Chereads / Dunia Tanpa Lentera / Chapter 12 - Festival

Chapter 12 - Festival

Dibangunkan pada pagi yang masih dingin ini, seakan mengingatkanku pada hari dimana kami memulai perjalanan panjang ke Klein, walaupun kali ini sedikit berbeda, karena kunjungan kami bukanlah kunjungan yang ramah.

Setelah mengatur rencana yang sudah cukup matang, aku rasa kami siap untuk mendobrak gerbang Klein dengan keras. 

Kami memulai rencana dengan menyelinap masuk ke dalam Klein di pagi hari, Veila tahu bahwa pengamanan akan diperketat selama festival, belum lagi Rose yang tidak kunjung kembali, kerajaan pasti akan sangat berhati-hati. Maka dari itu aku dan Veila akan menunggangi Zabu dan masuk menyelinap dari gerbang utama pada pagi-pagi buta seperti ini. Dengan kemampuan kamuflase milik Zabu, kami dengan mudah menembus pengamanan di gerbang utama, sekarang kami perlu menemukan Roki.

Keadaan masih gelap pada saat kami memasuki Klein, masih ada obor-obor api yang menyala, menerangi dengan cahaya temaramnya. Meskipun begitu, sudah banyak prajurit-prajurit kerajaan yang lalu-lalang memasang pagar-pagar besi di sisi kiri dan kanan jalan utama, memisahkan jalan besar ini menjadi tiga bagian.

Kami masuk lebih jauh, menuju panggung utama yang ada di pusat kota Klein. Bundaran besar itu kini sudah dikelilingi oleh pagar-pagar besi yang mengitarinya, di belakang pagar-pagar itu berdiri banyak prajurit dengan baju zirah yang sama dengan zirah yang dikenakan oleh Rose tadi malam. 

Prajurit kelas Avalon ya, mereka tidak main-main dalam merayakan festival ini, berbeda dengan prajurit-prajurit sebelumnya yang rata-rata hanya berlapiskan baju pelindung yang terbuat dari kulit, prajurit Avalon dilapisi oleh besi yang kuat. Belum lagi senjata-senjata mereka, perisai yang berlapiskan aura berwarna biru, pedang dan tombak yang berlapiskan api, dan tongkat kayu yang memancarkan aura berwarna hijau ke sekelilingnya. Diantara semua orang itu, aku dapat melihat seorang prajurit yang berdiri di tengah-tengah mereka semua, ia memiliki perisai bulat kecil dengan aura biru pekat dan pedang rapier yang mengeluarkan aura berwarna kuning, Veila berkata kalau dia adalah orang yang memimpin prajurit Avalon.

Kami belum melihat tanda-tanda dimana orang-orang yang akan dikorbankan hari ini berada, alhasil, Veila menyarankan untuk bersembunyi di salah satu toko yang sudah tidak lagi berpenghuni. 

Veila sendiri hanya tahu kalau festival adalah ritual pengorbanan kepada Lentira, tentang bagaimana acaranya berjalan, ia tidak tahu sama sekali.

Kami menunggu dengan sabar, pagi mulai menyapa dan orang-orang sudah mulai berkumpul di sekitar pagar-pagar besi. Masing-masing dari mereka membawa sebuah kantong kulit yang berukuran lumayan besar, mereka juga sepertinya memakai pakaian terbaik mereka, bundaran besar ini sekarang dikelilingi oleh orang-orang yang terlihat antusias terhadap festival yang sepertinya sebentar lagi akan dimulai.

"Kenapa mereka semua memakai pakaian yang mewah?" Tanyaku.

"Aku juga tidak tahu, aku sudah pergi jauh dari kerajaan sebelum festival ini dilaksanakan, untuk sekarang kita fokus pada tugas saja dulu."

Hari mulai beranjak siang, kerumunan semakin bertambah banyak hingga jalan-jalan kecil di sekitar bundaran penuh sesak diisi oleh kerumunan orang. Karena banyaknya kerumunan orang disini, kami akhirnya memutuskan untuk melompati pagar besi yang ada dan bersembunyi di halaman salah satu mansion yang berada di dekat bundaran. Tempat ini jauh lebih sepi jika dibanding dengan kerumunan yang ada di sekitar bundaran, kami dapat melihat lebih baik ke arah panggung.

Tidak hanya di sekitar bundaran, di bagian kiri dan kanan jalan utama juga telah dipenuhi oleh kerumunan orang-orang, beberapa bahkan menggendong anaknya di punggung mereka.

Suara terompet lalu menggema ke seluruh kota, festival sudah dimulai.

Mengikuti suara terompet tadi, aku dapat mendengar suara derap langkah berat datang dari arah tangga menuju kastil. Seorang perempuan yang mengenakan jubah panjang dan mahkota di kepalanya mulai turun dan berjalan ke arah monumen Klein. Ia lalu menaiki panggung dan berdiri di tengah-tengahnya.

"Rakyatku… hari ini kita kembali merayakan hari dimana kita diberkahi oleh-Nya. Ia yang telah menyelamatkan kita dari kelaparan dan kematian, mari kita mengingatkan diri kita kembali tentang kuasa-Nya," Suara Ratu seperti menggema dibawa oleh angin.

"Dengan begitu, kita akan terus bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh-Nya, dan sesuai tradisi, hari ini kita memberikan apa yang kita miliki kepada-Nya."

Ratu itu kemudian turun dari panggung, seseorang dengan jubah hitam lalu naik menggantikan posisinya.

"Dengan menyebut nama-Nya. Aku menyerahkan diriku dan memanggil utusan terbaik-Nya," Ucap orang berjubah itu dengan lantang. Ia lalu menusuk dirinya sendiri di bagian dada dan langsung tersungkur jatuh.

Angin dingin tiba-tiba berhembus dari berbagai arah, suara guntur terdengar saling bersahutan, dan warna langit dalam sekejap berubah menjadi hitam kelabu.

