidak memiliki berkat dewa, berani maju untuk melindungi "Syr" dari seorang petualang mabuk. "Keberanian yang dianggap bodoh bagi sebagian orang," lanjut Freya, "mungkin justru merupakan kekuatan yang besar bagi orang lain. Ada sesuatu dalam dirinya, kilauan yang terdistorsi... seperti permata yang tertutup lumpur."
Dia menatap lebih dalam, seakan melihat sesuatu yang jauh di luar ruang dan waktu. "Jiwanya begitu berkarat, namun ada sinar di sana. Dan saat ia memasak, saat ia membantu orang lain... kilauan itu semakin jelas." Ia tersenyum, kali ini lebih lebar, penuh ketertarikan. "Dia bukan Odr yang aku tunggu... tapi dia tetap menarik."
Freya terdiam sejenak, merenung. "Mungkinkah aku yang datang langsung kepadanya? Menawarkan bergabung dengan Familia kita? Mungkin dengan begitu, aku bisa melihat lebih jelas potensi apa yang tersembunyi di balik karat itu."
Ottar, mendengar itu, mengerutkan alisnya. "Lady Freya," ia berbicara dengan penuh kehati-hatian, "Apakah menurutmu dia layak untuk menerima kehormatan seperti itu? Anda jarang turun tangan sendiri untuk menawarkan seseorang bergabung."
Freya menoleh, matanya penuh dengan ketertarikan yang mendalam. "Tidak, Ottar," jawabnya dengan lembut namun tegas. "Belum. Tapi bukan berarti dia tidak bisa menjadi layak. Bagaimana menurutmu, jika aku sendiri yang datang? Apakah menurutmu dia akan menerima tawaranku?"
Ottar berpikir sejenak sebelum menjawab. "Jika Anda yang datang sendiri, itu bisa mengejutkan dia, mungkin bahkan membuatnya merasa terhormat. Namun, bocah itu terlihat seperti seseorang yang memiliki tekad kuat. Dia mungkin akan menolak jika dia merasa bahwa tujuannya berbeda dengan apa yang Anda tawarkan."
Freya tersenyum lagi, kali ini dengan sedikit tawa yang menari di bibirnya. "Ah, benar. Shirou adalah seseorang yang penuh dengan keraguan, tetapi juga dengan tekad yang membara. Sangat menarik. Bagaimana jika aku memulai permainan ini? Sedikit dorongan kecil mungkin akan membantu membuka potensinya."
Dia kemudian memandang Ottar dengan mata yang tajam. "Kita akan lihat, Ottar. Jika ia benar-benar memiliki potensi, maka ia akan datang kepadaku. Jika tidak... kita akan biarkan dia menemukan jalannya sendiri. Tetapi untuk sekarang... aku akan menunggu dan melihat lebih jauh."
Freya bangkit dari singgasananya, langkahnya ringan dan anggun, seperti bayangan yang menari di bawah cahaya bulan. "Aku ingin melihat bagaimana dia berkembang di Orario, bagaimana jiwanya beradaptasi dan berevolusi. Dan jika tiba waktunya... mungkin aku akan mengunjunginya sendiri."
Ottar menundukkan kepalanya, menerima keputusan itu dengan patuh. "Seperti yang Anda inginkan, Lady Freya."
Freya mengangguk, lalu menatap lagi ke luar jendela, ke kota Orario yang berkilauan di bawah cahaya malam. "Mari kita lihat ke mana jalan ini akan membawanya," gumamnya dengan senyum di bibirnya. "Shirou Emiya... aku akan menunggu."