Chereads / Dunia Tanpa Lentera / Chapter 13 - Batu Jiwa

Chapter 13 - Batu Jiwa

Pikiranku masih kalut saat aku menyadari prajurit-prarujit kerajaan yang mulai berkumpul di jalanan, mereka mengacungkan senjata mereka kepadaku. Aku mencoba untuk berdiri, namun, sekali lagi tubuhku menolak untuk mengikuti arahanku, seakan-akan menghentikanku untuk lari dari kehancuran yang telah aku buat.

Mungkin, ini adalah jalan yang benar, untuk menerima konsekuensi dari pilihan yang telah aku ambil, sekali lagi menyerahkan diriku kepada takdir mengerikan yang ada di depanku.

Belum juga aku sempat untuk memikirkan lebih jauh keputusanku ini, sebuah bayangan besar dengan cepat menaungi tempatku berdiam ini. Dua buah jari raksasa langsung menyabet dan membawa diriku dengan paksa ke udara, kuku-kukunya yang besar dan sisiknya yang tebal, mirip sekali dengan naga hitam yang aku lawan sebelumnya.

Apakah ini Albert? Atau Naga Hitam lain yang dikirim untuk menebus dosaku?

Aira, maafkan aku, tapi untuk sekarang, aku harus membawamu ke tempat aman.

Maaf? Maaf untuk apa? Aku yang membuat semua hal ini terjadi, jika saja aku memiliih untuk pergi waktu itu, mungkin semua anak-anak itu tidak akan kehilangan nyawa mereka, mungkin masih banyak keluarga yang memiliki rumah mereka, mungkin kota Klein akan baik-baik saja tanpa adanya campur tanganku.

Tidak, aku juga salah, jangan terlalu keras dengan dirimu sendiri.

Apakah kamu tidak mendegarkanku? Aku jelas-jelas yang paling salah disini. Mungkin kamu merasa dirimu dan Veila juga punya andil dalam tragedi ini, dan ya, itu mungkin memang benar adanya, tapi, jika saja aku tidak tiba-tiba memutuskan untuk menghentikan Festival? Memangnya kalian akan ikut campur juga? Tidak kan?

Aku tidak mendengar jawaban dari Albert, dan memang begitu berarti kenyataannya, kan? Harusnya aku yang meminta maaf. Toko milikmu yang sudah kamu bangun dengan susah payah itu, sekarang kamu tidak bisa lagi kembali ke sana karena ulahku.

Sudahlah, jangan pikirkan soal itu.

Lalu bagaimana dengan yang lain? Veila dan Zabu? Roki? Lalu Bara dan Fana?

Tenanglah, Veila dan Zabu sudah menghilang menyusul Roki, mereka akan pindah ke kota lain, aku tidak tahu detail lebihnya, tapi, mereka akan baik-baik saja.

Syukurlah, setidaknya tujuan awal kami tercapai, meskipun pada akhirnya semuanya jadi kacau seperti ini. Coba saja aku waktu itu mengikuti rencana Veila, untuk hanya menyebabkan sedikit kekacauan di kota dan menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri.

Bagaiman dengan Bara dan Fana? Kamu belum menyebutkan tentang mereka.

Mereka ada di punggungku sekarang, kamu juga sebaiknya bertemu mereka.

Albert mengayunkan dan melemparkanku ke udara, aku akhirnya mendarat tepat di punggungnya. Benar saja, kedua sosok Familia-ku itu sedang terdiam murung, mereka menghindari pandangan mataku, aku yakin mereka sadar benar dengan apa yang telah mereka lakukan, dan dampaknya kepada orang-orang yang tidak bersalah.

Aku tidak tahu harus mengatakan apa kepada mereka berdua, aku sendiri bahkan masih belum dapat berdamai dengan pilihanku sendiri. Seberapa banyakpun Albert mengatakan bahwa itu bukan kesalahanku, rasa bersalah yang sedang membebaniku sekarang tidak akan pernah hilang, terus menghantuiku dalam setiap langkah yang aku ambil, membuatku ragu dan mempertanyakan tentang pilihanku di masa depan.

Setiap kali aku mengarahkan pandanganku ke Bara dan Fana, sosok bengis dan tanpa ampun mereka langsung muncul dalam kepalaku. Sosok yang akan memusnahkan siapapun yang berani mengangkat senjata ke arahku, sosok yang tanpa ragu akan mengorbakan diri mereka sendiri demi keselamatanku.

Aku tidak tahu aku lebih takut dengan yang mana, tentang mereka kehilangan jati diri mereka dalam pertempuran, atau kehilangan nyawa mereka berdua dalam pertempuran. Namun, hanya ada satu hal yang pasti dari dua ketakutanku itu, pertempuran tempat mereka kehilangan baik jati diri ataupun nyawa mereka, adalah pertempuran yang aku pilih, dan mereka hanya mengikuti perintah dan kemauanku, dengan sepenuh hati mereka.

Sama seperti para prajurit-prajurit yang gugur di tangan Bara, mereka semua hanya mengikuti perintah, mengikuti arahan, percaya bahwa yang mereka lakukan adalah hal terbaik yang bisa mereka pilih, untuk melindungi hal-hal yang penting bagi mereka.

Aku perlahan memberanikan diriku untuk mendekati Bara dan Fana, mataku mengarahkan pandangannya ke segala arah, menolak untuk melihat sosok dua teman yang telah menemaniku sejauh ini.

Aku lalu berhenti tepat di depan kedua Familia-ku ini, dan langsung berlutut di depan mereka berdua, mulutku tidak dapat bergerak, aku ingin sekali menyampaikan satu kalimat itu, maaf, karena telah menyeret mereka ke dalam kegilaanku ini.

Aku sekali lagi takut, takut jika mereka mungkin tidak akan menerima permintaan maafku, takut jika mereka akan meninggalkanku setelah aku meminta maaf, takut jika mereka tidak lagi melihatku sebagai salah satu bagian dari hidup mereka.

Tubuhku bergetar, mencoba sekuat tenaga untuk mengucapkan satu kalimat sederahan itu, semakin kuat aku mencoba, semakin sulit rasanya untuk mengeluarkan kata-kata itu. Tenggorokanku tercekat saat aku mencoba untuk membuka mulutku, sekali lagi, tidak ada kata-kata yang dapat keluar, kalaupun ada, kata-katanya tidak dapat dimengerti.

Bara dan Fana mendekatiku, mereka lalu mengusapkan kepala mereka di pundakku. Aku tersentuh, perasaan hangat muncul di dalam dadaku, setiap kali kepala mereka menyentuhku, hatiku rasanya terenyuh, mereka yang pada akhirnya telah mengambil banyak nyawa di bawah keegoisanku, dapat menerima dengan lembut diriku ini.

