Chereads / Dunia Tanpa Lentera / Chapter 9 - Badai Api

Chapter 9 - Badai Api

Aku terbangun oleh suara kegaduhan yang datang dari luar rumah Veila.

Betapa rindunya aku mendengar kicauan burung dan keheningan hutan, aku terbangun dengan sedikit perasaan kesal, memangnya siapa yang berkelahi pagi-pagi begini?

Aku memicingkan mataku, lalu meregangkan tubuhku sebentar, baru setelah itu aku mendudukkan diriku.

Aku tadi malam tertidur di kursi panjang yang ada di ruang tamu, kelelahan setelah melakukan perjalanan panjang kami kemarin.

Aku menyadari ada dua bilah kaki menyembul dari balik kursi di sebelah kananku, aku lantas berdiri dan mencoba melihat siapa sosok yang berlindung di kursi itu.

Aku mendapati Roki disana, ia terlihat ketakutan, wajahnya terlihat pucat, ia duduk sambil memeluk kedua kakinya.

"Ada apa Roki?" Ucapku dengan lembut sembari duduk disebelahnya.

Ia tidak menjawab dan mengabaikan pertanyaanku.

Suara gaduh dari luar terdengar semakin keras, aku mulai menyadari kalau suara-suara itu datang dari seorang perempuan yang sedang berteriak marah-marah.

Aku mengalihkan pandangaku dari Roki dan mengintip ke luar jendela.

Aku melihat Veila, ia sedang berteriak-teriak marah kepada seseorang, aku tidak tahu itu siapa, tetapi, ia terlihat seperti seorang laki-laki, dan ia sekarang sedang menunduk sujud, sepertinya sedang melakukan semacam permohonan maaf.

Aku kembali melirik kearah Roki, sepertinya semua ini saling terhubung.

Astaga, jangan-jangan laki-laki itu ayahnya Roki?! Setelah menyadari hal itu, seketika ada rasa jijik dan kesal yang muncul di hatiku.

Aku berlari ke arah pintu depan dan membukanya dengan keras.

"Bajingan!" Teriakku.

Veila tersentak.

"Aira, Ini urusan keluargaku!" Balas Veila.

"Lalu aku apa tante?! Roki itu sudah kuanggap seperti adik sendiri!" Balasku, menerobos Veila dan mencengkram kerah baju laki-laki itu, memaksanya berdiri.

"Lihat mataku! Bedebah!" Aku menampar keras laki-laki itu.

"Sekarang lihat kedalam rumahmu!"

Laki-laki itu menolak untuk menoleh kearah rumahnya.

"Lihat kesana!" Bentakku.

Ia dengan enggan menoleh kearah rumahnya.

"Di dalam sana ada darah daging kamu yang hampir kamu bunuh!"

Ia tidak bereaksi, matanya sayu, seakan menandakan ia tidak peduli dengan anak itu.

"Jadi sejauh itu kamu peduli padanya?!" Aku mendorongnya mundur.

Ia terduduk menunduk, seakan sedang memikirkan tentang hal lain. Aku tidak melihat sedikitpun penyesalan darinya, mungkin ia bersujud-sujud memohon maaf kepada Veila agar tidak ditinggalkan olehnya. Betapa menyedihkannya laki-laki ini.

Aku perlahan mundur dan membiarkan Veila berbicara dengannya.

"Katakan padaku, tolong… apa alasanmu melakukan hal itu?" Teriak Veila.

Orang-orang mulai berkerumun disekitar kami, meskipun aku merasa sedikit tidak nyaman dengan kerumunan yang mulai terbentuk ini, tapi, rasanya laki-laki di depanku ini pantas untuk menerima pengadilan publik seperti ini.

Suami Veila tidak menjawab pertanyaan dari istrinya itu.

Veila terlihat semakin geram, ia lalu berjalan kearah sebuah Wagon.

Tidak berapa lama, Veila kembali membawa sebuah kantong kain kecil yang pada bagian atasnya diikat dengan sebuah tali.

"Apa karena ini? Jawab!" Bentak Veila lagi.

Suaminya dengan enggan menjawab "Iya."

Sepertinya amarah Veila memuncak, wajahnya sudah merah padam. Ia lalu membuka ikatan kantong itu dan melemparkannya jauh ke arah kerumunan.

Isi dari kantong itu adalah koin-koin, ada yang berwarna kuning keemasan dan beberapa lainnya ada yang berwarna putih.

Orang-orang yang berkerumun dengan serempak melompat mundur, lalu saling melihat satu sama lain, seakan mereka tidak yakin harus melakukan apa di situasi itu.

"Ambillah." Ucap Veila kepada mereka.

Orang-orang itu lalu dengan cepat mengambil koin-koin yang berserakan di tanah, beberapa bahkan hingga berkelahi memperebutkan koin-koin itu.

"Aira, hari ini kita akan pergi, persiapkan dirimu." Ucap Veila kepadaku sebelum berjalan masuk ke dalam rumahnya.

"Kemana?" Ucapku bingung.

"Ke tempat yang lebih baik." Balasnya datar.

Aku juga ikut masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan bedebah itu diluar tersungkur lesu, entah apa yang dia harapkan, namun, pandangannya matanya masih memandang jauh, seakan sedang membayangkan sebuah kehidupan lain di masa depan.

Setelah masuk ke rumah, aku langsung menutup pintu dibelakangku dan menguncinya.

Veila sedang memeluk Roki dengan erat, ia mengatakan banyak hal untuk menenangkan anaknya itu.

Aku kali ini tidak ingin ikut campur, aku rasa hanya Veila lah yang dapat menenangkan Roki disaat-saat seperti ini. Melihat sosok yang berusaha membunuhnya, menyeretnya dari mulut hutan hingga jauh ke tengah rerimbunan pepohonan hutan, meninggalkannya sendirian disana, kedinginan, dikelilingi binatang buas, dapat mati kapan saja, tanpa pertolongan, hanya keajaiban yang dapat menyelamatkannya.

Untuk seorang anak kecil mengalami semua itu, aku dapat memahaminya, lagipula, aku juga ditinggalkan oleh kedua orang tuaku, namun, mereka meninggalkan banyak hal, alat-alat bertahan hidup, sebuah rumah untuk bernaung dan kembali, pengetahuan, meskipun hutan Niri menyeramkan, namun, berkat tulisan-tulisan orang tuaku, aku dapat dengan mudah menghindari bahaya dan beradaptasi dengan lingkunganku.

Untuk mengalihkan pikiranku, aku mulai menyiapkan barang-barangku, memasukkan hal-hal penting yang mungkin akan kami gunakan ke dalam tas coklat milikku, dan merapihkan isinya.

Aku tidak dapat mendengar tangisan Roki lagi, sepertinya ia sudah lebih tenang sekarang. Karena lelah juga menyiapkan barang-barang untuk perjalanan, aku merebahkan diriku di kursi panjang yang ada di ruang tengah.

Roki dan Veila lalu menyapaku dan mereka langsung lanjut berjalan ke dalam kamar Veila. Sepertinya mereka juga sudah mulai bersiap-siap juga untuk perjalanan nanti.

Aku lantas hanya berbaring menunggu mereka berdua untuk selesai melakukan persiapan mereka, terkadang aku melirik ke luar, melihat dengan perasaan jijik lagi laki-laki yang sedang duduk menyandar di salah satu roda kayu Wagon miliknya itu, pandangannya kosong menatap ke arah langit.

Kerumunan yang awalnya berkumpul di depan rumah Veila kini sudah mulai membubarkan diri mereka, hanya ada beberapa yang bertahan, entah apa alasan mereka. Mungkin mereka sedang menerka-nerka apa yang sedang terjadi, kalau aku jadi mereka aku juga akan penasaran dengan apa yang barusan terjadi. Veila yang tiba-tiba saja menghamburkan koin-koin berharga ke arah mereka, keributan antara seorang suami dan istri, lalu seorang perempuan tidak dikenal yang tiba-tiba saja menampar laki-laki itu, siapa dirinya? Kenapa dia ada disini? Aku yakin mereka semua penasaran dengan semua itu dan mulai membuat asumsi-asumsi mereka sendiri.

Ada keinginan untuk meluruskan apapun yang mereka pikirkan, tapi, untuk apa juga aku melakukan itu? Toh ini masalah antara Veila dan suaminya, aku juga bukan penduduk sini, sebentar lagi kami akan pergi dari sini juga, aku tidak perlu membuang tenagaku untuk mencari pembenaran dari mereka.

Aku masih menatapi warga-warga diluar yang sedang saling berbisik satu sama lain di depan rumah Veila. Tidak berapa lama kemudian terdengar ketukan dari arah pintu depan, aku tidak tahu siapa yang mengetuk jadi aku mengintip dari jendela depan.

Ternyata Fajra yang mengetuk pintu, mata kami sempat bertemu saat aku mengintip dari dalam. Ia terlihat risau, khawatir dengan keadaan yang telah terjadi, memang, pada saat pertengkaran terjadi tadi, tidak ada satupun penjaga kerajaan yang hadir untuk melerai, jadi aku rasa Fajra ingin tahu akar dari keributan yang telah terjadi.

Aku membuka pintu depan dengan perlahan.

Fajra langsung mengarahkan matanya ke segala arah.

"Veila sedang ada di kamarnya, apa perlu aku panggilkan?" Tanyaku.

"Tolong ya." Balas Fajra.

Sangat sopan sekali cara bicaranya.

"Tunggu sebentar kalau begitu." Balasku.

Aku beranjak ke kamar Veila, lalu memberitahunya kalau Fajra sedang menunggunya di depan rumah.

Tidak lama, Veila keluar dari kamarnya dengan membawa sebuah tas besar dan menaruhnya di ruang tamu, ia kemudian berjalan ke pintu depan untuk menemui Fajra.

"Ada apa?" Tanya Veila ketus.

Aku dapat melihat wajah Fajra terlihat takut walaupun hanya sebentar saja. Sepertinya ia tahu bahwa Veila sedang tidak dalam suasana hati yang baik, ia terlihat ragu untuk membuka mulutnya.

"Maaf, tapi, saya tadi mendapat laporan keributan dari salah satu warga, apa itu benar?" Tanya Fajra.

"Benar, tapi, itu urusan keluargaku, prajurit kerjaaan sebaiknya tidak usah ikut campur." Jawab Veila singkat.

Wajah Fajra terlihat kesal, tetapi, ia tidak dapat membalas perkataan Veila itu dan hanya dapat pergi dengan wajah tertunduk.

Melihat Veila sepertinya sudah mengepak seluruh barang yang ia dan Roki perlukan, sepertinya sebentar lagi perjalanan kami akan dimulai.

