Chereads / Desiree Gate (Bahasa Indonesia) / Chapter 6 - Chapter 5

Chapter 6 - Chapter 5

29 Februari, hari dimana Desiree Gate yang akan muncul di dekat Pohon Merah Ajaib. Sebuah gerbang misterius yang akan memilih tujuh manusia untuk masuk ke dalam gerbang. Tidak ada yang tahu kenapa manusia terpilih itu masuk ke dalam gerbang dan apa saja yang mereka lakukan di dalam gerbang. Semua itu dikarenakan, mereka semua tidak bisa mengingat apa saja yang terjadi ketika mereka masuk ke dalam gerbang, mereka bahkan seperti orang linglung. Desiree Gate adalah sebuah misteri yang mungkin tidak akan pernah terungkap.

Hanya manusia terpilih saja yang bisa masuk ke dalam gerbang. Penyihir terkuat sekali pun tidak bisa memasuki gerbang sehingga mereka semua tidak tahu apa yang terjadi di dalam gerbang walaupun sebenarnya mereka begitu penasaran. Bahkan saat ini, para penyihir diseluruh dunia sedang memikirkan bagaimana caranya bisa masuk ke sana dan melihat isi di dalam gerbang untuk mereka teliti.

"Desiree Gate."

Winter hanya melirik Fernandes yang duduk dengan tenangnya di kursi sambil menyesap teh dengan nikmat. Sebelumnya, Winter sedang menikmati pemandangan di atas balkon sambil menghirup aroma teh kesukaannya sampai ia merasakan kehadiran seseorang di sekitar mansion miliknya. Winter pun mendengus ketika tahu bahwa tamu tidak diundang itu adalah Fernandes, malah dengan tidak tahu malunya, laki-laki itu ikut menikmati teh kesukaan Winter sambil memandangi Pohon Merah Ajaib yang memang terlihat jelas dari mansion milik Winter.

"Empat tahun sudah berlalu dan sekarang lah saatnya, kemunculan Desiree Gate" ucap Fernandes dan meletakkan cangkir tehnya di atas meja.

"Aneh sekali rasanya bahwa mulai sekarang hanya ada enam penyihir yang mengundang enam manusia terpilih" ucap Fernandes lagi, tatapan matanya tertuju pada Winter yang asyik memperhatikan langit yang berawan.

"Bukankah kau seharusnya sibuk?" ucap Winter, menyesap tehnya tanpa sekali pun memandang Fernandes.

Fernandes tersenyum geli mendengar kalimat dingin dari Winter, "Kenapa kau sebegitu kerasnya ingin mengusirku? Seharusnya kau senang karena mansionmu ini kedatangan tamu" ucapnya lalu memperhatikan bagaimana Winter mulai menggerutu kecil.

"Pergilah sebelum Grace merecokimu dan merecokiku, mengira bahwa aku sengaja menahanmu disini dari pada melaksanakan tugasmu" ucap Winter sekarang dia menatap Fernandes yang hanya menghembuskan nafas pelan, tatapan matanya memperhatikan Pohon Merah Ajaib yang semakin diperhatikan malah terlihat begitu indah. Rasanya ingin sekali Fernandes pergi kesana tetapi dia tahu, tidak seorang pun yang bisa mendekati pohon besar itu.

Melihat bagaimana Fernandes menatap Pohon Merah Ajaib dengan tatapan memuja, Winter tahu jika laki-laki itu terpesona melihat keindahan pohon besar yang mempunyai daun dengan warnanya yang cantik. Siapa pun tidak akan bisa melepaskan pandangan dari pohon tersebut walaupun keberadaannya masih menjadi sebuah misteri. Winter bahkan betah duduk berlama-lama di balkon mansion hanya untuk memperhatikan bagaimana daun merah itu bergoyang dihembus oleh angin. Daun-daunnya seolah bergerak menyuruh Winter untuk mendekat.

"Mungkin sudah saatnya aku kembali mengerjakan tugasku" ucap Fernandes, Winter melihat laki-laki itu sudah berdiri dan menatap Winter dengan senyumannya yang manis.

