Ketika dia membuka matanya yang ia lihat pertama kali adalah betapa birunya langit hari itu. Tidak ada awan, melihat langit seperti melihat laut, biru. Sampai pada akhirnya, dia tersadar bahwa dia awalnya tertidur di dalam kamar, seharusnya ketika dia terbangun yang ia lihat adalah langit-langit kamarnya, bukan langit yang sebenarnya. Disaat itu lah dia menyadari bahwa dia terbaring di sebuah padang rumput yang luas.
Dia sudah berada dalam posisi berdiri, sejauh mata memandang, hanya rumput lah yang terlihat, tidak ada ujung. Dia hanya terdiam di tempat dia berdiri, lalu perlahan dia mulai menyadari seharusnya dia tidak perlu merasa terkejut seperti ini bukan? Dia selalu mengalaminya. Kenapa dia tidak pernah terbiasa dengan semua hal yang dialami selama ini?
Dia pun memutuskan untuk melihat keadaan disekitarnya. Tatapan matanya tertuju pada sebuah pohon yang tidak memiliki daun. Pohon tersebut terlihat kering, tua, dan bisa hancur kapan saja. Pohon itu selalu terlihat sama, dari kejauhan pohon tersebut terlihat kecil, dia tidak tahu apakah pohon tersebut ukuran sebenarnya adalah besar atau kecil. Dia tidak pernah bisa kesana. Ke tempat dimana pohon itu berada. Dia hanya bisa berdiri disini, sambil memandang kejauhan sebuah ujung yang tidak ia tahu berada dimana.
Dia tidak tahu sudah berapa lama dia berdiri seperti orang bodoh. Tatapan matanya kembali tertuju pada pohon tidak berdaun. Disana, dia melihat siluet seseorang, atau mungkin dua orang? Dia perlahan melihat jelas bahwa dari kejauhan, tidak jauh dari pohon, ada dua orang yang berdiri saling berhadapan.
Dia hanya bisa melihat seseorang yang berdiri mengarah kepadanya, tubuhnya tinggi, dia mempunyai bahu yang lebar dan tegap, pakaian yang ia kenakan terlihat bersinar, dia mempunyai rambut keemasan yang panjang, seseorang itu sedang berbicara dengan lawan bicaranya yang bertubuh pendek tetapi dia tidak bisa melihatnya dengan jelas.
Seseorang berbahu lebar tersebut menatap ke arahnya. Benar-benar ke arahnya. Dia hanya bisa terpaku ketika melihat seseorang itu mempunyai manik mata keemasan, terlihat bersinar dan mengerikan, tetapi anehnya, dia juga merasa nyaman, tatapan tersebut seolah mengatakan jika dia tidak bermaksud untuk membuatnya takut. Seseorang itu perlahan mengukirkan sebuah senyuman kepadanya, bibirnya terbuka hendak mengatakan sesuatu.
***
Kedua matanya terbuka, dan langit-langit kamarnya yang ia lihat. Dia langsung saja terbangun dan menatap nanar selimut yang ia kenakan untuk tidur. Perlahan, dia pun mulai membaringkan kembali tubuhnya ke tempat tidur, cahaya rembulan masuk menyinari kamarnya yang luas. Dia bisa melihat bahwa bulan terlihat begitu dekat, dia menatap lekat bulan purnama yang terlihat menyedihkan di matanya. Tiba-tiba saja dia merindukan seseorang. Dia pun menghembuskan nafasnya, kembali mengingat apa yang mimpikan.
"Apa-apaan itu…"
Dia kembali menatap bulan dan memutuskan untuk tidak melanjutkan tidurnya. Dia memilih untuk berjalan keluar dari kamarnya menuju balkon, memperhatikan bagaimana bulan ditemani bintang malam itu, langit bagai diselimuti oleh kain hitam pekat, beruntung bintang dan bulan menghiasinya, sehingga langit tidak terlihat mengerikan walaupun cahaya bulan tidak bisa menyinari seperti matahari.