"Jadi kita mau ke mana tante?" Tanyaku.

"Klein." Balas Veila singkat sambil berjalan kembali menghampiri tas besar miliknya.

"Klein? Klein yang itu?" Tanyaku.

"Iya, ibukota Kerajaan Timur, Klein."

"Kita akan kesana?!" Tanyaku heboh.

Aku hanya pernah membacanya, Klein ditulis sebagai tempat yang sangat-sangat luar biasa, tidak hanya ramai, kota yang luas dan megah dengan sebuah kastil besar yang menjulang tinggi di tengah-tengah kotanya.

"Iya, kenapa? Kamu tertarik?"

"Aku pernah membacanya! Itu sebuah kota yang hebat kan?"

"Ahahaha, kamu lucu pada saat-saat seperti ini ya."

"Tidak ada salahnya kan? Aku jadi tidak sabar ingin kesana."

"Iya iya, kita akan kesana, tentang hebat atau tidak, itu aku serahkan padamu."

Aku tahu Veila sedang menghadapi konflik besar dalam hidupnya, namun, aku juga tidak dapat menahan rasa gembira, sampai-sampai aku mulai melompat-lompat kecil.

Klein ya… aku akan benar-benar ke tempat itu? Rasanya tidak akan pernah terbayangkan olehku. Tempat yang sering sekali orang tuaku ceritakan, dimana mereka bertemu dengan orang-orang baru dan unik, sebuah kota yang selalu mereka kunjungi saat mereka melewati daerah yang dekat dengan kota itu.

"Terima kasih! Haaa!!" Ucapku sembari memeluk Veila.

"Kamu ternyata masih seorang anak kecil ya." Ucapnya lembut kepadaku.

"Hmm?" Tanyaku.

"Tidak apa." Balasnya.

Aku senyum-senyum sendiri saat memikirkan kalau aku akan pergi ke kota Klein.

Dengan perasaan bahagia, aku keluar dari rumah Veila dan memberitahu Bara dan Fana tentang ini.

"Bara! Fana! Kita akan ke Klein!" Ucapku antusias.

Mereka berdua menatapku sebentar lalu kembali ke rutinitas mereka, saling bermain berkelahi satu sama lain. Sepertinya mereka tidak terlalu tertarik untuk pergi ke Klein.

"Kalian tidak tertarik?" Tanyaku.

Bara hanya mengendus dan Fana hanya mengeluarkan suara lenkingan tinggi.

Sepertinya mereka benar-benar tidak tertarik, tidak apalah, yang penting aku bahagia akhirnya bisa ke kota itu.

Aku berjalan kembali ke rumah Veila untuk mengambil tas milikku, lalu membawanya keluar. Tidak lama setelah itu Veila dan Roki menyusulku keluar dari rumahnya sambil membawa tas besar miliknya dan menaruhnya di Wagon milik suaminya itu.

Aku mendekati Veila.

"Kita akan menggunakan ini?" Tanyaku.

"Iya." Balas Veila.

Aku melirik kearah Roki, Wagon inilah yang mengantarnya ke ambang pintu kematian, aku yakin ia pasti sangat takut sekarang.

Benar saja, wajahnya terlihat tidak enak, mungkin beberapa saat lagi dia akan muntah.

"Apa tidak apa-apa Roki menaiki ini?"

"Semoga saja, aku juga tidak yakin." Jawab Veila.

Aku menghadap kearah Roki.

"Kamu tidak apa-apa?" Tanyaku.

"Tidak apa-apa kak, aku bisa kok." Balasnya.

Meskipun dipenuhi dengan keraguan mendengar jawabannya, aku terima saja dulu apa yang dikatakan Roki. Aku tahu dia anak yang kuat, tetapi, apakah dia akan sekuat ini? Dia juga masih seorang anak kecil.

Sementara itu, Suami Veila masih saja bersandar di salah satu roda kayu Wagon ini, ia sepertinya tidak ingin membiarkan Veila pergi meninggalkannya.

Veila kemudian mengambil beberapa koin emas dari kantong kain yang dibawanya lalu melemparkannya kepada suaminya itu.

"Untuk apa?" Tanya suaminya.

"Untuk Wagon ini, aku membelinya darimu."

"Tapi ini kan milik kita?"

"Tidak, kita sudah tidak lagi ada, apa yang kamu lakukan tidak akan pernah aku maafkan, terima saja koin-koin itu."

Lelaki itu terlihat enggan, tetapi, setelah berdiam lama, ia menerima koin-koin itu dan mulai berjalan ke rumahnya dengan kepala tertunduk.

Laki-laki yang menyedihkan.

Aku akhirnya bertemu dengan Kana, kuda yang Roki bicarakan.

Seekor kuda hitam yang benar-benar mengesankan, tubuhnya lumayan besar, ia bahkan harus menunduk sedikit agar kepala kami bisa bertemu.

Kana benar-benar kuda yang jinak, ia tidak menunjukkan perilaku yang agresif saat aku dekati, walaupun aku benar-benar orang asing baginya, ia tetap bersikap tenang dan ramah. Meskipun begitu, ia terlihat lebih nyaman saat bersama Roki dan Veila.

Roki dan Veila menaiki Wagon terlebih dahulu dan duduk di kursi depan. Sementara aku masuk ke gerobak belakang, kursi depan sudah penuh diisi oleh mereka berdua, toh aku lebih senang berada di belakang sini, atapnya yang terbuat dari kain dan kayu yang dibengkokkan membuat gerobak ini setidaknya jauh lebih nyaman daripada duduk diatas punggung Bara, setidaknya aku tidak perlu lagi kepanasan di siang hari.

Dengan kenyamanan itu ada juga hal lain yang ditukar, duduk di belakang sini sangat tidak nyaman, permukaannya yang rata, belum lagi perjalanan yang nanti pastinya akan berguncang karena jalan tanah yang dilewati tidak benar-benar rata. Berbeda dengan sebelumnya dimana aku dapat duduk diatas punggung Bara yang sangat-sangat empuk.

Aku menghela nafas panjang.

Mungkin aku memang tidak bisa mendapatkan semuanya ya, ada baik dan buruknya.

Bara sepertinya ingin ikut menumpang di dalam gerobak yang sama denganku, ia mulai mengecilkan tubuhnya dan melompat masuk lalu berbaring di sebelahku.

Aku mengelus-elus kepalanya.

Ia terlihat senang dan juga tenang pada saat yang sama.

Fana sayangnya tidak dapat ikut masuk ke dalam gerobak ini, ia terlalu besar.

Kursi depan dan gerobak belakang wagon ini hanya diabtasi sebuah tirai kain besar, tubuh Roki muncul dari tirai tersebut dan ia berkata kalau ibunya ingin berbicara denganku.

Aku beranjak ke kursi depan.

"Bagaimana? Kamu suka?" Tanyanya.

"Lumayan, hanya sedikit tidak nyaman saat duduk."

"Ahaha, sedikit itu akan jadi banyak nanti saat kita mulai berjalan."

"Ya, aku rasa begitu."

"Oh ya, kamu sudah bertemu dengan Kana kan?"

"Ah, sudah, dia benar-benar ramah."

"Nah, kalau begitu aku perkenalkan Zabu, dia lebih dingin jika dibandingkan Kana."

"Zabu?"

"Iya, Familia milikku."

Veila kemudian turun dari gerobak dan mulai berjalan ke sebelah Kana.

Aku ikut turun mengikutinya.

"Zabu, perlihatkan dirimu." Ucapnya.

Sesuatu berwarna putih mulai muncul di belakangnya.

Seekor harimau putih.

Zabu adalah seekor harimau putih!

Wajahnya yang garang dan dipenuhi dengan garis-garis lengkung sangat mengintimidasiku.

Zabu mengeluarkan geraman panjang.

Aku mulai menjaga jarak dengannya.

"Tolong dimaklumi ya Aira, Zabu… dia…"

"Dia?"

"Anggap saja dia pernah memiliki pengalaman buruk dengan manusia."

"Ah… baiklah."

"Senang bertemu denganmu Zabu." Ucapku sembari mencoba untuk membuat senyum di wajahku.

Zabu menundukkan kepalanya.

Aku membalasnya dengan membungkukkan badanku.

Veila lalu menepuk bahu Zabu dua kali.

Tubuh Zabu mulai terlihat transparan dan beberapa saat setelahnya benar-benar menghilang dari penglihatanku.

Veila kembali berjalan ke Wagon dan duduk di kursi depan.

Aku duduk di sebelah Veila.

"Kekuatan Zabu…"

"Iya, dia dapat menghilang, mirip seperti kamuflase."

"Menakjubkan."

"Begitulah, ia dapat diandalkan."

"Sayang sekali aku terlalu percaya dengan suamiku." Tambahnya.

"Kalau saja aku meminta Zabu untuk menemani Roki dan ayahnya di hari itu..." Tambahnya lagi.

"Mungkin Roki tidak perlu melalui hal-hal mengerikan itu."

"Sudahlah, yang sudah lalu biarlah berlalu." Ucapku.

"Kamu benar."

"Semuanya sudah siap?" Tanya Veila ke gerobak belakang.

Roki mengangguk, begitu juga Bara.

Veila mengambil tali yang menghubungkannya dengan Kana dan menyentakkannya.

Kana mulai bergerak dan Wagon ini pun mulai berjalan.

Kami perlahan melewati gerbang desa, kini kami sudah benar-benar meninggalkan desa Han, jalan tanah yang baru saja aku lewati kemarin terlihat lagi.

Benar saja, jalannya yang tidak rata dan diisi dengan banyak lubang benar-benar tidak nyaman, belum lagi kursi depan yang aku duduki ini tidak dilindungi oleh atap kain seperti gerobak di belakang. Untungnya pagi ini matahari masih belum terlalu menyengat, sinarnya malah terasa hangat jadi aku masih bisa menikmati duduk di depan sini.

Aku akan menikmati kursi depan ini selagi masih bisa, saat siang nanti barulah aku akan pindah ke gerobak belakang, paginya saja sudah secerah ini, nyaris tidak ada awan yang terlihat, siang nanti tentunya tidak akan jauh berbeda.

"Jadi seberapa jauh Klein?"

"Dari sini?"

"Iya."

"Satu minggu."

"Tujuh hari?"

"Iya."

"Wah, jauh sekali."

"Perjalanan kita akan sangat panjang dari sini."

"Sepertinya begitu, tujuh hari itu lama sekali."

"Haha, tidak jika kamu menikmatinya."

"Benar juga, semoga saja aku dapat menikmati perjalanan ini."

"Aku juga harap begitu."

Tujuh hari lagi sebelum aku sampai ke Klein, aku jadi semakin tidak sabar saat memikirkannya.

