Satu bulan telah berlalu semenjak aku dibawa ke hutan rawa, tanah berlumpur dan pepohonannya telah menjadi pemandangan yang membosankan bagiku, bagaimana tidak, setiap malamnya aku akan diseret kesini oleh Veila. Aku juga tidak dapat beralasan sakit, dengan sihir penyembuhnya, aku tidak memiliki alasan untuk menolak latihan-latihan yang tidak masuk akal darinya.
Minggu pertama latihanku diisi dengan latihan koordinasi bersama Bara dan Fana. Hari pertama tentulah menjadi hari yang paling berat, dimana aku sama sekali tidak tahu apa yang akan aku hadapi, satu-satunya jaminan kalau kami tidak akan mati disana adalah keberadaan Veila yang akan terus memantau kami dari belakang.
Aku memang tidak terkejut saat pertama kali menemui lawan kami hari itu, sesuai dengan benang-benangnya yang besar, laba-laba yang kami temui juga tidak kalah besarnya, tubuh mereka jauh lebih besar dari Fana.
Yang membuatku terkejut adalah jumlah mereka, kami harus melawan banyak laba-laba malam itu, dengan medan bertarung yang kebanyakannya diisi dengan tanah berlumpur, pergerakan kami menjadi sangat-sangat terbatas, koordinasi antara aku, Bara, dan Fana sangatlah buruk, dan malam itu kami kalah telak, tidak dapat menghadapi monster laba-laba yang terus bermunculan menyerang ke posisi kami.
Melihat posisi kami yang terus terpojok, Veila akhirnya menggunakan sihir pelindungnya dan membawa kami ke tempat aman.
Hari-hari berikutnya juga diisi dengan rutinitas yang sama, sampai akhirnya Veila menyatakan kalau koordinasi kami sudah cukup bagus, dan kami bisa lanjut ke tahap latihan berikutnya.
Pada minggu kedua, tahap selanjutnya dari latihan kami dimulai. Hari pertama latihan di minggu itu dimulai dengan Veila yang meminjam pedang cahayaku dan menusuk Bara tepat di dadanya, pedang cahayaku menembus cukup dalam ke dada Bara, meskipun begitu, Bara tidak terlihat kesakitan, setelah pedang itu dicabut, luka di dada Bara perlahan sembuh dan menutup dengan sendirinya, bahkan bulu-bulunya juga ikut tumbuh dengan cepat setelahnya.
Latihan pada minggu kedua difokuskan pada cara kami mengendalikan kekuatan kami. Veila menyarankan Bara untuk lebih memperhatikan keadaan di sekitarnya saat ia berubah menjadi sosok yang lebih besar, sedangkan untuk Fana, Veila menyarankan agar ia tidak terlalu sering menggunakan kekuatan api miliknya, apalagi saat bertarung di tempat yang dipenuhi dengan rerumputan, karena serangannya dapat melukai teman di sekitarnya, dan yang terakhir adalah untukku, aku diminta untuk belajar memfokuskan kekuatanku, lalu menggunakannya untuk memperkuat bagian-bagian khusus di tubuhku.
Pada hari terakhir di minggu kedua, setelah aku dapat menguasai dengan baik energiku, Veila kemudian memberikanku sebuah perkamen kertas, di tengahnya terdapat sebuah gambar lingkaran sihir, setelah mengalirkan energi sihirku ke perkamen kertas itu, sebuah lingkaran sihir tiba-tiba saja meloncat keluar dan melayang-layang di depan wajahku. Veila lalu memintaku untuk menulis namaku di tengah lingkaran sihir itu, aku mengikuti arahannya, dan setelah namaku tergores disana, lingkaran sihir itu menghilang menjadi pecahan-pecahan kecil di udara.
Dengan begitu, sigil pertama milikku akhirnya berhasil dibuat, dengan menggunakan sigil magis ini, aku dapat melakukan kontrak Familia dengan Bara dan Fana. Aku juga dapat menggunakan sigil itu untuk memanggil senjata yang sudah terikat dengan sigilku, aku jadi tidak perlu lagi membuat bola cahaya dan menunggunya berubah bentuk menjadi senjata yang aku inginkan, sekarang aku hanya tinggal memanggil nama senjata itu dan sebuah lingkaran sihir akan terbuat mengeluarkan senjata yang terikat dengan nama itu.
Atares adalah nama untuk pedang cahayaku, Regalia untuk perisai cahaya, Aral dan Lara untuk busur dan panah cahaya, serta yang terakhir adalah Baratum untuk sebuah Gada cahaya yang aku tiru dari pandai besi yang ada di Klein.
Minggu ketiga adalah minggu terberat yang harus kami lalui, sebuah ujian kemampuan untuk bertahan hidup. Dalam ujiannya, kami harus berkemah di area luar dari hutan rawa itu dan bertahan hidup selama satu minggu, dengan memakan daging monster laba-laba yang kami buru, dan minum dari sumber air yang berada di tengah-tengah rawa.
Rasa daging laba-laba besar itu sebenarnya tidak jauh jika dibandingkan dengan daging ayam, hanya saja, ada rasa asam yang aneh setiap kali aku memakannya, meskipun begitu, aku, Bara, dan Fana berhasil melewati ujian di minggu ketiga, walaupun tidak mudah, aku lega ujian sulit itu berakhir juga.