Aku mendekap mereka berdua, lagi-lagi air mataku mengalir, aku menangis tersedu-sedu, kata-kata yang aku keluarkan juga sama saja tidak jelasnya seperti sebelumnya.

Mereka menerimaku dengan hangat, meskipun mereka tidak dapat berbicara, aku dapat merasakan ketulusan dalam setiap gestur yang mereka berikan kepadaku.

Pada akhirnya, hanya satu kata yang dapat aku katakan.

"Terima kasih," Air mataku masih mengalir, namun, dengan dua kata ini saja, rasanya ada beban besar yang telah diangkat dariku.

Mungkin aku mulai harus melangkah maju, mau tidak mau, aku harus menemukan kedua orang tuaku, dan perjalanan ini harus tetap berlanjut. Aku memang salah, tragedi yang terjadi benar-benar kesalahanku, aku tidak dapat memungkiri fakta itu.

Mungkin ini yang orang-orang sebut sebagai keegoisan seseroang, tentang mereka yang terus menyusuri jalan yang penuh dengan dosa dan rintangan, tetapi, memilih untuk tidak berhenti dan mengabaikan perasaannya sendiri.

"Hey, Albert… Apa alasanmu membantuku?" Tanyaku penasaran.

Albert tidak menjawab. Hei Albert, aku tahu kamu dapat mendengar pikiranku, aku mohon, jawablah pertanyaanku barusan.

Veila yang memintaku, anggap saja sebuah hutang kepada teman lama.

Sebuah hutang kepada teman lama, ya? Memangnya dulu kalian itu seperti apa?

Albert mulai menceritakan masa lalunya, mengenai perannya di Perang Kontinen antara Kerajaan Barat dan Kerajaan Utara, yang sebenarnya hingga saat ini masih terjadi.

Dirinya hari itu ditugaskan untuk turun ke Serendrum, terikat dengan kontrak yang sudah disetujui Lentira, untuk membantu Kerajaan Utara menjadi garda depan di medang perang mereka.

Albert kurang lebih mengetahui tentang alasan peperangan ini terjadi, terdapat perebutan wilayah di masa lalu, namun, saat ia pertama kali menurunkan kakinya di Leof, sebuah daerah di perbatasan Kerajaan Utara, ia mendapati bahwa alasan perang yang mulai berubah.

Berbicara dengan banyak prajurit perang di garda depan, ia menyadari bahwa alasan masing-masing kerajaan untuk berperang tidak lagi ada pada pengendalian lahan, namun, mereka berperang untuk mempertahankan martabat mereka. Beberapa prajurit bahkan mengangkat senjata untuk membalaskan dendam mereka ke pihak musuh, dianggap telah mengambil masa depan orang tersayang mereka dari kehidupan mereka.

Perang tidak lagi soal sumber daya, tetapi, tentang pembayaran darah, puluhan ribu manusia yang gugur selama beberapa dekade lebih, telah menumbuhkan sentimen mengerikan, kedua pelah pihak tidak akan pernah memilih untuk berdamai, dengan alasan mempertahankan ideologi mereka masing-masing, mereka memiliki hak untuk mengacungkan senjata dan menumpahkan darah manusia lainnya, sayangnya pandangan itu hanya didasari oleh ego raksasa dari masing-masing kerajaan.

Albert hanya bertarung di medan perang itu selama delapan puluh tahun, dirinya kemudian menentang perintah Lentira untuk berperang lebih lama lagi untuk membawa nama Kerajaan Utara. Sebagai hukumannya, Albert kehilangan otoritas angkasanya, semenjak konsep otoritas angkasa ini merupakan ciptaan Lentira, Dewi itu dapat mengambil otoritas itu dengan mudahnya.

Keinginan Albert untuk membelot dari perintah Lentira datang saat ia berhasil menangkap seorang mata-mata, dan prajurit yang ia tangkap itu adalah Veila, menggunakan kekuatan Zabu, Veila dapat dengan mudah menginfiltrasi barisan pertahanan di Kota Leof. Sayangnya, Albert memiliki indra pengelihatan dan penciumannya yang baik, membuat dirinya dapat dengan mudah melihat penyamaran Veila.

Veila lantas menjadi tahanan perang, namun, tidak banyak yang bisa dilakukan terhadapnya, kekuatan sihir pelindungnya yang sangat kuat, ditemani dengan kekuatan penyembuhannya, tidak ada satupun metode penyiksaan yang dapat membuat Veila membuka mulutnya.

Albert tertawa saat mengingat satu kalimat yang dikatakan oleh Veila, dan satu kalimat itulah yang mengubah hidupnya. Kalimat itu adalah, 'Pernahkah kamu melihat dunia tanpa penderitaan?', sebuah pertanyaan sederhana, namun, ada sebuah perasaan aneh yang menghinggapi Albert, sebuah perasaan asing yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

Tertarik dengan apa yang Veila katakan, Albert menyelinap keluar membawa tahanan perangnya itu, meskipun awalnya mereka seringkali bertengkar dalam perjalanan, namun, mereka juga mulai saling mengenali satu sama lain pada saat yang sama.

Untuk pertama kalinya, Albert melihat hal-hal mengerikan dalam hidupnya, sebuah pengalaman diluar dari mengangkat senjata dan membunuh siapapun yang berada di sisi lawan. Dirinya yang tidak siap, terkejut melilhat kehidupan orang-orang non-militer yang berada di daerah terluar Kerajaan Utara.

Albert menemui sisi lain dari perang yang telah ia jalani selama ini, buta akan konsekuensi dari peperangan itu sendiri, Albert telah menjadi monster tanpa ampun di medan perang. 

Di desa-desa itu, Albert melihat kelaparan yang sangat mengerikan, manusia yang hanya dapat hidup memakan biji-bijian, tubuh mereka yang kurus sampai-sampai mereka terlihat seperti tidak memiliki daging, hanya kulit yang menempel pada tulang belulang mereka.

Berjalan lebih jauh ke desa-desa lainnya, Albert mendapati pemandangan horror lainnya, desa-desa yang tidak memiliki prajurit untuk melindungi desanya, hancur tidak tersisa oleh serangan monster yang sering berkeliaran di Padang Tengah, tengkorak-tengkorak manusia bertebaran diantara puing-puing reruntuhan kayu rumah mereka.

Meskipun telah melihat semua kengerian itu, tekad Albert untuk menyelesaikan tugasnya masih lebih tinggi dari semua kesengsaraan yang dilihatnya, dirinya percaya bahwa jika dia dapat membantu Kerajaan Utara untuk memenangkan perang ini, kemakmuran akan segera datang untuk mereka.

Ilusi itu pecah saat mereka memasuki area Kerajaan Timur, pada saat itu Kerajaan Timur masih sejahtera, tidak ada kelaparan, tidak ada pemisahan orang berdasarkan kekuatan, dan tentunya tingkat kebahagiaan masyarakatnya masih cukup tinggi.