Sebuah lingkaran sihir raksasa muncul di angkasa. Dari dalam lingkaran sihir itu muncul sesosok mahluk besar, perawakannya terlihat seperti perempuan, ia mengenakan gaun indah yang juga berwarna putih, dua buah sayap besar menempel dipunggungnya, dan kepalanya ditutupi oleh sebuah kerudung tipis berwarna putih. 

Dua buah lingkaran sihir yang lebih kecil muncul di tangan kanan dan kirinya. Dari lingkaran sihir di tangan kirinya keluar sebuah pisau belati, dan dari lingkaran tangan kanannya keluar sebuah buku sihir, kedua senjatanya itu memancarkan aura berwarna hitam. Sebuah gelembung pelindung magis kemudian muncul menyelimuti Sariel, warna pelindung itu memancarkan warna biru muda, menandakan bahwa kekuatan pelindung itu tidaklah terlalu kuat.

"Malaikat maut Sariel, mereka tidak main-main melakukan ritual ini."

Malaikat maut? Tapi, ia tidak terlihat mengerikan, malah terasa ada aura keagungan saat ia muncul. 

Tidak lama setelah kemunculan Sariel, dari jalan utama muncul rombongan orang yang terdiri dari tiga barisan, barisan tengah diisi oleh barisan laki-laki dan perempuan yang berjalan berdampingan. Masing-masing mereka dirantai di kaki dan tangan mereka, sedangkan di kiri dan kanan mereka diisi oleh barisan prajurit kerajaan. 

Para penonton mulai melempari barisan laki-laki dan perempuan itu dengan bebatuan, dimulai dari kerikil yang kecil hingga bongkahan batu-batu besar, mereka juga terus-menerus meneriakkan kata penghianat dan penjahat.

"Apakah mereka bersalah?"

"Mungkin, aku juga tidak tahu jelas."

Tubuh orang-orang yang dilempari batu mulai menunjukkan titik-titik lebam, tidak lama, ada prajurit yang kemudian mendekati mereka dan menyembuhkan luka-luka itu, setelah sembuh, mereka kembali dilempari batu dari arah penonton, kegiatan itu terus berulang hingga akhirnya mereka sampai ke depan panggung.

Barisan mereka mulai dipisah, para perempuan ditarik dengan paksa untuk naik ke atas panggung, lalu kepala mereka dihempaskan ke lantai kayu, sementara, para laki-laki dipaksa berlutut di depan panggung. 

Para prajurit yang menyertai para perempuan tadi mulai menghunuskan pedang mereka dan mengalungkannya ke leher para perempuan yang malang itu.

Walaupun jarakku cukup jauh dari panggung, aku dapat mendengar suara tangisan para perempuan itu, meskipun tersamarkan oleh sorak sorai para penonton yang justru semakin meriah saat melihat para perempuan itu menangis.

Rombongan selanjutnya datang, kali ini rombongan itu diisi oleh barisan anak-anak yang dikawal oleh prajurit-prajurit. Mata Veila terfokus pada barisan itu, sepertinya inilah rombongan yang kami nantikan. 

Aku mencoba mencari sosok Roki diantara barisan anak-anak itu, baju mereka sudah diganti dengan pakaian berwarna putih yang dipenuhi dengan sobekan, lalu rambut mereka yang acak-acakan menyulitkanku untuk mencari sosok Roki diantara barisan anak-anak itu.

"Itu dia!" Teriak Veila.

Suaranya cukup keras sampai-sampai beberapa pelayan yang bekerja di mansion ini menoleh ke tempat kami, untungnya kami tidak dapat dilihat dengan mata telanjang.

"Maaf maaf," bisik Veila.

Aku mencoba untuk memfokuskan mataku lagi, tetapi, aku masih tidak melihat Roki diantara barisan itu.

"Aku tidak melihat Roki, tapi, karena kamu sudah melihatnya, sekarang apa?"

"Kita tunggu sebentar lagi, pengamanan mereka masih cukup ketat."

"Bukankah jika ditunggu lebih lama lagi pengamanannya justru menjadi lebih ketat?"

Veila berpikir sesaat, ia lalu memberikan sinyal untuk menjalankan rencana kami.

Zabu lalu melompat keluar dan segera berlari ke arah panggung, kami dengan cepat melewati prajurit kerajaan. Zabu terus melesat menuju ke arah barisan anak-anak, walaupun sulit, aku dapat melihat Roki diantara barisan itu.

Aku langsung melompat turun di barisan tempat Roki berada, lalu memanggil Atares. Beberapa prajurit kerajaan terlihat terkejut, beberapa lainnya langsung mengarahkan senjata mereka kearahku.

Aku dengan sigap memotong rantai yang membelenggu tangan dan kaki Roki, untungnya Atares dapat dengan mudah memotong rantai berkarat ini.

Salah satu prajurit langsung berlari maju dan menebaskan pedangnya kearahku, aku dapat menghindarinya dengan mudah, namun, aku juga menyebabkan prajurit itu menebaskan pedangnya sedikit lebih jauh dan akhirnya mengenai salah satu anak yang ada di barisan.

Aku tidak bisa bertarung disini, terlalu banyak orang, terutama anak-anak ini, aku tidak dapat membuat mereka terluka hanya karena aku bertarung disini.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah Roki, sosoknya sudah tidak dapat lagi kulihat, Veila sudah berhasil membawa Roki pergi dari sini.

Sekarang, bagaimana caranya aku dapat pergi dari sini.

Para penonton juga mulai melempariku dengan bebatuan, aku segera menggunakan mekanisme yang ada di tangan kiriku, meluncurkan telapak tangannya dan mencengkram salah satu atap bangunan yang ada, alih-alih menarik telapak tanganku kembali kepadaku, kali ini aku menggunakannya untuk menarik diriku di udara dan melompat ke atap bangunan itu.

Aku segera memanggil Aral dan Lara, lalu melepaskan anak panah cahaya itu ke udara, sebuah tanda bagi Bara dan Fana untuk bergerak.

Terdengar suara dentuman keras dari arah gerbang masuk Klein, tubuh Bara yang tumbuh semakin besar juga dapat dilihat dari sini.