Hari ini adalah hari terakhir latihanku, setidaknya begitu kata Veila kepadaku saat kami sedang berjalan ke hutan rawa, menang atau kalah, Veila memiliki hadiah spesial untukku setelah latihan selesai nantinya.
Veila kali ini membawa tas milikku ke tempat latihan, hadiah untukku katanya ada di dalam tas itu. Sebuah hadiah ya, aku jadi semakin penasaran apa hadiah yang akan aku dapatkan.
Setelah sampai di tempat kami latihan, Veila langsung membuat dinding pelindung di sekitar kami, latihanku sebentar lagi dimulai.
Ujian kali ini adalah ujian pertarungan jarak dekat, musuhku kali ini adalah Veila dan Zabu, sementara itu, aku akan ditemani oleh Bara dan Fana seperti biasa.
Veila dan Zabu mengisyaratkan tanda kalau mereka sudah siap, aku berdiskusi sebentar dengan Bara dan Fana, menyiapkan strategi baru untuk menghadapi mereka berdua. Setelah timku setuju dengan rencana yang aku sarankan, aku mengisyaratkan kalau kami juga sudah siap.
Aku naik ke atas punggung Bara, lalu kami menerjang kedepan menuju Veila, Zabu telah menghilang dari pandangan kami, Fana kemudian berhenti lalu mulai menembakkan bola apinya kearah Veila, sesuai perkiraan, Zabu kemudian muncul dan menghalau semua serangan dari Fana, Veila lantas menggunakan sihirnya untuk melindungi tubuh Zabu, aku dan Bara masih menerjang mendekati Veila.
Veila bersiap untuk menghadapi serangan kami, ia memegang erat perisainya dan mulai membentuk dinding pelindung di depannya.
Bara menyerang Veila dengan ayunan tangannya yang kuat, Veila sedikit terpukul mundur, ia sekarang terpaku diam dalam posisi bertahannya, aku kemudian memfokuskan energiku di kedua kakiku, lalu melompat tinggi dari punggung Bara, dan saat aku sudah berada tepat di atas kepala Veila, aku memanggil Aral dan Lara lalu mulai memanah Veila dari atas, Veila yang menyadari ini lantas melompat mundur dan berhasil menghindari panah-panah cahayaku.
Aku masih berada di udara dan sebentar lagi akan jatuh ke tanah, jarakku dengan Veila juga semakin mendekat, jika aku langsung jatuh ke tanah, aku akan berada dalam masalah. Aku lalu mengalirkan energi ke tangan kiriku dan melontarkan telapak tangan prostetikku ke arah Veila, telapak tangan besi itu kemudian mencengkram punggung Veila dengan erat.
Aku mulai menarik diriku ke arah Veila menggunakan tangan kiriku, aku juga memanggil Regalia dan memegangnya dengan tangan kananku.
Jarak diantara kami semakin berkurang, Veila tidak dapat membalikkan badannya untuk menghadapiku, aku menghantam Veila dari belakang dengan kuat menggunakan Regalia. Veila tersungkur ke tanah, aku sekarang berada di atas Veila, duduk menindihi punggungnya.
"Sudah berakhir." Ucapku.
Veila tersenyum lalu mengucapkan sebuah nama, Sara.
Sebuah lingkaran sihir tiba-tiba saja muncul di sebelah kiri Veila, perhatianku teralih ke lingkaran sihir itu, Veila memanfaatkan momen itu dan mendorongku ke samping, kini keadaan kami berbalik, sekarang ia yang berada di atas tubuhku, aku mencoba untuk memanggil Atares, tetapi, kedua tanganku sudah dipegang kuat oleh Veila.
Aku mencoba untuk mencari keberadaan Bara, sayangnya ia sekarang sedang sibuk menghadapi Zabu, Fana juga begitu, mereka berdua tidak dapat menolongku.
Senjata bernama Sara tadi ternyata hanya sebuah tongkat kayu yang memancarkan aura berwarna hijau, Veila lalu mengambil Atares yang tadi aku panggil dan mengarahkannya ke leherku.
"Aku menyerah." Ucapku lemah.
Veila lalu berdiri, aku juga ikut berdiri dan memberitahu kepada Bara dan Fana kalau kali ini usaha kita juga tidak berhasil.
"Sayang sekali, padahal sedikit lagi." Keluhku.
"Tidak apa, kamu sudah berkembang pesat selama satu bulan terakhir."
"Tapi masih belum bisa mengalahkanmu."
"Satu bulan tidak akan cukup untuk mengalahkanku Aira sayang, kamu sudah berusaha sebaik mungkin bukan? Itulah yang terpenting dimataku."
"Lalu hadiahnya?"
"Ah, iya, hadiahnya ya."
Veila lalu mengeluarkan sebuah gulungan kertas dari tas milikku, ia lalu membuka kertas itu.
"Sebuah peta?" Tanyaku bingung.
"Benar, peta Serendrum, dan lihatlah, di lingkaran merah ini."
"Desa Daifa?"
"Iya, sebuah desa di padang tengah, katanya kedua orang tuamu terakhir kali terlihat sedang menuju ke desa itu."
Aku menatap dalam desa bernama Daifa itu, kelihatannya cukup jauh dari sini.
"Informanku cukup terpercaya dan informasinya juga akurat, jadi aku rasa kamu dapat mempercayai informasiku ini."
Aku memeluk Veila dengan erat.
"Terima kasih..."
"Tidak apa, lagipula ini janjiku kan?"