Pada desa pertama yang mereka malami, Albert langsung diterima dengan hangat, ia disapa dan dapat berbicara dengan banyak orang, percakapan mereka singkat, namun, selalu membekas di benak Albert. Orang-orang yang dapat tersenyum, serta memakan makanan mereka dengan tenang, terdapat kebahagiaan yang tulus di mata mereka.

Desa demi desa mereka lalui, dan pada setiap kunjungan mereka, sikap ramah dan hangat dari orang-orang tidak pernah berubah, hingga akhirnya mereka tiba di ibukota, Klein.

Sesampainya disana, Albert akhirnya benar-benar melihat apa yang dia mimpikan selama ini, sebuah kota besar yang diisi oleh banyak orang, mereka semua terlihat menikmati hidup mereka. Para pedagang yang saling bersahutan, pengembara yang saling bertukar canda di warung makanan kecil, orang-orang tua yang dihormati oleh pengguna jalan lain, serta tawa anak kecil yang menggema dari gang-gang kecil yang ada di kota.

Albert menyadari sebuah kesalahan dalam pemikirannya, peperangan tidak akan menghasilkan kesejahteraan dan perdamaian yang kental seperti yang ia temui di Klein. Meskipun suatu saat perang berhenti, perasaan dendam dari para orang-orang yang selamat dari perang akan terus ada, pergerakan revolusi untuk menentang perdamaian yang baru terbentuk akan merajalela, gerakan gerilya yang tidak akan terlihat batas akhirnya. Mata Albert seakan benar-benar dipaksa dibuka untuk melihat kenyataannya, bahwa peperangan yang ia perjuangkan selama ini tidak akan pernah menghasilkan apapun.

Veila telah mengajarkannya tentang apa artinya untuk hidup dalam masa perjalanan mereka yang pendek itu, setelah mengatakan perpisahannya dengan Veila, Albert langsung menghadap Lentira, dan memutuskan untuk tidak lagi mengikuti perintah-perintah-Nya, serta untuk memulai kehidupannya sendiri, sebuah hidup dengan nilai-nilai hidupnya sendiri, kehidupan untuk menembus dosa-dosanya yang telah ia perbuat di medan perang.

Karena alasan itulah ia menekuni dunia Alkimia, setelah kehilangan otoritas angkasanya, satu-satunya cara bagi Albert untuk membantu manusia ialah melalui dunia alkimia, sebuah fokus sihir yang menjembatani antara sihir dan pengetahuan dunia. Tangan prostetik milikku adalah salah satu hasil karya dari Albert, dirinya mendedikasikan hidupnya untuk membuat alat-alat yang dapat digunakan oleh para korban perang, mereka yang kehilangan anggota tubuh mereka akibat perang, Albert melihat bahwa usahanya ini adalah salah satu solusi yang dapat ia lakukan untuk menebus dosanya di masa lalu.

Untuk mendalami Alkimia, Albert harus pindah ke Klein, semenjak Kerajaan Timur merupakan kerajaan yang berfokus pada perdagangan, logistik barang yang Albert perlukan untuk penelitannya jadi lebih mudah, ditambah ia dapat memperluas koneksinya. 

Albert cukup melakukan penelitian, pengembangan, lalu dapat menggunakan jasa saudagar untuk membawa alat-alatnya untuk dijual di Kerajaan Barat dan Utara.

Albert mengenal Veila lebih dalam dengan kepindahannya ke Klein itu, mereka jadi sahabat dekat dan akhirnya berpisah saat Veila mengumumkan kepindahannya dari Klein ke sebuah desa kecil di daerah perbatasan Kerajaan Timur. Albert mengerti keputusan yang diambil Veila, berdasarkan keadaan politik yang sedang berubah di Kerajaan Timur, krisis makanan dan menurunnya komoditas ekspor rempah-rempah dari Kerajaan Timur telah memaksa ratu yang baru saja naik tahta untuk membuat kontrak dengan Lentira. Sebesar apapun keinginan Albert untuk pindah, dirinya tidak dapat menemukan tempat lain yang memiliki sumber daya yang ia butuhkan dalam penelitiannya, itu salah satu alasan kenapa Albert memilih untuk bertahan di Klein.

Albert lalu menceritakan Festival pertamanya setelah kontrak dibuat, prosedurnya kurang lebih sama seperti apa yang terjadi hari ini, hanya saja, yang dikorbankan adalah budak-budak yang diperjualbelikan di pasar gelap. Setelah mendapat banyak protes dari warga kota, peraturan kemudian diubah untuk hanya mengorbankan kriminal yang memiliki hukuman berat.

Setiap kali Festival terjadi, sosok Sariel selalu saja muncul dan memanen penderitaan dari para orang yang dikorbankan, sudah lama Albert ingin memukul mundur Sariel untuk menggagalkan Festival, tetapi, ia tahu bahwa dirinya tidak memiliki kekuatan yang cukup, setidaknya sebelum diriku muncul untuk membantunya.

Aku tidak menyesali keputusanku untuk memukul mundur Sariel, namun, yang aku sesali adalah amarahku, melihat Sariel yang terus mengancam mimpiku, aku tidak dapat menahan amarahku dan menyerang menggunakan seluruh kekuatanku. 

Kami menyadari kesalahan kami masing-masing, ratu itu mungkin benar adanya, bangunan-bangunan yang runtuh masih dapat dibangun kembali, namun, nyawa yang telah kami ambil akan terus menghantui kami di masa depan. Albert yang sudah sedari lama meninggalkan kehidupan lamanya, kehidupan yang penuh dengan darah dan peperangan, kini kedua tangannya kembali berlumuran darah.

Itu adalah kesalahanku dan keputusanku, Aira. Aku yang akan menanggung dosa itu sendirian, jangan bebankan dirimu dengan kesalahan-kesalahan yang tidak kamu lakukan.

Aku merebahkan diriku di atas punggung Albert yang keras ini, membayangkan diriku sedang berada diantara awan-awan yang biasanya aku lihat dari bawah. Melihat langit yang begitu biru, mengingatkanku akan matahari yang jauh di atas sana. Sosoknya tidak pernah berubah, terus menjalani hidup mereka yang membosankan, terus melangkah maju melewati setiap harinya tanpa beban, meskipun telah melihat zaman berganti, menyaksikan kerajaan-kerjaan muncul dan hancur, sosoknya tetap melanjutkan perjalanan yang hampa dan tanpa akhir dalam hidup mereka.

Mungkin diluar sana terdapat matahari-matahari lain itu, lalu, ada juga tempat-tempat dimana kehidupan seperti disini juga berkembang, bentuk-bentuk manusia yang juga memiliki kesalahan mereka masing-masing, membawa jejak dosa mereka di belakang diri mereka. 