Puluhan bola-bola api muncul berterbangan di udara, semua berjalan sesuai rencana, seharusnya Roki dan Veila sekarang sudah keluar dari Klein.

Ini saatnya aku pergi, namun, bagaimana dengan nasib anak-anak yang lain? Ditengah kebimbangan ini, tiba-tiba saja suara Ratu dapat terdengar, kali ini, nada bicaranya terdengar lebih serius

"Festival, dimulai."

Hanya dua kata, namun, dapat membuat seluruh badanku merinding.

Aku menatap keatas, melihat apa yang Sariel akan lakukan.

Sariel menggerakkan tangan kanannya, buku magis miliknya mulai terbuka, halaman demi halaman terlewati hingga buku itu tiba-tiba berhenti di suatu halaman.

Dari buku magis itu, muncul sebuah lingkaran sihir.

Aku dapat mendengar jeritan dan sorak-sorai pada saat yang bersamaan, membuat pandanganku teralihkan kepada sumber suara jeritan.

Suara itu berasal dari anak-anak yang di bawah, sesuatu mulai terjadi kepada mereka.

Serpihan-serpihan kecil berwarna coklat, kuning, dan agak kehitaman mulai berterbangan di udara, serpihan-serpihan ini seperti sedang dihisap ke suatu tempat.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah asal serpihan-serpihan itu.

Datangnya dari anak-anak yang dirantai? Aku mencoba untuk melihat lebih jelas lagi. Serpihan-serpihan itu… adalah kulit anak-anak yang terkelupas?!

Mereka juga sekarang mulai dilempari batu-batu dari penonton, sedangkan, ada beberapa prajurit yang menyembuhkan anak-anak itu. Penderitaan yang tidak terlihat akhirnya, anak-anak itu menangis sangat kencang, beberapa mencoba untuk memberontak, namun, prajurit kerajaan terlalu kuat bagi mereka.

Serpihan-serpihan kulit tadi terbang semakin tinggi dan akhirnya hilang dihisap oleh lingkaran sihir buku magis Sariel.

Sial, aku sangat ingin membantu anak-anak itu, namun, jika aku ingin benar-benar menolong mereka, aku harus segera menghentikan Sariel terlebih dahulu.

"Bara!" Teriakku, sebuah lingkaran sihir muncul di hadapanku.

Sosok Bara muncul keluar dari lingkaran sihir itu.

Bara dengan badannya yang besar itu langsung menghantam dengan keras jalan batu dibawahku.

Bara terlihat sedikit kebingungan, namun, tidak lama setelah itu ia segera menghantam beberapa prajurit kerajaan di sekitarnya.

Selagi perhatian para prajurit kerajaan teralihkan, aku menggunakan kesempatan ini untuk meluncurkan telapak tangan kiriku ke salah satu atap bangunan yang ada, lalu aku melompat dan menarik diriku ke atap bangunan itu.

Aku menengadah ke atas, sosok Sariel terlihat tidak terganggu dengan kekacauan yang sedang berlangsung, lingkaran magisnya terus menyerap kulit, daging, dan darah dari para tumbal manusia yang sudah dipersembahkan oleh kerajaan.

Aku harus mencari cara untuk dapat mencapai Sariel, Baratum mungkin dapat menghancurkan sihir pelindung miliknya, aku tidak tahu itu akan berhasil atau tidak, tapi, apa salahnya jika dicoba dulu bukan?

Aku kemudian berteriak kepada Bara untuk mengulurkan tangannya, setelah itu aku langsung melompat ke atas telapak tangan Bara.

"Lemparkan aku ke Sariel pada hitungan ke tiga," Perintahku kepada Bara.

Aku tahu ini permintaan yang konyol, belum lagi Bara sekarang masih diserang oleh prajurit-prajurit kerajaan, namun, aku yakin ia akan baik-baik saja.

"Satu," Aku bersiap dengan kuda-kudaku.

"Dua," Aku memfokuskan energi sihir ke kedua kakiku.

"Tiga!" Bara mengayunkan tangannya dengan cepat, dan sebelum aku dapat benar-benar sepenuhnya dilemparkan, aku menunduk dan melompat menggunakan semua energi yang telah aku kumpulkan tadi.

Aku dapat merasakan tubuhku melesat menembus angin.

Dengan cepat aku mendekati sosok Sariel, aku langsung memanggil Barataum. Dengan sekuat tenagaku, aku mengayunkan palu gadaku ini ke arah Sariel, terdengar suara retakan dan diikuti dengan suara pecahnya dinding pelindung yang cukup nyaring.

Aku berhasil! Gumamku pada diri sendiri.

Lalu sekarang apa?

Sariel terpukul mundur setelah terkena seranganku tadi, Begitu juga diriku, hanya saja bedanya, aku sekarang sedang terjun bebas tanpa arah dan kendali.

Setidaknya aku berhasil mengalihkan perhatian Sariel dari para korban di Festival, namun, sialnya aku sekarang mendapat perhatian penuh Sariel.

Buku magis Sariel mulai bergerak dan membalikkan halaman demi halamannya, sampai buku itu berhenti di sebuah halaman, sesaat setelahnya puluhan lingkaran sihir muncul di sekitar Sariel.

Dari masing-masing lingkaran sihir itu muncul sebuah rantai yang langsung melejit maju mengarah ke arahku. Aku spontan memanggil Atares dan Regalia, menangkis dan memotong rantai-rantai yang tidak terlihat ujungnya ini, dan ya memang benar begitu, tidak perduli seberapa banyak aku potong rantai-rantai ini, rantainya terus bermunculan dan aku benar-benar kewalahan menghadapinya.

Tentu saja aku juga masih terjun bebas di udara, tidak lama lagi sebelum tubuhku menghantam salah satu atap bangunan yang ada di bawahku ini, dan hidupku berakhir disini. Aku tidak mempunyai waktu untuk memanggil bola cahaya dan mengubahnya ke bentuk lain, dan bentuk lain dari bola cahaya yang aku miliki hanya sebatas senjata-senjata saja.