Suara burung hantu terdengar saling bersahutan. Dia begitu heran karena beberapa hari ini, selalu terdengar suara burung hantu di dekat mansionnya. Memang, dia biasa mendengar burung hantu ketika malam hari, tetapi baru kali ini dia mendengar burung hantu begitu berisik seperti kicauan burung di pagi hari. Awalnya, dia mengabaikannya, tapi lama kelamaan dia juga kepikiran dan menjadi penasaran, terlebih ketika dia mendengar sebuah suara ketika burung hantu saling bersahutan seperti ini.
Dia pun memejamkan matanya, membiarkan kulit pucatnya merasakan dinginnya angin malam. Dia hanya berharap bahwa dia kembali mendengar suara yang sempat ia dengar tepat ketika para burung hantu saling bersahutan dengan berisiknya. Tetapi, dia tidak mendengar apa pun kecuali suara dersik angin. Dia menghembuskan nafasnya karena merasa apa yang ia lakukan begitu konyol. Seharusnya dia kembali melanjutkan tidurnya. Dia pun kembali menatap bulan purnama. Sudah beberapa hari ini dia tidak bertemu dengan Dewi Bulan. Kedua tangannya terkepal erat.
"Memang seharusnya aku lanjut tidur saja" gumamnya lalu berbalik masuk ke dalam mansion.
[Sampai bertemu di tanggal 29 Februari, sayang..]
Dia tertegun, dia berbalik dan mendapati hanya kelamnya malam yang menyambutnya. Suara itu kembali ia dengar dan para burung hantu tidak mengeluarkan suaranya lagi. Hening. Dan itu membuat dia berlari mendekati pembatas balkon hanya untuk melihat apakah ada seseorang disekitar mansionnya. Tetapi, tidak ada seorang pun. Nyatanya yang tinggal di Hutan Terlarang ini hanya dia. Dia juga memasang pelindung disekitar mansionnya sehingga dia tahu ada seseorang mendekati mansion miliknya.
'Suara siapa yang kudengar selama ini? Bukan dia kan?'
Dia pun menatap nanar langit malam yang terlihat menyedihkan di matanya. Memutuskan untuk masuk ke dalam mansion lalu kembali melanjutkan tidurnya.
***
{Sampai akhir hayatnya, tidak ada yang pernah mempercayai apa yang penyihir itu katakan. Mereka bagaikan lupa apa yang sudah dilakukan penyihir itu untuk menyelamatkan hidup mereka. Tanpa merasa bersalah, mereka mengusir penyihir cantik tersebut, si penyihir kuat yang selama ini melindungi desa dari malapetaka.
Sang penyihir hanya bisa menuruti keinginan penduduk desa. Dia pun pergi dari sana dan memutuskan menetap di Hutan Terlarang. Mengingat bahwa hutan tersebut dekat dengan desa, dia bisa memantau bagaimana keadaan desa setelah ia pergi. Si penyihir hanya takut, jika ada suatu hal yang mengerikan akan terjadi jika dia jauh dari desa. Walaupun penduduk desa telah mengusirnya, Desa Floradivia adalah tempat dimana ia terlahir dan tumbuh besar. Tanah kelahirannya serta ibunya. Dia tidak mungkin membiarkan desa tersebut hancur.
Namun, tidak ada kejadian aneh apa pun yang menimpa Desa Floradivia sampai pada akhirnya…}
Near menyerngitkan alisnya ketika dia tidak bisa membaca kelanjutan kalimat yang ada di dalam buku karena ternyata bagian dari kalimat tersebut hancur. Seperti ada yang membakarnya dengan sengaja. Dia membolak-balikkan kertas tersebut seolah berharap akan ada keajaiban jika dia melakukannya. Berharap jika bagian dari kertas yang dibakar akan muncul secara tiba-tiba. Tetapi, beberapa kali dia melakukannya, tetap saja tidak terjadi apa-apa. Dia hanya bisa memendam rasa penasarannya di dalam hati. Mau bagaimana pun, jika dia bertanya mengenai Penyihir Ivonna, semua orang pasti akan menghindari dan memintanya untuk tidak bertanya apa-apa lagi mengenai penyihir tersebut.