Bukan hanya tertarik dengan betapa luasnya kota itu, aku juga memiliki kesempatan lebih baik untuk mencari tahu tentang kedua orangtuaku. Gartha, ayahku itu seorang pengembara, ia sudah menulis banyak buku, terutama tentang perjalanannya. Di dalam bukunya ia biasanya menulis dengan jelas apa yang telah ia lakukan, kemana ia pergi, apa yang ia temukan, seperti apa nama desa atau kota yang baru saja ia kunjungi, bagaimana orang-orang di dalamnya, serta sebuah peta yang dibuatnya sendiri, dan lebih banyak lagi. Anggap saja buku-bukunya sangat penting untuk dimiliki dan ditelaah oleh orang-orang di Serendrum.

Nah, setahuku Klein memiliki salah satu perpustakaan terbesar di seluruh Serendrum, aku ingat ayahku dulu pernah berbicara soal seberapa bangganya dia saat buku perjalanannya disimpan di perpustakaan terbesar Klein.

Jika aku ingin menemukan orang tuaku, menemukan tulisan dari ayahku merupakan kesempatan terbaikku untuk mengetahui kemana mereka pernah berkelana, lalu dari informasi itu aku akan melacak dan mendatangi tempat-tempat yang mereka pernah kunjungi.

Rencanaku barusan memang sangat bergantung pada keberuntungan, tapi, setidaknya kesempatanku untuk menemukan mereka tidak nol.

Selama aku masih menemukan cara dan kesempatan, sekecil apapun itu, aku akan mengambil kesempatan itu.

Setelah beberapa lama, aku memutuskan untuk masuk ke gerobak belakang, cahaya matahari sudah mulai terasa panas.

Aku menghabiskan hariku duduk di gerobak belakang, tidak banyak juga yang aku bisa lakukan disana, jadi aku hanya menatap ke belakang kami, dimana aku dapat melihat Fana yang berjalan sendirian di jalan tanah dan pemandangan hutan-hutan di kejauhan.

Kadang aku dapat melihat wagon-wagon lain yang melintas, mereka biasanya mendahului kami, sepertinya mereka ingin cepat sampai ke tujuan mereka. Kami jelas berjalan lebih lambat dari gerobak-gerobak lainnya, saat aku tanya Veila tentang itu, ia menjawab kalau itu untuk mengurangi guncangan saat kami melewati jalan berkerikil atau berbatu. Roki sendiri sekarang sedang bermain dengan mainan kayunya yang di pahat mirip seperti Zabu.

Roki menggerakkannya di udara sambil menatap ke padang rumput luas yang terhampar di sekitar kami, mungkin ia sekarang sedang membayangkan harimau itu berlari-lari diantara padan rumput dan mengawasi kami dari jauh. Mungkin juga harimau itu sedang melawan monster-monster yang hanya Roki bisa lihat. Apapun itu, Roki terlihat senang melakukannya, aku kadang iri dengan dirinya yang penuh dengan imajinasi itu.

Diluar dari menatap pemandangan, aku hanya merebahkan diriku dengan bersandar ke tas besar milikku, walaupun tidak terlalu empuk, tapi setidaknya lebih baik daripada bersandar ke kayu gerobak yang keras.

Tanpa aku sadari sore sudah menyapa, Roki sudah tidak lagi memainkan mainan kayunya dan merebahkan dirinya di lantai kayu gerobak. Aku sempat menawarkan Roki untuk menggunakan tas milikku sebagai bantal, sayangnya tasku terlalu besar dan tidak sesuai dengan tubuh Roki yang pendek, kepalanya akan tertekuk jika mencoba menggunakan tasku sebagai sandaran kepalanya. Aku awalnya ingin meminta bantuan Bara untuk menjadi sandarannya, tetapi, Bara sejak awal perjalanan tadi terus tertidur dan aku merasa tidak nyaman untuk membangunkannya.

Aku beranjak ke kursi depan untuk menemani Veila. Terik matahari sudah tidak lagi menyengat dan digantikan dengan semilir angin lembut khas sore hari. Cahaya matahari yang mulai berubah menjadi warna oranye di kejauhan terlihat siap untuk tenggelam diantara pepohonan hutan yang juga jauh disana.

Rasanya seperti bermimpi saat melihat pemandangan ini.

"Jadi, bagaimana?"

"Perjalanannya?"

"Itu juga bisa."

"Lumayan, hanya saja tidak ada yang bisa aku lakukan di belakang."

"Begitukah? Mau bergantian denganku? Kamu bisa melihat bokong Kana selama yang kamu mau dari sini."

"Ahahaha, tidak tidak, di belakang sangat menarik, aku sungguh sangat menyukainya."

"Hmm… iya begitu? Aku jadi ingin ke belakang juga jadinya."

"Lalu siapa yang akan mengawasi Kana?"

"Dia kuda yang mandiri, aku percaya padanya."

"Aku merasa lebih aman mengetahui kalau ada yang mengawasi Kana."

"Baiklah baiklah, jangan terlalu serius begitu."

"Habisnya, aku jadi khawatir kan."

"Bukannya ada hal lain yang harusnya kamu lebih khawatirkan?"

"Apa itu?"

"Apa rencanamu selanjutnya?"

"Itu… Aku akan mencari orang tuaku."

"Oh ya? Orang tuamu hilang memangnya?"

"Erm… bukan hilang, mereka pergi, dan tidak kembali."

"Jahat sekali!"

"Tidak, tidak, aku percaya mereka tidak akan melakukan hal seperti itu tanpa ada alasan."

"Mungkin aku bisa membantu, lagipula aku dulunya bekerja di Klein dan memiliki beberapa kenalan."

"Aah! Benarkah? Kalau begitu mohon bantuannya, aku awalnya hanya ingin mencari tulisan ayahku di perpustakaan Klein."

"Rencana yang cukup berani, memangnya orang tuamu menulis apa?"

"Buku tentang petualangan mereka."

"Jadi mereka pengembara ya. Kalau begitu boleh tau nama mereka? Mungkin aku mengenalinya."

"Gartha dan Lilian."

"Hmm… begitu ya."

"Hmm? Sebentar, siapa katamu nama kedua orang tuamu?"

"Gartha dan Lilian, kenapa?"

"Demi Dewi! kedua orang itu benar-benar orangtuamu?!"

Veila terlihat terkejut, sepertinya ia mengenal mereka.

"Tante kenal dengan mereka?"

"Bukan hanya aku, mungkin empat kerajaan dan padang tengah sudah mengenal nama mereka berdua."

"Sepertinya banyak orang yang mengenal mereka."

"Sangat banyak, ayahmu itu ya, dia seorang pengembara ulung."

"Syukurlah, itu akan membuatku lebih mudah untuk melacak mereka."

"Sepertinya begitu… hmm… tapi, kamu sebaiknya jangan menyebut nama mereka lagi di depan orang lain."

"Kenapa?"

"Ibumu."

"Kenapa dengan ibu?"

"Ia seorang pembawa cahaya."

"Pembawa… cahaya?"

"Iya, mereka yang memiliki kekuatan cahaya biasanya disebut sebagai pembawa cahaya."

"Kalau begitu berarti aku pembawa cahaya juga."

"Aku tidak terkejut jika kamu juga begitu, keturunan mereka pasti akan mewarisi kekuatan mereka."

"Lalu, kenapa aku tidak dapat mengucapkan nama ibuku di depan orang lain?"

"Pembawa cahaya itu diburu di seluruh penjuru Serendrum."

"Kenapa begitu?"

"Karena Antares."

"Antares? Apa itu?"

"Kamu tidak tau mereka? Wah, jadi mereka itu organisasi yang berada di bawah naungan Lentira, mereka memburu para pembawa cahaya atas perintah Dewi mereka."

"Lalu… kenapa ibuku pergi meninggalkan rumah kami? Sebuah tempat aman yang jauh dari ancaman mereka."

"Sayang sekali Aira, sama sepertimu, aku juga tidak tau kalau tentang hal itu."

"Tapi, aku yakin kedua orang tuamu memiliki alasan mereka sendiri."

Veila tersenyum lalu menepuk bahuku.

Ada perasaan sedih, tapi, juga ditemani dengan rasa nyaman, mungkin karena aku setidaknya tahu kalau kedua orang tuaku bukanlah orang yang jahat.

Angin semilir yang awalnya terasa nyaman kini mulai berganti menjadi angin malam yang dingin.

Malam itu aku bergantian dengan Veila untuk berjaga di kursi depan, ada perasaan aman kalau Zabu berada di sekitar kami, mengintai dan menjaga kami dari ancaman-ancaman yang mungkin membahayakan kami.

Aku tidur di gerobak belakang pada saat bulan sudah tinggi di atas, Veila yang sudah tidur semenjak malam mulai menyapa menggantikan posisiku. Meskipun aku tidur di lantai kayu, aku dapat tidur dengan tenang.

Hari kedua perjalanan kami diawali dengan pagi yang cerah sama seperti hari sebelumnya, kami sudah berjalan cukup jauh semenjak kemarin. Besok hari seharusnya kami sudah sampai di desa selanjutnya.

Kata Veila kami akan berkunjung ke desa itu hanya untuk beristirahat.

Veila juga memberitahuku kalau desa-desa biasanya memiliki penginapan kecil bagi para pengembara dan pedagang, karena mereka biasanya berjalan jauh dari satu tempat ke tempat lainnya.

Aku senang mendengarnya, aku tidak harus lagi tidur di lantai kayu gerobak yang rata ini.

Kami menepi ke rerumputan untuk memakan sarapan.

Veila menyusun bebatuan membentuk sebuah tungku kecil, ia lalu memasukkan rerumputan ke dalam tungku kecil itu dan mengeluarkan secarik kertas berwarna merah.

Veila memegang kertas itu dengan kedua jarinya, ia diam sebentar dan tiba-tiba saja kertas itu mengeluarkan api di ujung-ujungnya.

Aku terkesima, kekuatan sihir apa itu barusan? Aku belum pernah melihatnya.

"Ini kertas sihir, tipe api." Ucap Veila sambil memasukkan kertas itu ke bawah tungku.

"Bagaimana cara memakainya?"

"Kamu pegang kertas itu, lalu alirkan energimu ke kertas itu."

Aku mengambil salah satu kertas yang ada menggunakan tangan kananku.

Kali ini kertasnya berwarna hijau.

Aku memegang kertas itu dengan erat dan mulai mengalirkan energiku kesana. Cahaya hijau mulai merekah di kertas itu dan cahayanya mulai bergerak dan berjalan menaiki tanganku hingga ia berhenti di pundak kananku. Kekuatan yang sama seperti Veila, cahaya yang hangat dan menenangkan.