Egois, saat membayangkan bahwa jauh diluar sana mungkin ada saja manusia yang sedang mengalami yang aku alami, merasakan apa yang sedang aku rasakan, dan saat mereka berpikir untuk menyudahi semuanya, aku mungkin adalah orang pertama yang akan meneriakkan bagi mereka untuk terus melanjutkan hidup mereka, seakan-akan aku memiliki keyakinan pada setiap perkataanku, seakan-akan apa yang aku katakan adalah kebenaran yang jelas, dan entah bagaimana mereka tidak bisa melihat kebenaran yang sedang aku utarakan kepada mereka, padahal aku sendiri sekarang sedang menyangkal kebenaran itu sendiri.

 

Aku mencoba untuk merebahkan diriku di punggung Albert yang dipenuhi dengan sisik-sisik besarnya ini, namun, ya begitulah, aku sama sekali tidak dapat menikmatinya.

Aku lalu memanggil bola cahayaku dan mulai membayangkan ranjang penginapan yang sering aku gunakan. Bola cahayaku itu mulai bergetar dan wujudnya berubah menyerupai ranjang tidur penginapanku itu, nah, kalau seperti ini kan aku jadi benar-benar bisa beristirahat dengan nyaman.

Aku akhirnya memasuki alam mimpi lagi setelah cukup lama tidak bermimpi apapun, namun, sepertinya aku tidak akan menikmati mimpiku kali ini.

Pemandangan yang sedang disuguhkan di depanku ini, Klein yang sedang terbakar hebat, puing-puing bangunan yang berjatuhan, dan diantara puing-puing itu, wajah Roki sedang melihatku dengan sedih, aku mencoba untuk mencapai sosoknya yang terlihat kecil dan rapuh itu.

Belum juga aku sempat mendekati Roki, bangunan yang mengelilinya runtuh begitu saja, mengubur Roki bersamanya. Aku lalu tiba-tiba saja berada di sebuah jalan kecil, orang-orang sedang berlari ke segala arah, punggungku terdorong, beberapa orang menabrakku, hingga aku akhirnya terjatuh dan terinjak-injak oleh mereka.

Nafasku mulai sesak, aku mulai kesulitan untuk bernafas. Namun, tidak ada seorangpun yang berhenti ataupun sekedar menatapku, mereka hanya terus berlari dan berlari, tidak perduli dengan ha-hal lain yang terjadi di sekitar mereka.

Mimpi buruk ini, tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini. Aku mencoba untuk mengulurkan tanganku, berharap seseorang akan menggapai tanganku dan menarikku keluar dari kekacauan ini.

Suasana kembali berganti, kali ini aku berada di panggung yang ada di alun-alun, diikat dengan kuat oleh tali-tali tambang di salah satu tiang kayu, dan dikelilingi oleh prajurit kerajaan yang terlihat marah.

Dari bawah panggung, para penonton mulai melempariku dengan bebatuan, aku tidak bisa mengelak dan hanya dapat menerima batu-batu yang terus dilemparkan ke arahku ini. Prajurit kerajaan lalu mengarahkan tombak-tombak mereka, dan mereka menusukkan tombak-tombak itu pada saat yang bersamaan ke tubuhku.

Aku berteriak keras, menahan rasa sakit yang benar-benar luar biasa ini. Dengan serentak mereka menarik dengan kuat tombak-tombak mereka, meninggalkan luka-luka yang menganga besar di tubuhku.

Darah merah mengalir dengan deras, menyusuri tiang kayu ini diantara sela-selannya, beberapa bahkan terserap dan menetes dari tali tambang yang mengikatku ini.

Seorang penyihir mendekatiku, ia lalu meletakkan tangannya di kepalaku, sihir berwarna hijau mulai muncul. Tidak, jangan, aku tidak mau ini, luka besar yang menganga ditubuhku mulai menyusut dan menutup sepenuhnya, seakan-akan aku tidak pernah ditusuk sekalipun.

Setelah seluruh tubuhku kembali seperti semula, para prajurit kerajaan kembali mengarahkan tombak mereka ke arahku, dan mereka kembali menusuk dan menarik tombak mereka pada saat yang bersamaan.

Kalau ini adalah sebuah mimpi, kenapa rasanya sakit sekali? Kenapa semua ini terasa begitu nyata? Dan kenapa aku masih belum terbangun?

Entah berapa kali tubuhku ini sudah dilukai dan disembuhkan, aku sudah tidak lagi memiliki tenaga untuk melakukan apapun, kepalaku hanya tergantung tidak bergerak, menatap lantai kayu tempat aku diikat ini. 

Sosok Ratu Kerajaan Timur muncul dari belakang barisan, ia lalu melangkah maju dan berhenti di depan wajahku. Tangannya perlahan menelusuri tubuhku, hingga jari-jemarinya kemudian berhenti di pipi kananku.

"Sayang sekali, padahal wajahmu cantik," Pujian darinya hanya membuatku mual, aku lantas meludahi wajahnya.

Ia berdecak marah, tangannya melaju turun dan berhenti di leherku. Dengan satu tangannya itu, ia mencekik leherku dengan kuat. Nafasku mulai sesak, pandanganku mulai kabur, dan pada setiap ujung mataku, warna hitam mulai memenuhi pandangan mataku.

Tidak berapa lama, pandanganku benar-benar menghitam sepenuhnya.

Aku akhirnya dapat membuka kedua mataku, rembulan sudah berada tinggi di angkasa. Kami masih terbang melewati langit yang gelap ini, untungnya malam ini adalah malam bulan purnama, setidaknya aku masih bisa melihat sebagian besar punggung Albert.

Terbang setinggi ini menyadarkanku akan sesuatu, memangnya Bulan itu sebesar ini ya? Rasanya dapat aku gapai jika aku melompat sedikit lebih tinggi saja dari punggung Albert ini.

Aku bangun dari ranjang cahayaku ini, Bara dan Fana sedang tertidur lelap di sebelah ranjangku, mereka terlihat damai, terutama setelah apa yang mereka lalui, ada perasaan lega saat melihat mereka bisa tidur tenang seperti ini.

Aku melangkahkan kakiku lebih jauh, menelusuri punggung Albert, lalu mendaki lehernya yang panjang ini, dan akhirnya duduk bersila di atas kepalanya.

Ada apa?

Tidak ada, aku hanya ingin tahu seperti apa rasanya terbang setinggi ini. Aku mengintip ke arah bawah, mencoba untuk melihat seperti apa kelihatannya di bawah sana. Di kejauhan terdapat kumpulan cahaya-cahaya kecil berwarna oranye yang berdansa dalam kegelapan malam. Di beberapa tempat lainnya aku dapat melihat barisan api berwarna merah yang berjalan dengan pelan, aku yakin barisan itu adalah barisan karavan pedagang, sedang membawa dagangan-dagangan mereka.