Jika wanita lain melihat senyuman itu, mungkin mereka sudah jatuh pingsan. Winter sendiri masih betah duduk di kursinya, terlihat acuh tak acuh ketika Fernandes sudah berdiri, merapikan sedikit pakaiannya, bersiap ingin pergi dari mansion milik Winter.

"Ya, kau memang harus kembali bekerja, dan kau tahu bukan dimana pintu keluarnya?" ucap Winter, menyesap tehnya dengan nikmat, tidak tergerak sedikit pun memperhatikan Fernandes yang hanya bisa tersenyum maklum karena kelakuan Winter.

"Pintu keluarnya ada di bawah, berwarna cokelat dengan ukiran-ukiran aneh" jelas Fernandes dan melenggang pergi begitu saja meninggalkan Winter yang mendengus.

"Itu ukiran bunga sialan, bukan ukiran-ukiran aneh" gerutu Winter, tetapi dia memilih untuk abai saja, pemandangan di depan matanya lebih indah dilihat dari pada meladeni Fernandes yang sudah pergi.

Winter terkadang heran dengan Fernandes yang suka sekali berkunjung ke mansionnya. Lelaki itu juga bertingkah seperti dekat dengannya padahal sebenarnya Winter tidak terlalu menyukai Fernandes, si penyihir jelek yang suka tebar pesona dengan penyihir-penyihir lain. Winter hanya membiarkan Fernandes bertingkah sesuka hatinya karena Winter juga tidak mau menghabiskan tenaganya hanya untuk meladeni Fernandes.

"Hah, sepi sekali" gumam Winter, meletakkan cangkir tehnya di atas meja.

"Tidak ada salahnya berkunjung ke perpustakaan untuk membaca buku."

***

Suasana di menara sihir selalu ramai seperti biasa, begitu banyak penyihir yang hilir-mudik berjalan di lorong sambil membawa beberapa dokumen dengan terburu-buru bahkan berlari kecil. Mereka semua dikejar oleh waktu. Terlebih sebentar lagi tanggal 29 Februari, hari kemunculan Desiree Gate.

"Dari mana saja kau Fernandes?" omelan dari Grace langsung saja menyambut Fernandes ketika dia baru memasuki ruang pertemuan dimana kelima penyihir terkuat Desa Floradivia sudah berkumpul dan duduk sambil menatapnya.

Viona menatap Fernandes dengan tatapan sengit, gadis itu terlihat begitu kesal karena menunggu. "Kemana saja kau, sialan?!" serunya dengan suara keras sehingga terlihat urat-uratnya mencuat di leher, pertanda bahwa Viona sudah kepalang kesal dengan keterlambatan Fernandes.

"Sabar Viona, mungkin saja dia mempunyai keperluan yang mendesak, jangan marah seperti itu, kau bisa sakit kepala" ucap Benjamin, mencoba menenangkan Viona yang mendengus dan berusaha untuk tidak dipengaruhi oleh amarahnya walaupun tatapan matanya masih saja menatap marah Fernandes.

"Jangan bilang kau pergi mengunjungi Winter?" tanya Chloe dengan kedua lengannya bersidekap di depan dada. Gadis berambut pendek itu tentu tahu kemana Fernandes pergi jika dia terlambat datang ke ruang pertemuan.

Fernandes hanya mengedikkan bahunya lalu duduk di kursi terdekat, dia duduk di dekat Percy dengan jarak satu kursi. Pria tua itu duduk dengan tenang di kursinya sambil sesekali memainkan janggut panjangnya tanpa berminat sedikit pun dengan percakapan rekan-rekannya.

"Kenapa kau suka sekali pergi ke tempat mengerikan itu" ucap Grace dingin, dia pun duduk di kursinya dan mulai membuka dokumen yang ada di atas meja.

"Jadi, bisakah kita mulai pertemuan hari ini?" tanya Percy setelah dia berdehem kecil lalu menatap satu per satu rekan-rekannya yang sudah duduk dengan tenang di kursi masing-masing.