"Meskipun begitu, sekali lagi, aku sangat-sangat berterimakasih."
Selama sebulan belakangan ini, diluar dari melakukan latihan dengan Veila, tentu saja aku masih mencari informasi tentang kepergian kedua orangtuaku, namun, aku yang tidak tahu siapa-siapa di Klein ini tidak dapat mendapatkan satupun informasi yang dapat aku gunakan.
Aku menghabiskan hari-hariku di perpustakaan dan membaca halaman demi halaman yang menjelaskan perjalanan mereka berdua, tidak satupun dari semua buku-buku yang aku baca itu memiliki informasi yang aku harapkan. Tidak jarang aku menangis sendirian di meja kayu perpustakaan Klein, menyadari bahwa usahaku mungkin akan berakhir sia-sia begitu saja.
Aku lalu membuka dekapanku dan menatap Veila dalam-dalam, aku tidak tahu harus berkata apa, rasanya Veila sekarang terlihat seperti seorang malaikat yang diturunkan kepadaku, pandanganku rasanya mulai diburamkan oleh air mata yang mulai berkumpul.
"Sudahlah, jangan menangis, simpan air matamu itu untuk mereka," ucap Veila lembut kepadaku.
Veila melepaskan tangannya dari kedua punggungku, ia lalu mengambil Raga dan Sara dari tanah.
"Ayo pulang, latihanmu sudah selesai."
Aku menghapus air mata yang tadi mengalir di pipiku, lalu mulai bersiap untuk berjalan pulang. Akhirnya, latihan panjang ini selesai juga, rasanya aku sangat menantikan hari ini terwujud, aku yang seharusnya merasakan perasaan senang atau setidaknya perasaan lega malah merasa kehilangan, seperti ada sesuatu yang diambil dari hidupku. Mungkin karena aku mulai terbiasa dengan latihan yang diberikan Veila ini, dan tanpa sadar sudah menjadi kebiasaan untuk pergi bersamanya ke hutan rawa ini pada malam hari. Jika saja Veila tidak mengajakku kesini, atau mungkin pada saat itu ia menolak mentah-mentah permintaanku untuk dilatih olehnya, aku selama sebulan ini hanya akan menghabiskan waktuku di perpustakaan dan kamar penginapan, meringkuk di ranjang putihnya sambil menangis tersedu-sedu.
Mencoba untuk tidak membayangkan hari-hari menyedihkan seperti itu, aku mengalihkan pandanganku ke arah dinding pelindung, namun, dari balik dinding pelindung yang mengelilingi kami, aku melihat ada sosok yang terlihat mirip seperti manusia berdiri di belakangnya, dari siluetnya, ia terlihat seperti seorang perempuan.
Sosok itu berjalan mendekat, kali ini cahaya rembulan menyinari siluetnya dengan jelas, ia memiliki rambut yang panjang dan berwarna merah, ia juga mengenakan baju zirah kerajaan, dan ia sedang memegang sebuah pedang besi yang diselimuti dengan api yang sedang berkobar.
"Rose, tapi apa yang dia lakukan disini?" Ucap Veila dengan nada bingung.
Veila lantas menurunkan dinding pelindungnya dan berjalan mendekati orang bernama Rose ini, aku mengikutinya dengan dekat dari belakang. Sepertinya Rose datang kesini tidak untuk berbicara, melihat kobaran api di pedangnya yang terus meliuk-liuk, khawatir akan adanya pertarungan, aku lantas memanggil Atares dan Regalia, bersiap-siap atas kemungkinan terburuknya.
"Apa maumu?" Tanya Veila.
"Serahkan anak itu," Jawab Rose tegas.
"Atau?"
"Atau kamu dapat melihat Roki besok di festival kerajaan."
"Kamu apakan Roki?!"
"Maaf Veila… ini perintah kerajaan," Ucap Rose dengan nada sendu.
"Jadi begitu… lalu kondisi perintahnya?"
"Hidup atau mati."
"Tapi, bagaimana mereka bisa tau?"
"Kerajaan punya koneksi yang luas, aku sudah melakukan semua yang aku bisa Veila, mulai dari membungkam informan hingga menghalangi investigasi mereka, namun, Ratu bajingan itu selalu menemukan cara untuk mendapatkan jawabannya."
"Dan itu alasanmu ada disini?"
"Menurutmu? aku yakin Ratu itu tau bahwa aku yang menghalangi mereka dari balik bayang-bayang, dan sepertinya, ini adalah hukumanku."
"Tidak bisakah kamu kembali ke kerajaan dan berkata bahwa kamu gagal?"
"Tidak kali ini Veila, nyawa adik-adikku berada di tangan para keparat itu."
"Jadi begitu ya."
"Begitulah, namun, setidaknya aku mengikat mereka dengan kontrak, jadi jika aku mati di pertarungan ini, kerajaan akan merawat adik-adikku dengan baik."
"Jadi kamu memang datang kesini siap untuk mati?"
"Apapun demi adik-adikku, aku rasa kamu dapat memahami perasaan ini juga bukan?"
"Begitulah."
"Jadi apa keputusanmu?"
"Maaf saja, tapi anak ini juga sudah menjadi bagian dari keluargaku."
Rose lalu mengacungkan pedangnya itu ke langit, setelahnya, aku dapat melihat prajurit-prajurit kerajaan yang muncul dari balik pepohonan.