Selain cahaya-cahaya kecil yang datang dari obor, sisanya hanya diisi dengan kegelapan, aku bahkan tidak tahu di kegelapan itu terdapat tanah, rerumputan, atau bahkan danau, karena dari atas sini semuanya terlihat sama saja, sebuah dataran gelap tanpa akhir yang seakan menyatu dengan gelapnya langit di tiap ufuknya.

Ternyata tidak jauh seperti malam-malam saat aku menempuh perjalanan di bawah sana.

Untuk mengalihkan diriku dari mimpi buruk yang baru saja aku lalui, aku mulai menanyakan tentang kemana Albert akan membawaku. Terbang tinggi menembus awan yang jumlahnya seperti tiada akhir ini, dengan seluruh Kerajaan Timur memburuku, mungkin tempat paling aman berada di punggung keras milik Albert ini.

Masih mengusap air mataku, aku mulai menanyakan tentang kemana tujuan kita.

Bukannya Lentira akan terus tahu dimana aku berada? Lantas kemana kita akan pergi?

Desa Daifa.

Desa Daifa ya? Bukannya itu tempat yang sama dengan tempat terakhir kedua orang tuaku dilihat? Memangnya ada apa dengan tempat itu?

Aku melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di dalam kepalaku, mencoba untuk mengalihkan pikiranku dari hal-hal yang dapat membuatku sedih.

Itu adalah tempat peristirahan terakhir Lentera, Dewi Matahari.

Dewi Matahari? Maksudmu Dewi Matahari yang itu? Ia yang turun ke Serendrum?

Benar.

Lalu kenapa dinamakan desa? Bukan sebuah situs suci, ataupun kuburan suci? Apakah ada alasan tertentu?

Tentu, desa itu lahir dari permintaan Izrail kepada Lentera, sebuah desa kecil yang hanya bisa dimasuki oleh mereka yang memiliki otoritas dunia. Dan pada akhirnya, kuil kecil didirikan di tengah desa itu, sebagai tempat peristirahatan terakhir Lentera.

Aku menenggelamkan diriku dalam rasa penasaran ini. Apa maksudmu dengan desa yang hanya bisa dimasuki oleh mereka yang memiliki otoritas dunia? Memangnya otoritas dunia itu apa?

Otoritas dunia adalah sebuah penanda jiwa, semacam simbol yang terpahat dalam jiwamu, dan satu-satunya cara untuk mendapatkan otoritas ini adalah dengan lahir bersamaan dengan kekuatan yang dapat memanipulasi unsur-unsur yang ada di dunia ini.

Seperti sihir kreasi milikku ini?

Tepat sekali, tipe kekuatan yang dapat membelokkan arus takdir di dunia ini. Sepengetahuanku, hanya pembawa cahaya yang memiliki otoritas semacam ini, bahkan Sariel dan diriku saja hanya memiliki otoritas angkasa.

Kenapa begitu? Apakah karena kekuatan yang diturunkan kepadaku ini merupakan kekuatan yang dimiliki oleh seorang Dewi?

Kurang lebih begitu, seharusnya hanya Lentera dan Lentira yang memiliki otoritas itu, namun, saat Lentera memutuskan untuk menyerahkan kekuatan milik-Nya ke Serendrum, simbol itu turut ikut mengikuti aliran energi sihir milik Lentera.

Menyerahkan kekuatan miliknya ke Serendrum? Bukannya Ia menyerahkan kekuatannya ke Izrail?

Benar, tapi, kamu juga tidak sepenuhnya benar, perintah Lentera kepada kekuatannya adalah untuk terus mengalir dalam ruang dan waktu, dan untuk membawa arus perubahan ke tanah Serendrum.

Lalu, kekuatan itu akhirnya memilih Izrail sebagai penerus kekuatan cahaya? Dan sebagai hadiahnya, Lentera akan mendengarkan satu permintaan dari Izrail?

Begitulah.

Lalu bagaimana dengan pohon-pohon besar dan kabut tebal yang ada di Kerajaan Selatan, bukankah itu juga diciptakan oleh Lentera? Kalau Dewi Matahari itu mengistirahatkan dirinya di Desa Daifa, lalu, siapa yang membuat penghalang magis itu?

Banyak yang menganggap bahwa hutan buatan itu diciptakan oleh Lentera, namun, berkebalikan dengan kepercayaan orang banyak, sebenarnya yang menciptakan hutan itu adalah Izrail, untuk melindungi kerajaan yang ia cintai dari pengaruh Lentira.

Kamu tahu banyak ya, Albert.

Tentu saja, sebagai bagian dari Lima Pilar Dinasti Lentira, aku mendengarkan ocehan Lentira tentang Mantan Dewi itu hampir setiap hari.

lalu tentang otoritas langit yang sebelumnya kamu bicarakan? Itu otoritas apa?

Ah, itu adalah otoritas khusus untuk mengakses gerbang angkasa, kamu ingat lingkaran sihir raksasa saat Sariel datang dan pergi itu kan? Itu adalah otoritas angkasa, memungkinkan Sariel untuk dengan mudah keluar-masuk dari Singgasana Agung dan Serendrum.

Sebentar, bunkankah itu berarti seharusnya aku dapat mengakses Singgasana Agung juga? Mengingat diriku ini secara otomatis mewarisi otoritas dunia.

Benar, namun, gerbang angkasa hanya bisa dibuka dengan kunci khusus, Lentera dan Lentira memiliki lingkaran sihir unik milik mereka sendiri, meskipun sekarang aku mengajarimu lingkaran sihir gerbang angkasa milikku, energi sihirmu tidak akan bereaksi terhadap informasi itu.

Lantas dimana aku mendapatkan kunci gerbang angasa ini?

Daifa, lagi-lagi jawabannya adalah desa kecil itu, aku juga tidak tahu alasannya apa, namun, semua pembawa cahaya yang ingin membuka gerbang angkasa pasti selalu menuju ke desa itu.

Bukankah itu berarti kedua orang tuaku pergi ke sana untuk membuka gerbang angkasa?

Kemungkinan besarnya begitu, maaf kamu harus menemukan kebenarannya seperti ini. Kedua orang tuamu mungkin sudah tidak lagi ada di tanah Serendrum ini.

Aku tertegun, menyadari kemungkinan bahwa aku tidak akan pernah bisa lagi menemui kedua orang tuaku membuatku takut, juga sedih. Namun, aku masih ingin bertaruh dengan kemungkinan kecil, bahwa mungkin saja mereka masih berada di Daifa dan sedang mempersiapkan diri mereka sebelum membuka gerbang angkasa.

Jadi berapa lama sebelum kita dapat mencapai Daifa?