"Wah hebat sekali! Bukannya dengan ini aku bisa menggunakan banyak tipe sihir?" Tanyaku.

"Bisa, hanya saja tidak terlalu berguna saat digunakan untuk bertarung."

"Karena efeknya yang tidak begitu kuat?"

"Begitulah, kertas api ini hanya aku gunakan untuk menyalakan api."

"Tapi kertas hijau ini punya efek yang lumayan besar."

"Itu karena kertas yang kamu gunakan barusan sudah aku infusi dengan sihirku sebelumnya, itu membuat efeknya jadi sedikit lebih kuat."

Aku hanya mengangguk, infusi itu apa? Bagaimana cara melakukannya? Tapi, aku terlalu lapar untuk menanyakan dan memikirkan hal-hal seperti itu.

"Begitulah, jika di medan perang lebih murah menyewa penyihir tipe tertentu daripada membeli banyak kertas-kertas sihir ini."

Veila membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah panci kecil, ia lalu menuangkan minyak dari botol kayu ke panci itu, sementara Roki membuka sebuah kotak kayu yang berisikan beberapa potong ayam. Aku sendiri memeriksa daging-daging sisa milikku, namun, dagingnya sudah tidak layak lagi untuk dimasak, sayang sekali, aku kemudian memutuskan untuk meninggalkan daging-daging itu disini.

Makanan pagi ini tidak ada yang berbeda, rasanya sama seperti ayam goreng yang biasanya dibuat oleh ibuku dulu. Setelah selesai sarapan dan merapihkan barang-barang, kami pun melanjutkan perjalanan.

Bara, Fana, dan Zabu juga ikut memakan sarapan bersama kami tadi, rasanya sangat ramai saat kami semua berkumpul seperti itu.

Siang menyapa, tapi, terik matahari kali ini tidak terlalu menyengat, ada banyak awan-awan putih yang melintasi kami jadi aku memutuskan menemani Veila di kursi depan.

Aku mulai menanyakan tentang bagaimana ia bertemu Zabu, Veila menceritakannya dengan detail pertemuannya itu.

Veila mendapati Zabu dibelenggu di sebuah tempat yang menjual 'barang hidup', dimana mereka memperjualkan monster-monster dan budak-budak manusia kepada pembeli yang dapat membayar dengan harga yang sesuai.

Tentang bagaimana Zabu hingga bisa tertangkap itu bukan urusan Veila, saat itu Veila merupakan salah satu pekerja kerajaan yang bekerja di bidang pertahanan. Melihat Zabu yang dibelenggu dan dijual, Veila memutuskan untuk membelinya, karena jika Zabu jatuh ke tangan orang yang salah, kerusakan yang dapat ditimbulkannya sulit untuk dapat dibayangkan. Dengan alasan itu Veila membeli Zabu dari tempat lelang barang hidup itu dan menjadikannya Familia melalui kontrak khusus, kontrak itu membuat Zabu dapat lebih mudah mengikuti perintah-perintah Veila.

Diluar dari kontrak Familia, Veila berkata ada satu lagi kontrak yang dapat memaksa monster atau binatang buas untuk sepenuhnya memenuhi perintah tuannya, kontrak itu disebut dengan kontrak Familiar, berbeda dengan Familia yang menjadikan monster itu kurang lebih menjadi bagian dari keluarga tuannya, sedangkan kontrak Familiar lebih mirip hubungan antara budak dengan tuannya.

Zabu biasanya melakukan misi-misi pengintaian bersama Veila, dengan kemampuan kamuflasenya, Zabu dapat dengan mudah menyelinap ke berbagai tempat tanpa terdeteksi. Belum lagi kalau mengingat bahwa dia merupakan seekor harimau dengan tubuh yang cukup besar, ditemani oleh insting berburu serta kemampuan bertarung yang cukup mumpuni, Zabu tidak dapat diremehkan.

Tahun berlalu dan hubungan antara Zabu dan Veila semakin erat, karena satu dan lain hal Veila akhirnya memutuskan untuk berhenti bekerja di bawah kerajaan dan meminta kepada kerajaan untuk membawa Zabu pergi bersamanya, karena reputasinya yang baik sebagai pengabdi kerajaan, permintaan Veila dikabulkan.

Veila kemudian mulai bercerita tentang suaminya, ia awalnya orang yang baik dan jujur. Mungkin memang benar uang dapat mengubah seseorang, belakangan, dagangan milik suaminya sepi pembeli dan ia tidak jarang pulang ke rumah dengan tangan kosong. Mungkin ada bagian dari diri suaminya itu yang mulai goyah karena tidak dapat membawa pulang sepeser uang pun bagi keluargnya.

Aku ingin bersimpati, tapi, rasanya aku tidak bisa, aku tidak mengetahui siapa suaminya itu sebelum ini, dan aku juga jelas tidak bisa bersedih kepada seseorang yang membuang dan meninggalkan anaknya sendirian di tengah hutan.

Aku merasa kalau keadaanku sekarang mirip dengan keadaan Roki, hanya saja aku tidak dibuang, melainkan kedua orangtuaku meninggalkanku dengan suatu alasan tertentu, aku yakin akan itu.

Jika kuhubungkan dengan pernyataan Veila sebelumnya mengenai Antares, mungkin saja mereka meninggalkanku di dalam hutan Niri untuk melindungiku dari ancaman organisasi itu. Pada akhirnya aku tidak dapat mengetahui dengan jelas alasan mereka meninggalkanku di hutan itu, satu-satunya cara untuk menjawab keresahanku itu adalah untuk bertemu dengan mereka dan menanyakannya secara langsung.

Hari kedua berjalan dengan lancar dan pada malam harinya kami tidur lagi di dalam Wagon.

Hari ketiga, pagi kami berjalan sama seperti hari sebelumnya.

Tepat pada tengah hari, kami akhirnya mencapai Desa Jia, tempat dimana kami akan menginap untuk malam ini.

Desa ini tidak berbeda jauh dengan desa Han, bangunan yang disebut penginapan ini juga terlihat seperti rumah-rumah seperti biasanya kalau dilihat dari luar, hanya saja bangunan kayu ini sedikit lebih panjang dan lebar dari bangunan lainnya dan juga ada banyak jendela di sisi kiri dan kanannya.

Veila memesankan dua kamar untuk kami, satu untuk dirinya dan Roki, satunya lagi untukku sendirian.

Kamarku hanya berisi sebuah ranjang kecil yang hanya cukup diisi oleh satu orang, disisi kiri kamarnya terdapat sebuah meja dan kursi kayu, disebelah meja dan kursi itu juga terdapat sebuah lemari baju kecil. Tepat di sebelah ranjangku ada sebuah jendela yang langsung mengarah ke kandang kuda.

Karena kami datang pada siang hari, aku memutuskan untuk mengelilingi desa itu bersama dengan Bara dan Fana. Aku mendengar dari Veila kalau di dekat penginapan ini ada sebuah pasar, walaupun katanya kalau sudah siang seperti ini pasarnya sedikit sepi, tapi, setidaknya aku dapat melihat seperti apa sebuah pasar itu untuk pertama kalinya.

Aku berjalan mengikuti arahan yang terdapat di papan-papan penunjuk, setelah melewati beberapa belokan, aku akhirnya sampai ke tempat yang disebut pasar itu.

Seperti sebuah lorong panjang yang sulit untuk dilihat akhirnya, kios-kios kecil berjejer rapih di sisi kiri dan kanan jalan sempit ini. Aku melirik ke arah kiri dan kanan, memang banyak toko yang sedang tidak berjualan, mungkin mereka berjualan pada pagi hari saja dan tutup saat barang jualan mereka sudah terjual. Sisanya yang berjualan disini adalah pedagang-pedagang yang menjual barang-barang siap pakai, dari furnitur yang berukuran kecil hingga yang besar, lalu berbagai macam aksesoris tubuh, serta pakian-pakaian yang ditampilkan dengan rapih.

Aku hanya melihat-lihat sekilas ke sekeliling, beberapa aksesoris seperti anting dan kalung sempat menarik perhatianku, namun, aku yang tidak memiliki uang ini harus puas dengan melihat-lihat saja. Beberapa penjual sempat terlihat ketakutan saat aku mendekati mereka, mungkin karena mereka melihat Bara dan Fana yang mengikutiku, tidak sedikit dari mereka yang meminta untuk tidak dirampok, aku lantas berkata kalau aku tidak punya niat jahat dan hanya ingin melihat-lihat.

Sepertinya tidak jarang terjadi penjarahan disini, melihat reaksi mereka yang rata-rata ketakutan, aku jadi merasa kasihan kepada para penjual-penjual yang ada disini, kebanyakan mereka adalah orang tua, terlalu lemah untuk membela diri mereka sendiri.

Sayangnya aku tidak dapat melakukan apa-apa untuk mereka, besok pagi kami sudah harus berangkat lagi menuju Klein.

Setelah puas berputar-putar mengitari pasar kecil itu, aku kembali ke penginapan. Bara dan Fana aku tinggal di luar, mereka tidak dapat masuk karena peraturan yang ada di penginapan ini.

Aku merebahkan diriku di kamarku, sore berjalan dengan cepat dan saat malam menyapa aku sudah jauh lelap tertidur.

Hari keempat aku dibangunkan oleh Veila, matahari bahkan belum muncul di ufuk timur, tapi, Veila sudah menyuruhku untuk bersiap-siap.

Kami akhirnya berangkat pada subuh hari, udara masih sangat dingin dan kami mulai melewati jalan yang masih sepi.

Aku menanyakan kenapa kita terburu-buru seperti ini, Veila hanya menjawab kalau semakin cepat kita bisa berangkat lebih baik.

Ada benarnya juga perkataan Veila, tapi, kenapa harus pagi-pagi begini juga, aku menggigil kedinginan di gerobak belakang.

Bara tidak ikut ke dalam Wagon, ia berjalan di belakang mendampingi Fana. Mungkin setelah beberapa hari tidak bersama Fana ia jadi ingin berjalan dengan Fana, entah hanya karena rindu, atau juga karena ingin saling menjahili, sulit untuk tahu alasannya.

Aku kadang dapat melihat sosok Zabu berkeliaran di kejauhan, menjaga jaraknya dengan kami dan pandangannya tajam ke sekeliling.

Setelah berjalan cukup jauh dan diselimuti oleh angin dingin, akhirnya sinar mentari muncul dan hangatnya mulai menyentuh kulit putihku. Rasanya menyegarkan, mengingatkanku dengan rasa hangat saat aku memakan sup kentang yang hangat di tengah malam itu. Mungkin aku dapat mencoba untuk bangun lebih pagi dari biasanya, ini menyegarkan.