"Kita dikepung, Aira, kamu hadapi mereka yang ada di bagian kiriku, Bara di kanan, dan Fana menghadapi mereka yang ada jauh di belakangku."
Kami menyanggupi perintah itu dan bersiap untuk menghadapi mereka.
Aku berjalan mendekati kelompok yang aku hadapi, mereka berisikan empat orang, satu di depan memegang perisai, dua di belakangnya memegang tombak dan satu lagi di belakang memegang sebuah tongkat kayu.
Orang yang memegang perisai itu menggunakan sihirnya, sama seperti sihir yang dimiliki Veila, perisai yang dipegangnya itu membuat dinding pelindung yang melindungi bagian depan dirinya.
Aku mengalirkan energi sihir ke kakiku dan bersiap untuk melompat.
Kedua prajurit yang memegang tombak di belakang langsung melemparkan tombak mereka kearahku, aku melompat tinggi ke langit, dengan begitu serangan pertama mereka meleset.
Penyihir yang ada di bagian belakang itu mulai menggunakan sihirnya, tombak yang tadinya meleset sekarang mulai berubah tujuan dan bergerak keatas mengikuti pergerakanku.
Posisiku terkunci di udara, aku lantas memanggil Regalia dan memegangnya dengan tangan kananku, ada dua tombak yang datang, aku menangkis salah satunya dengan Regalia dan yang satunya lagi aku tangkap menggunakan tangan kiriku.
Aku membalikkan tubuhku dan melemparkan balik tombak itu ke arah mereka, meskipun berhasil menembus pertahanan mereka, seranganku itu meleset, tombak itu tertancap tepat di sebelah salah satu penombak.
Posisiku semakin dekat dengan tanah, aku memanggil bola cahayaku dan membayangkan roti besar yang akan menjadi tempatku mendarat. Buntalan bulat itu mulai terbentuk dan aku mendarat tepat di bagian atasnya.
Tombak yang aku tangkis tadi mulai bergerak kearahku. Aku segera membangunkan diriku, tombak yang tertancap tadi juga sudah kembali dipegang oleh salah satu penombak, dan ia sekarang bersiap untuk melemparkannya lagi.
Tombak pertama datang dan aku berhasil menangkisnya, tombak itu langsung tertancap ke tanah di sebelahku, aku lantas mengambil tombak itu. Tombak kedua pun dilemparkan, tombak itu bergerak dengan sangat aneh, ia meliuk-liuk di udara dan seringkali berganti arah berusaha untuk mencari celah dalam posisi bertahanku.
Aku yang mulai muak melihat tombak itu hanya berputar-putar saja di sekitarku mulai berlari ke depan dan mengurangi jarak diantara diriku dengan kelompok mereka. Tombak aneh itu kini mengejarku dari belakang, tepat sebelum tombak itu berhasil mengenaiku, aku membalikkan badan dan melemparkan Regalia milikku, membenturkan perisai cahayaku itu tepat ke tombak yang mengikutiku tadi, tombak itu langsung tergeletak di tanah, aku lantas mengambil tombak yang tergeletak itu dan segera menancapkan kedua tombak yang aku pegang tadi di tanah.
Tidak memiliki senjata lagi, kedua penombak itu masing-masingnya mengeluarkan sebuah pisau belati. Jarakku sudah sangat dekat dengan mereka, aku lalu memanggil Atares dan Regalia, bersiap untuk menyerang balik mereka.
Aku menyayat pelindung yang dibuat oleh prajurit yang berada di bagian depan, dindingnya dengan mudah dapat aku sobek, namun, masih belum cukup, aku terus menyayat-nyayatnya lagi hingga dinding pelindung itu tidak lagi tersisa.
Dua orang penombak tadi sekarang terlihat sangat ketakutan, tangan mereka yang memegang belati bergetar hebat dan wajah mereka pucat pasi.
Laki-laki yang memegang persai tadi juga sekarang terduduk lemas, mulutnya terbuka lebar, tapi, tidak ada satupun kata yang keluar darinya.
Aku menghela nafas panjang, menyadari apa yang harus aku lakukan.
Apakah aku bisa melakukannya?
Cengkraman tanganku mulai melemah, aku dapat merasakan pedang cahayaku menggelincir dari tanganku.
Aku dapat mendengar nafasku sendiri yang menderu-deru.
Jantungku rasanya berdetak di dalam kepalaku.
Nyawa mereka berempat sekarang berada ditanganku.
Apakah aku sudah siap untuk mengambil keputusan besar ini?
Bukankah ini alasan aku berlatih dibawah Veila selama ini?
Lalu kenapa?
Kenapa sekarang rasanya aku bahkan tidak dapat mengangkat kedua tanganku?
Langkahku terasa berat saat mendekati mereka.
"Maaf, aku tidak ingin membunuh kalian, berdirilah, pergilah dari sini," Jawabku lirih.
Prajurit yang memegang tongkat kayu di belakang lalu berdiri, dan mengacungkan senjatanya ke arahku.
Wajah pria itu terlihat sedih, kuda-kudanya juga sangat ganjil, ia perlahan merapalkan sebuah mantra.
"Tolong jangan membuatku melakukan ini," Pintaku kepadanya.
Aku mencengkram lagi pedang cahayaku.
Sebuah lingkaran sihir muncul di depan tongkat prajurit itu.
Aku bersiap untuk menerima serangannya, sejauh ini yang aku tau ia dapat mengendalikan senjata besi disekitarnya menggunakan sihirnya.