Kita akan sampai esok hari, karena letak desanya berada di Padang Tengah, meskipun aku terbang secepat ini, tetap akan memakan waktu yang cukup lama, jadi untuk sekarang beristirahatlah, aku yakin kamu lelah.

Padang Tengah ya. Daerah yang tidak dikuasai oleh satupun kerajaan, diisi dengan desa-desa dan kota-kota yang memiliki aturan mereka masing-masing, dan jika aku ingat lagi, Padang Tengah adalah tempat banyaknya perampokan dan penjarahan terjadi, bahkan beberapa kota yang tergolong besar memiliki budaya untuk tidak memiliki aturan pada pengelolaan kotanya.

Percakapanku dengan Albert ini telah membuatku menjadi lebih tenang, aku dapat menikmati kembali semilir angin dingin malam yang terus menerpa wajahku.

Mataku mulai mengantuk, dan akhirnya membawa diriku tidur, dengan membayangkan sebuah kenyataan bahwa aku akan terus berjalan maju, dan pada garis akhirnya, akan ada tangan-tangan yang terbuka, siap untuk mendekapku erat dan ikut bahagia bersamaku, karena aku telah menyelesaikan tantangan panjang tanpa akhir yang aku sebut kehidupan ini.

Tidurku kali ini tidak dibumbui dengan mimpi apapun, hanya kegelapan dan kehampaan, namun, rasanya kekosongan ini jauh lebih nyaman jika dibandingkan dengan kehidupanku saat ini, sebuah pecahan kedamaian yang entah kenapa sangat aku dambakan.

Aku dibangunkan oleh Bara, sosok kecilnya itu sedang mengusap-usap kepalanya ke wajahku. Aku dapat merasakan panasnya terik matahari bahkan sebelum aku dapat membuka kedua mataku, langit biru yang cerah langsung menyambutku, mataku masih belum siap untuk menerima cahaya dari langit biru ini.

Setelah beberapa kali memicingkan, menggosok, dan membuka tutup kedua mataku, aku akhirnya dapat melihat jelas sekelilingku. 

Kami masih terbang tinggi di angkasa, pemandangan dari atas sini cukup mempesona, gunung-gunung dan rerumputan yang terhampar di kejauhan, menyatu dan terputus dengan satu sama lain. Apakah kita sudah sampai di Desa Daifa?

Lihatlah ke bawah.

Tepat di bawah kami sekarang terdapat sebuah hutan besar yang diselubungi kabut asap yang tebal, mengingatkanku dengan perbatasan Hutan Niri. Lalu ditengah-tengah hutan ini, terdapat sebuah kubah sihir dengan cahaya kuning keemasan, sebuah tempat yang janggal.

Lalu sekarang apa?

Loncatlah.

Ke bawah sana? Kamu gila?

Sudah berapa kali kamu menanyakan itu? Lagipula, percayalah padaku.

Baiklah, jika memang itu yang harus aku lakukan. Aku yang baru saja bangun ini tidak memiliki kapasitas untuk berdebat dengan naga yang sudah hidup puluhan tahun lebih dulu dariku.

Alternatifnya adalah kita turun ke sisi hutan dan melanjutkan perjalanan ke Daifa dengan berjalan kaki, menembus kabut asap yang kamu sangat tidak suka itu, terserahmu, sih.

Iya iya Albert, aku punya pengalaman buruk dengan kabut asap itu. Bagaimana dengan Bara dan Fana? Begitu juga dirimu? Tidak ikut?

Tidak bisa ikut lebih tepatnya.

Ah ya benar, otoritas dunia ya, aku lupa.

Aku menyiapkan ancang-ancang, lalu membagi fokus energi sihirku ke seluruh badanku, aku tidak tahu apa yang ada di balik kubah cahaya itu, jadi sebaiknya aku mempersiapkan diriku dengan baik. Sebelum aku meloncat, aku memanggil sebuah bola cahaya dan menggamnya dengan erat.

"Dadah!" Teriakku kepada Bara dan Albert, Fana sendiri masih berada di punggung Albert, aku lantas melambaikan tanganku ke arahnya.

Aku membuka tanganku lebar, mencoba untuk mengendalikan jatuhnya diriku ke kubah cahaya yang ada di bawahku ini. Tidak perlu waktu lama sebelum aku sampai di tepian kubah ini, aku mengulurkan tangan prostetikku terlebih dahulu, menyiapkan diriku jika ada bahaya saat aku menembus lapisan kubah cahaya ini.

Tubuhku mulai menembus kubah cahaya ini, di dalam kubah ini ternyata terlihat seperti desa biasa, ada banyak rumah-rumah yang terbuat dari kayu, namun, kayu-kayu yang digunakan untuk membuat bangunan-bangunan disini terlihat menggunakan kayu yang tidak tumbuh dengan alami, lebih kepada kayu-kayu buatan yang dihasilkan dari sihir kreasi dengan energi cahaya.

Sesaat setelah aku memasuki kubah cahaya ini, momentum jatuhku langsung berkurang drastis, hingga rasanya aku mengambang di udara, dengan lamban aku turun dan akhirnya menapakkan kedua kakiku di tanah Desa Daifa.

Aku melepaskan fokus energi cahaya dari seluruh tubuhku, desa ini memiliki kesan damai yang amat sangat, sebuah desa yang sunyi, bahkan tidak ada suara serangga dimanapun, maupun suara desiran angin yang biasanya melewati dedaunan hutan.

Aku menengadah ke atas, kubah cahaya yang mengelilingi desa ini seperti sebuah langit buatan yang terus menyinari desa ini, bahkan aku tidak dapat melihat langit biru, maupun hutan yang mengitari desa Daifa dari dalam sini. Seperti sebuah dunia kecil yang terputus dengan dunia luar, mengasingkan dirinya dari konflik dan peperangan yang terjadi di luar dinding ajaib ini.

Terdengar sebuah suara datang dari salah satu rumah yang ada, suaranya seperti langkah kaki, namun, jauh lebih berat dari suara langkah kaki orang-orang pada umumnya.

Aku refleks memanggil Atares dan Regalia, mempersiapkan untuk bertarung untuk ke sekian kalinya. Namun, yang keluar dari rumah kayu tersebut adalah seorang anak perempuan, sosoknya terlihat mungil, mungkin seperti anak remaja yang baru berumur belasan tahun. Dibaluti dengan sebuah kain putih tipis, rambut panjangnya yang berwarna hijau menutupi sebagian besar punggungnya, dengan mata yang terlihat sayu dan tanpa emosi, sosok anak perempuan itu terus melangkahkan kakinya mendekatiku.

Tanpa pikir panjang, aku langsung mengayunkan pedang cahayaku. Namun, ia dapat dengan mudah menghentikannya hanya dengan satu tangannya saja, tidak mungkin, pedang ini bahkan dapat memotong senjata besi milik prajurit kerajaan timur.