Perhatian Sariel telah kembali ke orang-orang di festival, halaman di bukunya kembali berbalik dan berhenti, lingkaran sihir yang sama kemudian muncul, kembali menyerap daging dan kulit dari anak-anak malang yang terjebak di Festival ini.

Saat mendengar tangisan anak-anak itu kembali menggema, perhatianku sempat teralihkan, dan salah satu rantai yang ada berhasil menangkap dan mengikat kaki kiriku, tepat beberapa saat sebelum tubuhku menyentuh atap salah satu bangunan. 

Aku sekarang sedang menggantung di udara, rantai-rantai lainnya langsung membungkus dan mengikat tubuhku dengan erat, rasanya seluruh tubuhku sedang dicekik dengan kuat oleh rantai-rantai ini.

Aku memanggil nama Fana, tepat sebelum salah satu rantai itu mencekik leherku, sebuah lingkaran sihir muncul di depanku, sosok Fana melompat keluar, sepertinya ia belum selesai menembakkan apinya saat aku memanggilnya, ekor putihnya itu masih terbakar saat ia melompat keluar.

Melihat diriku yang semakin tenggelam dalam ikatan rantai-rantai ini, Fana langsung bereaksi dan menghancurkan rantai-rantai yang mengikatku ini.

Aku langsung terhempas ke atap bangunan, rantai-rantai yang mengikatku tadi juga mulai menghilang dengan sendirinya. Belum juga aku dapat mengatur nafasku, aku langsung dihujani oleh panah-panah dan tombak yang diarahkan kepadaku.

Aku langsung memanggil bola cahaya dan membuat kubah pelindung, rantai-rantai yang tadi mengejarku juga sudah sepenuhnya menghilang, begitu juga dengan puluhan lingkaran sihir yang memanggil mereka. Di kejauhan aku dapat melihat beberapa prajurit kerajaan yang berlari cepat ke arahku, beberapa dari mereka mengeluarkan aura berwarna kuning, kilatan-kilatan petir juga seakan mengikuti mereka.

Fana dengan sigap menghadapi beberapa dari mereka, sedangkan beberapa lainnya langsung menebas pedang mereka ke kubah pelindungku, setiap kali pedang mereka menyentuh kubah milikku, ada percikan-percikan petir kecil yang terbentuk.

Kekuatan mereka bukanlah tipe yang dapat aku remehkan, satu atau dua tebasan saja dapat membuat tubuhku lumpuh seketika. Aku sering melihat kilatan-kilatan petir menyambar pepohonan, meninggalkan bekas khas penuh kelokan pada balok kayu yang terbakar dan hangus dalam sekejap mata.

Aku kembali memanggil Atares dan Regalia, lalu membuka kubah pelindungku dan langsung mengayunkan pedangku. Seranganku berhasil mematahkan seluruh pedang mereka, manifestasi pedang cahaya memang benar-benar mengerikan, beberapa dari mereka langsung mencoba untuk memukulku dengan tangan kosong, dengan mudah aku menangkis dan mendorong balik serangan mereka semua.

Aku lalu mengalirkan energi sihir ke tangan kiriku, dan setelah terkumpul cukup banyak, aku menghempaskan tangan kiriku ke pijakan mereka, atap yang mereka pijak langsung bergoyang dan runtuh pada saat yang bersamaan, membawa mereka semua jatuh bersamanya.

Sebuah kilatan cahaya berwarna kuning tiba-tiba saja terlihat dari arah panggung Festival, jaraknya lumayan jauh dari sini. 

Aku dapat merasakan sesuatu telah menggores pipi kiriku, dan rasanya cukup panas, seperti aku telah disayat dan dibakar pada saat yang sama, sebuah serangan? Tetapi, kapan?

Kilatan cahaya kuning itu terlihat lagi, aku refleks menggunakan Regalia untuk melindungi sebagian besar tubuhku, namun, sayang, kali ini yang terkena sabetan serangan misterius itu adalah kaki kananku.

Kilatan cahaya kuning itu terlihat lagi, kali ini aku kembali membuat kubah pelindung, aku dapat merasakan sesuatu menghantam kubah pelindungku ini, namun, tidak ada wujudnya.

Kali ini kilatan cahaya kuning terlihat berkali-kali, aku bahkan sampai tidak sempat untuk menghitungnya. Kubah pelindungku bergetar hebat, serangan demi serangan terus mengguncang sihir pelindungku ini, aku lantas membuat lapisan kedua, karena melihat retakan-retakan yang muncul di lapisan pertama.

Aku dapat merasakan kakiku bergoyang, tidak, aku yakin kuda-kudaku sudah baik, tapi, sepertinya yang dia incar adalah pijakanku.

"Sial!" Ucapku, terlambat menyadari fokus serangan musuh, atap yang aku pijak runtuh, begitu juga dengan bangunannya, karena kubah pelindungku tidak lagi memiliki dasar pijakannya, sihirku itu juga ikut menghilang.

Aku menggunakan Regalia untuk meredam momentum jatuhku, sebelum aku menyentuh tanah, aku melempar bola cahaya dan langsung membuat kubah pelindung lagi, tepat sebelum reruntuhan bangunan dapat menguburku.

Karena bangunan tidak sepenuhnya runtuh, terdapat sela kecil yang dapat aku masuki untuk keluar dari reruntuhan ini. Aku merangkak melewati sela kecil itu, keluar diantara kerumunan orang-orang yang sedang panik, hilir mudik berlari tanpa arah. Memanfaatkan kekacauan ini, aku menyusup ke sebuah gang kecil yang ada di sebelah bangunan ini.

Aku melihat sosok Fana melompat dari satu atap ke atap lainnya, sembari melemparkan bola-bola apinya ke bangunan sekitar, warna kota Klein kini berubah menjadi warna oranye dengan aksen merah, abu yang terbakar menyusup diantara kerumunan, dalam setiap tarikan nafasku, aku dapat merasakan bahwa Klein sedang dihalap oleh kobaran api.

Dentuman keras dapat terdengar di kejauhan, aku rasa Bara sedang mengamuk melawan semua prajurit kerajaan yang terus datang ke arahnya.