Mataku berfokus memperhatikan sekitar, melihat tombak yang kutancap tadi bergerak atau tidak.
Lingkaran sihir itu berkedip.
Baru saja aku mengedipkan mataku, lengan bajuku sudah dihiasi oleh cipratan darah, begitu juga dengan bagian dada dari bajuku.
Aku mengembalikan tatanpanku ke lawan yang ada di depanku.
Dua penombak tadi lehernya sudah tersayat, lukanya terbuka lebar.
Aku tersentak mundur.
Dua buah belati sedang berterbangan di udara, senjata itu melaju cepat, lalu menusuk salah satu prajurit lainnya tepat di bagian bawah rahang mulutnya.
Darah mengucur cepat menghiasi besi belati itu, aku hampir dapat melihat pantulan sosok bulan di belati itu.
"Maaf, tapi, daripada kembali ke tempat mengerikan itu, kami lebih baik mati disini." Ucap prajurit terakhir yang masih berdiri, pedang belati satunya lagi langsung melesat menusuk dada kiri pria itu, membuatnya melepas tongkat sihirnya dan tubuhnya langsung terjatuh ke dalam lumpur.
Dunia di sekelilingku seperti berhenti, telingaku berdengung hebat.
Aku sudah sering melihat darah, aku juga sudah sering melihat potongan daging, tapi, kali ini berbeda.
Kali ini sangat berbeda.
Pantulan rembulan di darah segar yang terus mengucur membuat kepalaku pusing, dunia rasanya mulai berputar dan perlahan berfokus pada empat tubuh tidak bernyawa yang ada di depanku ini.
Aku tidak dapat mengalihkan pandanganku, aku hanya bisa terpaku diam menyadari apa yang baru saja terjadi.
Tanpa sadar aku berlutut dan mengeluarkan isi perutku.
Memuntahkan semua perasaan yang terus menerus bercampur aduk di dalam diriku.
Perlahan aku mengalihkan perhatianku ke tempat Veila, mencoba mengalihkan pikiranku dari kejadian barusan.
Veila dan Zabu sedang melawan Rose, keadaan mereka tidak menunjukkan perkembangan, Rose yang terus saja menebaskan pedang apinya, melawan Veila dan Zabu yang terus saja terjebak dalam posisi bertahan.
Pergerakan Rose sangat rumit, serangan demi serangannya seperti rantai yang terus saja menyambung tanpa terlihat dimana akhirnya.
Aku lantas berdiri dan mulai bergerak ke arah mereka, Rose sepertinya menyadari pergerakanku ini, ia langsung mengalihkan pandangannya ke arahku.
Air di sekitar kaki Rose mulai mengeluarkan asap, sesaat setelah aku menyadari hal itu, tiba-tiba saja Rose sudah berada di depanku.
Aku jelas terkejut, namun, tangan kiriku refleks menghalau serangan pedang berapi Rose. Meskipun aku berhasil menangkis serangannya, aku jatuh tersungkur ke tanah berlumpur, Rose terlihat sudah siap untuk melancarkan serangan selanjutnya, Ia mengayunkan pedangnya dengan cepat, kali ini aku tidak dapat menghindar, aku lantas menggenggam pedang berapinya itu menggunakan tangan kiriku, ujung bilah pedangnya hampir menyentuh dadaku.
Rose terus mendorong pedangnya itu semakin dekat ke dadaku, aku lalu mengalirkan energi sihir ke tangan kiriku, telapak tanganku terlontar dengan kuat ke sisi kanan tubuhku, membawa pedang milik Rose bersamanya.
Aku lantas memanggil Atares dan langsung mengayunkan pedangku itu ke arah Rose, dengan cepat Rose melompat mundur, ia langsung berlari ke arah dimana pedangnya tergeletak. Tangan kiriku yang masih memegang pedang itupun aku tarik, membuatnya terbang tidak terarah di udara, saat itu juga aku melepaskan peganganku dari pedang itu, kini pedang itu terbang tanpa arah dan akhirnya tertancap di tengah tanah pertempuran ini.
Aku masih kesulitan untuk berdiri dari posisiku, sedangkan Rose sudah jauh berlari semakin mendekati pedangnya itu. Setelah berhasil berdiri, aku langsung mencoba mengejarnya, menggunakan energi sihir yang kualirkan ke bagian kakiku, tetapi, sepertinya Rose juga menggunakan teknik sihir yang sama, jarak diantara kami tidak berkurang sama sekali.
Nafasku mulai terengah-engah, Rose sudah sangat dekat dengan pedangnya itu. Tiba-tiba saja, dari arah kiri Rose muncul Zabu yang melompat untuk menerkamnya, sayangnya Zabu masih kurang cepat, tepat sebelum cakar-cakarnya dapat menyentuh tubuh Rose, sosoknya itu itu sudah melompat ke depan terlebih dahulu dan mengambil pedangnya dari tanah.
Bara dan Fana sudah selesai melawan kelompok prajurit kerajaan yang mereka hadapi. Mereka berdua lalu berlari mendekati Rose, kini Fana sudah berubah menjadi bentuk Rubah Api penuh.
Veila menghampiri diriku yang sedang kesusahan untuk bernafas, aku sudah menggunakan banyak energi sihirku sedari latihan tadi hingga saat ini. Veila mulai menyentuh punggungku dan menggunakan sihir penyembuhannya, energi sihirku mulai terisi kembali, rasa lelahku juga mulai berkurang.