Aku melompat mundur, mencoba untuk menjaga jarak dengannya.

"Jangan takut," Ucapnya dengan nada datar, masih tanpa emosi, dia menatapku dalam.

Sosoknya lalu menjulurkan tangan kanannya ke arahku, dari tangan kanan itu muncul sebuah kilatan cahaya berwarna kuning keemasan, dan saat kilatan cahaya itu mengenaiku, Atares dan Regalia milikku menghilang begitu saja dari genggamanku.

Aku melompat mundur, terkejut dengan kekuatannya itu. 

Aku dapat melihat energi berwarna kuning keemasan mengitari tubuhnya, apakah ia juga pembawa cahaya?

"Sebenarnya… siapa dirimu?" Tanyaku, bingung dengan eksistensi dirinya, tentang kekuatan seperti apa yang ia miliki.

"Singkatnya? Aku adalah seekor? Seorang? Hmm, ah! sebuah mahluk yang kalian biasa sebut Golem, dan oh ya, namaku Keina," Ucapnya sembari perlahan berjalan mendekatiku dan menyodorkan tangannya.

Wajahnya terlihat datar, matanya masih menatapku sayu, aku tidak dapat merasakan maksud jahat darinya, ia dengan sengaja melucuti senjataku, menurunkan tensi ketegangan dan dengan tenang menjawab pertanyaanku. Aku lalu menjabat tangannya balik dan memperkenalkan diriku kepadanya.

"Ah, jadi saatnya datang juga ya. Mari ikuti aku," Keina melepaskan tanganku, ia lalu membalikkan badannya dan berjalan meninggalkanku. Kali ini langkah kakinya berbeda dengan sebelumnya, langkahnya terlihat lebih santai, tubuhnya yang mungil seakan memantul-mantul setiap kali ia melangkah.

Aku mengikuti Keina dari belakang, kami melewati rumah-rumah kosong disisi kiri dan kanan kami. Di ujung jalan yang kami lewati ini, aku dapat melihat sebuah bangunan besar, bentuknya berbeda sendiri dengan bangunan-bangunan rumah lainnya, dari aksen atapnya yang unik, lalu dari beberapa lonceng yang digantung disekeliling bangunan, mungkin ini yang disebut sebagai sebuah kuil.

Kami akhirnya sampai di depan bangunan kuil ini, sama seperti Keina, bangunan ini memancarkan cahaya kuning keemasan disekitarnya, namun, cahaya yang memancar dari bangunan ini jauh lebih kuat.

Keina memberikan isyarat kepadaku untuk berhenti dan menunggu disini. Sosoknya yang mungil itu lalu menaiki tangga kayu kuil, membuka dua pintu besar kuil, kemudian masuk dengan perlahan.

Keina memakan waktu yang cukup lama di dalam, semburat ledakan cahaya kuning tiba-tiba muncul dari dalam kuil, meskipun terkejut, aku langsung menaiki tangga kuil dan berlari melesat menuju pintu kuil.

Namun, aku tidak dapat memasuki kuil, tubuhku terhempas mundur, ada semacam penghalang magis yang mencegahku untuk masuk ke dalam. Keina langsung berlari ke arahku, dia terlihat khawatir melihat diriku yang sedang duduk tersungkur di depan pintu kuil.

"Kamu tidak apa-apa?" Tanyanya penuh khawatir, namun, dengan sedikit tatapan kecewa.

Aku menepuk-nepuk pakaianku, lalu berdiri dengan cepat, mengisyaratkan kepada Keina bahwa aku baik-baik saja, walaupun memang dadaku masih sakit sedikit akibat benturan tadi.

Keina mengeluarkan nafas panjang, ia lalu menyodorkan kepadaku sebuah batu berwarna putih. Setelah menerima batu putih ini, aku langsung memeriksanaya dengan seksama, memangnya apa yang spesial dengan batu ini?

"Kamu ingin masuk ke kuil ini kan? Penghalang magis ini merupakan mekanisme khusus, hanya mereka yang memiliki kekuatan cahaya yang cukup dapat masuk ke dalam kuil ini," Sebentar, aku saja masih belum dapat mengerti kekuatan dari Keina sendiri, maksudmu anak sekecil ini dapat menembus penghalang magis ini? Kekuatannya jauh lebih besar dari kekuatank? Ya, kalau dipikir-pikir lagi memang benar sih, Keina dapat dengan mudah melucuti kedua senjata cahayaku.

Keina sepertinya menyadari diriku yang sedang tidak berfungsi ini otaknya, ia lalu duduk di sebelahku lalu menggenggam tanganku dengan lembut. Tangannya terasa dingin, juga keras, padahal kalau dilihat-lihat lagi, sosoknya dapat dengan mudah dikira sebagai seorang manusia.

Ia kemudian mulai menjelaskan tentang apa itu Batu Jiwa. Batu berwarna putih yang aku pegang ini merupakan salah satu Batu Jiwa yang Keina sedang jelaskan kepadaku. 

Keina menjelaskan bahwa Batu Jiwa merupakan salah satu bentuk artefak magis, yang berarti, Batu Jiwa merupakan sebuah benda yang diciptakan dari kekuatan sihir. 

Senjata cahayaku juga dapat dikategorikan sebagai artefak magis, karena konsepsi dari sihir kreasi itu sendiri, begitu juga dengan desa Daifa ini. Tidak terdengar begitu spesial bukan? Namun, manifestasi artefak magis merupakan salah satu tingkatan sihir yang sulit untuk dicapai jika menggunakan teknik sihir lainnya, salah satu cara untuk mencapai titik tertinggi sihir ini (dalam hal ini memanifestasikan artefak magis), ialah melalui teknik infusi diri tingkat tinggi, yang biasanya akan membunuh pengguna teknik sihir ini sendiri.

Rose merupakan salah satu contoh penggunaan teknik ini, setelah dirinya melakukan infusi tingkat tinggi, ia berhasil memanifestasikan pedang apinya, sebuah artefak magis yang memiliki tingkat kehancuran yang mengerikan, hutan rawa yang tadinya penuh dengan kehidupan, lenyap seketika dalam satu pertarungan itu. Lalu, batu ini diciptakan dari apa?

Infusi tingkat tinggi merupakan sebuah teknik yang menggunakan jiwa sebagai bahan bakar dari ledakan sihir yang digunakan oleh penggunanya, dan dengan begitu, sihir kreasi dapat dicapai oleh orang yang menggunakan teknik ini, namun, terdapat satu teknik lain yang juga dapat memanifestasikan sihir kreasi, yaitu teknik penyerahan jiwa. Sebuah teknik yang mengorbankan jiwa penggunanya melalui sihir, lalu jiwa dan sihir penggunanya saling bergabung dan memadat hingga sebuah objek termanifestasi, salah satu objek itu adalah Batu Jiwa.