"Yeah, dan jangan terlalu lama" gerutu Viona, gadis itu mengusap rambut pendeknya ke belakang, kakinya mulai bergerak gelisah, pertanda dia tidak betah lama-lama berada di dalam ruangan.

"Tentu kalian semua tahu, bahwa tahun ini, tidak ada Winter bersama kita karena hukumannya, jadi, total manusia terpilih untuk tahun ini adalah enam orang. Bukankah kau pergi ke tempat Winter? Apa kau melihat ada perubahan di Pohon Merah Ajaib, Fernandes?" ucap Chloe membuka pertemuan hari itu, matanya tertuju pada Fernandes yang asyik bermain dengan jemarinya.

"Daunnya mulai meredup" jawab Fernandes sekenanya, dia masih asyik bermain dengan jemarinya sendiri, dia merasa jari kelingking kanan dan kirinya memiliki ukuran yang berbeda.

"Bukankah tanda-tanda kemunculan gerbang dengan redupnya daun Pohon Merah Ajaib?" tanya Bernjamin diangguki oleh Chloe tetapi alis gadis itu saling bertaut bingung.

"Bukankah daunnya meredup terlalu cepat?" celetuk Grace, dia mulai menghitung hari dan dia pun terlihat yakin, "Benar, seharusnya daunnya tidak meredup sekarang, apakah ada yang salah?" ucap Grace dengan lantang, dia menatap satu per satu rekannya yang mulai memikirkan sesuatu.

"Mungkin ada perubahan? Kita tidak bisa tahu apa yang dipikirkan oleh para dewa, contohnya seperti mengutuk dan menghukum Winter" ucap Percy dengan nada bercanda tetapi mereka semua tahu bahwa Percy serius dengan apa yang ia katakan.

Grace mendengus mendengar celetukan Percy, "Itu semua karena kesalahan yang ia perbuat sendiri. Tidak perlu merasa heran jika dewa murka kepadanya, mengutuknya dan bahkan menghukumnya, dia pantas mendapatkannya" ucap gadis bermata hijau itu, terdengar dingin dan tidak peduli. Dia malah merasa lega karena di ruang pertemuan ini dia tidak perlu melihat wajah menjijikkan milik Winter. Grace tentu muak melihat wajah itu setiap harinya mondar-mandir di hadapannya seakan sedang mengejeknya.

"Jaga ucapanmu, Grace" ucap Chloe dingin, menatap Grace yang hanya menyeringai tipis.

"Jadi, tujuan kita membuka pertemuan ini hanya untuk bertengkar tidak penting? Apa yang sebenarnya ingin kita bahas disini?" ucap Fernandes jengah disusul oleh Viona yang memukul keras meja dengan kepalan tangannya.

"SAMPAI KAPAN KITA MEMBICARAKAN HAL-HAL TIDAK PENTING INI, HAH?!"

"Ya ampun, gadis sialan ini, dia benar-benar mempunyai temperamen yang buruk, persis seperti ibunya" gerutu Grace sambil melirik sinis Viona.

"APA KATAMU BANGSAWAN MENJIJIKKAN?!" Viona meradang, tetapi Grace acuh saja karena dia tahu, pasti Benjamin serta Fernandes akan menghalangi tindakan Viona yang hendak memukulnya atau pun menebaskan pedang besar itu ke kepalanya.

"Ho ho ho, memang bagusnya kita sudahi saja pertemuan tidak berguna ini, daunnya meredup dengan cepat? Yeah, biarkan saja, biarkan mereka berbuat sesuka hati mereka, mempercepat munculnya gerbang, atau sebaliknya, aku tidak peduli, ho ho ho" ucap Percy sambil sesekali tertawa, pria tua itu mengelus janggut panjangnya dan dia sudah berdiri, melangkahkan kakinya menjauh meninggalkan ruang pertemuan.