"Disana!" Aku mendengar teriakan seseorang, beberapa saat setelah itu, aku dapat melihat gerombolan prajurit kerajaan berjalan ke arahku. 

Aku langsung berlari menyusuri lorong ini lebih dalam, sampai aku akhirnya terhenti di sebuah pertigaan, sebentar, pertigaan ini, aku kenal sekali dengan tempat ini, aku lantas memilih untuk berbelok ke kanan.

Sambil berlari menembus kerumunan orang yang ada di depanku ini, pandanganku menatap liar ke tiap bangunan yang aku lewati, aku mencari sebuah nama.

Ketemu! Aku langsung masuk mendobrak pintu depan penginapan, lalu menanjak naik ke lantai dua, dan memasuki kamar tempat biasanya aku menginap, jendelanya masih terbuka, namun, takut tiba-tiba menutup jendela dapat menarik perhatian prajurit kerajaan, aku memutuskan untuk membiarkannya terbuka begitu saja.

Aku menyandarkan diriku di ujung ruangan, mempertanyakan tentang keputusanku untuk ikut campur sejauh ini, jelas sekali aku tidak memiliki kekuatan untuk melawan para prajurit kerajaan, apalagi mereka yang menyandang kelas bergelar Avalon, serangan dengan kilatan cahaya kuning itu benar-benar berbahaya, aku bahkan belum menerima serangannya secara penuh.

Aku meringkuk kelelahan di ujung kamar yang sangat familiar ini, memanggil banyak kubah pelindung, memanggil banyak senjata, memfokuskan energiku di beberapa bagian tubuhku, serta melarikan diri dan akhirnya terdiam di kamar kecilku ini, energiku sudah termakan habis,.

Aku benar-benar putus asa, apakah aku lari saja sekalian? Lagipula aku yakin sekali Roki dan Veila sudah keluar dari Klein dengan selamat, Bara dan Fana akan baik-baik saja jika aku tinggalkan, tinggal bagaimana caranya aku dapat keluar dari kota ini.

Menghentikan Festival ini juga mustahil, aku bukanlah lawan bagi Sariel, serangan rantainya bukanlah serangan yang fatal, namun, aku sudah sudah sangat kesusahan untuk menghadapi serangan itu.

Ditengah kalutnya pikiranku ini, tiba-tiba saja aku dapat merasakan seseorang memegang pundak kananku, sebuah suara langsung mengikutinya.

"Hei," Ucap suara itu. Suaranya terdengar lembut dan familiar, seperti suara Veila. Meskipun begitu, aku refleks langsung memukul area di kananku.

Benar saja, yang mencoba untuk berbicara denganku ini adalah Veila, ia dengan mudah menangkap seranganku. Matanya terlihat iba, dia bisa dengan jelas melihat tangan kananku yang bergetar tidak karuan, aku tahu keputusanku untuk ikut campur dengan festival ini benar-benar bodoh, aku tahu benar itu, tetapi, hati kecilku menolak untuk pergi meninggalkan anak-anak itu begitu saja.

Aku tidak tahu harus merasakan apa, emosi ini bercampur aduk, putus asa, marah akan lemahnya diri sendiri, sedih karena aku mungkin tidak dapat menyelamatkan anak-anak itu, dan lelah menghadapi ini semua.

Sebuah pendaran cahaya hijau tiba-tiba memantul di seluruh ruangan, rasa hangat mulai menjalar dari pundak kananku dan perlahan menyelimuti tubuhku.

Kabut-kabut yang ada di dalam kepalaku raasnya sedikit demi sedikit menghilang, nafasku mulai melambat, perlahan aku mulai tenang dan dapat berpikir dengan jernih.

"Jadi bagaimana?" Sebuah pertanyaan yang paling tidak ingin aku dengarkan sekarang. Jika aku pikirkan lagi, ini adalah sebuah kesempatan emas, aku sama sekali tidak melihat sosok Veila saat memasuki ruangan ini, sedari tadi aku harusnya sendirian di kamar ini, dan satu-satunya jalan masuk hanya melewati jendela yang terbuka, itupun seharusnya aku mendengar Veila memasuki kamarku ini.

Jawaban dari misteri itu hanya satu, Veila pasti bersama Zabu memasuki kamar ini, dan disinilah kesempatan emasku untuk dapat pergi dari kota ini tanpa terdeteksi.

"Roki dimana?" Tanyaku, khawatir dengan keadaannya, jika Roki masih belum ada di tempat yang aman, aku tidak bisa meninggalkan kota ini begitu saja.

"Dia aman, bersama dengan kenalanku, jadi bagaimana? Apa keputusanmu?" Veila sadar bahwa kami dapat dengan mudah pergi dari sini, namun, apakah aku kuat membawa dosa ini bersamaku? Pergi melarikan diri meninggalkan mereka yang seharusnya bisa aku selamatkan, dengan adanya Veila disini, kami mungkin dapat menghentikan Festival, dengan menghentikan Sariel dari ritual yang dilakukannya.

"Tapi hanya kita berdua?" Tanyaku ragu.

"Kamu lupa Bara dan Fana? Aku juga punya kejutan nanti kok," Veila terlihat yakin dengan apapun yang aku pilih, dari raut wajahnya aku dapat melihat bahwa ia sepenuhnya mendukung apapun keputusan yang aku ambil.

"Maaf, tapi aku masih belum cukup kuat untuk meninggalkan anak-anak itu," Jawabku, rasanya berat sekali untuk meninggalkan kota ini dengan kekacauan yang telah aku buat sendiri, apalagi untuk pergi dengan kesadaran penuh bahwa aku mungkin dapat menyelamatkan nyawa anak-anak itu dengan bantuan Veila.

Veila kemudian memberikan isyarat untuk mengikutinya, Zabu memperlihatkan sosoknya, Veila menaiki punggungnya, aku juga mengikutinya. Kami menyusup keluar dari jendela yang sama, lalu memanjat atap yang bangunan penginapan kami.