Zabu, Bara, dan Fana sekarang sedang menyerang Rose dari tiga arah yang berbeda, Rose selalu saja menghindari serangan dari Bara dan Fana, ia membiarkan Zabu untuk mencakarnya di beberapa bagian tubuhnya, sadar bahwa cakaran dari Zabu hanya dapat menggores baju zirahnya itu.
Melihat pergerakan Rose seperti sedang melihat seseorang berdansa dengan sangat elegan, gerakannya yang lembut namun terukur, membuat siapa saja pasti terpana saat melihatnya. Hanya saja tariannya ini diisi oleh tarian pedang berapi yang mengikutinya, seakan-akan ia berdansa dengan Beruang hitam, rubah api, dan juga harimau putih. Sulit rasanya mencari celah dari pergerakannya, setiap kali aku rasa Bara atau Fana akan berhasil menyerang Rose, ia selalu memiliki cara untuk menghindari serangan dari mereka.
Aku memanggil Alar dan Lara, Rose masih sibuk menghindari serangan-serangan dan menyerang balik Bara, Fana, dan Zabu. Perhatiannya sekarang sedang teralih darik, aku menarik tali busur Alar dan bersiap untuk melontarkan Lara, menunggu saat yang tepat untuk melepaskan panah cahaya ini. Gerakan Rose sulit untuk diikuti, namun, itu bukan berarti mustahil untuk diikuti.
Aku melepaskan genggamanku dari Aral, Lara meluncur dengan cepat ke arah Rose, panahku itu menembus baju zirah Rose dan menancap di dada kanannya. Rose terlihat terkejut dan mulai memegangi panah cahayaku itu, wajahnya berubah menjadi merah padam dan mengerikan. Rambut-rambut merahnya mulai berubah menjadi kobaran-kobaran api, pedang berapinya kini sudah sepenuhnya berubah menjadi kobaran api berwarna biru yang menyerupai bentuk sebuah pedang, bagian pedang besinya sudah tidak dapat lagi terlihat, aura Rose benar-benar berubah.
"Dia benar-benar berencana untuk mati," Ucap Veila kepadaku.
"Memangnya kenapa?" Tanyaku.
"Itu adalah teknik infusi tingkat tinggi, dimana kamu menggabungkan jiwamu dengan energi sihirmu. Penggunanya sudah dipastikan akan kehilangan tubuhnya dalam prosesnya."
Rose terlihat benar-benar akan kehilangan tubuhnya, baju zirah yang dipakainya mulai meleleh dan memperlihatkan tubuh Rose yang sudah dilapisi dengan kobaran api berwarna ungu, tepat di tengah dadanya ada sebuah titik api yang berwarna hitam.
Bara, Fana, dan Zabu berhenti menyerang Rose, lebih tepatnya, mereka seperti sedang menjaga jarak dari Rose dan terlihat ragu untuk melancarkan serangan.
Rose lalu memegang panah cahayaku tadi dan mencabutnya dari dada kanannya, sebuah cairan kental berwarna merah keluar dari dada kanannya, tidak berapa lama, luka di dada kanannya itu juga menutup. Cairan yang dikeluarkan tadi saat menyentuh air rawa langsung membeku, membentuk sebuah gumpalan hitam panas yang menguapkan air di sekitarnya.
"Itu bukan darah, itu lahar," Ucap Veila.
"Infusi tingkat tinggi ya, seperti apa yang Fana lakukan?" Tanyaku.
"Benar, hanya saja, tubuh Fana akan baik-baik saja karena ia seorang monster yang lahir dengan kemampuan itu, berbeda dengan manusia, kita hanya dianugerahi energi sihir dan elemennya, tentang bagaimana menggunakannya kita harus belajar banyak dari para monster."
"Dan pada akhirnya kita bisa meniru mereka?"
"Benar, kita dapat meniru dan pada akhirnya melampaui mereka."
"Manusia memang mengerikan."
"Kamu juga manusia Aira."
"Ah iya, jadi… sekarang apa?"
"Aku juga tidak tau, ini pertama kalinya aku melihat Rose seperti ini."
Laba-laba rawa mulai berkumpul di sekitar kami, salah satunya sedang membungkus prajurit kerajaan yang tadi aku bunuh.
Rose menatap laba-laba itu, baru saja aku mengedipkan mata, Rose sudah membelah laba-laba tadi menjadi dua, juga tiga pohon di sekitar laba-laba itu, api berwarna ungu mewarnai pohon dan tubuh laba-laba tadi. Benar-benar kekuatan yang mengerikan, Rose melanjutkan pembantaiannya dengan membunuh lebih banyak laba-laba rawa di sekitar kami, pohon demi pohon tumbang dengan mudahnya, api berwarna ungu berkobar mengitari kami, mengubah warna langit malam menjadi warna ungu gelap.
Api ungu itu membakar pohon-pohon tanpa menyisakan apapun, abu berwarna hitam berterbangan ke berbagai arah, mengikuti kemana angin membawanya.
Aku memerintahkan Bara, Fana, dan Zabu untuk berkumpul bersama kami, setelah kami semua berkumpul, Veila membenamkan perisainya ke tanah yang kemudian membuat kubah pelindung.
Hutan rawa benar-benar sudah terbakar habis, sekarang hanya tersisa rawa dengan tanah berlumpurnya, dihiasi dengan ratusan bangkai laba-laba yang bertebaran dimana-mana. Rose mengakhiri pembantaiannya, ia sepertinya menyisakan kami sebagai santapan terakhirnya.