Near hendak membaca halaman berikutnya dan dia kembali menyerngitkan alisnya ketika tahu bahwa beberapa kata di dalam buku tersebut seperti dihapus. Dia pun membuka halaman berikutnya dan semuanya sama. Hanya ada beberapa kata yang bisa terbacan, sisanya seperti dihapus. Dia pun membuka halaman terakhir, dan hanya bisa mendengus ketika melihat hanya ada satu kalimat di halaman terakhir.
{Keajaiban itu ada dan dia akan datang seperti tamu yang tidak diundang.}
Near menutup buku tersebut dan meletakkannya kembali ke dalam rak, seperti biasa dia akan menyembunyikan buku tersebut dibalik buku-buku yang lain. Aneh rasanya ketika dia tahu bahwa dia tidak akan mendapatkan jawaban dari membaca buku ini tetapi dia tetap saja berusaha menyimpannya berharap bahwa tidak ada yang menemukan buku tersebut. Dia pun berdiri dan memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya yaitu menghitung jumlah buku yang ada di dalam rak.
"Psst! Near!"
Suara pelan itu membuat Near menolehkan kepalanya ke asal suara, dia melihat sudah ada Charlotte di dekat rak, sedang membawa kardus berisikan buku yang mungkin akan dibawa ke ruang daur ulang. Charlotte menggerakkan kepalanya seolah menyuruh Near untuk berjalan menghampirinya. Melihat Near sepertinya tidak mengerti maksud dari gerakan kepalanya tersebut, dengan putus asa Charlotte menyuruh Near untuk berjalan mendekatinya sambil sesekali dia melihat ke kanan dan ke kiri.
"Aku dengar dari Jake kalau Nyonya Winter dihukum oleh dewa dan asosiasi sihir!" bisik Charlotte kepada Near yang malah menyerngitkan alisnya.
"Lalu? Apa hubungannya denganku?" tanya Near membuat Charlotte menatapnya dengan jengkel.
"Tidak ada hubungannya denganmu, tetapi kau harus tahu karena selama ini kau selalu saja ketinggalan berita-berita penting. Bersyukurlah masih ada aku yang mau memberikan semua info penting kepadamu" ucap Charlotte dengan suara berbisik dan tak lupa menatap Near kesal.
Near menghembuskan nafasnya, sebenarnya dia tidak masalah jika dia ketinggalan berita atau apa pun itu karena dia juga tidak peduli dengan semua hal yang terjadi disekitarnya. Maka dari itu, dia terkadang heran jika Charlotte suka sekali menceritakan segalanya kepada Near dan malah memberikan sebuah berita yang mungkin bersifat rahasia kepadanya.
"Jangan sampai kau mengatakannya kepada orang lain Charlotte, aku rasa berita itu tidak boleh diketahui oleh orang lain" bisik Near kepada Charlotte dengan tatapan –Iya, aku tahu- kepadanya.
"Kau tidak kunjung pergi juga? Apa kau mau ketua memergokimu?" ucap Near membuat Charlotte langsung saja pergi ke ruang daur ulang.
Near menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Charlotte, dia memutuskan untuk kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Dia mengecek buku yang ada di rak lalu mencatatnya di sebuah kertas yang berisikan daftar-daftar buku serta jumlahnya. Near melakukan pekerjaannya dengan teliti dan beberapa kali dia mengecek di barisan rak yang sama sampai ia yakin dia tidak melewatkan sesuatu.
Hembusan angin yang cukup kencang membuat jendela perpustakaan yang cukup besar itu terbuka. Near terkejut karena suara jendela yang terbuka tersebut cukup keras, melihat bagaimana jendela tersebut terbuka lebar membuat Near memutuskan untuk kembali menutup jendela tersebut. Dia merasa heran karena kenyataannya, jendela perpustakaan merupakan jendela besar yang kuncinya terbuat dari sihir sehingga tidak sembarangan orang bisa membuka jendela tersebut bahkan angin kencang sekali pun.
Ketika Near hendak menutup jendela, dia lagi-lagi dibuat terkejut karena kehadiran seekor burung hantu yang bertengger di daun jendela. Burung hantu tersebut tiba-tiba saja terbang ke arah jendela yang terbuka lalu bertengger disana seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Near hanya bisa memandangi burung hantu yang saat ini mengeluarkan suaranya membuat Near tanpa sadar mengibaskan tangannya, mengusir burung hantu itu pergi karena suaranya pasti mengganggu pengunjung perpustakaan.