Zabu mulai belari dan melompat ke atap-atap bangunan lain, momentum kami mulai meningkat, hingga kami hanya satu bangunan sebelum jalan utama kota.

"Pegangan!" Perintah Veila kepadaku, aku langsung memegang punggung Zabu sekuat tenagaku.

Kami melompati kerumunan prajurit kerajaan yang sedang mencari keberadaanku, aku rasa Fana dapat merasakan kehadiranku, ia langsung ikut melompat ke arah kami, namun, ia tidak bisa secara tepat menebak keberadaan kami, dan meneruskan lompatannya dengan menerjang sekelompok prajurit kerajaan yang berada di bawah kami.

Veila tiba-tiba saja menggenggam pergelangan tanganku, aku yang terkejut lantas melepaskan kedua pegangan tanganku. Veila kemudian menarik tanganku kuat dan melemparkan diriku jauh ke udara, inikah kejutan yang dia maksud? Aku sangat bingung sampai-sampai aku tidak menyadari bahwa sebentar lagi aku akan jatuh menghantam salah satu bangunan.

Sudah terlambat untuk mengeluarkan bola cahaya, begitu juga dengan Regalia, meskipun aku dapat memanggilnya, aku tidak mempunyai waktu untuk memegang dan mengarahkan perisai cahayaku itu untuk meredam benturan.

Aku memejamkan mataku, bersiap untuk membentur dinding bangunan yang ada di depanku ini.

Sesuatu tiba-tiba memegang kedua bahuku, dan aku dapat merasakan momentum tubuhku berubah, aku lantas membuka kedua mataku.

Aku sekarang sedang terbang di udara tanpa arah, dua buah cakar bersisik mencengkram kedua bahuku dengan erat, mengingatkanku dengan kaki naga hitam yang dulu memutuskan tangan kiriku.

"Siapa itu?!" Teriakku, bingung karena nasibku kurang lebih sedang berada di tangannya.

Tenanglah, nona manis.

Sebuah suara seperti berbicara di dalam kepalaku.

Suara ini terdengar familiar, jangan-jangan? Albert!

Benar.

Jadi ini kekuatan Eifmir? Semacam transformasi?

Kurang lebih.

Lalu juga telepati dan kekuatan untuk membaca pikiran, ditambah kemampuan lainnya yang masih tidak aku ketahui, Albert mungkin adalah jawaban untuk menghentikan Sariel.

Aku juga tidak yakin bisa menghadapinya.

Kenapa begitu? Bukankah Eifmir merupakan bagian dari ras yang diciptakan Lentira? Khusus untuk diturunkan di medan perang, kan?

Sariel merupakan salah satu dari lima pilar dinasti Lentira.

Lima pilar dinasti? Apakah itu semacam sistem peringkat kedudukan yang Lentira ciptakan?

Kurang lebih, intinya lima ciptaan terkuat-Nya, mereka silih berganti seiring waktu, aku dulu adalah salah satunya, namun, aku memiliki alasan sendiri untuk berhenti mengikuti Lentira.

Jadi apa rencana kita?

Tidak ada. Setelah menjawab pertanyaanku itu, kami langsung melesat tepat menuju ke arah Sariel, ini kita akan benar-benar menyerang tanpa adanya rencana? Albert sudah gila ya?

Halaman pada buku magis Sariel mulai berbalik dengan sendirinya, lingkaran-lingkaran sihir kemudian muncul di udara, rantai-rantai magis kembali muncul dari masing-masing lingkaran itu.

Albert mulai terbang meliuk-liuk di udara, mencoba untuk menghindari masing-masing rantai yang diluncurkan ke arah kami, tubuhku bergoyang-goyang di udara, tidak dapat mengendalikan kemana arahnya pergi.

Jarak diantara kami dengan Sariel mulai berkurang, halaman buku magis Sariel itu kembali bergerak, lingkaran-lingkaran sihir yang sebelumnya ada mulai menghilang, digantikan oleh dua lingkaran sihir besar yang muncul di depan Sariel.

Angin kencang seakan menabrak kami berdua, keseimbangan kami tergoyahkan, Albert hampir melepaskan cengkramannya pada tubuhku. Lantas Albert langsung menukik dan mencoba untuk menghindari sihir angin yang dilancarkan oleh Sariel.

Aku kemudian mengeluarkan Aral dan Lara, mencoba untuk memanah Sariel dari jarak jauh, kami sekarang sedang terbang mengitari Sariel, mencoba untuk lebih mendekatinya, sembari menghidari sihir anginnya.

Tinggal sedikit lagi, aku hanya perlu memanah Sariel, perhatiannya terbagi antara serangannya dan pada gelembung pelindungnya, meskipun panahku tidak dapat menembus pelindungnya itu, namun, seranganku ini dapat meretakkan pelindungnya jika panah-panahku itu mendarat di tempat yang sama.

Intensitas serangan Sariel mulai menurun, aku terus melancarkan seranganku ini, Albert dengan konsisten terus terbang semakin mendekat.

Bersiaplah.

Untuk apa? Bersiap untuk apa Albert? Hei!

Albert tiba-tiba saja meningkatkan kecepatan terbangnya, aku tidak dapat lagi menyerang menggunakan panah cahayaku, kecepatan terbang ini terlalu cepat begiku untuk melancarkan serangan yang konsisten.

Albert lalu melemparkan diriku ke arah Sariel, momentum kecepatanku meningkat dengan pesat, sebentar, jadi dia ingin aku melakukan hal yang sama seperti sebelumnya?

Aku langsung memanggil Baratum, halaman di buku magis Sariel kembali bergerak, namun, sekarang sudah terlambat.

Aku dengan kuat menghantam gelembung pelindung Sariel dengan kuat. Pelindung magisnya itu pecah berkeping-keping, aku kembali terhempas ke belakang akibat benturan itu.

Aku dapat melihat sosok Albert terbang tinggi di atas Sariel, ia kemudian menukik tajam, tangan kanannya berubah semakin besar dan sisik naganya semakin banyak.