"Viona, pertemuannya sudah selesai, ayo kita pergi dari sini" ucap Benjamin, berusaha menenangkan Viona yang mendengus kesal dan menatap Grace dengan tajam.

"Kau beruntung hari ini, nona, jangan salahkan jika suatu hari nanti, pedang besar ini menghunus jantungmu" desis Viona dan dia pergi dengan penuh kemarahan disusul oleh Benjamin yang tersenyum maklum kepada semua orang yang tersisa di ruang pertemuan.

Chloe menghembuskan nafasnya gusar, menatap sengit Grace yang hanya memasang wajah angkuhnya, seolah berkata bahwa dia tidak ada sangkut pautnya dengan semua kekacauan ini.

"Kau dan mulut tidak bergunamu itu" desis Chloe kesal, dia pun pergi disusul oleh Fernandes yang hanya bisa menggelengkan kepalanya kepada Grace.

Grace mendengus, "Gadis pemarah itu benar-benar menyebalkan."

***

"Hah, disini kau rupanya."

Near tentu mengenal pemilik suara tersebut, dia yang sedang menghitung jumlah buku di rak, menolehkan kepalanya dan mendapati sudah ada Charlotte di dekatnya, gadis dengan rambut merahnya itu membawa sebuah tas yang entah apa isinya. Charlotte menyodorkan tas tersebut ke arah Near yang menaikkan satu alisnya bingung, dia menatap tas tersebut lalu kembali menatap Charlotte yang menghembuskan nafasnya jengkel.

"Rachel, dia menyuruhku untuk membawakan ini untukmu" ucapnya, dengan tidak sabaran dia menyodorkan tas tersebut pada Near, seolah meminta Near segera mengambil tas yang ada di tangannya.

Near pun mengambil tas itu lalu melihat isinya. Dia hanya bisa tersenyum ketika tahu bahwa isinya adalah sebuah bekal. Sepertinya, Rachel tahu jika dia tidak makan dengan teratur. Semenjak Near berusia 16 tahun, dia memutuskan untuk hidup mandiri dan keluar dari panti asuhan. Rachel tentu saja tidak menerima keputusan Near, dia merasa 16 tahun adalah usia yang kecil untuk hidup mandiri walaupun Near mempunyai pekerjaan tetap di perpustakaan. Walaupun berat menerima keputusan Near dan membiarkan anak asuhnya itu hidup mandiri, Rachel tentu saja tetap memantau apa saja yang Near lakukan, dan bagaimana dia bisa tahu? Tentu saja Charlotte jawabannya. Dia meminta Charlotte untuk melihat dan mengawasi Near.

"Apa yang kau katakan pada Rachel sampai-sampai dia membawa bekal untukku?" ucap Near, meletakkan tas berisikan bekal tersebut di dekat rak.

Charlotte mengerjapkan matanya, "Aku tidak mengatakan apa pun" ucapnya, dia berusaha terlihat tidak mengerti apa yang sedang Near bicarakan membuat laki-laki itu hanya bisa terkekeh pelan.

"Baiklah~ anggap saja memang seperti itu" ucap Near dan Charlotte hanya berdehem untuk menghilangkan rasa gugupnya. Dia berharap bahwa Near tidak tahu kalau selama ini Charlotte mengawasinya karena permintaan Rachel, walaupun sebenarnya sejak awal Near sudah tahu. Tentu saja karena Charlotte tidak bisa menutupinya dengan baik.

"Kalau begitu, aku kembali bekerja" ucap Charlotte dengan tingkahnya yang terlihat kaku membuat Near tertawa di dalam hati.

"Oke" ucap Near, memperhatikan Charlotte yang perlahan mulai menghilang dari pandangannya.

Near menghembuskan nafasnya, memperhatikan tas yang saat ini sudah ada di tangannya. Dia pun memutuskan untuk meletakkan tas tersebut di lantai karena dia hendak kembali melanjutkan pekerjaannya.

"Dimana kau sembunyikan buku itu?"