Aku berpindah ke kursi depan agar aku dapat menikmati lebih banyak sinar matahari pagi ini. Veila kemudian membuka sebuah bungkusan, isinya ternyata makanan, nasi dan ayam yang sepertinya telah digoreng. Aku menanyakan kapan Veila dapat waktu untuk memasak, Veila tertawa beberapa saat, lalu mengatakan kalau makanan ini ia pesan di penginapan itu sehari sebelumnya, jadi pagi tadi sebelum berangkat ia hanya perlu mengambil makanan yang sudah jadi itu. Sayangnya di kursi depan tidak ada tempat untuk menaruh makanan ini, aku jadi kembali ke gerobak belakang dan memakan sarapanku disana. Veila juga menitipkan porsi Roki kepadaku, aku lantas memberi makanan itu kepada Roki yang sedang bersandar ke dinding kayu dan memeluk kedua lututnya, ia sepertinya masih kedinginan.

Sayangnya hangatnya matahari tidak berlangsung lama, menjelang siang hari awan tebal dan hitam membumbung di atas kami. Veila sigap membuka sebuah gulungan kain yang terikat di bagian depan dan belakang gerobak kami. Setelah semua kainnya diturunkan, Veila kemudian mengikatnya ke sisi-sisi Wagon agar kain yang menutupi kami tidak mudah tersibak oleh angin kencang yang mungkin akan menerpa saat hujan nanti.

Tidak lama setelah Veila mengikat tali-tali yang terhubung dengan kain penutup itu, rintik-rintik hujan mulai jatuh di atap kain wagon kami. Bunyi gemericik air yang jatuh menghantam tanah mulai terdengar semakin cepat dan semakin banyak. Angin kencang juga mulai menerpa kain yang menutup bagian depan gerobak kami, aku hanya bisa berharap kalau Kana, Fana, Bara, dan Zabu baik-baik saja diluar.

Kami bertiga terjebak di gerobak ini dan hanya bisa menunggu hujan ini untuk berhenti. Aku semakin takut saja saat mendengar kain yang sedari tadi terus terdorong kuat membuat suara yang mengerikan, ditemani oleh suara gelegar dari guntur yang juga terus-menerus terdengar, serta butir-butir air hujan yang sepertinya semakin besar saja.

Sepertinya hujan ini telah berubah menjadi badai yang cukup mengerikan. Angin yang berhembus cukup kuat untuk menggoyangkan gerobak kami, menyadari itu Veila lalu menyentuh lantai gerobak dengan kedua tangannya, sesaat kemudian dari tangannya keluar sihir berwarna biru yang perlahan menjalar melapisi seluruh bagian dari gerobak ini.

Waktu berlalu dan rasanya badai ini tidak akan berhenti dalam waktu dekat, angin kencangnya masih saja membuat gerobak kami bergoyang hebat dan gemuruh dari petir yang tidak kunjung berhenti terus menemani kami dalam keadaan yang mencekam ini.

Aku bahkan sudah tidak tahu lagi apakah kami masih berjalan kedepan atau sedang berhenti di tempat. Dunia luar tiba-tiba saja menjadi sangat mengerikan, kekuatan alam yang tidak dapat dikendalikan, sifatnya yang dapat dengan tiba-tiba saja datang membawa badai dengan segala angin ribut dan petirnya yang menyambar ke tanah, membawa petaka bagi siapapun yang kurang beruntung. Kekuatan yang berada diluar nalar dan kendali manusia ini membuatku merasa lemah dan tidak berdaya saat menghadapi situasi seperti ini, rasanya aku hanya dapat menunduk dan menerima keadaan, tanpa memiliki kesempatan untuk melawan, aku hanya dapat meninggalkan takdirku di tangan keberuntungan.

Pelangi hanya akan muncul sehabis hujan, begitu kata-kata yang ayahku tuliskan di salah satu bukunya. Itu memang benar, tapi, bagaimana dengan mereka yang bahkan tidak sempat untuk melihat pelangi itu? Apakah berarti perjuangan mereka untuk melewati badai berakhir sia-sia begitu saja? Hanya karena mereka tidak dapat melihat pelangi di penghujung hari mereka. Ketidakpastian dan rasa cemas mulai menelan pikiranku, Roki juga terlihat sama cemasnya dengan diriku, ia daritadi terus memeluk ibunya dengan erat, tidak jarang saat suara guntur menggema, Roki tersentak dan mengeluarkan suara teriakan keras.

Tidak berlebihan jika aku mengatakan kalau sore ini adalah sore paling panjang yang pernah aku alami di hidupku. Lucu ketika aku memikirkan kalau waktu rasanya berjalan sangat lambat di situasi-situasi yang mencekam seperti ini.

Malam akhirnya menggulingkan bintang-bintangnya di langit, setelah sore yang seperti tidak memiliki akhir itu berlalu, aku dapat melihat kembali langit kelam yang diisi dengan bintang-bintang dan bulan yang bersinar remang. Badai sudah berlalu, perasaan lega mulai menenangkan pikiran-pikiran buruk yang sedari tadi mengusik kepalaku tanpa henti.

Angin dingin yang familiar kembali aku rasakan, angin yang membawa perasaan yang sama dengan malam-malam sebelumnya. Keheningan yang tiba-tiba muncul setelah badai yang dipenuhi angin ribut ini sedikit membuatku nger.

Aku yang masih bersembunyi di balik tirai-tirai kain yang menutupi kami memutuskan untuk berdiri dan membuka ikatan-ikatan tali yang terhubung dengan kain penutup gerobak.

Kami ternyata tidak berjalan terlalu jauh, selama badai menerjang tadi, kami bergerak tidak jauh ke depan. Kana terlihat lemas, ia bahkan terlihat kesulitan untuk berdiri. Melihat keadaan Kana yang menyedihkan itu, aku segera memberitahu Veila tentang keadaan kudanya itu dan aku langsung melompat turun dari gerobak untuk mencari tahu keadaan Fana dan Bara.

Jalan tanah yang awalnya keras ini sudah berubah menjadi jalan becek yang berisikan lumpur-lumpur yang seakan menghisap kakiku setiap kali aku mencoba melangkah. Dengan cepat aku berusaha mencari keberadaan Bara dan Fana, meskipun kadang aku terjatuh karena kesulitan melewati jalan berlumpur ini, perasaanku terus mendorong untuk mencari mereka berdua. Dengan setiap langkah yang rasanya semakin berat saja, aku menembus angin malam yang dingin dan mengeluarkan bola cahayaku.

Beruang besar itu ada dimana? Aku menelusuri lagi jalan yang telah kami lalui. Aku tidak melihat tanda-tanda adanya jejak kaki beruang ataupun rubah api selama aku berjalan, aku hanya menemui jejak garis yang kadang berbelok, bentuknya persis seperti roda kayu gerobak kami.

Aku mencoba untuk menelusuri lebih ke belakang dan berjalan lebih jauh, jika aku mengingat dengan benar, tempatku berdiri sekarang adalah dimana kami sebelumnya berada sebelum badai menerpa kencang gerobak kami. Aku menemui banyak pohon-pohon yang tumbang di sisi kiri dan kananku, perasaan tidak nyaman mulai merayap di dadaku. Bagaimana jika salah satu pohon ini tumbang kearah Bara ataupun Fana? Pikiran yang terbersit itu membuatku mempercepat langkahku.

Aku melangkah diantara tumpukan pohon-pohon yang tumbang, mencari sosok besar Bara ataupun Fana diantara tumpukan pohon-pohon itu.

Diantara pepohonan itu aku dapat mendengar sebuah erangan, aku menghentikan langkahku dan mencoba fokus untuk mendengarkan suara itu lagi, erangan yang sama kembali terdengar dan aku yakin sekali itu adalah suara Bara.

Aku mulai berjalan kearah sumber suara, saat sampai disana aku dapat melihat Bara tertimpa tumpukan-tumpukan pohon yang sudah tumbang, ia terlihat seperti sedang memeluk Fana. Sepertinya ia berusaha untuk melindungi Fana dari pohon-pohon yang tumbang ke arah mereka. Bara terlihat lelah, aku mencoba untuk memanggilnya, ia merespon dan mencoba untuk bergerak, namun, tumpukan pohon-pohon yang menimpanya nyaris tidak bergerak.

Aku mulai melihat ke sekitar, ada banyak pohon-pohon yang terbelah dengan tidak wajar, sepertinya Bara sempat melindungi Fana dengan menghancurkan pohon-pohon yang berterbangan kearah mereka.

Sayangnya, badai sepertinya berjalan lebih lama dari kemampuan Bara untuk melindungi Fana. Aku mengagumi keberanian Bara, bahkan dengan keadaannya yang lemah itu ia tetap mencoba untuk melindungi Fana.

Aku mencoba untuk menggerakkan pohon yang berada di tumpukan paling atas, tapi, pohon itu tidak bergerak sama sekali. Tidak lama setelah aku mencoba untuk menggerakkan satu atau dua pohon sebisaku, Veila datang menghampiriku dan menawarkan bantuannya.

Bahkan setelah Veila membantuku, kami berdua masih belum cukup untuk menggerakkan tumpukan pohon-pohon ini dengan aman. Jika saja kami memiliki pedang atau senjata tajam lainnya yang dapat memotong ataupun mencungkil batang-batang pohon ini, mungkin kami dapat membebaskan Bara dan Fana.

Sadar usaha kami berdua akan sia-sia jika terus begini, Veila memutuskan untuk mencari Zabu, berharap bahwa dengan cakar tajam yang dimiliki oleh Zabu, ia mungkin dapat menghancurkan batang-batang pohon ini.

Aku mendengar erangan miris Bara dari bawah tumpukan pohon, hatiku rasanya tersayat, apakah hanya ini yang dapat aku lakukan? Aku mengambil bola cahaya milikku dan membawanya lebih dekat ke arah Bara, wajahnya terlihat kelelahan, andai saja aku memiliki sebuah pedang sekarang, mungkin aku dapat melakukan sesuatu.

Aku mungkin dapat mengeluarkan Bara dari situasi ini, aku mungkin dapat menyelamatkannya, ada perasaan sayang yang mendalam saat aku melihat kedua matanya yang mulai terlihat sayu, aku tidak ingin kehilangannya.

Bola cahayaku tiba-tiba saja bereaksi, ia mulai bergetar hebat dan mulai bergerak sendiri, reaksi yang mirip saat kami berada di daerah luar Hutan Niri. Aku spontan melepaskan bola cahaya itu dari tanganku dan melemparnya ke tanah, bola cahaya itu masih saja bergerak dan bentuknya mulai memanjang, perlahan bentuknya mulai berubah mendekati bentuk sebuah pedang, aku dapat melihat gagang dan pelindungnya yang mulai terbentuk, sementara bagian tajam pedangnya terus memanjang dan semakin memipih, setelah beberapa lama membentuk dirinya sendiri, akhirnya benda itu berhenti bergerak dan bentuknya benar-benar mirip dengan pedang yang biasanya dibawa oleh Ayah untuk berburu saat aku masih kecil.