"Hei, kau harus pergi burung hantu, suaramu cukup mengganggu, kalau kau memang ingin berada disana, tolong jangan mengeluarkan suara apa pun" bisik Near sambil melihat kesana kemari, beruntung tidak ada petugas lain yang datang menghampirinya.
Bagaikan mengerti apa yang dikatakan Near, burung hantu tersebut tidak bersuara lagi. Dia hanya bertengger di daun jendela dengan menatap Near lekat membuat remaja 14 tahun itu bergidik ngeri karena mau bagaimana pun, mata burung hantu itu terlihat mengerikan. Melihat bagaimana burung hantu tersebut betah bertengger di daun jendela membuat Near melupakan pekerjaannya. Dia malah bersender di dekat jendela sambil memperhatikan langit yang cerah, awan-awan bergerak karena hembusan angin. Dia juga melihat kawanan burung terbang di atas langit.
"Sepertinya menyenangkan bisa terbang sebebas itu.." gumam Near, tanpa sadar dia mengukir sebuah senyuman, membayangkan jika dirinya memiliki sayap, pasti dia akan terbang kemana pun dia mau.
Tatapan mata Near tertuju pada burung hantu yang saat ini sedang memainkan sayap putihnya, "Hei, apa menyenangkan memiliki sayap? Apa kau tidak takut jika suatu hari nanti sayapmu akan rusak dan kau jatuh dari ketinggian, jatuh terhempas ke atas tanah lalu mati?"
Burung hantu tersebut menoleh menatap Near, matanya yang berwarna keemasan membuat Near tidak mau melepas pandangannya dari mata tersebut. Dia bahkan tidak merasa aneh karena burung hantu tersebut terlihat seperti mengerti akan apa yang Near katakan.
Near tertegun. Dia pun mengerjapkan matanya, dia terlihat gugup, dan tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Tubuhnya gemetar dan dia hendak kembali melihat burung hantu tersebut tetapi burung hantu itu telah terbang bersama hembusan angin. Near menatap lekat burung hantu yang saat ini telah menghilang dari pandangannya. Tetapi, dia tidak melupakan pengalaman yang ia alami beberapa detik yang lalu. Dia hanya bisa terpaku di tempat ia berdiri sampai pada akhirnya dia menutup jendela lalu menguncinya.
Dia berjalan menuju rak dan kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.
'Tidak mungkin burung itu berbicara bukan?'
Jantung Near bedetak kencang. Bukankah dia hidup di dunia yang dipenuhi oleh sihir, gerbang aneh di tengah hutan serta pohon besar dengan warna daun yang aneh? Lalu, kenapa dia malah ketakutan seperti ini ketika mendengar seekor burung hantu berbicara?
Near mengerjapkan matanya, dia menoleh ke arah jendela yang sebelumnya tadi terbuka dan sekarang sudah tertutup rapat. Lebih tepatnya terkunci. Near menundukkan kepalanya, menatap kedua tangannya dengan alis saling bertaut lalu kembali menoleh ke arah jendela. Dia kembali berjalan mendekati jendela, mengulurkan tangannya untuk meraih kunci dari jendela tersebut lalu membukanya.
Jendela itu terbuka lebar.
"Bagaimana…"
'Bukankah jendela ini dikunci oleh sihir?'
Near menutup jendela tersebut dan kembali menguncinya, dia memilih untuk tidak melanjutkan pekerjaannya, dia ingin pulang karena semua keanehan ini membuat jantungnya berdetak tidak karuan.
'Manusia biasa bahkan angin sekali pun tidak bisa membuka jendela itu, bahkan menguncinya pun juga tidak bisa, tapi kenapa…'
'Kenapa aku bisa melakukannya?'
'Dan, burung hantu itu…'
Near mengabaikan sapaan dari salah satu rekan kerjanya. Isi kepalanya begitu penuh sekarang.
["Kenapa juga aku harus takut?"'
"Dia benar-benar bisa berbicara.."
Bersambung