Chereads / Desiree Gate (Bahasa Indonesia) / Chapter 12 - Chapter 11

Chapter 12 - Chapter 11

Winter tidak tahu sudah berapa lama dia berjalan di jalan yang hanya bisa di lalui oleh dua orang tersebut. Menurutnya, dia hanya melalui jalan yang sama karena dia hanya melihat pohon-pohon tinggi dan besar di sekelilingnya sehingga dia tidak tahu apakah dia sudah cukup jauh berjalan atau malah tersesat di suatu tempat yang bahkan dia tidak tahu tempat apa yang ia lewati saat ini.

Pohon-pohon tinggi itu bagaikan menjulang menyentuh langit, dia bahkan tidak bisa melihat dengan jelas langit yang ada di atasnya. Dia merasa pohon-pohon tersebut sedang memperhatikannya dan semakin menutupi langit sehingga sedikit sekali cahaya matahari yang masuk. Dia bahkan tidak tahu apakah di Desiree ini ada matahari atau tidak karena dia sedari tadi juga tidak melihat adanya matahari. Yang terlihat olehnya sebuah permadani berwarna biru langit membentang luas tanpa ada gumapalan putih sebagai hiasannya. Dia tidak tahu cahaya yang menelusup dari celah-celah pepohonan tinggi itu berasal dari cahaya matahari atau tidak.

Dunia yang ia masuki ini terasa aneh baginya tetapi dia juga tidak merasa asing dengan keadaan di sekitarnya.

Winter baru menyadari jika selama ini dia tidak sedikit pun membuka mulutnya hanya untuk berbicara pada pemuda yang berjalan di belakangnya. Padahal, jalan yang mereka lalui ini bisa di lewati oleh dua orang, tetapi pemuda tersebut tidak kunjung berjalan di sampingnya melainkan di belakangnya membuat Winter mendengus kecil. Dia juga tidak bisa menyalahkan sifat pemuda yang mungkin tidak berani berdiri di samping Winter yang merupakan seorang penyihir terkuat di desa mereka.

"Apa kau mengetahui tentang Dewi Bulan yang memberikan separuh jiwanya kepadaku?" Winter pun membuka pembicaraan. Dia memang sosok yang dingin, tetapi bukan berarti dia tidak suka bercakap-cakap dengan orang lain. Ada saatnya dia ingin mengobrol atau membicarakan banyak hal kepada seseorang tetapi ada juga saat di mana dia memang tidak ingin membuka mulutnya seharian.

Dan menurutnya dia tidak terlalu dingin seperti yang orang bicarakan tentangnya.

Sedangkan pemuda yang Winter rasa namanya adalah Near itu tidak juga merespon apa yang Winter katakan. Winter baru saja hendak membuka mulutnya sampai ia mendengar suara Near.

"Iya, saya tahu mengenai itu" jawab Near pelan dan beruntung jarak mereka berdua tidak terlalu jauh sehingga Winter bisa mendengar suara pelan pemuda tersebut.

Winter menatap pohon-pohon tinggi di sekitarnya dengan tatapan menerawang, "Jika kau jadi aku, apakah kau menyukai itu?" tanya Winter kembali membayangkan bagaimana awalnya dia bertemu dengan Dewi Bulan.

Dalam ingatannya, dia hanya seorang anak berusia 8 tahun. Dengan perasaan campur aduk saat itu, Winter kecil berlari begitu saja memasuki hutan yang merupakan Hutan Terlarang yang seharusnya tidak bisa di lalui oleh manusia biasa. Saat itu, Winter kecil merasa bahwa dia hanyalah seorang manusia yang terlahir tanpa orang tua, berjalan tunggang langgang tanpa ada satu pun yang mau memperhatikannya atau pun menolongnya. Sampai ketika dia bertemu dengan wanita baik hati yang memberikannya pakaian yang layak serta makanan yang lezat. Sup yang hangat, cokelat panas yang manis, dan sebuah senyuman hangat yang mengingatkannya akan sosok ibu.

Ingatan tersebut akan selalu membekas di benak Winter karena baginya, baru pertama kali dia bertemu dengan seseorang yang sangat baik hati kepadanya. Lalu, ketika dia merasa bahagia sampai rasanya dia ingin terbang melewati langit ke tujuh, dia di timpa oleh kesedihan yang membuatnya tidak kuasa menahan sesak di dada. Dia berlari sekuat tenaga memasuki Hutan Terlarang tanpa berpikir bahwa dia seharusnya tidak bisa masuk ke dalam sana.

Dia tidak tahu sejauh mana dia berlari, tetapi dia berhenti di sebuah danau yang sangat indah. Airnya yang jernih memantulkan bayangan gelapnya langit malam di temani oleh bintang serta bulan purnama yang terlihat begitu besar dan bersinar indah. Sinar bulan malam itu terlihat begitu terang, dia melihat, bayangan seseorang berada di tengah-tengan danau.