Aku mendekatkan tanganku ke pedang yang terbuat dari bola cahayaku itu tadi. Tidak ada perasaan spesial saat aku memegang pedang itu, aku dapat memegang dan mencengkram gagang pedangnya dengan kuat, tapi, saat aku mencoba untuk mengayunkan pedangnya rasanya aku seperti tidak mengayunkan apa-apa, berbeda saat aku dulu mencoba mengayunkan pedang milik ayahku itu, aku bahkan sangat kesulitan hanya untuk mengangkatnya, sedangkan pedang ini, jangankan mengangkatnya, aku dapat mengayun-ayunkannya dengan bebas sesuka hatiku.

Kesempatanku untuk menolong Bara datang, walaupun itu datang dari pedang aneh yang terbuat dari cahaya ini. Aku mulai mengayunkan pedangku ke salah satu batang pohon.

Pedangku menembus begitu saja batang pohon yang tebal itu, aku bahkan tidak dapat merasakan gesekan yang biasanya terjadi saat aku memotong dahan pohon. Pohon itu langsung terbelah menjadi dua, mengeyampingkan keanehan itu, aku mulai memotong batang-batang pohon lainnya dengan hati-hati agar aku tidak melukai Bara dalam prosesnya.

Veila dan Zabu datang tidak lama setelah aku mulai memotong batang-batang pohon ini. Zabu langsung membantuku dengan menghancurkan batang-batang pohon lainnya, ia terlihat baik-baik saja, mungkin Veila telah menggunakan kekuatan penyembuhannya kepada Zabu. Setelah banyak dari batang-batangnya sudah terpotong, Bara mulai dapat bergerak keluar dari tumpukan itu sambil menyeret Fana bersamanya.

Veila langsung mendekati Bara dan Fana, ia kemudian mulai menggunakan sihir penyembuhannya kepada mereka berdua.

Selagi Veila sibuk menggunakan sihirnya, ia menatap pedangku dengan tajam, sepertinya ia ingin menanyakan itu.

"Aku juga tidak tahu." Ucapku.

"Menarik." Balas Veila.

"Pedang ini tiba-tiba saja terbentuk saat aku memikirkan tentang pedang besi milik ayahku."

"Sihir kreasi khas pembawa cahaya akhirnya bangkit di dirimu Aira."

"Sihir kreasi?"

"Iya, tipe sihir yang hanya dimiliki oleh para Dewi."

"Jadi kekuatanku ini?"

"Diturunkan dari seorang Dewi, aku lupa jelasnya seperti apa, tapi, karena satu dan lain hal ia akhirnya turun ke bumi dan mewariskan sebagian kekuatannya kepada seorang manusia."

"Aku… tidak pernah tau tentang itu."

"Kamu dapat membaca sejarah mereka nanti, buku tentang legenda mereka ada di perpustakaan Klein."

Jadi kekuatanku ini merupakan kekuatan yang diwariskan oleh seorang Dewi, tapi kenapa? Apa tujuan ia menyerahkan sebagian kekuatannya kepada seorang manusia?

Mungkin semua itu ada hubungannya dengan Lentira, Dewi yang sekarang mengawasi Serendrum sendirian. Mungkin semua jawaban yang selama ini aku cari berhubungan dengan Lentira dan dewi yang turun ke Serendrum ini.

Angin kencang tiba-tiba menyapu kami, aku awalnya mengira hujan akan kembali datang, tapi, saat aku menengok ke atas, terdapat sebuah siluet hitam yang terbang melewati kami.

Siluet itu memiliki sebuah buntut panjang, tubuhnya juga besar, ia berkaki empat dan memiliki dua buah sayap besar di tiap sisi tubuhnya, serta wajahnya yang runcing dan berisi tanduk-tanduk kecil yang berjejer menyamping sampai ke lehernya.

"Naga." Ucap Veila.

Jadi ini seekor naga, monster mengerikan yang kata ayahku dulu dapat menghanguskan satu desa hanya dengan satu tarikan nafas.

Naga itu tiba-tiba berbalik ke arah kami dan mulai membuka mulutnya.

Veila tiba-tiba saja berdiri dan berlari kearahku, ia kemudian menarikku ke arah Bara dan Fana.

"Raga!" Ucap Veila.

Sebuah lingkaran sihir tiba-tiba muncul di depan Veila dan dari lingkaran sihir itu keluar sebuah perisai besar yang dikelilingi oleh aura berwarna biru.

Veila mengambil perisai itu lalu segera membenamkannya di tanah.

Aura berwarna biru mulai menjalar di tanah dan akhirnya mengitari kami, membentuk sebuah kubah yang melindungi kami semua yang ada di dalamnya.

Naga itu terbang semakin dekat, sesuatu berwarna merah mulai terbentuk dari dalam dalam mulutnya.

"Bersiaplah." Ucap Veila sambil memegang kuat perisai miliknya.

Naga itu kemudian menyemburkan api dari mulutnya, semburan api itu berjalan cepat dan sebelum aku dapat melihatnya dengan jelas, Api itu sudah menabrak dinding kubah dan membakar apapun yang ada di sekitar kami. Aku dapat melihat rumput-rumput yang ada di sekitar kami terbakar habis dan langsung menjadi abu-abu berwarna hitam, bahkan tanah yang berada di bawahnya juga langsung berubah menjadi warna hitam kelam.

"Ini buruk." Ucap Veila.

"Sepertinya Naga ini dikirim untuk membunuhmu." Tambahnya.

"Dikirim oleh siapa?"

"Lentira."

"Lentira? Kenapa?"

"Ingatkah kamu tentang Antares yang memburu pembawa cahaya?"

"Iya."

"Mereka memburu atas perintah Lentira."

"Jadi… naga ini?"

"Kemungkinan Lentira yang mengirimnya langsung, ia memiliki sihir kreasi yang sangat mengerikan, membuat seekor naga seperti ini bukanlah hal yang sulit untuk dilakukannya."

"Aku… tidak mengerti kenapa."

"Aku juga tidak tau Aira, tapi, Ia mungkin telah mengakuimu."

"Maksudmu?"

"Ia mungkin telah melihatmu sebagai ancaman, kamu baru saja membangkitkan sihir kreasimu kan?"

"Iya, benar juga."

"Ia mungkin mengirim Naga ini untuk membunuhmu, dan ia jelas tidak melakukannya setengah-setengah, ia benar-benar ingin membunuhmu dengan pasti."

"Seekor Naga tidak akan menyerang tanpa alasan yang jelas, belum lagi ini bukanlah tempat yang biasanya Naga lewati."

Naga itu terus menyemburkan apinya, Veila terlihat kesusahan untuk mempertahankan pelindungnya.

Semburan api dari naga itu terlihat mulai melemah, kubah pelindung milik Veila mulai menunjukkan retakan-retakan di sisi yang menerima serangan api itu secara langsung.

Serangan api dari naga itu mulai melemah secara berkala, namun, retakan di pelindung milik Veila juga mulai bertambah banyak, meskipun begitu, serangan naga itu masih belum dapat menembus pelindung ini.

Setelah beberapa saat, semburan api dari naga itu akhirnya berhenti.

Aku sekarang dapat melihat sosoknya sedikit lebih jelas, sosok mengerikan yang menunduk melihat kami dengan kedua mata merahnya.

Aku mulai melihat ke sekeliling, tanah yang sudah berwarna hitam, api yang masih berkobar di rerumputan yang berada cukup jauh dari pelindung Veila, serta bau gosong yang kuat hingga membuat dadaku terasa sesak.

Veila langsung memerintahkan Zabu untuk pergi melindungi Roki dan membawanya jauh dari sini. Ia lalu mengangkat perisainya itu dan kubah pelindung yang melindungi kami terbuka dan menghilang begitu saja.

"Bara dan Fana masih belum pulih sepenuhnya." Ucap Veila.

Veila benar, mereka berdua masih terbaring lemas di tanah.

"Aira, aku perlu kamu untuk mengalihkan perhatian naga itu."

"Tapi bagaimana?"

"Gunakan sihir kreasimu! Aku tidak perduli bagaimana caranya, kamu harus mengalihkan perhatian naga itu selama aku melindungi dan menyembuhkan mereka."

Aku bahkan belum menguasai benar cara menggunakan sihir milikku, pasti sekarang di wajahku sedang terlihat jelas keraguanku untuk menjadi umpan hidup bagi Naga itu.

"Bara adalah satu-satunya kesempatan kita untuk melawan Naga raksasa yang ada di depan kita ini! Pergilah! Cepat!"

Apa yang dikatakan Veila ada benarnya, kami berdua jelas tidak dapat melawan Naga besar ini.

Aku mulai berlari menjauh dari Veila.

Sambil berlari menjauh, aku menatap mata Naga itu, ia menatapku balik, meperhatikanku dengan tatapan tajamnya. Kepalanya bergerak dengan perlahan, mengikuti diriku yang sedang berlari sekuat tenaga. Aku mengalihkan pandanganku ke pedang bercahaya yang sedang aku pegang ini, apa yang dapat aku lakukan? Pedang ini mungkin dapat menembus sisik-sisik tebal yang dimiliki oleh Naga itu, tapi, bagaimana caranya mendekat untuk menyerang Naga itu? Jelas tidak mungkin, setidaknya untuk sekarang.

Aku hanya dapat berlari dan terus berlari, Naga itu tiba-tiba mengeluarkan jeritan keras yang memekakkan telinga. Cahaya berwarna merah kembali muncul di mulut Naga hitam itu.

Sial, serangan itu lagi ya.

Veila sendiri sudah membuat kubah pelindung lagi untuk melindungi dirinya dan dua temanku.

Sihir kreasi… sihir kreasi.. aku juga perlu sesuatu untuk melindungi diriku.

Sebuah ide terbersit di pikiranku. Tidak ada salahnya kan untuk dicoba, setidaknya aku berusaha untuk melakukan sesuatu, gumamku pada diriku sendiri.

Aku mengeluarkan bola cahayaku lalu mulai membayangkan kubah pelindung yang sama seperti milik Veila.

Naga itu perlu sedikit waktu sebelum menyemburkan api miliknya, bola cahayaku jatuh ke tanah dan mulai bereaksi, semoga saja kubah pelindungnya sempat terbentuk sebelum Naga itu menyerang.