Albert lalu menghantam Sariel dengan kuat, dengan sekali pukulan itu, sosok Sariel langsung jatuh terhempas ke bangunan yang ada di bawahnya.

Albert kemudian terbang ke arahku, ia lalu menangkapku di udara dengan mudah.

Siap untuk serangan ke dua?

Serangan tadi masih belum cukup.

Haha, tentu saja belum.

Jadi apa rencana kita selanjutnya?

Hmm? Tentu saja hantam dia kembali dengan senajtamu yang besar itu.

Lalu?

Setelah itu, gunakanlah tangan prostetikmu, atau panggil salah satu familiamu itu, dan menjauhlah sejauh mungkin dari Sariel, aku yang akan mengurus sisanya.

Kami kembali menukik tajam, Albert lalu melemparkanku lagi ke arah Sariel. Asap dan debu yang baru saja berterbangan diakibatkan oleh jatuhnya Sariel mulai menghilang, aku dapat dengan jelas melihat sosok Sariel yang sedang terbaring tidak berdaya, aku juga tidak bisa melihat pelindung magisnya, jadi ia sekarang benar-benar tanpa perlindungan dan sedang tidak berdaya.

Aku kembali memanggil Baratum, memfokuskan energi di kedua tangan dan kakiku, lalu menghempaskan Baratum dengan sekuat tenagaku ke Sariel.

Dentuman keras langsung dapat terdengar sesaat setelah aku menyerang Sariel, bangunan tempatku mendarat juga langsung bergetar dan beberapa dindingnya berjatuhan.

Tubuhku rasanya tidak dapat bergerak, seberapa banyakpun aku meminta kakiku untuk bergerak, aku tidak dapat menggerakkan mereka sama sekali.

Dengan suaraku yang kecil, aku lantas memanggil Fana. Dari sebuah lingkaran sihir sosok putihnya itu muncul, aku lalu memintanya untuk menggigit leher bajuku dan segera menarikku menjauh dari Sariel.

Fana segera menarik dan menyeret tubuhku menjauh dari tempat itu, melompat dari satu atap ke atap lainnya.

Sosok Albert dapat terlihat jelas di udara, panah-panah dan tombak para prajurit berterbangan mencoba untuk menyerang sosoknya itu, namun, ia dengan tenang dapat menghindari serangan-serangan itu. Sebuah kilatan cahaya merah terlihat muncul dari mulut Albert, ia seperti sedang menghirup nafas panjang dan bersiap untuk menyemburkan sesuatu.

Sebentar, jangan-jangan?

Kobaran api kemudian muncul dari mulut Albert, kobaran api itu ia semburkan ke arah bangunan tempat Sariel terbaring. Walaupun Albert bergerak di udara, serangannya tetap terfokus pada Sariel, serangan api Albert itu langsung menghanguskan apapun yang disentuhnya, bebatuan yang sebelumnya menjadi fondasi bangunan, mulai meleleh dan berubah menjadi sebuah cairan berwarna oranye kehitam-hitaman.

Meskipun aku sudah diseret cukup jauh dari tempat Sariel berada, aku dapat merasakan udara disekitarku berubah menjadi jauh lebih hangat dari sebelumnya, kekuatan Albert benar-benar mengerikan.

Klein yang awalnya aku anggap dipenuhi dengan lautan api karena serangan Fana, kini benar-benar berubah, rasanya, kota ini adalah kota yang dibangun dari kobaran-kobaran api, menggantikan bangunan-bangunan yang ditelan oleh keganasan api yang terus berkobar.

Setelah beberapa lama, Albert menghentikan serangannya, aku kini sudah menyenderkan diriku di salah satu cerobong asap bangunan.

Apakah kita berhasil? Langit yang awalnya mendung perlahan menghilang dan digantikan oleh langit biru, kita benar-benar berhasil menghentikan Festival, kan?

Sebuah lingkaran sihir raksasa kembali muncul di angkasa, sesuatu kemudian melesat cepat dari arah Sariel diserang menuju ke arah lingkaran sihir itu, kemudian menghilang bersamaan dengan menutupnya lingkaran sihir raksasa itu.

Kita menang, kali ini kita menang! Aku masih tidak dapat menyangka bahwa aku dapat menghentikan Festival menjijikkan ini, tentu saja dengan bantuan dari Albert, Veila, Bara, dan Fana. Tanpa mereka, aku tidak mungkin berhasil memenangkan pertarungan ini, apalagi melawan Sariel dan prajurit Kerajaan Timur pada saat yang bersamaan.

Albert sedang terbang dengan pelan ke arahku, aku tidak sabar menanyakan apakah kita sudah benar-benar berhasil.

Semakin dekat Albert dengan posisiku, aku semakin menyadari ada sesuatu yang aneh, wajah Albert terlihat muram, bahkan aku dapat mengatakan wajahnya hampir pucat, seakan ia tidak lagi memiliki jiwa untuk hidup.

Sosok Albert lalu terjatuh tepat di atap yang sama denganku.

Aku langsung memeriksanya, nafasnya teratur, namun, mengeluarkan asap yang masih cukup panas jika aku sentuh. Veila dan Zabu lalu muncul dari ketiadaan, kemudian Veila mulai menggunakan sihir penyembuhnya ke Albert.

"Dia tidak apa-apa, kan?" Tanyaku kepada Veila.

"Aneh, tubuhnya tidak menunjukkan adanya kerusakan ataupun luka, energi sihirnya juga cenderung stabil," Balas Veila, jika semua yang dikatakannya benar, lalu kenapa Albert terlihat seperti ini?

Kita kalah. Suara Albert berdengung di kepalaku.

Itu tidak mungkin bukan? Sariel sudah menarik dirinya, dan orang-orang sudah tidak lagi ada di jalan utama Klein.

"Ahahahaha!!" Sebuah suara tawa seperti menggelegar menutupi kekacauan yang masih terjadi di kota ini.

Suara ini, tidak salah lagi, suara dari Ratu Kerajaan Timur.