Seseorang tersebut mempunyai rambut kelabu yang sangat indah. Sinar rembulan membuat rambut kelabu itu bagaikan bersinar dan berkerlap-kerlip bagaikan bintang di langit. Kulitnya yang pucat se-pucat bulan purnama. Dia hanya bisa melihat punggung seseorang tersebut sampai pada akhirnya, seseorang itu berbalik. Dia bahkan menahan nafas ketika melihat seseorang tersebut mempunyai paras bak dewi. Wajahnya yang kecil, mata kelabunya yang berbinar, bulu mata yang lentik, bibirnya yang tebal berbentuk hati tersenyum dan senyuman indah tersebut di tujukan kepada Winter kecil yang hanya bisa terpana di tempat ia berdiri.

Sosok cantik tersebut menatapnya dengan tatapan hangat. Sebuah tatapan yang mengingatkannya kepada wanita baik hati yang memberikannya pakaian serta makanan lezat ketika dia merasa maut telah datang menjemputnya. Sosok cantik itu mengulurkan tangannya, seolah menyuruh Winter kecil berjalan mendekat.

"Nyonya Winter?"

Winter mengerjapkan matanya, dia mendapati Near telah berdiri di hadapannya dengan raut wajah bingung serta khawatir. Mau bagaimana pun, Winter harus mengakui, bahwa Near mempunyai manik mata yang indah. Dia selalu saja merasa bahwa dia pernah melihat keindahan mata tersebut sebelumnya ketika dia melihat mata milik Near.

Dia merasakan sesuatu yang akrab ketika dia berjumpa dengan manik hazel tersebut.

"Apa anda baik-baik saja, Nyonya Winter? Anda tiba-tiba saja berhenti berjalan dan menatap kosong ke atas" ucap Near dengan suaranya yang lembut namun terdengar juga ke-khawatiran di nada suaranya. Manik hazelnya begitu lekat menatap manik kelabu milik Winter.

Winter mengatupkan bibirnya dengan rapat sambil menatap Near yang masih setia memandangnya, "Ya.., aku baik-baik saja, hanya memikirkan kenangan lama" gumam Winter lalu berjalan melewati Near yang perlahan mulai berjalan mengikutinya.

"Saya tidak tahu harus menyukainya atau tidak Nyonya Winter" ucap Near membuat Winter mengernyitkan alisnya bingung, dia menoleh menatap Near yang sudah berdiri di sampingnya.

"Maksudmu?"

"Jawaban dari pertanyaan anda, Nyonya Winter, anda bertanya jika saya menjadi anda, apakah saya menyukainya atau tidak" jelas Near membuat Winter menganggukkan kepalanya mengerti, dia mulai ingat bahwa dia menanyakan hal seperti itu kepada Near.

"Lalu, kenapa kau tidak tahu?" tanya Winter menikmati hembusan angin yang lembut menerpa wajahnya.

"Karena saya merasa baik-baik saja dengan diri saya yang sekarang. Saya tidak tahu apakah mendapatkan setengah jiwa dari dewa merupakan suatu hal yang perlu saya sukai. Kalau pun saya memang mendapatkannya, saya merasa bahwa saya harus menerimanya walaupun saya menyukainya atau tidak" jelas Near panjang lebar dengan pandangan matanya memperhatikan jalanan yang tidak berujung.

Winter hanya tertegun mendengar penjelasan dari Near, "Lalu, bagaimana jika suatu hari kau malah mendapat sebuah fakta bahwa kau mempunyai kekuatan seorang dewa?" tanya Winter penasaran.

"Apakah kau akan menerimanya atau menolaknya? Jangan jawab bahwa mungkin kau harus menerimanya, itu bukan sebuah jawaban" ucap Winter dengan sedikit ketus.

Near melirik Winter lalu mengusap tekuk lehernya sambil memikirkan pertanyaan Winter dengan serius. Dia akan menjawab mungkin itu semua karena dia merasa di bingungkan oleh dirinya sendiri. Terlebih mengenai jendela perpustakaan yang bisa ia buka dan tutup sendiri padahal manusia biasa tidak semudah itu bisa membukanya, hanya seorang penyihir yang bisa melakukannya. Padahal, dia sangat yakin bahwa dia tidak mempunyai kekuatan sihir. Dia bahkan di undang memasuki Desiree Gate, walaupun sebuah keajaiban terjadi karena Winter bisa memasuki Desiree Gate malah seorang dewa mengundangnya secara langsung.

Tetapi, jika dia mendapatkan kenyataan bahwa dia memiliki kekuatan dari seorang dewa, mungkin yang ia lakukan adalah…

"Saya akan menerimanya" jawab Near tidak yakin.

Sepertinya, dia masih berada di garis kebingungan ketika di tanya mengenai sihir atau pun kekuatan seorang dewa.

Winter tidak mengatakan apa pun lagi. Dia kembali fokus berjalan melewati jalanan yang sedari tadi tidak ada tanda-tanda mendekati jalan keluar.

"Jangan terlalu formal padaku, cukup panggil aku Winter" ucapnya lalu melangkah sedikit lebih cepat meninggalkan Near yang tertegun di tempatnya berdiri.

Near pun tersenyum, "Baiklah, Winter."

Bersambung