Cahaya berwarna kuning keemasan mulai menjalar di tanah dan mengelilingiku, tidak perlu waktu lama bagi kubah pelindung dari bola cahaya milikku ini untuk terbentuk dengan sempurna.

Aku sekarang sudah siap untuk menerima serangan dari Naga itu, ia mulai menyemburkan serangan apinya lagi, kali ini serangan itu ditujukan langsung kepadaku. Itu membenarkan asumsi Veila kalau Naga ini memang hanya mengincar diriku dan tidak yang lain.

Tidak lama setelah naga itu memulai serangannya, aku sudah dapat melihat retakan-retakan yang menjalar di kubah pelindung milikku. Jadi memang masih lemah ya, aku mengeluarkan bola cahayaku lagi dan kembali membayangkan kubah pelindung, tapi, kali ini sedikit lebih kecil dari sebelumnya.

Tidak perlu waktu lama untuk lapisan kedua dari kubah pelindung milikku terbentuk. Kalau dibiarkan seperti ini saja, lapisan keduaku tidak akan bertahan lama, selagi serangan api itu sedikit demi sedikit membuat retakan-retakan di lapisan pertama melebar, aku memikirkan cara untuk meperkuat pertahanan pada lapisan kedua, sempat terpikir untuk membuat lagi kubah pelindung dengan ukuran yang sama, tapi, aku rasa itu tidak akan berpengaruh banyak pada kekuatan pertahannya.

Ah! Kekuatan ya.

Aku kemudian duduk dan menaruh pedang cahayaku di sampingku, aku lalu menyentuh permukaan lapisan kedua dari kubah pelindung milikku ini dengan kedua telapak tanganku dan mulai menyalurkan energi cahayaku.

Cahaya kuning keemasan dari pelindung di lapisan kedua mulai bersinar semakin terang, saking terangnya aku bahkan harus menutup mataku sendiri karena cahaya yang terus menyilaukan mataku ini.

Naga itu masih menyemburkan apinya ke arahku, aku dapat merasakan getaran dari tanah di bawahku, serangan naga itu begitu kuat sampai-sampai tanah yang diserang olehnya bergetar seperti ini ya, bagaimana kalau aku tadi tidak sempat membuat kubah pelindung ini, mungkin aku akan langsung lenyap begitu saja dan menjadi abu kecil yang berterbangan di udara.

Lapisan pertama pelindung milikku sepertinya baru saja hancur karena aku dapat mendengar suara pecahan yang cukup keras.

Aku masih menyalurkan energi cahayaku ke lapisan kedua ini, aku hanya dapat berharap kalau lapisan ini dapat bertahan dengan baik karena pada saat ini aku sedang tidak dapat membuka mataku dan melihat apakah ada retakan di lapisan terakhir milikku ini, yang pasti energiku terus saja terserap dengan cepat dari tubuhku.

Sekarang hanya tentang siapa yang dapat bertahan lebih lama ya?

Kubah pelindungku atau semburan api dari Naga itu, aku harap aku memiliki energi yang cukup.

Energiku terus terserap dengan cepat dan jumlah energi yang diserap semakin bertambah dari waktu ke waktu. Sepertinya Naga itu juga mengerahkan energi lebih untuk menembus kubah pelindung milikku ini, ia mungkin telah menyadari kalau kubah keemasan ini adalah pertahanan terakhirku untuk menghadapinya.

"Aarrghhh!!!" Teriakku, kesakitan.

Energiku mulai menipis, aku tidak dapat bertahan lebih lama lagi.

Aku menarik kedua telapak tanganku dari lapisan pelindungku, aku sudah tidak dapat mengerahkan energi lebih banyak lagi. Keadaan masih terlalu terang untuk membuka mataku, aku mulai menggerakkan tanganku untuk mencari lalu memegang pedang cahaya milikku tadi.

Pelan namun pasti aku dapat merasakan kalau cahaya pelindungku mulai meredup. Aku mulai membuka mataku dengan perlahan, aku terkejut dengan apa yang aku lihat saat membuka mataku.

Api yang disemburkan tidak lagi berwarna merah, warnanya telah berubah menjadi warna biru terang yang ditemani dengan warna ungu di samping-sampingnya.

Naga itu tidak main-main untuk membunuhku, retakan-retakan kecil mulai muncul di berbagai tempat. Aku mencoba untuk menenangkan pikiranku dan mulai berpikir jernih, tapi, aku tidak dapat memikirkan jalan keluar dari keadaan ini.

Dalam keputusasaan, aku memutuskan untuk melemparkan pedang cahaya milikku ke arah Naga hitam itu, walaupun aku tidak dapat melihatnya karena penglihatanku yang dipenuhi dengan warna biru dan ungu ini, tapi, aku dapat menebak dimana posisinya melalui dimana serangannya terpusat di kubah pelindungku.

Setelah beberapa saat memperhatikan kontak serangan Naga itu terpusat dimana dan setelah yakin tentang posisinya itu, aku melemparkan pedang cahaya milikku. Lagipula aku tidak akan memiliki kesempatan untuk menggunakan pedang itu jika pelindung ini pada akhirnya akan hancur menerima serangannya.

Dengan pasrah aku melihat pedang cahaya itu pergi meninggalkanku dan ditelan oleh api yang masih terus dengan kuat membentur dinding pelindungku.

Aku sudah melakukan semua yang aku bisa, sekarang aku hanya dapat menyerahkan diriku kepada takdir.

Hari ini sepertinya aku sangat tidak beruntung, dari badai yang hebat, sekarang aku malah harus merelakan diriku sendiri pergi menghilang menjadi abu. Retakan-retakan yang ada tumbuh menjadi semakin besar, sepertinya waktuku sudah mulai habis.

Retakan-retakan yang ada mulai saling terhubung dan beberapa bagian dari kubah pelindung ini bahkan mulai jatuh ke tanah, membuat sebuah celah bagi api-api kecil yang mulai menembus pertahananku.

Aku menarik diriku mundur, menjauhi api-api panas yang berhasil menembus pertahananku.

Aku mengeluarkan bola cahayaku lalu membayangkan perisai milik Veila, bola cahayaku mulai bereaksi dan mulai membentuk perisai yang sama seperti perisai milik Veila.

Setelah bola cahayaku selesai membentuk sebuah perisai utuh, aku segera mengambilnya dan meletakkannya tepat di depanku, perisainya cukup besar untuk melindungi seluruh bagian depan tubuhku saat aku dalam posisi duduk seperti ini. Setidaknya sebelum pelindungku benar-benar hancur, aku dapat menggunakan perisai ini untuk melindungiku dari api-api kecil yang mulai menembus kubah pelindungku.

Saat aku sedang fokus untuk menempatkan diriku menjauh dari api yang ada, tiba-tiba saja arah serangan naga itu bergeser sebentar, akibatnya aku sekilas dapat melihat wajahnya yang mengerikan. Ia sepertinya menghindari serangan pedang cahaya yang aku lemparkan tadi, karena aku dapat melihat sesuatu berwarna kuning keemasan berputar melewati kepala Naga itu.

Sempat terpikirkan olehku untuk pergi keluar dari kubah ini dan berlari menjauh, namun, belum sempat aku selesai memikirkan bagaimana caranya, semburan api itu kembali terfokus ke tempat yang sama seperti sebelumnya.

Retakan-retakan mulai berubah menjadi lubang-lubang yang lebih besar dan membiarkan lebih banyak lagi api berwarna biru itu memasuki pelindungku ini. Aku semakin terpojok, tepat di belakangku adalah sisi lain dari kubah pelindung milikku dan luarannya juga diselimuti oleh serangan api dari Naga itu.

Aku semakin terpojokkan, pundakku sudah menyentuh dinding kubah pelindung, aku tidak dapat berjalan mundur lebih jauh dari ini. Kobaran api yang panas mulai dapat aku rasakan.

Aku memegang erat perisai yang melindungiku ini.

Api berwarna biru itu mulai menyambar semakin dekat dengan diriku.

Seluruh energiku sudah aku gunakan untuk membuat perisai yang melindungiku ini, aku sekarang sudah tidak memiliki apa-apa lagi.

Aku menutup mataku, menerima api yang mulai mendekatiku ini, hangatnya, tidak, panasnya yang sudah dapat aku rasakan bahkan sebelum lecutan apinya itu menyentuhku.

Aku dapat mendengar suara pecahan yang keras.

Kubah pelindungku akhirnya hancur juga.

Tubuhku juga mulai merasa dingin, ah, apakah ini yang dikatakan rasa dingin sebelum kematian? Mungkin iya, ada perasaan senang saat aku memikirkan tentang hidup yang telah aku lalui, walaupun hanya dapat bersama dengan Ayah dan Ibuku dalam waktu yang sebentar, itu adalah waktu-waktu terbaik yang pernah aku lalui.

Aku merasa tubuhku semakin dingin, lama kelamaan aku menyadari rasa dingin ini datang dari angin malam yang berhembus. Merasa bingung, aku membuka mataku.

Naga itu sudah tidak lagi menyemburkan apinya, aku yang masih bersembunyi di belakang perisaiku mulai melihat ke sekitarku, tanah hitam, bau gosong rerumputan, serta kubah pelindungku yang sudah tidak lagi terlihat.

Aku menoleh ke arah dimana Naga hitam itu tadi berdiri.

Disana aku melihat Bara yang sedang bergulat dengan Naga itu, tubuhnya sudah membesar hingga menyamai tubuh Naga yang dihadapinya itu.

Bara kini sedang memeluk leher naga itu dengan kedua tangannya dan mencoba untuk menjatuhkan Naga itu ke tanah.

"Aira!!" Sebuah suara teriakan terdengar dari arah kananku.

Aku menoleh. Suara itu ternyata datang dari Veila, ia sekarang sedang berlari kearahku.

Aku ingin berdiri untuk menemui Veila, tapi kakiku terasa sangat kaku, aku juga tidak bisa menggerakkan bagian-bagian tubuhku yang lain. Aku mencoba untuk bersuara, tapi juga tidak bisa, aku hanya dapat terduduk lemas tidak dapat bergerak disini.

Jauh di belakang Veila aku bisa melihat Fana yang sedang melontarkan bola-bola apinya ke arah Naga hitam itu menggunakan buntutnya. Beberapa bola api itu mengenai sisik Naga hitam itu, tapi, sepertinya Naga itu tidak terganggu sama sekali dengan serangan-serangan kecil itu. Mungkin alasan Fana terus menyerang Naga itu adalah untuk mengacaukan fokus Naga itu yang juga sedang bergulat melawan Bara, Naga itu sedang membenamkan gigi-gigi taringnya di punggung besar Bara.

Veila akhirnya sampai menghampiriku dan ia langsung memelukku dengan erat.

"Aira..." Ucapnya dengan nada sendu.