"Aaaah, apakah kalian bisa mendegarku?" Suara itu kembali terdengar kencang, sangat kencang hingga aku rasa satu kota ini dapat mendengar ocehannya itu.

"Sihir Amplifikasi suara," Celetuk Veila.

"Jujur saja, permintaan dari Lentira kali ini sangat tidak masuk akal, ia memintaku untuk mengorbankan deretan anak-anak, bukankah itu sedikit gila? Bahkan aku saja kesulitan untuk mengambil keputusan itu," Lanjut Ratu itu.

"Tapi lihatlah sekarang? Ahahaha, kekacauan yang telah kalian buat, apakah kalian buta? Beruang ajaib itu sudah mengumpulkan segunung mayat prajurit dalam pertarungan singkat ini, lalu, ratusan keluarga sekarang kehilangan rumah mereka, dan oh ya! Anak-anak yang seharusnya sekarang masih hidup? Hangus menjadi abu! Sungguh konyol," Tambahnya lagi.

"Dewi sialan itu benar-benar mendapatkan apa yang ia inginkan kali ini, terima kasih karena kalian, Kerajaan Timur akan mengalami panen paling besarnya. Bangunan-bangunan yang telah terbakar dapat dibangun kembali, anak-anak itu? Hanya angka kecil jika dibandingkan dengan anak-anak yang hidupnya akan jauh lebih makmur akibat persembahan hari ini, sekali lagi aku mengucapkan rasa terima kasihku yang sebesar-besarnya kepada kalian," Ucap Ratu sialan itu.

Aku jujur tidak dapat berkata-kata, apakah yang dikatakannya benar? Aku lihat lagi ke sekelilingku, kobaran api yang terus merembet dari satu bangunan ke bangunan lainnya, bangunan-bangunan yang hangus terbakar, orang-orang yang berlarian kesana kemari mencoba untuk mencari perlindungan, dan untuk pertama kalinya dalam pertarungan ini, aku dapat mendengar suara tangisan yang muncul dari berbagai arah.

Aku mengintip ke arah jalan kecil yang ada di bawahku ini, seorang anak laki-laki sedang berteriak mencari ayahnya, terjebak diantara kerumunan orang yang lalu-lalang, kadang terinjak dan terlempar kesana kemari.

Prajurit-prajurit kerajaan yang panik belari kesana kemari, membawa ember kayu dan mencoba untuk menyiram bangunan yang sedang terbakar, tidak lagi perduli dengan kami yang berada di atap bangunan ini.

Lalu aku berdiri, melompati atap-atap bangunan hingga aku sampai ke tempat Bara bertarung, dan benar saja, di sekitar Bara terdapat mayat prajurit-prajurit kerajaan yang terpotong-potong, darah mereka seakan mewarnai jalan batu yang awalnya terlihat indah, kini hanya diwarnai oleh darah merah cair yang mengalir diantara sela-sela batunya.

Bara yang melihat diriku langsung mengecilkan tubuhnya dan melompat ke arahku, ia lalu meraung di sebelahku. Melihat sosoknya yang dipenuhi darah manusia itu, aku spontan melompat mundur, perasaan jijik dan takut seakan memenuhi tubuhku, aku seperti tidak mengenal siapa beruang yang sedang berdiri di depanku ini.

Bara terlihat sedih setelah melihatku bersikap seperti ini, ia kemudian beranjak pergi menemui Fana, Veila, Zabu, dan Albert di tempat sebelumnya.

Kakiku terasa lemas, aku tersungkur di atap bangunan ini, rasanya tidak dapat bergerak, aku tahu aku masih memiliki energi sihir yang cukup untuk menggerakkan tubuhku, namun, rasanya seperti ada beban berat yang menekan dadaku, disesakkan oleh perasaan itu, tubuhku menyerah untuk melawan perasaan itu.

Kenyataan yang muncul di sekitarku rasanya mulai menyekap pikiranku, gambaran tentang aku dan teman-temanku yang menyelamatkan kota ini perlahan memudar, ditengah kobaran api ini, ditengah teriakan ini, ditengah tangisan-tangisan ini, aku akhirnya mengerti sesuatu.

Mengerti bahwa apa yang aku lakukan pada akhirnya benar-benar sia-sia, bahwa apapun yang aku lakukan hasilnya akan berakhir sama, Festival akan tetap terselesaikan sesuai dengan keinginan Lentira. 

Lalu, sebenarnya apa peranku sebagai pembawa cahaya? Seorang pembawa harapan? Kepada siapa harapan itu aku tempatkan? Dan pada akhirnya, sebenarnya siapa diriku ini?

Sama seperti sebelumnyna, pertanyaan-pertanyaan ini memenuhi kepalaku, tangisan dan teriakan orang-orang terdengar semakin kencang, namun, setelah beberapa saat, suara-suara mereka mulai berubah sayu, mulai meredup, digantikan oleh bisikan-bisikan amarah, diikuti dengan ilusi tangan-tangan yang menunjuk ke arahku dengan penuh dendam, mereka yang menatapku rendah, layaknya mereka melihat 'penjahat' yang diarak pada festival hari ini.

Bisikan-bisikan itu mulai terdengar semakin kencang.

Aku mencoba untuk menutup telingaku dengan kedua tanganku.

Rasanya aku menekan telingaku hingga kepalaku dapat pecah, namun, suara-suara itu masih terngiang kencang.

Aku mencoba untuk mengatakan sesuatu, pikiranku melaju tanpa arah, dan pada akhirnya hanya satu hal yang dapat keluar dari mulutku.

"AAAAGGGHHH!!!" Teriakku, meringis meminta agar mereka berhenti berbicara, untuk berhenti menghakimiku, untuk berhenti…

Teriakanku semakin kencang, aku sudah kehilangan arah, air mataku mengalir deras, aku benar-benar hancur.

Tenggorokanku sakit, perih rasanya, namun, aku tidak dapat berhenti untuk berteriak. Sekarang hanya angin kosong yang keluar dari mulutku, tidak dapat lagi berbicara, tidak dapat lagi berdiri, aku hanya dapat terduduk lemah dihadapan langit biru yang cerah.