Sosok Rose tiba-tiba saja muncul di depan kubah pelindung kami, lalu ia dengan santainya ia mengayunkan pedang apinya, kubah pelindung Veila langsung robek dan runtuh dalam sekali tebasan.
"Haha, memang tidak bisa ya," Ucap Veila lirih.
Aku memanggil Atares dan Regalia, tidak tahu harus berbuat apalagi untuk menghadapi Rose dengan kekuatannya itu.
Rose mulai mendekati kami, uap-uap air membungkus dirinya selagi ia berjalan mendekati kami. Ia sekali lagi mengayunkan pedangnya, aku mulai mengalirkan energi sihirku ke Regalia dan mencoba untuk menangkis serangan Rose, meskipun berhasil, Regalia milikku terbelah dan serangan Rose berhasil menggores punggungku.
Rose mulai melancarkan serangan keduanya, Veila spontan melompat ke depanku dan menerima serangan Rose menggunakan perisai miliknya, perisai milik Veila memancarkan warna biru yang pekat, ia berhasil menghentikan serangan pedang api Rose. Sekarang pergerakan Rose terhenti, Bara lantas melompat kedepan dan menghantam Rose menggunakan tangan kirinya, membuat Rose terpental beberapa meter ke belakang.
Rose sedang dalam keadaan lemah, Bara memanfaatkan kesempatan ini dengan langsung mendekati Rose dan menghantam-hantamnya hingga Rose terkubur jauh ke dalam tanah berlumpur.
Veila telah menghabiskan sebagian besar dari tenaganya untuk menghentikan Rose, setelah serangan tadi, ia langsung tersungkur ke tanah dan terkulai lemas.
Aku lalu mencoba untuk mencari salah satu kertas magis jenis penyembuhan di dalam tasku, setelah berhasil menemukan dua kertas penyembuhan, aku langsung menempelkan dua kertas itu ke lengan Veila dan mengaktifkan efek penyembuhannya. Pendaran cahaya berwarna hijau mulai muncul dan menyelimuti tubuh Veila, untuk beberapa saat, cahaya itu bertahan di tubuh Veila lalu menghilang menjadi butiran-butiran kecil di udara.
Bara kembali ke tempat kami, sepertinya Rose sudah dikalahkan olehnya. Keadaan kini sudah lebih terkendali, keadaan Veila juga sudah sedikit membaik, dua kertas magis itu memang tidak dapat memulihkan energi Veila sepenuhnya, tapi, aku rasa cukup untuk membuatnya terus tersadar.
Saat aku sedang menyuruh Veila untuk tetap beristirahat, Sosok Rose tiba-tiba keluar dan berdiri di atas tumpukan lumpur tempatnya terkubur tadi. Kali ini api yang berkobar sudah banyak yang menghilang, sisa apinya hanya berada di kedua kakinya, kedua telapak tangannya, serta di rambutnya.
Tubuh Rose sudah berubah menjadi warna hitam ke abu-abuan, ada banyak rekahan berwarna merah yang muncul di tubuhnya, ia sudah bukan lagi manusia.
Bara bersiap untuk menyerangnya lagi.
"Berhenti!" Ucap Veila.
Bara menahan langkahnya.
Aku tidak mengerti kenapa Veila menghentikan Bara, namun, setelah melihat kondisi Rose, aku dapat melihat alasan dibalik perintahnya barusan.
Rose sudah tidak lagi memegang pedang apinya, ia saat ini tidak berdaya untuk melawan kami.
Rose mulai berjalan ke arah kami, langkahnya terlihat tertatih-tatih, ia bahkan kesulitan hanya untuk berdiri dan berjalan.
"Bawa aku kesana," Ucap Veila sambil menunjuk ke arah Rose.
Aku menopang Veila dengan punggungku dan membantunya berjalan.
"Aira, tolong panggil Atares." Pinta Veila kepadaku.
Aku memanggil Atares, Veila lalu mengambil pedang itu dengan tangan kanannya.
Sekarang aku dapat melihat tubuh Rose lebih jelas, tubuhnya itu sudah bagaikan pohon yang dibakar oleh api yang membara, tidak salah kalau aku mengira kulitnya sudah berubah menjadi kumpulan batu arang.
Rose semakin mendekati kami dan mulai membuka kedua tangannya.
Veila melepaskan dirinya dariku, lalu menggunakan sihir pelindung di tubuhnya.
Rose semakin mendekati Veila, tangannya terlihat seperti ingin memeluk Veila.
Veila lantas mengacungkan Atares ke arah Rose, ia lalu menghujamkan pedang itu tepat di tengah dada Rose, kemudian memeluk temannya itu dengan erat.
"Terima kasih… atas semuanya," Ucap Rose dengan bibirnya yang sudah hampir hangus itu, suaranya terdengar kecil dan lemah, serta ada banyak abu berwarna merah keluar dari mulutnya saat ia berbicara.
Veila menepuk punggung Rose dengan lembut.
"Semoga tidurmu damai," Ucap Veila tenang.
Tubuh Rose mulai hancur, seluruh bagian tubuhnya satu per satu mulai terputus dan melebur menjadi abu berwarna hitam yang berterbangan di udara.
Dengan sebuah senyuman di wajahnya, Rose menghilang begitu saja dibawa oleh angin malam.