Aku ingin membalas ucapannya itu, tapi aku sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa sekarang.

"Kamu tidak apa-apa?" Tanyanya sambil menatap wajahku.

Aku hanya dapat mengangguk.

"Jangan berbohong, aku tau kamu kenapa-napa."

Aku melempar senyum kecut.

Beberapa saat lalu aku memang sudah menyerahkan diriku kepada kematian, toh, aku memang tidak memiliki kesempatan maupun kekuatan lagi untuk tetap bertahan dari serangan naga itu beberapa saat lalu.

Aku merasakan perasaan hangat mulai mengalir di punggungku, siluet cahaya hijau tua juga mulai terpantul dari tanah hitam di sekitarku.

Sihir Veila membuatku merasa nyaman di tengah kekacauan ini. Energi sihirku juga sedikit demi sedikit mulai kembali pulih.

"Terima kasih…" Ucapku lirih.

"Jangan banyak berbicara dulu." Ucapnya sambil menepuk-nepuk lembut punggungku.

Aku menuruti perkataannya.

Aku mendekap balik Veila, punggungnya ternyata terasa cukup besar, aku sebelumnya belum pernah memperhatikan ini, bajunya juga terasa cukup kasar di kulitku.

Aku melihat perisai yang diletakkan Veila di tanah, sebuah perisai yang sepertinya dibuat dari besi kuat yang dikelilingi oleh aura berwarna biru. Di tengah perisai besi itu terdapat sebuah lambang Bulu Merpati.

Veila melepaskan pelukannya, perasaan hangat yang tadi menyelimutiku juga perlahan menghilang. Aku dapat merasakan energiku sudah kurang lebih kembali pulih, walaupun tidak sepenuhnya.

Sekarang, sisa bagaimana kami dapat melawan Naga hitam itu.

Bara dan Fana sudah mengalihkan perhatian Naga hitam itu dengan cukup baik, Veila lalu menatapku tajam.

"Kamu ada rencana?" Tanyaku kepada Veila.

"Aku memang punya, tapi…"

Sebelum Veila dapat menyelesaikan perkatannya, aku memotongnya dan menyetujui akan apapun rencana yang ia miliki itu. Setidaknya memiliki rencana lebih baik daripada tidak memilikinya sama sekali.

Veila mengambil perisainya, ia lalu memberitahuku untuk mengikutinya dari belakang.

"Kita sekarang harus mendekatinya, kamu hanya dapat membuat pedang cahaya saja kan saat ini?"

"Iya."

Aku mengeluarkan bola cahayaku dan kembali membuat pedang cahaya seperti sebelumnya.

Veila memukul dua kali perisainya dari dalam, aura biru kemudian mulai menyebar, melindungi hanya bagian depan kami, tapi, kali ini areanya jauh lebih besar.

Veila berjalan mendekati tempat Naga itu, aku mengikutinya dari belakang sambil memegang sebuah pedang cahaya.

Naga itu menyadari kami yang mulai mendekatinya dengan perlahan. Bara berusaha sebisanya untuk menahan pergerakan Naga itu, namun, Naga itu terlalu kuat untuk dihadapi Bara sendirian.

Sekarang kami sudah cukup dekat dengan Naga itu, keempat kakinya ternyata besar sekali, sisik-sisiknya bahkan lebih besar dari tubuhku.

Salah satu kakinya mulai bergerak, sebuah serangan ya. Veila bersiap dengan kuda-kudanya, ia memegang perisanya dengan kedua tangnannya, dan juga menempelkan salah satu bahunya di perisai milikya, sedangkan aku langsung membenamkan pedangku ke tanah menjadi pegangan agar aku tidak dengan mudahnya terlempar dari tempatku berdiri.

Kaki naga itu menghantam perisai aura milik Veila, angin kencang dapat aku rasakan saat serangan naga itu mendarat di dinding aura Veila, serangan Naga itu juga membuat Veila sedikit terpukul mundur. Aku menahan Veila dari belakang, menghentikannya dari terlempar mundur lebih jauh lagi.

Naga itu masih mencoba untuk mendorong Veila lebih jauh. Aku melihat kesempatanku untuk menyerang, kaki Naga itu kini menempel di dinding aura pertahanan Veila, mencoba untuk mendorong Veila mundur, ini membuat telapak kakinya terlihat dan ternyata bagian tubuhnya itu tidak dilindungi oleh sisik-sisik keras yang menutupi bagian tubuhnya yang lain. Aku kemudian melangkah maju dan mulai menusuk-nusuk telapak kaki naga itu, seranganku sepertinya berhasil, Naga itu menarik serangannya dan darah berwarna merah mulai berceceran keluar dari telapak kakinya.

Keseimbangan Naga itu sepertinya juga mulai terganggu, ia mulai kesulitan untuk mempertahankan posisinya saat melawan Bara.

Aku kemudian meminta Veila untuk membawaku ke kaki bagian belakang Naga itu, jika aku bisa melukai kaki bagian belakang naga itu di sisi yang sama, kami mungkin memiliki kesempatan untuk menang melawan Naga ini.

Veila menyetujui saranku itu dan kami mulai berjalan mendekati bagian belakang Naga itu. Beberapa kali Naga itu mencoba untuk menyerang kami dengan sayapnya, tapi, serangannya terus saja dihalau oleh pelindung milik Veila. Aku mencoba untuk menyerang sayapnya itu, tapi, pedangku hanya dapat menggores sisik-sisiknya.

Saat kami sampai di kaki bagian belakangnya, Naga itu langsung menyerang kami dengan kakinya, namun, kali ini setelah menendang kami, ia langsung menarik kakinya, membuatku sulit untuk menyerangnya balik.

Veila berkali-kali terpukul mundur dan tidak jarang ia hampir terjatuh, tapi, ia terus mempertahankan posisinya untuk berada di depanku dan melindungiku.

Setelah berkali-kali menyerang kami, akhirnya kesempatanku untuk menyerang balik datang juga, kaki Naga itu kurang lebih tersangkut di pelindung Veila, ia tidak dapat menarik kakinya karena Bara sedang mengunci posisi Naga itu.

Aku langsung menggunakan kesempatan emas ini untuk menebaskan dan menghujamkan pedang cahayaku itu ke bagian telapak kaki Naga itu. Aku terlalu terfokus melawan Naga itu dan mulai mengabaikan sekitarku.

"Aira! Awas!!" Teriak Veila.

Aku menoleh ke arah Veila, sesuatu berwarna hitam dan panjang sedang menuju ke arahku.

Naga itu menggunakan ekor panjangnya untuk menyerangku. Aku melompat mundur, mencoba untuk menghindari serangannya, meninggalkan pedang cahayaku yang tertancap di telapak kaki Naga itu.

Aku berhasil menghindari serangan Naga itu.

"Astaga Aira!" Ucap Veila panik lalu menarikku menjauh dari tempat kami bertarung.

Aku tidak mengerti kenapa Veila terlihat panik, tapi, saat kami berjalan menjauh dari Naga itu, aku dapat melihat sesuatu yang berwarna putih tergeletak di dekat kaki Naga itu.

Bercak-bercak merah mulai terlihat diantara rerumputan yang kami lalui.

Aku dapat merasakan tangan kiriku berdetak mengikuti irama yang sama seperti jantungku berdetak, aku spontan melihat ke arah tangan kiriku.

"Apa yang…" Ucapku.

Aku terkejut saat melihat apa yang terjadi dengan tangan kiriku, bagian bawahnya… bagian bawah lengan kiriku hilang, terputus begitu saja dari tubuhku. Darah mengucur deras keluar dari lengan kiriku, aku mencoba untuk menutupinya dengan tangan kananku, tapi, darah itu terus menerus keluar dan membasahi telapak tanganku.

Kepalaku mulai terasa pusing, kakiku mulai melemah dan akhirnya aku tersungkur di tanah.

Veila langsung menanamkan perisainya di tanah dan membuat kubah pelindung, setelah itu ia langsung memegang tangan kiriku dan mulai menggunakan sihir penyembuhannya.

Aku hanya bisa memandangi tangan kiriku yang telah kehilangan fungsinya ini, pikiranku diisi dengan kepanikan, rasa sakit di tangan kiriku juga mulai terasa.

"Aaghh!" Teriakku.

"Tahan Aira." Ucap Veila dengan wajah penuh khawatir.

Jujur saja rasa sakitnya merupakan rasa sakit yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.

Aku mencoba untuk mengalihkan perhatianku dengan melihat Naga itu, ia sedang bertarung melawan Bara. Naga itu sekarang sedang terpojok, ia sudah tumbang ke tanah dan sekarang Bara mulai menyerangnya tanpa ampun.

Bara mulai menggigit-gigit leher naga itu dan mencabik-cabik bagian dada Naga itu, sisik demi sisik Naga itu mulai terlepas dan membuat daging lembut Naga itu terbuka untuk Bara serang.

Bara terus membenamkan cakar-cakarnya ke dada Naga itu, darah berwarna merah mencuat keluar dari tubuh Naga itu, darahnya seakan menghiasi langit malam. Bara terus menyerangnya tanpa henti hingga tubuh Naga itu akhirnya berhenti bergerak dan tidak lagi dapat melawan.

Bara lalu membenamkan gigi-gigi taringnya di bagian leher Naga itu, ia lalu mendorong Naga itu menjauh darinya sembari menarik kepalanya.

Dengan kekuatan yang dimiliki bara, tidak perlu waktu lama baginya untuk memutuskan kepala Naga itu dari tubuhnya, membuat Bara menjadi pemenang dari pertarungan ini.

Aku kembali melihat tangan kiriku, kulitnya sudah menutup dan tidak lagi mengeluarkan darah.

"Apakah… ini akan tumbuh kembali?" Tanyaku.

"Tidak, bahkan dengan sihirku, tidak ada cara untuk mengembalikan tanganmu." Ucap Veila, ia terlihat kecewa.

Pundakku tiba-tiba saja terasa berat, seperti ada sebongkah batu yang tiba-tiba jatuh menimpanya. Menyadari bahwa sebagian tangan kiriku tidak akan pernah kembali lagi, aku dilanda dengan perasaan syok yang cukup berat, aku rasanya tidak dapat menerima ini sebagai kenyataan, tapi, aku tahu kalau inilah kenyataannya, kalau tangan kiriku tidak akan pernah kembali.

"Maafkan aku Aira." Ucap Veila, wajahnya terlihat sedih.

Veila lalu memegang rambutku, cahaya hijau mulai memancar di sekitar kepalaku.

Mataku tiba-tiba terasa berat, entah kenapa rasanya aku mengantuk sekali.

Dunia mulai menjadi hitam.

Aku pun menutup mataku.