Sampai sebuah suara membuat Near nyaris saja berteriak histeris. Near bahkan bisa mendengar suara detakan jantungnya sendiri karena rasa terkejut yang ia alami. Matanya membulat sempurna ketika tahu bahwa si pemilik suara itu adalah Winter, si penyihir paling kuat di Floradivia. Rasa terkejutnya membuat Near tidak sadar bahwa dia sedaritadi memegang dadanya sendiri.

"Ny-nyonya Winter?" ucap Near gelagapan, dia masih diselimuti oleh rasa terkejut karena Winter tiba-tiba saja sudah ada di dekatnya tanpa ada tanda-tanda sekali pun. Dia yakin jika penyihir itu menggunakan sihir teleportasi.

Winter sendiri berdecak karena merasa lelaki dihadapannya ini begitu lama menjawab pertanyaannya. Dia memutuskan untuk mencari sendiri buku yang ia yakini disembunyikan oleh si laki-laki yang masih saja berdiri kaku di tempatnya.

"Disini tidak ada, lalu dimana dia?" gumam Winter, matanya tidak lepas memperhatikan buku-buku yang ada di rak.

Near mengusap dadanya beberapa kali lalu menghembuskan nafasnya untuk menenangkan diri. Dia pun menatap Winter yang masih asyik dengan dunianya sendiri. Seperti biasa, penyihir itu mengenakan gaun hitam berenda, rambut kelabunya terlihat bersinar dan indah. Near pun memberanikan diri berjalan mendekati Winter.

"Emm, Nyonya Winter, anda ingin mencari buku apa?" tanya Near gugup, terlebih ketika tiba-tiba Winter berbalik dan menatapnya dengan mata kucingnya.

"Buku yang selalu kau baca."

Near menyerngitkan alisnya lalu teringat bahwa dia selalu membaca buku mengenai Penyihir Ivonna. Buku yang selalu disebut sebagai buku kuno dengan bau menyengat oleh Charlotte. Near pun langsung saja meminta Winter untuk berjalan mengikutinya, dia pun membawa Winter menuju rak buku yang memang terletak di sudut ruangan. Near mulai mengambil buku tersebut yang memang tersembunyi oleh buku-buku yang lain. Dia hendak memberikan buku tersebut kepada Winter sampai dia sendiri merasa bingung kenapa Winter ingin membaca buku tentang Penyihir Ivonna.

"Maaf, Nyonya Winter, kenapa anda, ingin membaca buku ini? Dan, bagaimana anda tahu tentang buku ini?" tanya Near hati-hati, dia menatap Winter yang terlihat jengkel karena ditanya ini-itu oleh Near sehingga laki-laki tersebut menelan ludahnya dengan gugup.

"Kau tidak perlu tahu, serahkan saja buku itu kepadaku, kau sudah membacanya bukan?" gerutu Winter dingin, mengulurkan tangannya, meminta Near untuk segera menyerahkan buku itu kepadanya.

Dengan setengah hati, Near menyerahkan buku tersebut kepada Winter. Dia memang sudah membacanya, tetapi dia tidak pernah lelah membaca ulang buku itu. Dia berharap bahwa Winter meletakkan buku itu di tempatnya semula dari pada diam-diam membawanya pulang dan tidak mengembalikannya. Sedangkan Winter menatap lekat buku bersampul hitam tersebut. Lalu dia melirik Near yang masih saja berdiri seperti orang bodoh dihadapannya.

"Kenapa kau masih ada disini? Sana, kembali lakukan pekerjaanmu" ucap Winter dingin membuat Near gelagapan dan langsung saja melesat pergi meninggalkan Winter.

"Dia benar-benar mengerikan" gumam Near, berharap jika Winter tidak membawa buku itu pulang ke mansionnya.

Winter sendiri memperhatikan Near yang berlari menjauh meninggalkannya. Winter mendengus lalu kembali memperhatikan buku yang ada di tangannya. Alisnya saling bertaut, mulai berpikir.

"Sepertinya, aku pernah melihat laki-laki itu?"

Bersambung