Veila langsung terduduk lemas.
Aku mendekatinya, wajah Veila dipenuhi dengan air mata.
"Ratu sialan itu akan membayar semuanya!" Bentak Veila geram sambil menggenggam erat tanah berlumpur dimana Rose tadi berdiri.
"Ini adalah misi bunuh diri untuk Rose, prajurit yang dibawa bersamanya adalah prajurit kelas Ethelon, mereka adalah orang-orang prajurit buangan, mantan kriminal yang dihukum mati, meskipun Rose sendiri adalah prajurit kelas Avalon, Ratu itu pasti dengan sengaja mengirimkan mereka dalam satu misi."
Aku duduk diam sembari mencoba untuk menenangkan Veila.
"Haah… dulu, aku dan Rose pernah berada di tingkat Ethelon juga, kami menjadi dekat saat latihan. Posisi kami mulai menanjak naik, keahlian kami dalam bertarung yang baik, mengingatnya membuatku rindu akan masa-masa itu."
"Jadi tante tidak langsung menjadi prajurit?"
"Aku awalnya adalah budak yang dijual ke para penjarah untuk digunakan sebagai penyembuh luka mereka, lalu, saat komplotanku ditangkap, kerajaan melihat potensi dalam diriku dan memaksaku masuk ke program prajurit kerajaan."
"Kalau Rose?"
"Dia… sama sepertiku, seorang budak, hanya saja, nasibnya jauh lebih tidak beruntung jika dibandingkan denganku."
"Lebih buruk? Seperti apa?"
"Dia dijual ke berbagai petinggi kerajaan dari satu ke yang lainnya, sebagai pemuas nafsu mereka, Rose bahkan belum berumur tujuh belas tahun saat itu. Ia melakukan itu agar adik-adiknya tidak dijual ke orang lain, dimana dengan uang yang ia kumpulkan itu, ia mencicil tebusan untuk membebaskan adik-adiknya."
Aku terkejut mendengar perkataan Veila.
"Rasanya ini seperti membuka luka lama, Rose akhirnya ditangkap oleh prajurit kerajaan karena membunuh 'majikannya' saat itu."
"Aku tidak perlu tau lebih jauh," Balasku.
"Waktu berjalan dan aku pada akhirnya memilih jalanku sendiri, aku rasa disaat itulah kami berhenti mengenal satu sama lain."
"Yang jelas, Ratu mengirimkan Rose kesini untuk membunuh Rose."
"Kenapa begitu? Bukankah ia sangat kuat?"
"Saat Ratu itu naik ke tahta. Aku, Rose, dan beberapa petinggi lain tidak menyukainya."
"Kenapa?"
"Perintah pertama Ratu itu adalah untuk mengadakan festival di Klein."
"Festival yang sama untuk besok?"
"Iya… festival itu nama yang lucu untuk apa yang akan mereka lakukan. Pada kenyataannya, festival itu merupakan sebuah ritual besar yang dilakukan oleh kerajaan, dimana kerajaan akan mempersembahkan orang-orangnya dengan imbalan kesejahteraan ekonomi di Klein."
"Ritual yang berhubungan dengan Lentira ya?"
"Begitulah."
"Bukankah itu berarti Ratu itu melanggar komitmen Klein untuk tidak terlibat dengan para Dewi?"
"Benar sekali, itulah alasan aku mundur dari posisiku dan pergi meninggalkan kerajaan."
"Kenapa Rose tidak ikut pergi?"
"Ia memiliki tiga orang adik, semenjak ia menjadi prajurit kerajaan kelas Avalon, ia dan keluarganya akan berada dibawah perlindungan kerajaan."
"Jadi begitu."
"Ia tidak ingin adik-adiknya melewati apa yang telah ia lewati, maka dari itu ia rela mengorbankan apapun untuk mereka, dan sepertinya itu termasuk dirinya sendiri."
Aku mulai mengerti kenapa Rose melakukan semua ini.
"Jadi Aira, jangan membenci Rose atas perbuatannya. Ia gugur disini sebagai prajurit yang gugur di medan perang, membawa tugas kerajaan bersamanya, mari kita hormati kepergiannya seperti itu."
Aku mengangguk.
Veila mulai berdiri, aku lalu menopangnya untuk berjalan kembali ke tempat kami berkumpul sebelumnya. Setelah sampai, aku lalu merebahkan Veila di badan Bara, membuatnya senyaman mungkin dengan posisinya.
Aku mulai mengalihkan pandanganku ke sekitar, setelah kobaran-kobaran api tadi padam, yang tersisa hanyalah tanah berlumpur. Hutan rawa tempat aku berlatih sudah benar-benar menghilang.
Besok kami harus menyelamatkan Roki dari festival itu, malam ini kami akan membicarakan rencana penyerangan kami ke Klein, tapi, untuk sekarang, aku hanya ingin duduk dan menyenderkan punggungku ke tubuh Fana.
Kami sudah melalui banyak rintangan, namun, hari ini adalah salah satu hari yang paling melelahkan. Sebuah pikiran terbersit di kepalaku, apakah ini juga salah satu rencana dari Lentira untuk membunuhku? Aku benar-benar takut akan masa depan, apakah aku harus membunuh lebih banyak manusia? Apakah kedua tanganku ini kuat untuk melakukan itu? Apakah aku sendiri kuat untuk mengayunkan pedangku?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalaku, agaknya hanya waktu yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.