Sebentar, lalu jiwa siapa yang digunakan untuk membuat Batu Jiwa ini? Kenapa kuil ini bisa menyimpan hal seperti ini disini? Apa mungkin ada orang baik di masa lalu yang sengaja mengorbankan dirinya seandainya ada pembawa cahaya lain yang mencoba masuk ke dalam kuil tetapi tidak bisa? Mana mungkin bukan.

Keina menundukkan kepalanya, seakan tidak ingin menjawab pertanyaanku ini, ia lalu berdiri dan masuk kembali ke dalam kuil, tidak lama kemudian ia keluar membawa sebuah buku di tangannya.

Tanganku langsung menjatuhkan Batu Jiwa yang sedang aku pegang, mataku terfokus pada buku yang dibawa oleh Keina. Tidak… ini tidak mungkin bukan? Buku ini adalah buku catatan perjalanan ayahku, dan ini bukan salinan, sampul bukunya yang terbuat dari kulit tipis, serta di halaman pertamanya, terdapat bercak darah tanda sidik jari telunjuk kedua orangtuaku.

Aku mulai membalik halaman demi halamannya dengan cepat, aku sudah tidak perduli lagi dengan batu jiwa atau apalah itu, dan aku akhirnya berhenti di catatan terakhir yang tercatat di buku salinan. 

Selama bertahun-tahun, buku yang aku baca selalu berhenti disini, seakan-akan mereka hanya hidup sampai saat itu saja, namun, aku mulai membalik halaman selanjutnya, dan tangisku pecah saat itu juga.

Kata pertama yang tertulis di halaman kecil ini adalah namaku, suara ayahku seperti berdengung kembali saat memanggil namaku. Hai Aira, begitu tulisnya, hanya dua kata itu, cukup untuk mengguncang duniaku.

Hai Aira, ini hari pertama ayah dan ibu pergi meninggalkan kamu sendirian. Padahal ibu sendiri yang mengatakan kalau dia sudah siap, kalau dia percaya bahwa kamu sudah siap, tetapi, selama perjalanan, ibumu ini selalu mengkhawatirkanmu, apakah kamu akan baik-baik saja disana? Atau mungkin perjalanan ini adalah sebuah kesalahan besar dan kita harus kembali? 

Ibumu terus saja menangis dan menangis selama perjalanan kami, kamu tahu kan kalau ibumu sudah seperti itu sangat sulit untuk dibujuk? Ahaha, meskipun begitu, meskipun berat, ini adalah perjalanan yang harus kami tempuh berdua.

Aku membalikkan halamannya, Ia melanjutkan lagi tulisannya, membaca seberapa sedihnya keputusan yang mereka ambil ini, aku rasanya tidak sanggup untuk membaca lebih jauh, tetapi, disisi lain aku harus tahu alasan mereka pergi meninggalkanku dan tidak pernah kembali.

Ayahku terus bercerita tentang bagaimana perjalanan mereka, tentang monster-monster yang mereka temui, tentang mahluk-mahluk aneh yang harus mereka hadapi, serta kesulitan mereka saat melintasi gunung bersalju dan harus mencari tempat berlindung di sebuah Gua kecil karena adanya longsoran salju.

Perjalanan jauh ini kalian tempuh untuk mencari sebuah perkamen sihir, dan perkamen sihir ini dapat digunakan untuk membuat sebuah Batu Jiwa. Namun, saat kalian menemukan perkamen sihir ini, yang tertulis disana hanyalah tahap-tahap untuk melakukan ritual, untuk memanifestasikan sebuah Batu Jiwa, yang berarti, salah satu dari mereka pada akhirnya harus melakukan penyerahan jiwa untuk memanifestasikan artefak magis itu.

Saat aku membalikkan halamannya lagi, catatan mereka berhenti disana, tidak ada apapun tertulis di halaman ini, dan begitu juga dengan halaman-halaman setelahnya. Aayahku tidak sekalipun menulis alasan kenapa mereka memerlukan Batu Jiwa, lalu juga tentang kenapa mereka melakukan perjalanan yang mereka tempuh.

Aku terus membalik-balik halaman buku ini, hingga aku akhirnya sampai ke halaman terakhir. Halaman yang disisi-sisinya terrdapat banyak bekas titikan air, tulisan ayahku yang biasanya rapi juga terlihat berantakan, membuat kesan saat menulis halaman terakhir ini, ayahku dibantu oleh ibuku untuk menulis dan menyelesaikannya.

Halo Aira, maaf kalau ini ditulis di halaman terakhir, karena ini merupakan tulisan terakhir Ayah. Sebelum itu, bagaimana kamu disana? Apakah kamu makan dengan baik? Apakah kamu sudah bertemu dengan dua teman Ayah disana? Ayah tidak tahu harus memulai dari mana, yang jelas kami sekarang sedang berada di bagian luar dari hutan desa Daifa. Alasan kami mencari cara untuk membuat Batu Jiwa adalah agar kamu dapat menemui ibumu di langit nanti, dan perjalanan ini kami lakukan hanya untuk satu alasan. 

Alasan itu adalah untuk menciptakan dunia yang dapat kamu hidupi dengan tenang.

Saat ini aku sudah tidak lagi memegang buku catatannya itu, dan hanya menaruhnya di lantai kayu, kedua tanganku sudah lemas, tidak memiliki kekuatan untuk mengangkat buku kecil itu, padahal salah satu tanganku adalah tangan prostetik, aku lanjut membaca tulisan ayahku ini.

Aku tahu benar apa yang akan terjadi, aku tahu apa yang akan ayah lakukan, dan aku tidak ingin melihat kenyataan itu. Sebuah kenyataan dimana aku menjalani hidupku tanpa mereka berdua, meskipun aku sudah dapat berjalan sejauh ini tanpa mereka, namun, cahaya merekalah yang terus menuntun tanganku, dan saat aku sepertinya hanya selangkah saja untuk mencapai mereka, cahaya mereka terus mundur menjauh. 

Dan sekarang sosok mereka rasanya sudah pergi jauh, sangat… jauh.

Aku memaksakan diriku untuk membaca paragraf terakhir yang tertulis di buku catatan ini.

Ayah akhirnya memutuskan untuk melakukan ritual itu, memisahkan sosoknya dari kehidupan, dan memanifestasikan Batu Jiwa berwarna putih yang tadi aku pegang. Gaya tulisan di buku ini tiba-tiba saja berubah, aku rasa ibu yang melanjutkan tulisan ini, ibuku menulis bahwa disaat-saat terakhir ayahnya itu, dirinya terus memanggil namaku, terus berdoa untuk kebahagiaanku, dan kalimat terakhir yang tertulis di bagian bawah buku ini adalah,

Pergilah temui ibumu, ia sangat merindukanmu.